Tampilkan postingan dengan label #Fiqh Hasad. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #Fiqh Hasad. Tampilkan semua postingan

7 Mei 2016

#2 Fiqhul Hasad

Fiqhul Hasad. Pertemuan 2.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Keterangan tambahan berkenaan dengan definisi hasad, dari bahasa arab diambil dari kata mausu’ah nadhrotun na’im. Disebutkan bahwasanya makna asal dari hasad adalah menguliti, mengelupas kulit. Hasad diambil dari kata benda –hasdal yang maknanya adalah kutu penghisap darah yang ada pada hewan. Maka hasad itu disebut hasad karena hasad itu mengelupaskan hati. Menyebabkan terkelupasnya hati dan demikianlah keadaan orang yang dengki. Semakin ia dengki, semakin rusak hatinya. Sebagaimana kutu mengelupas satu kulit lalu dia hisap darahnya. Maka demikianlah keadaan hati dari orang yang terjangkit penyakit hasad.

Kemudian, disampaikan kemarin definisi hasad bahwa makna pokok pengertian hasad adalah al burdu wal karohah. Namun, jika membaca para pakar bahasa arab yang dikutip dalam fiqh hasad tentang pengertian hasad, tidak ada yang membawa ke makna al burudu wal karohah. Namun di sini kita jumpai perkeataan para ulama yang menunjukkan bahwasanya hasad berkaitan erat dengan ketidaknyamanan hati.

Makna hasad an ni’mat bagi al Fayumi. Hasad terhadap nikmat adalah manakala Anda tidak menyukai nikmat tersebut pada orang lain dan berangan-angan nikmat itu hilang darinya. Al Fayumi menyampaikan, hasad secara bahasa ada unsur karohah. Ini yang menjadi dasar Ibnu Taimiyyah untuk merajihkan makna hasad adalah al burduwal karohah –keadaan hati yang benci dan tidak suka karena baiknya keadaan orang yang didengki. Karenanya kita jumpai dari perkataan al Fayumi (meski Fayumi menambahkan) berangan-angan nikmat itu hilang darinya.


Bentuk-bentuk Hasad
Yang kelima adalah seorang mengangankan pada dirinya, nikmat yang didapatkan orang lain. Jika nimat tersebut tidak terjadi pada dirinya, dia tidak mengangankan hilangnya nikmat tersebut dari orang lain. Maka termasuk hasad jenis ini disebut ghibthoh  dan hukumnya tidak mengapa. Dan ghibthoh dekat dari munafasah –bersaing dalam masalah kebaikan. Dan Allah Ta;ala memerintahkan untuk tanafus –bersaing dalam kebaikan, untuk mendapat surga maka hendaklah bersaing.

Tidak ada hasad itu ghibthoh kecuali dengan dua orang. Maka hasad ini adalah ghibthoh dan yang mendorong orang memiliki ghibthoh adalah orang yag berjiwa besar, menginginkan hal-hal yang besar. Bukan berjiwa kecil yang meginginkan hal-hal sepele. Karena dia menginginkan hal yang baik dalam dirinya dan berkeinginan untuk menyerupai orang-orang yang memiliki sifat-sifat baik. Dan karena dia ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan, dan orang yang mendapat level yang tinggi dalam kebaikan. Orang yang terbakar untuk mengerjakan dan mendapatkan kebaikan. Bukan orang yang berada di belakang. Maka, muncullah dalam orang tersebut semangat untuk bersaing, menjadi yang paling dahulu, paling cepat ditambah dia tetap menginginkan dan mencintai orang yang dia ghibthoh padanya. Tetap berangan dan berharap langgengnya nikmat pada orang tersebut.

Keterangan tambahan yang Allah sampaikan pada orang yang hasad, ‘ya Allah aku berlindung dari kejahatan orang yang hasad, manakala dia dalam kondisi yang hasad. Karena boleh jadi seorang memiliki hasad namun dia sembunyikan. Dan hasad tersebut tidaklah berdampak gangguan dalam bentuk apapun. tidak mengganggu dan menzhalimi orang yang dia dengki dengan hatinya, tidak pula dengan lidah dan tangannya. Namun, dia jumpai dalam hatinya ada hasad, namun secara lahiriyah, dia tidaklah bersikap kepada orang yang dia dengki tersebut kecuali dengan sifat yang Allah cintai. Maka hasad adalah suatu rasa yang muncul dalam hati, hampir-hampir tiada seorang pun yang selamat darinya. Kecuali orang yang betul-betul istimewa sampai-sampai di hati pun tidak muncul perasaan hasad.

Maka hampir-hampir orang tidak ada yang terbebas dari hasad, sebagaimana perkataan ibnu Taimiyyah, ‘hampir-hampir tidak ada raga yang terbebas dari hasad. Akan tetapi orang yang mulia, dia sembunyikan hasadnya. Disingkrikan. Dibuang. Hasad yang muncul dalam hatinya. Akan tetapi orang yang celaka yang hina, ialah hasad yang berbuah kezhaliman dengan hatinya berbagai macam buruk sangka dengan lisan ataupun perbuatannya.’

Maka orang yang mulia adalah orang yang timbul dalam dirinya hasad namun dia sembunyikan. Hasad tersebut tidak berdampak apapun pada dirinya. bahkan dia menyikapi orang tersebut dengan sikap yang Allah cintai.

Oleh karena itu, ada orang yang bertanya  pada Hasan al Bashri, ‘apakah seorang mukmin itu mengalami hasad?’ Maka jawaban Hasan al Bashri, ‘betapa engkau lupa dengan saudara-saudara Yusuf. Mereka adalah orang yang beriman, anak dari nabi Allah, dididik oleh nabi. Namun, ada hasad pada diri mereka. Oleh karena itu sangat boleh terjadi orang beriman memiliki hasad.’

Dalam teks lain, Hasan al Bashri ini ada lanjutannya. Ketika seorang bertanya, ‘apakah seorang mukmin mengalami hasad?’. Maka dijawab oleh beliau, ‘betapa engkau dengan anak-anak Ya’qub. Namun sembunyikanlah hasad itu dalam dadamu. Jika kau sembunyikan dalam dada dan hatimu, maka itu tidaklah membahayakan hatimu. Selama tidak berdampak berupa kezhaliman yang dilakukan oleh tangan dan oleh lisan.’ Demikian teks dalam Ihya Ulumuddin.

Akan tetapi, bedakan. Antara potensi hasad yang ada dalam hati seseorang dari hasad, namun orangnya tidak mau mentaati bisikan atau ajaran hasad yang muncul dari hatinya. Dia tidak melaksanakan perintah hasad dalamhatinya. Dia durhakai perintah hasad dalam dirinya karena merasa malu pada Allah dan dalam rangka memuliakan Allah. Dia malu membenci suatu nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. Maka dia berpandangan bahwasanya hasad ialah menyelisihi Allah SWT dan ia berusaha untuk berjihad melawan dirinya sendiri untuk menyingkirkan hasad. Bahkan dia paksa dirinya supaya tidak memiliki hasad. Supaay hasad tidak berkelanjutan, dia paksa dirinya untuk mendoakan kebaikan pada orang yang dia dengki. Dia munculkan keinginan dan harapan agar orang yagn didengki tersebut semakin bertambah nikmatnya.

Ini adalah hasad yang terjadi pada orang mukmin. Muncul di hati, namun tidak ditaati. Bahkan didurhakai ajakan si hasad. Dia lawan dirinya, berjihad melawan dirinya sendri agar menyingkirkan hasad dalam hatinya, memarjinalkan dan meminggirkan hasad. Bahkan ketika hasad pada seseorang, dia rajin mendoakan orang tersebut. Ketika muncul dalam dirinya hasad pada seseorang, maka di tengah malam, antara adzan dan iqomah, dia sampaikan doa yang spesial pada orang yang didengki untuk Allah menambahkan nikmat pada dirinya.

Lain halnya dengan hasad yang terjadi pada manusia yang hina. Maka, dia wujudkan hasadnya. Dan dia dengki dengannya. Dan dia munculkan dari hasadnya tersebut, dia laksanakan konsekuensinya, berupa menyakiti dan mengganggu orang yang dia dengki dengan hati, lisan, dan anggota tubuhnya. Kata Ibnul Qayyim, inilah hasad yang tercela. Dan ini semua hasad dalam bentuk –hilangnya nikmat dari orang lain.’

Beliau melanjutkan bahwasanya hasad ada tiga macam (pembagian dari Ibnul Qayyim).

    (1)    Mengangankan hilangnya nikmat dari orang lain. Berharap tetangganya yang kaya, kebakaran. Tetangganya yang bisnisnya maju kena tipu. Hasad dan dengki pada suatu yang sudah nyata pada orang lain, dan dia iri akan hal itu. Ini adalah hasad yang sudah real, nikmatnya sudah nyata dalam orang lain.

     (2)    Berangan –angan bertahannya ketiadaan  nikmat pada orang lain. Dia berharap agar orang yang bodoh itu terus bodoh. Orang yang miskin itu terus miskin. Yang maknanya adalah dia membenci Allah munculkan pada seorang hambanya sebuah nikmat. Orang yang hasad ini menginginkan agar orang lain ini tetap dalam keadannya. Dia bodoh, dia lemah, berkeping-keping hatinya agar galau, jauh dari Allah SWT (karena itulah sebab galau seorang, karena mengingat Alah adalah salah satu ketenangan hati). Atau tidak banyaknya taqwa pada Allah, tetap menjadi ahli maksiat. Maka hasad yang keduanya ini orangnya berangan-angan langgengnya keadaan orang lain yang tidak sempurna dan jelek. Ini adalah hasad untuk sesuatu yang belum terjadi. Yang masih diandai-andaikan. Yang statusnya baru mungkin untuk terjadi.

Dua-duanya adalah dimurkai Allah SWT dan dimusuhi manusia. Orang semacam ini selamanya tidak akan menjadi pimpinan dan panutan, ditokohkan dalam masyarakat. Dan tidak akan ditolong. Karena masyarakat tidak akan menokohkan, kecuali orang-orang yang dilihat mereka ini ingin berbuat baik pada lingkungan dan masyarakatnya. Adapun orang yang ingin jadi musuh Allah, masyarakat tidak akan menokohnya jika itu tanpa paksaan. Kecuali dipaksa agar dia ditokohkan. Maka dia pun akan menjadi tokoh dalam masyarakat, namun masyarakat akan menilai, kalau orang yang punya hasad ini jadi tokoh, maka ini adalah bala untuk lingkungannya dan musibah yang Allah timpakan pada mereka dengannya. Sehingga, mereka pun tetap membencinya. Dan dia pun, karena hasad, membenci dirinya.

     (3)    Hasad jenis ketiga adalah ghibthoh, berangan memiliki keadaan seperti orang yang dia dengki, tanpa hilangnya nikmat tersebut pada orang lain. Ini tidak tercela. Bahkan ini dekat dengan bersaing, yang Allah perintahkan dalam firmannya. ‘wa fii dzalika fal yatanaafasil mutanafisun’ dan hasad ghibthoh terdapat dalam di hadist shahih, keinginan nikmat sebagaimana didapatkan orang lain, yakni dua hal, ‘orang yang mendapat nikmat dari Allah,d ia paksa dirinya untuk membelanjakan hartanya untuk kebaikan. Dan orang yang berilmu, memutuskan sengketa di sekelilingnya, dan dia ajarkan pada orang lain.’ Ini adalah hasad ghibthoh, dan yang mendorong hasad seperti ini adalah karena dia berjiwa besar, menginginkan hal hal yang besar yang ingin menyerupai mereka dan masuk dalam golongan mereka. Ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan dan tertinggi dalam kebaikan, dan bukan orang yang belakangan. Maka muncullah dari keinginan ini, bersaing. Berlomba menjadi orang yang terdahulu dan paling bersegera. Dia diiringi dengan mencintai orang yang dia iri dan ghibthoh dengannya. Dia berangan-angan langgengnya nikmat orang. Maka hasad ini tidak termasuk yang mencela hasad dari sisi manapun.


Larangan untuk Saling Hasad
Rasulullah SAW mealrang umatnya untuk saling hasad. Sebagaimana hadist shahih muslim, Rasulullah bersabda, ‘hati-hatilah kalian pada prasangka, yaitu buruk sangka tanpa ada alasan untuk berburuk sangka padanya. Karena orang tersebut zhahirnya adalah orang baik. Karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan, atau perkataan yang dusta. Janganlah kalian tahassus, jangan pula kalian tajassus.

Tentang maknanya, kutipan an Nawawi. Tahassus adalah –mendengarkan pembicaraan orang lain. Nguping, untuk tahu apa yang diucapkan pada orang lain. Misal buat akun facebook kloningan untuk tahu apa yang dibicarakan orang lain. Tajassus maknanya –mencari-cari aib orang lain. Membongkar, kemudian melakukan investigasi, penelitian, untuk megnetahui dan mendapatkan fakta berupa kejelekan dan keburukan yang ada pada orang lain. Termasuk dalam bentuk menyadap. Ini tajassus yang pada dasarnya dilarang, kecuali jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana tajassus nya KPK, ini pengecualian dari hukum. Dan penjelasan kedua tajassus, artinya adalah membongkar-bongkar yang tertutup dan tersembunyi. Yang paling sering ini dikatakan, untuk kejelekan. Oleh karena itu ada yang namanya jasus, orang  yang memata-matai musuh. Didefinikan sebagai ‘pemilik rahasia kejelakan’. Tahu aib, memegang rahasia tentang aib dan disampaikan pada orang yang membencinya. Kebalikannya adalah namus, adalah pemegang rahasia kebaikan. Oleh karena itu, ketika mendapat cerita nabi SAW, saat pertama kali mendapat wahyu, Waroqoh mengatakan, ‘hadza namuus,” Jibril disebut Waroqoh sebagai namus. Karena itu adalah wahyu, rahasia antara Allah dan nabinya. Ini adalah kebaikan, bukan kejelekan dan keburukan. Pendapat yang ketiga, mendefinisikan beda tajassus dan tahassus. Tajassus –mencari rahasia untuk disampaikan pada orang lain. Tahassus, mencari rahasia dan kejelekan orang lain untuk diri sendiri.


 ‘jadilah kalian orang orang yang bersaudara. Tanaafus maknanya menginginkan menjadi satu-satunya yang mendapatkan sesuatu. Menginginkan sesuatu yang diinginkan. Bersaing yang terlarang adalah berlomba dalam keinginan berkenaan dengan dunia dan sebab-sebab dunia, dan kenikmatan dunia.’  Maka tanaafus yang dianjurkan adalah tanaafus dalam amal soleh. Sebagaimana Umar menginginkan bersaing dengan amalnya Abu Bakr dalam bersedekah. 

#1 Fiqhul Hasad

Fiqhul Hasad. Pertemuan 1.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Pengertian Hasad
Hasad adalah suatu hal yang telah diketahui. Hasad /hasada-yahsidu/ dengki. Berangan-angan dan berharap agar berpindah pada dirinya nikmat/fadhilah yang dimiliki orang lain. Atau minimal, hilangnya dua hal tersebut dari orang lain. Meskipun tidak berpindah kepada dirinya. Maka hasad secara bahasa adalah berangan-angan agar nikmat dan kelebihan milik orang lain berpindah kepada dirinya.

Sebagaimana kata penyair, Anda lihat orang yang berakal, mereka adalah orang yang menjadi sasaran hasad. Padahal dia tidak melakukan kejahatan dengan mencaci maki orang lain. Namun kehormatannya menjadi caci maki orang. Sedang al Jauhari mengatakan, Hasad maknanya adalah ‘mengangankan hilangnya nikmat orang yang didengki untuk berpindah kepada Anda’.

Al Hafiz ibnu Hajar al Asqolany di Fathul Bari, ‘hasad adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari orang yang mendapat nikmat.’ Sebagian ulama mengkhususkan pekerjaan hasad dalam pengertian, dia berangan-angan agar nikmat itu hilang dan berpindah pada dirinya.’ namun kata Ibnu Hajar, ‘yang benar tidak khusus berpindah pada dirinya yang penting hilang, meskipun tidak berpindah pada dirinya.’

Banyak pendapat yang berbeda tentang pengertian hasad. Yang pertama, menginginkan nikmat hilang dari orang lain. Boleh jadi plusnya pada dirinya, atau tidak juga. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Pendapat lainnya, adalah menginginkan hilangnya nikmat orang lain dan berpindah pada orang lain.

An Nawawi mengatakan di Risalah Muslim, bahwasanya hasad terbagi dua macam. Hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari pemilik nikmat, dan ini adalah haram dengan ijma’ umat islam. Dan banyak dalil yang shahih menunjukkan hal ini. Kemudian, hasad majazi itulah yang disebut ghibthoh. Dan ghibthoh adalah berangan-angan mendapat nikmat, semisal yang didapatkan orang lain, tanpa hilangnya nikmat tersebut dari orang lain. Dan hukum hasad ghibthoh (kata an Nawawi) jika berkenaan dengan masalah dunia itu mubah. Jika berkenaan dengan ketaatan, itu dianjurkan –mustahab atau lebih dicintai.

Abu Abdillah al Kurtubi al Mufassir dalam tafsirnya, hasad ada dua macam. Terpuji dan tercela. Yang tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat dari seseroagn sesama muslim. Baik Anda berangan-angan agar berpindah kepada Anda, ataupun tidak. Dan hasad jenis ini adalah yang Allah cela. Berkenaan dengna orang Yahudi, Allah katakan, ‘apakah mereka hasad pada orang orang Yahudi pada nabi dan para sahabat, atas nikmat anugerah yagn Allah berikan pada nabi dan para sahabat.’ Dan hasad semacam ini tercela karena unsur di dalam hasad yaitu menggodo-godokan Allah (al haqq) karena secara langsung dikatakan, ‘ya Allah, salah engkaku memberikan nikmat pada dia, harusnya padaku’ menyalahkan Allah atas takdir yang diberikan. Maka orang yang hasad seakan-akan mengatakan salah memberikan nikmat pada orang lain. Maka ini sebab kenapa menjadi suatu hal yang tercela.

Ar Razi dalam Mafatihul Ghayr mengatakan ‘jika Allah memberikan nikmat pada seorang muslim lalu Anda menginginkan hilangnya nikmat tersebut, maka itulah yang disebut hasad. Namun jika Anda menginginkan untuk diri Anda, sekedar nikmat yang dimiliki orang lain, maka ini ghibthoh, bagian dari perlombaan dan persaingan. Hasad jenis pertama, apapun alasannya, hasad dalam pengertian hasad adalah haram, kecuali satu hal. Yakni manakala nikmat diberikan oleh ahli maksiat dan digunakan untuk kejahatan dan kerusakan, maka tidaklah mengapa seandainya ada keinginan hilangnya nikmat tersebut dari si kafir dan ahli maksiat. Karena dalam kondisi ini, Anda tidaklah menginginkan hilangnya bukan semata-mata nikmat. Namun menginginkan hilangnya nikmat dari sisi karena nikmat tersebut dijadikan sebagai alat, sarana kerusakan, kejahatan gangguan kezhaliman.

Definisi tambahan tentang hasad, disampaikan di kitab Amaratul Qulub wa Syifaauha. Ibnu Taimiyyah membawa sebagian pendapat tentang definisi hasad adalah gangguan yang didapatkan seseorang disebabkan mengetahui bagusnya keadaan orang yan gkaya. Sebagian orang mengatakan tentang definisi hasad adalah mengangan-angankan nikmat dari orang yang didengki, meskipun tidak berpindah kepada orang yang hasad. Ini berbeda dari ghibthoh. Karena ghibthoh adlah berangan-angan mendapat nikmat sebagaimana yang didapat orang lain, tanpa adanya keinginan hilangnya nikmat dari orang yang mendapat nikmat tersebut.

Kemudian kesimpulan dari Ibnu Taimiyyah dan hasil tela’ah untuk pengertian hasad, beliau katakan, ‘hasad itu hakikatnya adalah benci dan perasaan tidak suka dikarenakan dia melihat bagusnya keadaan orang yang dia dengki.’ Bahwasanya hasad adalah perasaan benci dan tidak suka yang ada di dalam hati, karena melihat bagusnya keadaan orang yang didengki. Kemudian di hati ada perasaan tidak suka. Maka ada perasaan tidak suka dari orang yang mendapat nikmat. Meskipun tidak sampai mengangankan hilangnya nikmat. Maka jika sampai menginginkan berpindahnya pada dirinya, itu sudah termasuk hasad yang lebih.

Yang kemudian, ini boleh jadi diikuti,  ‘kenapa ada perasaan tidak suka?’ karena dia merasa tidak pantas orang lain dapat nikmat tersebut. Dan nikmat tersebut terlalu mulia untuk dirinya. Itu sudah hasad. Misal, tidak pantas dia mendapat istri secantik itu. Tidak pantas dia mendapat istri secantik itu. Berpikiran sebatas demikian saja sudah hasad. Meskipun tidak sampai berpikir, ‘semoga cerai..’ karena rasa tidak suka dia bisa mendapatkan nikmat seperti itu. Tidak sampai harus berangan-angan mereka cerai.

Kemudian tentang masalah hasad ghibthoh, Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘dan hasad ini yang nabi SAW melarangnya, kecuali dalam dua kasus. Inilah yang disebut para ulama dengan sebutan ghibthoh, ingin mendapat nikmat sebagaimana nikmat yang didapatkan orang lain. Ke dalam ghibthoh, tidak suka ketika dia lebih unggul dibandingkan dirinya. Dalam hasad ghibthoh, terdapat unsur tidak suka orang lain lebih hebat dibandingkan dirinya.

Oleh karena itu, dikatakan Ibnu Taimiyyah, ini adalah hal yang dilarang, kecuali dalam dua kasus yang ada pengecualiannya dalam hadist.

Kembali ke fiqh hasad, tingkatan hasad. Para ulama menyebutkan, hasad memiliki beberapa tingkatan.

Tingkatan yang pertama (mengacu penjelasan Ibnu Taimiyyah) adalah perasaan tidak suka. Tidak suka melihat bagusnya keadaan orang yang didengki. Hasad yang levelnya rendah.

Level selanjutnya, adalah ketika seorang berkeinginan hilangnya nikmat dari orang lain, meskipun tidak berpindah pada dirinya. maka, keinginan yang paling besar adalah hilangnya nikmat tersebut dari orang  yang didengki. Inilah level hasad kedua.

Sementara level ketiga, yang paling besar dan keras celaannya. Lebih-lebih lagi jika angan-angan semacam ini diiringi aksi dan tindakan karena hasad ini.

Sebagaimana firman Allah di surat an Nisa, ‘jangan kalian angankan kelebihan sebagian dari kalian yang tidak didapatkan dari sebagian yang lain.’ Maka level yang paling tinggi adalah dia ingin nikmat tersebut hilang dari orang lain dan pindah ke dirinya. hanya sebatas keinginan. Dan level ketiga adalah diiringinya aksi nyata untuk nikmat tersebut hilang dari orang lain.


Hasad jenis ini, meskipun dia haram, dia lebih haram dibandingkan jenis pertama (tidak masalah saya tidak dapat, yang penting dia tidak dapat). 

Islam