Tampilkan postingan dengan label #kajian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #kajian. Tampilkan semua postingan

14 Mei 2016

Rukshah dalam Islam. Apa dan Bagaimana?

Kajian Dzuhur Majelis Ta’lim Tekomsel.
Rukshah dalam Islam. Apa dan Bagaimana?

Rukshah sering diterjemahkan dengan keringanan. Secara bahasa, kata-kata ini sering diterjemahkan sebagai ‘diberikannya izin untuk melakukan suatu perbuatan, padahal sebelumnya perbuatan itu dilarang.’ Awalnya perbuatan itu dilarang, setelah itu kemudian diizinkan. Tindakan diizinkan itu artinya memberi rukshah.

Secara istilah, al Imam al Ghazali menyebutkan bahwa rukshah adalah sebuah ‘perluasan.’ Memberikan perluasan kepada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu yang tadinya dilarang, Allah berikan keluasan karena adanya udzur syar’i –alasan yang kuat, dimana kita karena udzur itu tidak dapat mengerjakannya, yang sebelumnya ada sebab yang mengharamkan.

Dasar rukshah ini menarik. Karena ini juga menjadi pembeda agama kita (yang dibawa Muhammad SAW) dengan Islam juga (tapi yang dibawa nabi-nabi terdahulu).

Nabi Isa, islamkah? Musa juga Islam. Tetapi kenapa dikatakan nabinya orang kristen , nabinya orang Yahudi?

Semua nabi sebelum nabi Muhammad adalah Islam, agama yang dibawa pun juga Islam. Namun, karena karakteristik pensyariatan di masa lalu dan masa nabi Muhammad beda. Orang zaman dahulu tidak menyebut agamanya bukan Islam. Lantas, yang membedakan satu agama dengan agama lainnya apa? Nama bangsanya.

Jadi, dulu agama turun berdasarkan bangsanya (kaumnya). Nabi Musa, lahir di kaum Yahudi. Maka disebut agama Islam untuk kaum Yahudi. Namun jangan dikatakan di zaman sekarang, karena sudah banyak keluar dari asas yang paling dasar. Tapi kalau kita lihat dari masa lalu, semua nabi muslim. Dan memang kebetulan, semua nabi itu diutus berdasarkan kebangsaannya beliau. Hanya sayangnya bangsa Jawa dan Melayu tidak mendapat nabi. Akhirnya, kita pakai nabi yang universal saja. Kalau dulu, forum di zaman nabi Muhammad (sebut saja Abdullah) bertemu dengan orang di Palestina yang beragama Nasrani, tidak kompatibel. Karena agama Musa hanya diturunkan untuk orang Palestina saj. Dulu agama diturunkan sesuai bangsa dan tidak bisa saling tukar syariat. Di zaman nabi Muhammad, itu semua berakhir. Mau orang eropa atau asia. Agama dipakai untuk seluruh bangsa. Sehingga sekarang mengatakan orang Islam, kebangsaan eropa, jawa, melayu.

Yang membedakan agama Nabi Muhammad dan agama lainnya, salah satunya ada rukshoh. Bertebaran hampir di seluruh detail syariat, ada rukshohnya. Wudhu. Sholat. Puasa. Haji. Sampai muamalah pun ada rukshahnya. Ada keringanannya. Kenapa dikatakan ringan, karena dibandingkan umat terdahulu, tidak ada keringanan.

Contohnya, di surat al baqoroh, orang Yahudi jika berbuat dosa, taubatnya tidak diampuni, kecuali melakukan ritual. Bunuh diri. Faqudu ilaa baariikum faqtulu anfusakum. Jadi, syarat diterimanya taubat adalah bunuh diri. Agama nabi Muhammad, syarat diterimanya taubat ya menyesal, tidak sampai bunuh diri. Namun orang Yahudi, untuk diterima taubatnya harus bunuh diri. Dan ini tidak berlaku untuk diri kita.

Atau ada lagi, orang Yahudi di masa lalu, jika mereka tersentuh benda najis pada tubuhnya, tidak bisa disucikan. Kalau kita, bisa, tujuh kali dengan air, salah satunya dengan tanah. Orang Yahudi, tidak bisa disucikan. Sekali kena najis, dosa, dan tidak bisa disucikan. Harus dipotong bagian tubuh yang terkena najis.

Karenanya, Allah menginginkan dari kalian yang mudah, tidak suka melakukan yang susah. Oleh karena itu, reaksi wajarnya, merkea tdak bisa menjalankan agama sendiri kecuali mereka mengubah agamanya.

Jadi, misal orang Nasrani. Sholatnya lebih berat (aslinya). Kalau sekarang kita minum khamr, itu bukan rukshah. Itu karena mereka meninggalkan agamanya. Kalau kita lihat mungkin ada yang tidak mau minum khamr berjudi. Ini karena mereka membangkang, dan meninggalkan syariatnya. Sehingga demikian.

Kalau orang Islam, kita sebenarnya meninggalkan syariat, dan yang membuat syariat mengatakan, ‘tidak apa2, silahkan.’ sehingga rukshah dalam agama Islam menjadi ciri khas agama yang diturunkan nabi Muhammad dan agama yang diturunkan nabi lainnya.

***
Para ulama membagi yang namanya rukshah secara hukumnya, ada rukshah yang wajib untuk dilakukan. Keringanan dari Allah yang buat kita hukumnya wajib. Sunnah. Mubah. Dan makruh.

      1.       Wajib.
Orang dalam keadaan kelaparan mau mati di tengah padang pasir. Tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai ular. Ular hidup saja, kita makan tidak boleh. Apalagi bangkai. Berarti haramnya dua kali lipat. Tetapi ketika kita tidak bisa meneruskan hidup kecuali jika makan. Dan kali ini diberikan rukshah, wajib untuk makan bangkai. Wajib harus dikerjakan, agar orang tidak mati.

      2.       Sunnah.
Ada dua pilihan, namun lebih utama ambil yang rukshohnya. Seperti musafir yang jika dia sudah memenuhi syaratnya, perjalanan melewati jarak dilaluinya qashar. Kebanyakan ulama mengatakan dia boleh mengqashar. Maka, lebih baik jama’ ashar dibandingkan tidak usah. Ini jenis keringanan yang sifatnya sunnah.  Namun dalam konteks safar, Rasulullah lebih sering menjama’ shalatnya, sehingga para ulama mengatakan sunnahnya menjama’. Namun, yang ingin shalat biasa, juga tidak dosa.

Contoh yang lain ialah musafir di bulan Ramadhan. Mana yang lebih utama, dia membatalkan puasa, atau terus berpuasa. Dilihat kasusnya. Jika masyaqqahnya lebih tinggi. Jika dalam perjalanan, dia bisa mabok dsb, dia lebih baik tidak berpuasa. Namun jika Jakarta-Surabaya. Satu jam perajalanan, nggak apa-apa. Jadi lebih afdhal lanjut berpuasa.

Contoh yang lain. Nabi tinggalnya di madinah, yang jika dilihat dari letak geografis, posisinya lintang utara. Ada musim panas dan dingin. Jika masuk musim panas, bisa sampai 50 dercel. Di masa Rasul, jika panas demikian, diberikan keringanan, bahwa shalat zhuhur tidak perlu diawal waktu. bahkan jadi makruh. Afdhalnya diundur. Tunggu sampai udara lebih dingin, katakanlah jam setengah tiga. Sehingga afdhalnya shalat zhuhur beliau jam setengah tiga. Hal ini tertulis di Shahih Bukhari Muslim. Dan ini lebih utama dibandingkan di bawah terik matahari. Namun, kajian fiqhnya, hal itu terjadi di Madinah yang panasnya demikian. Apakah hal itu lantas terjadi di Indonesia?

Contoh lain. Melihat muka calon istri. Aslinya tidak boleh, tetapi jika melihat sekilas, tidak masalah, karena wajah itu bukan aurat. Tapi jika melotot, itu tidak boleh. Namun ada rukshah jika calonya yang mantap.  Pernah di zaman nabi, ada sahaabt menjumpai nabi dan mengatakan ada calonnya. Dikatakan beliau tsiqoh saja, namun nabi membantah, “lihat dulu wajahnya. Bisa jadi semakin mantap ataupun agak ragu. Mumpung belum lebih lanjut”. Sehingga rukshahnya dilihat dulu.

      3.       Mubah.
Boleh. Tidak masalah memilih yang manapun. Contohnya, banyak dalam masalah muamalah.

Contohnya, jual beli secara salam. Kasus di masa nabi, banyak pedagang kurma yang datang kepada petani dan mengatakan, ‘wahai petani, saya butuh kurma. Saya berikan uangnya, dan anda serahkan saat panen.’ Sehingga saat akad, pohonnya belum ada kurma maupun bunganya. Ini jual beli yang dibolehkan. Aslinya kan, jual beli yang belum ada barangnya kan tidak boleh. Namun, diperbolehkan nabi. Karena akad salam, akad yang dilakukan bukan yang dilihat itu ada apa. Namun sifatnya sama seperti kredit. Barangnya dikasih duluan, bayarnya belakangan. Jual beli dengan cara menghutang, boleh. Mahar pun juga boleh.  Jual beli salam, terbalik. Uangnya tunai, barangnya belakangan.

Dan hal ini sudah sering kita lakukan tiap hari. Pergi haji bayar dulu, berangkatnya masih jauh –nanti. Karena kalau beli nanti, harganya mahal. Karenanya bayarnya sekarang. Aslinya tidak boleh, namun khusus untuk akad salam ini, dibolehkan.
Sekarang, kita pakai atau tidak pakai akad salam, terserah. Itu rukshah yang Allah kasih, hukumnya terserah. Mubah.

Contoh yang lain, sayembara. Aslinya, sayembara itu tidak boleh, karena seperti judi. Namun, sayembara berbeda dengan judi. Kalau judi, saya pemain judi, lawan saya pemain judi. Kita sama-sama bertaruh, saya dan dia keluar uang 100rb dengan kesepakatan, yang menang boleh ambil uang lawannya. Sebut saja taruhan uang pancong. Maka itu haram. Jika sayembara, yang bertarung satu orang saja, yang lain tidak. Misalnya ini duit saya 100rb, kalahkan saya. Kalau saya kalah, silahkan ambil uang saya. Jika menang, ini uang tetap punya saya. Dan sayembara ini, aslinya diharamkan, namun karena ada bberapa rukun yang tidak dijalankan, maka ini tidak diharamkan.

      4.       Makruh.
Ini keringanan juga, namun sebaiknya jangan dipakai.
Contohnya seperti orang yang dalam keadaan musafir, dia tidak merasa lapar dan tidak merasa haus, tidak merasa kelelahan. Tetapi karena dia musafir, sebagai musafir sudah berhak makan minum. Namun, pertimbangannya, lebih baik mana? Illat (alasan) kebolehan orang berbuka puasa itu bukan masyaqqotnya, tapi safarnya.  Maka siapa saja yang memenuhi ketentuan safar, dia boleh berbuka puasa. Berat atau tidak berat. Jadi, ukurannya bukan berat –tidak berat, namun syaratnya bukan berat tidak berat, tapi safarnya.  Memang asal muasal ketika disyariatkan karena berat. Namun setellah dikodifisikasi  menjadi hukum positif, syaratnya bukan karena berat tidak berat, tapi safar itu sendiri. Tapi kasusnya begini, saya musaffir, dan saya tidak merasa berat. Maka sebaiknya saya tidak mengambil keringanan ini.

**
Q.A

Q. puasa sunnah, mendapat undangan makan. Apa sebaiknya kita buka atau tidak?
A. Kalau puasa sunnah, bebas. Kita mau teruskan sunnah atau membatalkan. Namun, afdhalnya, jika puasanya dari ashar, tidak. Karena rugi. tetapi jika undangannya pagi, silahkan saja memenuhi undangannya.  Kalau ditanya yang mana yang lebih baik,  hitung-hitung saja menurut kita. Misal kita lama nggak puasa sunnah, dan mau puasa nih. Ternyata dapat undangan. Karena susah cari waktunya lagi nih. Ya sudah bismillah, puasa saja deh. Kecuali jika alasannya begini. Kita bisa puasa kapan saja, ada hajatan teman. Kita datang  untuk memamerkan

Q. yang membuat orang boleh tidak sholat jumat?
A. yang pertama, dia bukan laki-laki. Perempuan boleh tidak sholat jumat. Atau sholat jumat jam 2, boleh. Dan tidak perlu sholat zhuhur lagi. Yang kedua, belum baligh. Yang ketiga, mukim. Orang yang musaffir tidak punya kewajiban sholat jumat. Yang keempat, orang sakit. Yang kelima, budak. Orang yang merdeka, wajib sholat jumat.
Hujan, tetap wajib. Kewajiban ini sesuai kemampuan. Kita berusaha sholat masjid. Tapi ternyata tergenang air. kalau mau ke masjid tergenang air dulu. Itu kan keadaan yang tidak harus. Banjirnya yang membuat diperbolehkan, bukan hujannya. Atau terlambat, itu sudah tidak bisa lagi sholat jumat. Tapi wajib sholat zhuhur.

Q. ada yang mengatakan, jika lebaran di hari jumat, maka tidak ada kewajiban sholat jumat setelah pagi nya sholat ied?
A. hari raya idul fitri atau idul adha, maka siapa saja yang melakukan sholat idul fitri dan idul adha maka dia tidak wajib lagi sholat jumatnya. Ini ikhtilaf di antara para ulama. Yang dikaksih rukshoh bukan semua orang islam. Tetapi memang yang mereka itu aslinya tidak wajib sholat jumat. Siapa? Orang islam, sahabat nabi, yang tinggalnya di padang pasir (nomaden). Hari ini dia di sana. Hari esok bukan di sana lagi, mengikuti hewan buruannya. Orang seperti itu, memang aslinya tidak wajib sholat jumat. Kalau orang seperti mereka pagi lebaran ikut sholat idul fitri. Kemudian mereka lebaran ke rumah rasul. Minta izin tidak sholat jumat karena tidak tinggal di sana. Dari segi syarat itu bukan tempat tinggal. Status mereka seperti musafir. Rasul berkata, ‘silahkan kalian tidak sholat jumat, tetapi kami sholat jumat.’ Karena sholat jumat diwajibkan untuk para mukallaf. Tidak bisa dijatuhkan dalil itu oleh sebuah hadist, selama ada dalil yang lain (QS. al-jum’ah : 9)

Q. Dari Arofah sampai Mina, sholat di qashar. Kalau kita ikut perjalanan dinas, berapa lama yang boleh sholat mengqoshor sholat?

A. Para ulama bicara batas berapa lama boleh di jama’ dan qoshor, semua mengacu pada kejadian yang di masa nabi ketika nabi pergi haji, kejadian 10 H dan kejadiannya unik. Beliau datang dari Madinah ke Makkah, kemudian haji 4 hari 9, 10, 11, dan 12 setelah itu beliau tetap tinggal di Makkah. Yang menarik, selama empat hari, beliau jama-qashar terus. Namun setelah itu, beliau tetap tinggal di Makkah dan tidak jama’ qashar. Kemudian para ulama menarik kesimpulan, batas jama’ qashar seseorang jika dia mendiam dalam tempat itu adalah empat hari.

7 Mei 2016

#2 Fiqhul Hasad

Fiqhul Hasad. Pertemuan 2.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Keterangan tambahan berkenaan dengan definisi hasad, dari bahasa arab diambil dari kata mausu’ah nadhrotun na’im. Disebutkan bahwasanya makna asal dari hasad adalah menguliti, mengelupas kulit. Hasad diambil dari kata benda –hasdal yang maknanya adalah kutu penghisap darah yang ada pada hewan. Maka hasad itu disebut hasad karena hasad itu mengelupaskan hati. Menyebabkan terkelupasnya hati dan demikianlah keadaan orang yang dengki. Semakin ia dengki, semakin rusak hatinya. Sebagaimana kutu mengelupas satu kulit lalu dia hisap darahnya. Maka demikianlah keadaan hati dari orang yang terjangkit penyakit hasad.

Kemudian, disampaikan kemarin definisi hasad bahwa makna pokok pengertian hasad adalah al burdu wal karohah. Namun, jika membaca para pakar bahasa arab yang dikutip dalam fiqh hasad tentang pengertian hasad, tidak ada yang membawa ke makna al burudu wal karohah. Namun di sini kita jumpai perkeataan para ulama yang menunjukkan bahwasanya hasad berkaitan erat dengan ketidaknyamanan hati.

Makna hasad an ni’mat bagi al Fayumi. Hasad terhadap nikmat adalah manakala Anda tidak menyukai nikmat tersebut pada orang lain dan berangan-angan nikmat itu hilang darinya. Al Fayumi menyampaikan, hasad secara bahasa ada unsur karohah. Ini yang menjadi dasar Ibnu Taimiyyah untuk merajihkan makna hasad adalah al burduwal karohah –keadaan hati yang benci dan tidak suka karena baiknya keadaan orang yang didengki. Karenanya kita jumpai dari perkataan al Fayumi (meski Fayumi menambahkan) berangan-angan nikmat itu hilang darinya.


Bentuk-bentuk Hasad
Yang kelima adalah seorang mengangankan pada dirinya, nikmat yang didapatkan orang lain. Jika nimat tersebut tidak terjadi pada dirinya, dia tidak mengangankan hilangnya nikmat tersebut dari orang lain. Maka termasuk hasad jenis ini disebut ghibthoh  dan hukumnya tidak mengapa. Dan ghibthoh dekat dari munafasah –bersaing dalam masalah kebaikan. Dan Allah Ta;ala memerintahkan untuk tanafus –bersaing dalam kebaikan, untuk mendapat surga maka hendaklah bersaing.

Tidak ada hasad itu ghibthoh kecuali dengan dua orang. Maka hasad ini adalah ghibthoh dan yang mendorong orang memiliki ghibthoh adalah orang yag berjiwa besar, menginginkan hal-hal yang besar. Bukan berjiwa kecil yang meginginkan hal-hal sepele. Karena dia menginginkan hal yang baik dalam dirinya dan berkeinginan untuk menyerupai orang-orang yang memiliki sifat-sifat baik. Dan karena dia ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan, dan orang yang mendapat level yang tinggi dalam kebaikan. Orang yang terbakar untuk mengerjakan dan mendapatkan kebaikan. Bukan orang yang berada di belakang. Maka, muncullah dalam orang tersebut semangat untuk bersaing, menjadi yang paling dahulu, paling cepat ditambah dia tetap menginginkan dan mencintai orang yang dia ghibthoh padanya. Tetap berangan dan berharap langgengnya nikmat pada orang tersebut.

Keterangan tambahan yang Allah sampaikan pada orang yang hasad, ‘ya Allah aku berlindung dari kejahatan orang yang hasad, manakala dia dalam kondisi yang hasad. Karena boleh jadi seorang memiliki hasad namun dia sembunyikan. Dan hasad tersebut tidaklah berdampak gangguan dalam bentuk apapun. tidak mengganggu dan menzhalimi orang yang dia dengki dengan hatinya, tidak pula dengan lidah dan tangannya. Namun, dia jumpai dalam hatinya ada hasad, namun secara lahiriyah, dia tidaklah bersikap kepada orang yang dia dengki tersebut kecuali dengan sifat yang Allah cintai. Maka hasad adalah suatu rasa yang muncul dalam hati, hampir-hampir tiada seorang pun yang selamat darinya. Kecuali orang yang betul-betul istimewa sampai-sampai di hati pun tidak muncul perasaan hasad.

Maka hampir-hampir orang tidak ada yang terbebas dari hasad, sebagaimana perkataan ibnu Taimiyyah, ‘hampir-hampir tidak ada raga yang terbebas dari hasad. Akan tetapi orang yang mulia, dia sembunyikan hasadnya. Disingkrikan. Dibuang. Hasad yang muncul dalam hatinya. Akan tetapi orang yang celaka yang hina, ialah hasad yang berbuah kezhaliman dengan hatinya berbagai macam buruk sangka dengan lisan ataupun perbuatannya.’

Maka orang yang mulia adalah orang yang timbul dalam dirinya hasad namun dia sembunyikan. Hasad tersebut tidak berdampak apapun pada dirinya. bahkan dia menyikapi orang tersebut dengan sikap yang Allah cintai.

Oleh karena itu, ada orang yang bertanya  pada Hasan al Bashri, ‘apakah seorang mukmin itu mengalami hasad?’ Maka jawaban Hasan al Bashri, ‘betapa engkau lupa dengan saudara-saudara Yusuf. Mereka adalah orang yang beriman, anak dari nabi Allah, dididik oleh nabi. Namun, ada hasad pada diri mereka. Oleh karena itu sangat boleh terjadi orang beriman memiliki hasad.’

Dalam teks lain, Hasan al Bashri ini ada lanjutannya. Ketika seorang bertanya, ‘apakah seorang mukmin mengalami hasad?’. Maka dijawab oleh beliau, ‘betapa engkau dengan anak-anak Ya’qub. Namun sembunyikanlah hasad itu dalam dadamu. Jika kau sembunyikan dalam dada dan hatimu, maka itu tidaklah membahayakan hatimu. Selama tidak berdampak berupa kezhaliman yang dilakukan oleh tangan dan oleh lisan.’ Demikian teks dalam Ihya Ulumuddin.

Akan tetapi, bedakan. Antara potensi hasad yang ada dalam hati seseorang dari hasad, namun orangnya tidak mau mentaati bisikan atau ajaran hasad yang muncul dari hatinya. Dia tidak melaksanakan perintah hasad dalamhatinya. Dia durhakai perintah hasad dalam dirinya karena merasa malu pada Allah dan dalam rangka memuliakan Allah. Dia malu membenci suatu nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. Maka dia berpandangan bahwasanya hasad ialah menyelisihi Allah SWT dan ia berusaha untuk berjihad melawan dirinya sendiri untuk menyingkirkan hasad. Bahkan dia paksa dirinya supaya tidak memiliki hasad. Supaay hasad tidak berkelanjutan, dia paksa dirinya untuk mendoakan kebaikan pada orang yang dia dengki. Dia munculkan keinginan dan harapan agar orang yagn didengki tersebut semakin bertambah nikmatnya.

Ini adalah hasad yang terjadi pada orang mukmin. Muncul di hati, namun tidak ditaati. Bahkan didurhakai ajakan si hasad. Dia lawan dirinya, berjihad melawan dirinya sendri agar menyingkirkan hasad dalam hatinya, memarjinalkan dan meminggirkan hasad. Bahkan ketika hasad pada seseorang, dia rajin mendoakan orang tersebut. Ketika muncul dalam dirinya hasad pada seseorang, maka di tengah malam, antara adzan dan iqomah, dia sampaikan doa yang spesial pada orang yang didengki untuk Allah menambahkan nikmat pada dirinya.

Lain halnya dengan hasad yang terjadi pada manusia yang hina. Maka, dia wujudkan hasadnya. Dan dia dengki dengannya. Dan dia munculkan dari hasadnya tersebut, dia laksanakan konsekuensinya, berupa menyakiti dan mengganggu orang yang dia dengki dengan hati, lisan, dan anggota tubuhnya. Kata Ibnul Qayyim, inilah hasad yang tercela. Dan ini semua hasad dalam bentuk –hilangnya nikmat dari orang lain.’

Beliau melanjutkan bahwasanya hasad ada tiga macam (pembagian dari Ibnul Qayyim).

    (1)    Mengangankan hilangnya nikmat dari orang lain. Berharap tetangganya yang kaya, kebakaran. Tetangganya yang bisnisnya maju kena tipu. Hasad dan dengki pada suatu yang sudah nyata pada orang lain, dan dia iri akan hal itu. Ini adalah hasad yang sudah real, nikmatnya sudah nyata dalam orang lain.

     (2)    Berangan –angan bertahannya ketiadaan  nikmat pada orang lain. Dia berharap agar orang yang bodoh itu terus bodoh. Orang yang miskin itu terus miskin. Yang maknanya adalah dia membenci Allah munculkan pada seorang hambanya sebuah nikmat. Orang yang hasad ini menginginkan agar orang lain ini tetap dalam keadannya. Dia bodoh, dia lemah, berkeping-keping hatinya agar galau, jauh dari Allah SWT (karena itulah sebab galau seorang, karena mengingat Alah adalah salah satu ketenangan hati). Atau tidak banyaknya taqwa pada Allah, tetap menjadi ahli maksiat. Maka hasad yang keduanya ini orangnya berangan-angan langgengnya keadaan orang lain yang tidak sempurna dan jelek. Ini adalah hasad untuk sesuatu yang belum terjadi. Yang masih diandai-andaikan. Yang statusnya baru mungkin untuk terjadi.

Dua-duanya adalah dimurkai Allah SWT dan dimusuhi manusia. Orang semacam ini selamanya tidak akan menjadi pimpinan dan panutan, ditokohkan dalam masyarakat. Dan tidak akan ditolong. Karena masyarakat tidak akan menokohkan, kecuali orang-orang yang dilihat mereka ini ingin berbuat baik pada lingkungan dan masyarakatnya. Adapun orang yang ingin jadi musuh Allah, masyarakat tidak akan menokohnya jika itu tanpa paksaan. Kecuali dipaksa agar dia ditokohkan. Maka dia pun akan menjadi tokoh dalam masyarakat, namun masyarakat akan menilai, kalau orang yang punya hasad ini jadi tokoh, maka ini adalah bala untuk lingkungannya dan musibah yang Allah timpakan pada mereka dengannya. Sehingga, mereka pun tetap membencinya. Dan dia pun, karena hasad, membenci dirinya.

     (3)    Hasad jenis ketiga adalah ghibthoh, berangan memiliki keadaan seperti orang yang dia dengki, tanpa hilangnya nikmat tersebut pada orang lain. Ini tidak tercela. Bahkan ini dekat dengan bersaing, yang Allah perintahkan dalam firmannya. ‘wa fii dzalika fal yatanaafasil mutanafisun’ dan hasad ghibthoh terdapat dalam di hadist shahih, keinginan nikmat sebagaimana didapatkan orang lain, yakni dua hal, ‘orang yang mendapat nikmat dari Allah,d ia paksa dirinya untuk membelanjakan hartanya untuk kebaikan. Dan orang yang berilmu, memutuskan sengketa di sekelilingnya, dan dia ajarkan pada orang lain.’ Ini adalah hasad ghibthoh, dan yang mendorong hasad seperti ini adalah karena dia berjiwa besar, menginginkan hal hal yang besar yang ingin menyerupai mereka dan masuk dalam golongan mereka. Ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan dan tertinggi dalam kebaikan, dan bukan orang yang belakangan. Maka muncullah dari keinginan ini, bersaing. Berlomba menjadi orang yang terdahulu dan paling bersegera. Dia diiringi dengan mencintai orang yang dia iri dan ghibthoh dengannya. Dia berangan-angan langgengnya nikmat orang. Maka hasad ini tidak termasuk yang mencela hasad dari sisi manapun.


Larangan untuk Saling Hasad
Rasulullah SAW mealrang umatnya untuk saling hasad. Sebagaimana hadist shahih muslim, Rasulullah bersabda, ‘hati-hatilah kalian pada prasangka, yaitu buruk sangka tanpa ada alasan untuk berburuk sangka padanya. Karena orang tersebut zhahirnya adalah orang baik. Karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan, atau perkataan yang dusta. Janganlah kalian tahassus, jangan pula kalian tajassus.

Tentang maknanya, kutipan an Nawawi. Tahassus adalah –mendengarkan pembicaraan orang lain. Nguping, untuk tahu apa yang diucapkan pada orang lain. Misal buat akun facebook kloningan untuk tahu apa yang dibicarakan orang lain. Tajassus maknanya –mencari-cari aib orang lain. Membongkar, kemudian melakukan investigasi, penelitian, untuk megnetahui dan mendapatkan fakta berupa kejelekan dan keburukan yang ada pada orang lain. Termasuk dalam bentuk menyadap. Ini tajassus yang pada dasarnya dilarang, kecuali jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana tajassus nya KPK, ini pengecualian dari hukum. Dan penjelasan kedua tajassus, artinya adalah membongkar-bongkar yang tertutup dan tersembunyi. Yang paling sering ini dikatakan, untuk kejelekan. Oleh karena itu ada yang namanya jasus, orang  yang memata-matai musuh. Didefinikan sebagai ‘pemilik rahasia kejelakan’. Tahu aib, memegang rahasia tentang aib dan disampaikan pada orang yang membencinya. Kebalikannya adalah namus, adalah pemegang rahasia kebaikan. Oleh karena itu, ketika mendapat cerita nabi SAW, saat pertama kali mendapat wahyu, Waroqoh mengatakan, ‘hadza namuus,” Jibril disebut Waroqoh sebagai namus. Karena itu adalah wahyu, rahasia antara Allah dan nabinya. Ini adalah kebaikan, bukan kejelekan dan keburukan. Pendapat yang ketiga, mendefinisikan beda tajassus dan tahassus. Tajassus –mencari rahasia untuk disampaikan pada orang lain. Tahassus, mencari rahasia dan kejelekan orang lain untuk diri sendiri.


 ‘jadilah kalian orang orang yang bersaudara. Tanaafus maknanya menginginkan menjadi satu-satunya yang mendapatkan sesuatu. Menginginkan sesuatu yang diinginkan. Bersaing yang terlarang adalah berlomba dalam keinginan berkenaan dengan dunia dan sebab-sebab dunia, dan kenikmatan dunia.’  Maka tanaafus yang dianjurkan adalah tanaafus dalam amal soleh. Sebagaimana Umar menginginkan bersaing dengan amalnya Abu Bakr dalam bersedekah. 

#1 Fiqhul Hasad

Fiqhul Hasad. Pertemuan 1.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.

Pengertian Hasad
Hasad adalah suatu hal yang telah diketahui. Hasad /hasada-yahsidu/ dengki. Berangan-angan dan berharap agar berpindah pada dirinya nikmat/fadhilah yang dimiliki orang lain. Atau minimal, hilangnya dua hal tersebut dari orang lain. Meskipun tidak berpindah kepada dirinya. Maka hasad secara bahasa adalah berangan-angan agar nikmat dan kelebihan milik orang lain berpindah kepada dirinya.

Sebagaimana kata penyair, Anda lihat orang yang berakal, mereka adalah orang yang menjadi sasaran hasad. Padahal dia tidak melakukan kejahatan dengan mencaci maki orang lain. Namun kehormatannya menjadi caci maki orang. Sedang al Jauhari mengatakan, Hasad maknanya adalah ‘mengangankan hilangnya nikmat orang yang didengki untuk berpindah kepada Anda’.

Al Hafiz ibnu Hajar al Asqolany di Fathul Bari, ‘hasad adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari orang yang mendapat nikmat.’ Sebagian ulama mengkhususkan pekerjaan hasad dalam pengertian, dia berangan-angan agar nikmat itu hilang dan berpindah pada dirinya.’ namun kata Ibnu Hajar, ‘yang benar tidak khusus berpindah pada dirinya yang penting hilang, meskipun tidak berpindah pada dirinya.’

Banyak pendapat yang berbeda tentang pengertian hasad. Yang pertama, menginginkan nikmat hilang dari orang lain. Boleh jadi plusnya pada dirinya, atau tidak juga. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Pendapat lainnya, adalah menginginkan hilangnya nikmat orang lain dan berpindah pada orang lain.

An Nawawi mengatakan di Risalah Muslim, bahwasanya hasad terbagi dua macam. Hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari pemilik nikmat, dan ini adalah haram dengan ijma’ umat islam. Dan banyak dalil yang shahih menunjukkan hal ini. Kemudian, hasad majazi itulah yang disebut ghibthoh. Dan ghibthoh adalah berangan-angan mendapat nikmat, semisal yang didapatkan orang lain, tanpa hilangnya nikmat tersebut dari orang lain. Dan hukum hasad ghibthoh (kata an Nawawi) jika berkenaan dengan masalah dunia itu mubah. Jika berkenaan dengan ketaatan, itu dianjurkan –mustahab atau lebih dicintai.

Abu Abdillah al Kurtubi al Mufassir dalam tafsirnya, hasad ada dua macam. Terpuji dan tercela. Yang tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat dari seseroagn sesama muslim. Baik Anda berangan-angan agar berpindah kepada Anda, ataupun tidak. Dan hasad jenis ini adalah yang Allah cela. Berkenaan dengna orang Yahudi, Allah katakan, ‘apakah mereka hasad pada orang orang Yahudi pada nabi dan para sahabat, atas nikmat anugerah yagn Allah berikan pada nabi dan para sahabat.’ Dan hasad semacam ini tercela karena unsur di dalam hasad yaitu menggodo-godokan Allah (al haqq) karena secara langsung dikatakan, ‘ya Allah, salah engkaku memberikan nikmat pada dia, harusnya padaku’ menyalahkan Allah atas takdir yang diberikan. Maka orang yang hasad seakan-akan mengatakan salah memberikan nikmat pada orang lain. Maka ini sebab kenapa menjadi suatu hal yang tercela.

Ar Razi dalam Mafatihul Ghayr mengatakan ‘jika Allah memberikan nikmat pada seorang muslim lalu Anda menginginkan hilangnya nikmat tersebut, maka itulah yang disebut hasad. Namun jika Anda menginginkan untuk diri Anda, sekedar nikmat yang dimiliki orang lain, maka ini ghibthoh, bagian dari perlombaan dan persaingan. Hasad jenis pertama, apapun alasannya, hasad dalam pengertian hasad adalah haram, kecuali satu hal. Yakni manakala nikmat diberikan oleh ahli maksiat dan digunakan untuk kejahatan dan kerusakan, maka tidaklah mengapa seandainya ada keinginan hilangnya nikmat tersebut dari si kafir dan ahli maksiat. Karena dalam kondisi ini, Anda tidaklah menginginkan hilangnya bukan semata-mata nikmat. Namun menginginkan hilangnya nikmat dari sisi karena nikmat tersebut dijadikan sebagai alat, sarana kerusakan, kejahatan gangguan kezhaliman.

Definisi tambahan tentang hasad, disampaikan di kitab Amaratul Qulub wa Syifaauha. Ibnu Taimiyyah membawa sebagian pendapat tentang definisi hasad adalah gangguan yang didapatkan seseorang disebabkan mengetahui bagusnya keadaan orang yan gkaya. Sebagian orang mengatakan tentang definisi hasad adalah mengangan-angankan nikmat dari orang yang didengki, meskipun tidak berpindah kepada orang yang hasad. Ini berbeda dari ghibthoh. Karena ghibthoh adlah berangan-angan mendapat nikmat sebagaimana yang didapat orang lain, tanpa adanya keinginan hilangnya nikmat dari orang yang mendapat nikmat tersebut.

Kemudian kesimpulan dari Ibnu Taimiyyah dan hasil tela’ah untuk pengertian hasad, beliau katakan, ‘hasad itu hakikatnya adalah benci dan perasaan tidak suka dikarenakan dia melihat bagusnya keadaan orang yang dia dengki.’ Bahwasanya hasad adalah perasaan benci dan tidak suka yang ada di dalam hati, karena melihat bagusnya keadaan orang yang didengki. Kemudian di hati ada perasaan tidak suka. Maka ada perasaan tidak suka dari orang yang mendapat nikmat. Meskipun tidak sampai mengangankan hilangnya nikmat. Maka jika sampai menginginkan berpindahnya pada dirinya, itu sudah termasuk hasad yang lebih.

Yang kemudian, ini boleh jadi diikuti,  ‘kenapa ada perasaan tidak suka?’ karena dia merasa tidak pantas orang lain dapat nikmat tersebut. Dan nikmat tersebut terlalu mulia untuk dirinya. Itu sudah hasad. Misal, tidak pantas dia mendapat istri secantik itu. Tidak pantas dia mendapat istri secantik itu. Berpikiran sebatas demikian saja sudah hasad. Meskipun tidak sampai berpikir, ‘semoga cerai..’ karena rasa tidak suka dia bisa mendapatkan nikmat seperti itu. Tidak sampai harus berangan-angan mereka cerai.

Kemudian tentang masalah hasad ghibthoh, Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘dan hasad ini yang nabi SAW melarangnya, kecuali dalam dua kasus. Inilah yang disebut para ulama dengan sebutan ghibthoh, ingin mendapat nikmat sebagaimana nikmat yang didapatkan orang lain. Ke dalam ghibthoh, tidak suka ketika dia lebih unggul dibandingkan dirinya. Dalam hasad ghibthoh, terdapat unsur tidak suka orang lain lebih hebat dibandingkan dirinya.

Oleh karena itu, dikatakan Ibnu Taimiyyah, ini adalah hal yang dilarang, kecuali dalam dua kasus yang ada pengecualiannya dalam hadist.

Kembali ke fiqh hasad, tingkatan hasad. Para ulama menyebutkan, hasad memiliki beberapa tingkatan.

Tingkatan yang pertama (mengacu penjelasan Ibnu Taimiyyah) adalah perasaan tidak suka. Tidak suka melihat bagusnya keadaan orang yang didengki. Hasad yang levelnya rendah.

Level selanjutnya, adalah ketika seorang berkeinginan hilangnya nikmat dari orang lain, meskipun tidak berpindah pada dirinya. maka, keinginan yang paling besar adalah hilangnya nikmat tersebut dari orang  yang didengki. Inilah level hasad kedua.

Sementara level ketiga, yang paling besar dan keras celaannya. Lebih-lebih lagi jika angan-angan semacam ini diiringi aksi dan tindakan karena hasad ini.

Sebagaimana firman Allah di surat an Nisa, ‘jangan kalian angankan kelebihan sebagian dari kalian yang tidak didapatkan dari sebagian yang lain.’ Maka level yang paling tinggi adalah dia ingin nikmat tersebut hilang dari orang lain dan pindah ke dirinya. hanya sebatas keinginan. Dan level ketiga adalah diiringinya aksi nyata untuk nikmat tersebut hilang dari orang lain.


Hasad jenis ini, meskipun dia haram, dia lebih haram dibandingkan jenis pertama (tidak masalah saya tidak dapat, yang penting dia tidak dapat). 

5 Mei 2016

Nasehat dalam Beragama Islam

Kajian Umum @Masjid Kampus UGM. 18 April 2016.


Demikian hubungan antara suami-istri, hendaklah saling menyembunyikan aib pasangannya, dan menjaga hati di antaranya. ‘Barang siapa yang bicara dengan ucapan yang menyebabkan terhisabnya suami istri, dia akan mendapatkan dosa dari Allah SWT’

Demikian pula kekerabatan antara kita. Mereka punya hak kekerabatan yang harus dipenuhi. Allah memerintahkan untuk menyambung tali silaturrahmi. ‘dan menyembahlah pada Allah, berbuat baik pada kerabat.’ Jaga silaturrahmi dengan ucapan baik. Nabi bersabda, ‘tidak masuk surga orang yang mengadu domba.’

Demikian pula hubungan yang dijalin antar tetangga, dibangun berlandaskan cinta dan kasih sayang.

Dan menjaga hubungan pertemanan

Demikian pula, diantara kezaliman ucapan adalah pembangkangan pada pemerintah. Padahal, sehendaknya tetap tunduk pada perintah pemimpin, selama tidak meninggalkan syarat Islam. Adapun orang  yang menghasut pada pembangkangan terhadap hukum syariat adalah perbuatan maksiat.

Adapun, ucapan yang memancing orang lain menertawakan muslim. “Celakalah orang yang mencela manusia. Waspadalah pada ucapan orang lain yang bisa menyebabkan orang menertawakan muslim lainnya. Ini haram. Karena seharusnya antar muslim saling tolong menolong dan bersaudara.’

Kerajaan Saudi mencintai Indonesia sebagaimana Islam di Indonesia dijalani dengan qana’ah. Artinya, penyebaran agama Islam di Indonesia dengan qana’ah pada tempatnya. Saya sampaikan ini karena, ketika seorang muslim mencintai saudaranya, hendaklah disampaikan kecintaan itu pada saudaranya bahwa, “aku mencintaimu karena Allah,”

Adapun saya sampaikan beberapa sifat-sifat untuk mendapatkan surga firdaus tertinggi;
           (a)    Sesungguhnya orang iman beruntung. Yang khusyu’ dalam sholatnya,
           (b)   Yang jauh dari sesuatu yang sia-sia yang tidak ada manfaat sama sekali. Perkataan,                       ucapan, tindakan,
           (c)    Yang menunaikan zakat,
           (d)   Yang menjaga kehormatan kemaluan mereka, kecuali pada pasangannya,
           (e)   Yang menjaga pelaksanaan amanat. Menjaga dan menunaikan janji,
           (f)     Yang senantiasa menjaga shalat.
Merekalah orang-orang yang mewarisi surga firdaus dan kekal selama-lamanya.

Q.A session

Q. saya diundang makan oleh saudara saya yang murtad. Salahkah saya?
A. saudara yang murtad adalah kerabat dan mereka mempunyai hak. Nabi pernah pula mendatangi          kerabat orang kafir. Hendaknya kita ketahui sebab murtadnya. Sebabnya, dapat jadi (1) tidak              mengimani akhirat. (2) tidak takut pada Allah.

Q. Bagiamana sikap kita jika terlanjur bersikap buruk pada guru kita?
A. mungkin seseorang menyakiti saudaranya, maka itu adalah dosa. Bagaimana untuk membersihkan     diri dari dosa memuji orang tersebut di depan orang yang pernah kita sampaikan hal-hal buruk             tentang saudara yang bersangkutan tersebut. Puji sesuai dengan kebaikan yang dimilikinya.

Q. Adab menasehati orang yang lebih tua dari kita?
A. Kisah Hasan-Husein yang mendapati orang yang lebih dewasa berwudhu dengan tidak benar.             Mereka menasehati dengan menanyakan pada paman tersebut mana wudhu yang lebih baik antara       keduanya dan memberi contohnya, dan paman tersebut tahu bahwa ini adalah upaya mereka untuk     menasehatinya.


2 Feb 2015

#3 Ushul Fiqih -Dalil yang Disepakati

#3 USHUL FIQIH –DALIL YANG DISEPAKATI
Jakarta, 21/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi keempat belas. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].


DALIL 1 –al Quran
Al Quran adalah sebuah kitab yang cakupannya sangat luas –laut yang tak ada tepian pantainya. Siapapun dapat mengambil berbagai macam hal dalam al quran, bahkan para saintis sekalipun menggunakan al quran dalm eksperimennya. Sehingga jika belajar al quran sebagai ogjek kushul fiqh, tujuannya untuk memproduksi hukum dalam al quran. Karena al quran bicara akhlak, aqidah, dan berbagai macam hal. Sehingga ilmu ushul fiqh sesungguhnya mengambil 1/3 hal dari cakupan memproduksi hukum dalam al quran. Bukan akhlak yang dibahas di tasawwuf, dan lainnya.

#2 Ushul Fiqih -Sumber Dalil

#2 USHUL FIQIH
Jakarta, 20/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesepuluh. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].


Dalil secara etimologis –bahasa berarti (menunjukkan). Dasar. Sumber dari hukum fiqh yang masuk dalam wilayah agama Islam. Dalam sebuah hadist rasul bersabda “barang siapa yang memberikan petunjuk atau menunjukkan seseorang untuk berbuat kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan pahala tersebut,”
Ulama bahasa mendefinisikannya “seseorang yang memberikan petunjuk kepada sesuatu yang ia tunjuk.” Secara terminologis –istilah ulama ushul fiqh  berkata, “ apa apa yang memungkinkan mencapai suatu hukum khabari berdasarkan analisa yang argumentatif dan benar”

Khabari?

Dalam ilmu balaghah terdapat istilah irsyai dan khabari. Ketika dikatakan waaqimusshalat adalah irsya’i –adalah yang maknanya sudah fiks seperti kata perintah, kata larangan. Karena perintah, jadi sudah jelas. Tidak mengindikasikan kata tersebut benar atau salahnya. Namun, jika khabarinya adalah menyatakan bahwa shalat itu wajib. Sehingga, statement yang masih perlu menguji apakah ada unsur kedustaan atau tidak.
Sehingga, dalil adalah perkataan, bahwa berdasarkan ayat ini, shalat hukumnya ‘wajib’. Sehingga, didefinisan apa yang ingin dituju oleh orang yang menggunakan dalil.

#1 Ushul FIQIH

#1 USHUL FIQIH
Jakarta, 19/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi keempat. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].



MUQADDIMAH USHUL FIQIH
Nabi Muhammad SAW dalam HR Muslim. Man yuridillahu bihi khairan. Jika Allah menargetkan kebaikan pada seseorang, Allah akan memberikan kesempatan baginya untuk belajar perihal urusan agamanya.

Disejajarkan Fiqih dengan yurisprudensi (landasan UU). Bahwa ilmu adalah sebuah keilmuwan, baik terkait masalah agama dan non agama. Kedua, pada dasarnya ilmu umum itu bersumber dari al quran dan sunnah, sehingga dikatakan ulama bahwa ilmu adalah cara untuk mengakui keagungan al Quran. Kaligrafi sendiri, sebenarnya rujukannya adalah al quran.

Dalam al quran, ada tulisan ilmu rasm, (ilmu menulis teks al quran), dimana ilmunya diciptakan setelah mempelajari al quran.

Sehingga, ilmu apapun yang dipelajari, pada dasarnya adalah mempelajari wahyu Allah yang diturunkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga jika diberi kesempatan untuk mempelajari, adalah bentuk pengabdian bagi Allah SWT.
Meskipun setelah itu, ada skala prioritas. Tidak semua orang kemudian mempelajari ilmu agama, pun tidak semua orang belajar ilmu duniawi.

#5 Bibliografi FIQIH -Nisa

#5 BIBLIOGRAFI FIQIH NISA
Jakarta, 24/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi kedua puluh tiga. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].



KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM
Kalau saja mempelajari maqashid asy syari’ah, hikmahnya, maka akan menyadari bahwa betapa adilnya syariat Allah.

Misal 1. al waris –wanita mendapat setengah dari bagian laki laki. Jika ada seorang yang meninggal punya anak laki2 dan perempuan. Maka, anak yang laki2 akan mendapat dua kali lebih banyak daripada yang perempuan. Ini merupakan syariat yang ditetapkan oleh Allah bukan tanpa sebab dan tanpa hikmah.

Hal ini disebabkan karena laki2 a/ pihak yang di dalam Islam diwajibkan syariat untuk memberikan nafkah. Sedangkan perempuan, adalah pihak dalam Islam wajib diberikan nafkah. Walhasil, harta laki2 akan memberikan nafkah pula pada sang istri. Maka jiak seorang perempuan yan gkaya, adalah berhak jika harta itu punya dirinya, dan suami tidak punya hak untuk mengusik harta tersebut. Pun denga laki2, berhak unuk memenuhi hak hak istri dan anak atas dirinya.
Ini adalah konsekuensi dari hidup berkeluarga. Yakni memisahkan hak atas harta istri dan suami. Semisal dalam dkasus perceraian, bahwa suami akan memback up harta tertentu, pun dengan istri. Sehingga, tidak ada perselisihan ketika status barangnya jelas.

Hal ini akan lebih diperkuat jika diberikan sebuah hadiah –yang statusnya pemindahan tangan statu kepemilikan barang. Jika memang akan diberikan mobil, memberikan nama juga status kepemilikan atas nama istri. Supaya tidak ada persengketaan apapun.

Wanita sangat luar biasa posisinya dalam Islam. Hartanya tidak bisa diganggu gugat kepada siapapun, kecuali atas kerelaan atas dirinya siapapun yang dia kehendaki.

Misal 2. kesaksian. –terjadi pembunuhan di suatu pembunuhan, sendirian. Rasa takut yang dihinggapi wanita, lebih berbahaya dalam mengganggu psikologisnya daipada laki laki.

#3&4 Bibliografi FIQIH

#3&4 BIBLIOGRAFI FIQIH

Jakarta, 23/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesembilan belas. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].


Dalam penulisan kitab, ada 3 istilah;
                            1.       Matan –tulisan
                            2.       Syarah –Penjabaran yang ditulis 
                            3.       Hasyyah –saat ulama yang membaca kitab dan syarah, terkadang, sesuatu yang dalam matan                                                  belum dijelaskan secara lengkap di syarah.
                           4.       Taqrir –Kritikan pada matan ataupun syarah. Terletak di pinggirnya hasyyah.

#2 Bibliografi FIQIH

#2BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 20/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesembilan. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].



SEJARAH FIQIH
Sebelum masa Rasulullah, kata ‘fiqih’ sudah digunakan sejak dahulu sebagai sebuah ‘kata’ yang dipergunakan orang2 Jahiliyah. Namun, memiliki perbedaan makna ketika turunnya al Quran.

Adapun, pengerucutan makna ‘fiqh’ yang terjadi, mengalami 3 fase perkembangan, yakni;

a.       Pra islam
kata ‘fiqih’ –secara bahasa bermakna sama dengan al fahmu. Mengerti. Memahami.

b.       Zaman rasul dan sahabat
Allah memasukan kata fiqih dalam beberapa ayat.

Misal 1. Doa yang diajarkan kepada nabi Musa "yafqohu qouli"
Yafqohu berasal dari bentuk dasar yang sama dengan fiqih.

Misal 2. "la'alahum yafqohun"..."liyatafaqohu fiddiin"
agar mempelajari sejara mendalam ilmu agama. Fiqih untuk menyebut semua disiplin ilmu. Belum spesifik, namun global, memahami ilmu agama secara keseluruhan.

Misal 3. Rasulullah pernah mendoakan Ibn Abbas –seorang tokoh fuqoha di kalangan sahabat. Ibn Abbas masuk islam sejak kecil, saat itu Rasulullah mendoakan " Allohumma faqihu fiddiin wa 'alimhu takwil..."
faqihu artinya pemahaman. Ibnu abbas terkenal sebagai turjumaanul qur'an. Adapun, turjuman di sini juga menjelaskan maksud yang mendalam –dalam al Quran. Pada saat kecil, ibnu Abbas pernah dibawa Umar bin Khattab ke tempat ulama senior. Lalu para ulama yang ada di sana bertanya, "untuk apa anak kecil dibawa ke sini?". Umar menjawab dengan surat an nashr. Ditanya para ulama senior tafsir dari surat an nashr. Mayoritas ulama senior menjawab hal yang sama, soal kemenangan Islam. Namun, saat ditanya pada Ibn Abbas, beliau menjawab pada hal yang berbeda. Bahwa makna surat an nashr bermakna akan wafatnya nabi. Karena kemenangan Islam sudah dikumandangkan, oleh karena itu, tugas kenabian telah usai, dan sudah di penghujung hal tersebut. Itu artinya, pemberitaan bahwa akan wafatnya Rasulullah.
Makna kata fiqih dalam doa Rasulullah untuk ibnu abbas adalah faqih dalam segala ilmu dalam agama. Jadi tidak hanya ilmu fiqih, namun seluruhnya.

Misal 4. "Panjangnya shalatnya seseorang dan pendeknya khutbah adalah salah satu tanda dari kedalaman ilmu seseorang." (HR. Bukhari) -faqih

Misal 5. "Semoga Allah akan mencerahkan wajahnya seseorang yang mendengarkan haditsku kemudian dia sampaikan hadits ini sebagaimana dia dengarkan. Berapa banyak orang yang mendengarkan secara langsung namun tidak sepaham yang tidak mendengar langsung."
Dari hadits tersebut diketahui bahwa banyak orang yang mendengar langsung hadits dari Rasul akan tetapi mungkin orang yang mendengar tidak langsung lebih paham darioada yang mendengar langsung.

c.        Masa kodifikasi ilmu islam
Fiqih sekarang: kumpulan hukum syar'i, ‘amali yang digali dari dalil-dalil yang tafsiri –terperinci.
Misal 1. Shalat itu wajib –hasil kesimpulan hukum fiqih. Prosesnya disebut ijtihad. Dan proses memahami al Quran dan as Sunnah adalah wilayah para mujtahid. Wilayah kita adalah fatwa para ulama. Jadi kita bukan secara langsung hukum setiap aktivitas namun kita kembali kepada kajian ulama yang matang yang di dalamnya sudah ada informasi. Jadi kalau kita cari sendiri di dalam al quran dan sunnah maka tidak bisa kecuali memang punya kapasitas. Yang kita dapati saat ini adalah hasil dari para mujtahid, ulama. Kita mengaplikasikan berdasar pemahaman para ulama, bukan hanya pemahaman kita. Sebab kita tidak bisa langsung sampai pada alquran dan sunnah, butuh jembatan.

#1 BIBLIOGRAFI FIQIH

#1BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 18/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi pertama. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].


MUQADDIMAH BIBLIOGRAFI FIQIH
Untuk menambah bekal kajian kita ke akhirat, kesempatan apapun harus disyukuri sehingga, hanya kesempatan inilah dimana kita bisa menghapus dosa, dan memperbanyak pahala untuk menjadi bekal. Karena tugas manusia jika diringkas ada dua, yakni ; pertama, mengumpulkan sebanyak apapun pahala selama di dunia, dan yang kedua, yakni mengurangi sebanyak apapun dosa yang kita lakukan. Ketika itu dilakukan, insya Allah, bagi akhirat kita telah memiliki bekal dan beban kita akan semakin berkurang akan dosa2 yang pernah kita lakukan.

Salah satu cara untuk mendapatkan bekal tersebut adalah dengan menuntut ilmu. Dan dalam islam, ilmu adalah suatu wasilah yang dengannya ibadah kita bisa dikatakan sah atau tidak. Dengan ilmu kita bisa tahu ibadah kita secara hukum dapat dikatakan diterima atau tidak. Karena syarat diterimanya ibadah kita oleh Allah SWT, para ulama merumuskannya ada dua; pertama adalah keikhlasan saat beribadah, dan saya rasa saat membahas ini, para ulama tidak mengalami ikhtilaf akan hal ini. Kemudian yang kedua adalah, ibadah harus dilakukan dengan metode yang sudah dirumuskan oleh Allah SWT dan RasulNya, baik yang tertuang dalam al Quran ataupun As SUnnah.  Saat kedua cara ini dipenuhi sesuai dengan prosedur yang ditentukan, maka, insya Allah, Allah tidak akan mengingkari janjiNya.
Ketika membahas keikhlasan, hampir2 tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini. Tetapi jika kita membahas kesesuaian ibadah kita akan prosedur yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Rasulullah SAW, maka, dalam pembahasan kedua ini, para ulama panjang lebar berbeda pendapat. Dan inilah yang menjadi wilayah yang kita sebut sebagai FIQH.

Sering kali kita mendengar para ulama berpendapat, syarat diterimanya amalan adalah ikhlas dan ittiba’. Tapi saat membahas ittiba’ dari al hadist, mungkin hal ini harus dipertanyakan, sebab pemahaman kita tentang hadist, barangkali berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW.
Pembahasan kita ke depan adalah tentang “Bibliografi FIQH.
***

Islam