Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan

13 Jul 2017

Emak Emak

Saya suka mengamati perilaku manusia sekitar. Interaksi mereka unik, karena merepresentasikan bahwa dunia yang sesungguhnya tidak hanya hitam putih seperti panggung sandiwara. Nyatanya, penuh warna dan ragam yang tidak akan pernah habis diceritakan dalam ragam buah karya maupun layar kaca. Dalam setiap tindakan, ucapan, dan ekspresi. Mereka membawa sepaket logika hasil dari proses pemikiran mereka. Meski kadang, ada juga yang bertindak nggak pake mikir. Itu pun, masih bisa diterka.

Dalam kesempatan saya tinggal cukup lama di rumah –setelah lama merantau dan kini kembali lagi ke haribaan. Qodarullah, saya kembali dipertemukan dengan komunitas ini. Mereka itu ibarat pleistosen di padang gurun. Eksistensi mereka nyata di antara pesatnya westernisasi kota-kota besar. Eksis –bahkan sangat eksis. Tidak (mau) peduli arus. Tetap bertahan dengan kuasa dan andil mereka. Bahkan, konon katanya pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa pun pangling, CEO perusahaan-peruahaan multinasional, maupun para kaum terpelajar lulusan luar sana paling takut jika harus berurusan dengan spesies ini. Karena kabarnya sepuh mereka pun juga bagian dari komunitas ini. Mereka adalah generasi X. Merekalah, yang dengan bangga kusebut : emak-emak.

Jika harus ditanya, ‘apa yang paling nyebelin dari Jakarta?’ Mereka bisa saja menjawab dengan alasan klasik yang menjadi jargon di tiap 5tahunan pilkada: macet dan banjir. Namun, kawan. Percayalah. Ada hal yang jauh lebih krusial daripada kedua itu. Pertama adalah pengendara mobil yang masih hijau dan berkendara di tengah jalan. Umumnya laju mereka tanpa arah, memblokir jalan, dan yang lebih menyebalkan adalah karena sengaja melambatkan kecepatan. Kedua adalah emak-emak yang naik motor. Bukan hanya menyebalkan, tetapi juga luar biasa berbahaya. Mereka berada di tengah jalan. Memblokir motor –bahkan kadang juga mobil dan pejalan kaki tanpa pandang bulu. Mereka melaju tanpa indikasi lampu sen. Tiba-tiba saja belok tanpa tahu rambu. Dan yang lebih mengerikan dari itu semua adalah : mereka tidak pernah (dan tidak akan) mau disalahkan. Maka, jangan harap untuk mendapatkan reimburse dari kecelakaan yang secara jelas terlihat siapa korbannya dan siapa yang salah. Sekonyong-konyong engkau ngotot, tetap saja kita tahu siapa yang akan menang. Maka untuk poin kedua ini, tidak akan dapat terselesaikan dalam debat cagub sekalipun.
***

6 Feb 2015

pondok matahari (1)


7 tahun

 Gadis itu duduk di salah satu rest area di stasiun kota Yogyakarta. Seseorang telah menahannya untuk terjebak di tempat tersebut nyaris setengah jam. Sambil mengawasi orang-orang yang berlalu lalang, ia mengamati dengan seksama kalau-kalau orang yang ditunggunya muncul. Sesekali menggeser screen handphone touchscreennya, menshuffle list lagu yang terhubung pada earphone yang terpasang di telinganya hanya untuk membunuh waktu.
Hingga di menit selanjutnya, dorongan ketidaksabarannya membuatnya mulai merapihkan isi tas, mengangkat ranselnya. Hingga dari kejauhan, seseorang memanggil namanya setengah berteriak, “Aya!”
Aya melihat gadis paruh baya itu menghampirinya setengah berlari. Menarik koper sambil menggenggam handphone. Gayanya kasual dengan rok jeans dan jaket merah. Kerudungnya terbalut rapi dengan membungkus wajah putihnya. Satu hal yang mencolok dari dirinya, paras cantik dari wajah blasteran arab.
Ketika mereka sudah berjarak beberapa jengkal, Aya beringsut berwajah masam, sambil melipat tangan, mengeluh, “Aku bertanya-tanya jika kau sudah hilang dari peradaban,”
Tanpa banyak kata, gadis blasteran arab itu langsung memeluknya dengan erat, “aku merindukanmu,” bisiknya.
“Selamat datang kembali, Rehaf,..” timpal Aya.
Untuk beberapa detik kemudian, mereka memberikan ruang untuk menumpahkan rasa rindunya pada 7 tahun lamanya tidak bertemu. Kawan dekat itu terpisah 300.000 kilometer jauhnya oleh 2 benua.
Berusaha mengenyampingkan rasa malunya ketika mereka menjadi point of view di keramaian stasiun, Aya melepas pelukannya sambil menepuk-nepuk pundak Rehaf. Mengajak duduk di kursi sambil merapihkan barang bawaannya.
Diamatinya koper dan jaket yang diikat melingkar di pinggang Rehaf. “Kau baru saja turun dari bandara, dan ke stasiun?” tanyanya menebak.
Perempuan blasteran arab itu mengangkat pundaknya ringan. Matanya menyipit seiring senyum  di bibir tipisnya yang merekah. Sambil memegang pundak temannya yang lelah menunggu, Rehaf memilih mengajak Aya duduk di obrolan pagi hari ini. “Ayo, kutraktir kau es teh,” ujarnya. Ia terlalu lelah untuk berlari di lobi bandara maupun stasiun.
Mereka sesungguhnya adalah rekan sejawat masa remaja. 7 tahun lalu, ya. Meskipun  dulu mereka berbeda kelas, namun mereka diakrabkan oleh sebuah komunitas kepedulian sosial yang mereka bangun.
Selang setelah kelulusnya dari SMA, mereka mengambil jalannya masing-masing. Rehaf melanjutkan studinya ke Kairo, Mesir untuk mempelajari tafsir qur’an. Sementara Aya mengejar cita-citanya menjadi seorang penulis, dan belajar Sastra di salah satu universitas di Yogyakarta.
Dia tahu, Aya sama sekali belum berubah, bahkan hingga saat terakhir mereka bertemu. Satu hal yang ia yakini adalah, kemampuan luar biasa temannya untuk mendapatkan informasi. Hingga jadwal tibanya di Indonesia yang –bahkan –hanya ibunya yang tahu.
                “kau telfon ibuku?”
                “kau tahu? Selama kau pergi, aku sibuk mencitrakan diriku di depan orang tuamu,” ia nyengir mantap sambil menyibukkan diri menyeruput es tehnya.
                “memangnya kau mau melamarku?” candanya. “tidak,.. tidak. Kau sungguh menelfon orang tuaku?”
                “aku memang selalu datang ke rumahmu setiap kali kesempatan kembali ke Jakarta. Liburan kemarin, -tepat saat aku berencana mempersiapkan otakku sebelum membuat tesis –aku kembali ke jakarta dan berkunjung ke rumahmu. Tepatnya Juli, eh?”
                “kau sudah mengambil program pascasarjana?” Rehaf kali ini tersenyum sumringah. Hendak kembali memeluk temannya sebagai ucapan selamat, sebelum akhirnya Aya mencondongkan badannya ke belakang sebagai tanda keengganannya.
                Sambil menghela nafas, seolah pertanyaan itu adalah retorika absurd yang tidak mampu diterangkan secara kausalitas, ia menjawab, “Tepatnya sedang. Kau bahkan tak tahu kapan kelulusan sarjanaku.. Apakah orang yang kuliah negeri di luar, cenderung apatis masalah dalam negeri?” sambil berguyon. 
                Rehaf mengerjapkan mata, merengut seolah meminta maaaf pada temannya. “jika bukan karena aku ditahan oleh supervisorku, aku bisa pulang lebih cepat dari seharusnya.”
Ia tahu betul, tak satupun sikap dari temannya yang berubah. Selain daripada penampilannya dan gaya bicaranya yang mulai santun. Namun, bicara masalah topik candaan mereka masih sama saja. Ini membuatnya bersikap lebih nyaman, sama seperti dulu. Nyaris merasa tak ada yang perlu disembunyikan sejak terakhir kali pengalaman mereka bertemu di bandara, 7 tahun lalu.
“Ayo kita serius kali ini,” ujar Aya menyadarkan dengan tujuan awalnya. “Katakan, apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
                “Tidak ada. Tidak ada yang akan kulakukan,” Aya mengangkat alis. Rehaf melanjutkan, “Aku hanya berpikir, kupikir dengan kehadiranku, akan menjadi alasan bagus untuk berkumpulnya kita kembali. Kita semua,” senyumnya santai.
                “Aku rindu Pondok Matahari,...” Rehaf tersenyum. “Aku rindu mereka, Ay,...” ucapnya.
#

Islam