Tampilkan postingan dengan label #SayaPunyaTeman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #SayaPunyaTeman. Tampilkan semua postingan

30 Apr 2017

Hanna

#SayaPunyaTeman

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan semenjak duduk di bangku SD kelas 1 hingga kelas 9 smp. Kami selalu berada satu kelas. Maklum, karena memang cuma segitulah jumlah kelas yang ada. Beliau adalah yang tercerdas dan tercantik yang pernah saya kenal. Datang dari kalangan aristokrat dan hidup dalam lingkungan cendekia bermartabat.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan, dan selama itu pula saya selalu ke rumahnya. Hampir setiap  hari, cuma untuk menemani beliau ke kamar mandi rumah karena beliau tidak bisa menggunakan kamar mandi sekolah. Rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah kami. Lebih tepatnya, loncat juga bisa.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan di masa kami masih labil. Emosi kami belum matang seutuhnya, sehingga saya menikmati pergolakan persahabatan kami yang penuh dinamika di masa remaja. Hampir setiap hari saya main dengan beliau. Kami punya banyak kesamaan. Barangkali, karena kami tumbuh berkembang di lingkungan yang sama pula. Kami suka menggambar kartun. Kami gemar baca komik –terutama Naruto dan Conan (dan ajaibnya, dia punya all set kedua komik itu tertata rapih di meja belajarnya). Kami juga senang menulis novel –yang mana, kalau saya baca ulang sekarang, saya sadar betapa alay nya saya dulu. Saya masih menyimpan pernak pernik yang menjadi saksi masa kecil kami berdua. Mulai dari surat menyurat, notes yang dibuat selama jam pelajaran. Hadiah dari tukar kado –padahal bukan saatnya kami ulang tahun. Luar biasa. Alay sekali (menepuk jidat).

***

Mari kita panggil dengan sebutan ‘Hanna’. Awal mengenalnya sebagai teman sekelas, beliau terkenal cerdas. Namun, sebagaimana orang cerdas lainnya, mereka juga manusia yang butuh berkomunikasi. Beliau menjadi teman saya  dan saya juga sering mengikutinya. Di jam istirahat. Di jam olahraga. Di jam main2. Saya senang berteman dengannya. Beliau adalah blasteran Arab. Ayahnya orang betawi asli sementara ibunya datang dari Damaskus, Syiria. Beliau sering berkisah tentang keluarganya seperti, bagaimana ayah dan ibu bisa dipertemukan, pada umur berapa neneknya menikah, apa yang dilakukannya selama masa kecil di Syiria, sampai soal tantenya memutuskan jaringan parabola indovision tapi masih bisa akses disney channel di TVnya.

Belakangan saya baru tahu bahwa kedua orang tuanya adalah orang hebat. Mungkin karena saya yang waktu itu masih kecil sering menyapa kedua orang tua nya di rumah, tidak menyadari seberapa terhormatnya keluarga itu. Ayahnya adalah seorang dosen –di banyak universitas yang saya juga tidak hafal saking banyaknya. Sekarang menjadi tokoh penting dalam MUI jakarta. Sementara ibunya adalah dosen LIPIA, sebuah perguruan tinggi  berlokasi di jakarta dengan sistem pendidikan Saudi Arabia. Ayahnya punya sanad hadist sementara ibunya punya sanad Quran. Subhanallah. Yang saya sadari setiap kali di rumahnya adalah keluarga itu memakai 3 bahasa; Indonesia, Inggis, dan Arab. Maklum, keluarga besarnya tersebar di berbagai belahan dunia. Kadang tiba2 dia hilang tanpa kabar di kala liburan untuk pergi keluar negeri mengunjungi kerabat.

Semenjak tahun pertama di bangku SD, beliau selalu menjadi rival saya soal hafalan Quran. Saya senang menyadari bahwa di antara kelebihannya, setidaknya kami punya kesamaan. Beliau juga menjadi salah satu alasan saya semangat menghafal. Ketika kami duduk di bangku kelas 3 SD, kami sempat diminta membaca surat di depan Syekh Wahbah az Zuhaily. Ulama besar itu datang ke Indonesia sebagai guru dari ayahnya yang merupakan pemimpin lembaga tempatku bersekolah. Di tahun yang sama pula kami sempat diundang di RRI. Wah, mengingat masa itu, saya ingin sekali memeluk diriku di masa lalu.

Yang jelas, saya mengenalnya ketika kematangan emosi kami belum sempurna. Kami masih sering berantem, iri2an, bawel, dan berisik. Beliau pernah marahan dengan saya hanya karena saya dekat dengan kawan lain. Pun, saya juga pernah marah dengan beliau hanya karena beliau tidak mengizinkan saya membaca komik naruto karena takut rusak. Namun, beliau juga yang menjadi alasan saya bersemangat ke sekolah. Menulis. Menggambar. Setiap kali saya menggambar manga, saya selalu saja teringat beliau. Masing2 dari kami punya selera gambar yang berbeda.

Ada satu hal konyol. Kami bersahabat di awal abad ke 20 ketika komunikasi lazimnya menggunakan telphon kabel. Nomor rumah beliau adalah yang ke2 yang kuhafal setelah nomor telphon rumahku sendiri. Sampai sekarang, saya masih menghafalnya sebagaimana saya hafal alamat rumah sendiri. Kami sering telphonan karena saya juga sering sendiri di rumah. Beliau dengan keramaian rumahnya senantiasa menerima telphon ku yang mencari2 teman ngobrol. Percakapannya pun tak kalah konyol. Mulai dari bahas pelaku pembunuhan di komik conan yang masih gantung, sampai saat aku kesusupan dan aku curhat lewat telphon, satu keluarga di rumahnya ikut kerepotan kasih saran. May, kata tanteku, kalo kesusupan di pake pinset. May, kalo mamaku nyaranin ... walah, anak kecil ^^”

Di penghujung tahun 2009, kami memutuskan jalan hidup masing2. Saya memilih sekolah di madrasah aliyah negeri, sementara beliau di sekolah negeri. Sudah lama kami tidak saling berkomunikasi semenjak saya ganti nomor hp karena hp yang lama hilang. Semenjak itu pula, saya bertekad tidak akan mengganti nomor –sekalipun hp silih berganti hilang dan rusak berkali2 pula. Terakhir, saya melihatnya di jakarta book fair. Saya melihatnya, namun tak saling bertegur sapa. Saya tahu kabar terakhir bahwa ia lanjut kuliah di lipia sementara saya kuliah di jogja. Ketika saya bermukim di sebuah pondok di jogja, saya mengetahui kabarnya dari anak bu nyai pondokan saya yang juga kuliah di lipia. Beliau bilang, kabar kawan saya ini baik2 saja. Beliau mumtaz di semua pelajaran, namun di pertengahan periode beliau keluar dari lipia dan lanjut di al hikmah. Saya menemukan kesulitan menghubungi beliau karena fb nya sudah tak terdeteksi. Dia juga tidak terdaftar di grup line angkatan SD dan wa angkatan SMP. Saya hanya menemukan instagram adiknya. Pun saya juga malu menanyakan lewat adiknya. Saya ini teman macam apa....

Saya menulis ini hanya untuk mengekspresikan suasana. Saya rindu beliau sementara beliau tidak bisa terjangkau. Jika ada kesempatan bisa bertemu, barangkali saya hanya tertegun lama. Malu. Selama 7 tahun ini, saya belum ada pencapaian apapun untuk bisa dibagikan. Gambar saya tidak lebih baik dari dulu. Tulisan saya ya begini2 saja gak jauh beda dari SMP. Hafalan saya juga tidak jauh dari progress di masa lalu. Bahasa arab saya sama sekali tidak berkembang. Barangkali, rivalnya cukup sampai situ saja. Dunia kami sudah jauh berbeda dan tidak ada yang bisa disampaikan dengan suasana riang satu pemikiran. Akan ada banyak gap ketika berkomunikasi. Beliau luar biasa dengan pengalaman beliau, dan saya begini saja apa adanya.


Yang jelas, saya rindu beliau. Saya menuliskan ini tidak berharap beliau akan membacanya. Toh, saya juga tidak yakin beliau tahu kepemilikan web ini atau tidak. Tapi saya yakin, sekali beliau membacanya, beliau sadar betul siapa tokoh yang saya ceritakan ini.

10 Mar 2016

Kepada Ratih dan Ishfi,

Sekitar jam 2 pagi saya terbangun dari tidur. Senyap senyap mata mencoba meraba sekeliling, dan menjangkau yang bisa terjangkau. Kamar saya gelap gulita saat saya tersadar bahwa malam kemarin saya bergumul dengan kelelahan sampai akhirnya memutuskan untuk tidur ke kamar selepas kajian ustadz Sholih.

Saya memang tinggal di pondok, tapi khusus malam jumat. Dan untuk seterusnya, saya meminta izin kepada ustazah untuk mabit di kontrakan lama saya –yang dibangun bersama dengan anak2 pasca asrama saya yang dulu. Inilah kontrakan yang sudah terkondisikan dengan atmosfer  yang membuat saya bisa kerasan di sini.

Kemudian, bukan hal itu yang ingin kusoroti.

Semua karakter warga kontrakan ini unik-unik. Kalian tidak akan bisa membayangkan gambaran dari pribadi yang akan kukisahkan ini. Namun, bukan dalam catatan ini.

Ada dua orang rekan saya. Mereka sudah satu paket. Deal. Tidak bisa dipisahkan. Nama saya samarkan untuk sebuah privasi. Yang jelas, mereka ini ibarat kembar identik. Ada orang yang dalam hidupnya sering kali berinteraksi. Dan hal itu yang membuat mereka kerap dianggap kembar. Padahal, hal itu hanya merupakan konsekuensi logis akibat dari interaksi yang intens. Mengubah karakter mereka menjadi dua pribadi yang saling melengkapi.

Jangan bayangkan pribadi itu saling akur. Kadang akur, ya memang. Tapi kadang juga bertengkar untuk sebuah hal di luar logika saya pribadi. Membuat saya tersenyum saja dalam hati. Lebih sering saya abaikan, karena pertengkarannya agak konyol. Ya sudahlah. Itulah keunikan dalam diri mereka.

Mereka dulu satu kamar sewaktu kami asrama. Dipertemukan dalam ruang seluas 4x4 meter di Jabal Tsur 2. Sewaktu di asrama dulu, saya jarang berinteraksi dengan warga JT2. Saya tinggal di Jabal Nur (JN) yang lokasinya sudah berbeda gedung, meski satu asrama. Hal itulah yang membuat saya kurang akrab mengenal mereka. Dan karena sebuah kontrakan ini, saya jadi semakin mengenal mereka.

Yang satu adalah pejuang wisuda bulan Mei 2016. Beliau mengaku tidak suka terikat perjanjian atau hitam di atas putih. Biarkan beliau bebas memilih kemana intuisi mengarah. Meski sejatinya masuk jurusan pendidikan, beliau tidak suka ngeles dan lebih memilih pekerjaan yang mengembangkan kreatifitas dan seninya. Sebuah pekerjaan yang mengekspansikan pengetahuannya pada seluk beluk kota Jogjakarta.  Sebuah pekerjaan yang anti mainstream.

Yang satu lain cerita lagi. Beliau kelihatannya suka imajinasi dan kaya akan kreatifitas. Dengan usia beliau yang dituntut untuk segera wisuda, beliau bisa menyamankan diri dari tekanan berbagai pihak yang mencoba mendorongnya untuk berjuang bersama dalam barisan pejuang skripsi. Luar biasa. Beliau meninggikan eksistensi kebebasannya dalam hidup terlepas dari berbagai tuntutan eksternal. Sebuah pribadi yang anti mainstream.

Satu kesamaan yang membuat mereka semakin akrab di mata saya. Mereka sedang membangun sebuah usaha. Si pejuang wisuda sedang sibuk mengejar dosen untuk bimbingan. Si pejuang kebebasan sedang sibuk mengajar, ngeles. Dan di kala semua kesibukan itu, mereka berdua tengah membangun sebuah dinasti sendiri. Tempat dimensi mereka bisa bebas berekspresi dalam gulungan-gulungan kertas –yang boleh saja bagi orang tidak berarti. Namun mereka menyulapnya menjadi sumber penghasilan rezeki.

Mereka menyebutnya “paper quilling”.

Saya sedang tidak berpromosi, hanya melilhat refleksi dari kegigihan mereka. Karena di pagi buta saat saya terbangun, saya dapati mereka masih sibuk mempersiapkan untuk hari ini. Tepat jam 10 mereka harus mendirikan stand ke UMY, untuk mempresentasikan mimpi mereka kepada publik. Dunia harus tahu bahwa itu merupakan simbol dari perjuangan dan persahabatan mereka!
Semoga usaha mereka terbalas setimpal dengan perjuangannya.


*semua nama di sini disamarkan, termasuk nama ustadznya.

Lab Fismatel Dept Fisika UGM, 11 Maret 2016

14 Jun 2014

Menginternalisasi Keberkahan


Saya punya teman. Sebut saja Azza.

Azza itu unik. Ya, unik dari perspektif saya. Dia adalah produk imitasi dari bagaimana masyarakat dan budaya metropolitan membentuk karakternya, sedemikian rupa sehingga dari segala atribut kebanggaan, gaya bicara, dialektika tempatnya bergumam, maupun topik diskusi berbau metropolis. Tanpa sadar, saya yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya terciprat kultural ini.

Saya paham dari ceritanya saat dia mengalir. Ada hal yang merupakan kelebihan darinya dan selayaknya ia banggakan. Hal yang akan meninggikan derajatnya begitu indah dalam pandangan akhirat. Ini bukan testimoni dari refleksi kiamat. Bukan. Tapi ini adalah pembelajaran bagi saya maupun pembaca, tentang cerita dari masyarakat yang mengabaikan keberkahannya.

Hafalannya banyak. Nyaris 30 juz jika iya konsisten menjadi seorang hafizah.Saya menghormatinya sebagai seorang teman. Namun saya sulit menyatakan pernyataan untuk meneguhkan kompetensinya tersebut. Iya suka memuraja'ahi lagu Taylor Swift, men-ziyadahi film Hannah Montana.

Refleksi kondisi lingkungan saya adalah sekumpulan dari orang orang yang mendekatkan dirinya pada al-Qur'an. Katakanlah Arif. Tidurnya mendengarkan rekaman murattal seorang syekh fasih. Bangunnya diringi kiprah senyuman dan kilasan waktunya mereka pergunakan untuk muraja'ah juz. Meski hanya awal-awal juz 30, 29, 28.

Yang saya pahami di sini adalah, banyak orang dalam dunia saya yang sebelumnya dihadapi. Mereka dengan kapasitasnya, belum mampu menganggap sebuah keberkahan itu ada. Mereka menggenggamnya, namun mengabaikannya. Belum mampu menginternalisasinya.

Saya tidak mencoba untuk meninggikan martabat sisi lainnya. Namun saya suka dengan cara mereka. Sedikit banyak, saya sepakat jika 'usaha' di sini adalah nilai yang ditinggikan. Bahwa seberapa sedikitnya hafalan kita, namun tetaplah masih ada semangat perbaikan.

Kadang juga menjadi bahan refleksi. Saya sadar betul jika harus diakui lahir dan tumbuh pada keluarga yang alhamdulillah mampu memahami agama dengan baik. Masa kecil kami dipenuhi tuntutan menjalankan syariat Islam ataupun bersikap selayaknya muslim. Namun, bagi seorang anak kecil, itu hanya menjadi kebiasaan yang belum bisa dinalarkan dalam logika kami yang masih rendah.

Baik si Azza ataupun Arif tetaplah menjadi seorang teman untuk saya. Teman yang konyol, bahkan. Namun, inilah komparasi dari bahan pelajaran yang dapat saya petik di sini.
Banyak orang yang kompeten, namun mengabaikan kapasitas mereka karena bukan menjadi bagian dari visi hidupnya.
Namun, ada juga yang bersungguh-sungguh meraih kompetensi itu, meski bukan bagian dari kapasitasnya. Terlebih, mereka mencoba menginternalisasinya dalam diri mereka :)

Islam