27 Des 2018


When you're living around professional reliable multi-talent people while you are an average person, you are often feeling depressed, oppressed, lack of agility in the midst of motivation to empower yourself to produce robust knowledge product.

For many times, I've been confronting these circumstances, over and over again. To the scale that realize that adjustment is a long-life learning.

#randomthought

16 Jul 2018

No idea

I’ve been confronting such a stressful dilemma with lots of depression, grumble, and debate recently. And I am so blessed to be able to have a stance to stay for this last a year.

It was started when I received the role to represent Indonesia team to lead a big project alone. Started since February through the end of this year, to be exact. We are developing an online platform, incorporating any possible information related to the topic, and engaging diverse stakeholder to receive essential feedback for long-term platform’s enhancement. As I respect my manager who is more likely a father to me, I was feeling more than honored than being exploited to handle a big project that even our office in DC has numbers of staff to handle it!
Initially, it was an overwhelming fantastic job, cooperating with numbers of foreigner people. I must admit how exciting it was at that time, once my manager appointed me to handle such a big role in facilitating DC team in mainstreaming our proposal output into the real action, specifically in Indonesia. It was for real such a strategic role. I cannot imagine how this opportunity could shape not only my skill and capacity, but also self-confidence to adjust working with professional atmosphere.
It was an exciting task to do for the first few months. We conducted weekly skype meeting to report our progress. I reported the result of our in-depth literature review while DC reported their progress of the agreement with vendor. Although initially there was an ineffective meeting, but step by step we became more progressive in terms of achieving our own main task. Things turn even better while we were starting on scoping phase. We gathered any possible dataset around, interview with any relevant stakeholder which some of them are a national key actor in environment-related issue. We dealt with numbers of donor, targeting one main output: bridging a knowledge gap for diverse target audience to translating the issue in local level.
Things turn more complex during the last few months. While we were developing more demanding and creative outreach strategy. I worked with numbers of to-do-list, force me to have tonnes of workload at the same time. I was trying to maintain my spirit to accomplish this project until the end and how to keep my enthusiasm always on, day in and day out. Things getting worse until one day, and I ensure myself that, ‘Hold on. I’ve reached my limit’.
It was exhausted to work 'beyond' our own capacity. It was exhausted to always try to keep the best of us. It was exhausted to always pretend to be strong. For a second, I took a break. Questioning myself, ‘why I’m feeling so devastated?’
For this recent condition, it was even heavier to handle small task individually. Taking a big decision alone. Spending almost a day to reply an email, cc'ing to Senior Associate or even Director with some substantial attachment. Besides, having numbers of donor create even more significant demand for presenting specific request of data. We also need to develop specific method, provide series of analysis, create an added value, and facilitate a dialogue among 3 different sides: US, Spain, and Indonesia team. Seriously, it was so demanding to work with enormous pressure but minimum supervision.
Turns out, sometimes, I worked in the most unproductive way. Turns out, sometimes, I gave a fake smile only to show that life isn't bitter enough to be handled alone. Turns out, sometimes, I managed to always think in a positive way until I cannot define my own capacity. 

I think, no matter our position right now, in the past or what future will be, we always deal with ‘working stuck’ and it do exist. It was an inevitable thing to exercise ourselves to control our emotion mentally and physically. It was the moment when we need a strong enough relationship with precious friend to lean our burden, to give an essential feedback, and to remind us that we're not struggling alone.

*exhales deeply.
I will continue this note once my spirit has come and I'm passionate to do what I suppose to do.

26 Nov 2017

Pertama

Tepat 02 Agustus 2017 pukul 11.14 wib, saya mendapatkan telphon dari seorang bernama Tieke Utama yang mengaku HR advisor dari WRI Indonesia. Beliau memberikan klise formal  dan mengatakan dalam kalimat efektif dan tone profesional bahwa saya diterima dalam sebuah program pembinaan intensif satu tahun menjadi peneliti muda di sebuah lembaga penelitian independen bernama WRI Indonesia. Tulisan ini saya buat dengan harapan semoga bermanfaat untuk kawan2 lainnya yang memiliki keinginan sama dengan saya. Berkontribusi, meski pada awalnya mempertanyakan kontribusi seperti apakah yang ingin diwujudkan?

Saya lulus dari Universitas Pancasila cabang Bulaksumur pada November 2016. Beberapa bulan setelahnya, berfokus merevisi publikasi paper penelitian tugas akhir dan belajar mandiri bahasa Inggris untuk mengikuti tes TOEFL ITP. Selanjutnya, 2,5 bulan kemudian dihabiskan untuk mempersiapkan real test ielts dengan belajar di Pare. Tepat 28 Maret 2017 adalah real test pertama (dan harapan saya juga yang terakhir) ielts di British Council Jakarta. Selang setelah itu, saya menghabiskan satu bulan untuk mempersiapkan diri dan segala berkas untuk aplikasi S2 dengan mendaftar beasiswa dan mencari universitas. Jadi, sesungguhnya, baru terbersit pikiran untuk mencari kerja pada bulan Mei 2017. Dan tepat saat itu pula saya mendapatkan pengumuman informasi lowongan peneliti muda Wahana Riset Indonesia.

Sekilas mengenai WRI, sesungguhnya merupakan kepanjangan dari World Resources Institute. Sebuah lembaga penelitian independen yang berfokus pada riset sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap kebijakan publik untuk mendukung terwujudnya lingkungan yang berkelanjutan. Lembaga ini langsung bekerja sama dengan stakeholder tertentu yang membutuhkan koordinasi terkait lima bidang penelitian; lingkungan, energi, kehutanan, dan iklim. Basis nya di Washington DC dengan kantor cabang yang menyebar di 5 negara, termasuk salah satunya Indonesia. Di Indonesia sendiri, lembaga ini baru didirikan pada tahun 2014. Tergolong baru, memang. Ketika saya melihat publikasinya, baru terbit 2 jurnal. Beberapa bulan kemudian, saya lihat semakin produktif menghasilkan op-ad yang diposting di website nya.

Setelah lama mencoba mengkaji lembaga ini, saya tertarik untuk mendaftar program peneliti muda. Syarat administrasinya membutuhkan banyak persiapan. Tidak seperti lowongan pekerjaan lainnya yang saya daftarkan melalui ECC hanya sulap dalam sekali tekan. Berkas administrasi yang dibutuhkan lebih mirip berkas untuk mendaftar beasiswa. List nya;
       1.       CV,
       2.       IPK minimal 3,20,
       3.       Background keilmuwan tidak dipermasalahkan, selama bisa relevan dan memberikan kontribusi  dengan keilmuwannya,
    4.        Surat rekomendasi dari dosen /atasan kerja (minimal 2). Bebas format. Saat itu, saya menggunakan referee report beasiswa AAS tanpa mengubah redaksi dan formatnya sama sekali,
      5.       Contoh publikasi atau tulisan –saya lampirkan proposal riset saya tentang nanomaterial dalam sustainable technology,
    6.       Essay topik bebas, berkaitan dengan pemahaman kita tentang sumber daya alam, energi, lingkungan, iklim, dan lainnya serta kontribusi yang dapat diberikan WRI,
       7.       Freshgraduate atau pengalaman kerja max 2 tahun,
       8.       Sertifikat bahasa (TOEFL atau IELTS),
9.       dan cover letter.
Semua berkas tersebut menggunakan bahasa inggris dan disubmit melalui official website wri yang terintegrasi dengan wri pusat.

Saya pikir, secara administrasi mereka secara tidak langsung telah mengintimidasi calon peneliti muda bahwa program ini memang tidak main-main. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk mempersiapkan berkas2 tersebut. Apalagi saya butuh waktu kontemplasi yang cukup lama untuk membuat essay WRI. Beruntung saat itu saya telah mendaftar di AAS. (Sebenarnya, saya juga tidak tahu harus berkomentar apa) Meskipun tidak lolos AAS 2018, paling tidak berkas2 yang saya gunakan untuk apply AAS bisa saya manfaatkan untuk apply di program peneliti muda ini. Termasuk surat rekomendasi dan proposal riset yang sudah di acc dosen –dan sesungguhnya saya buat untuk apply salah satu universitas di Australia setelah studi literatur jurnal2 hasil publikasi lab yang bersangkutan sekitar satu bulan. Karena kebetulan lab yang bersangkutan berfokus tentang sustainable technology dengan carbon capture.

Selang satu bulan setelahnya, tepat 24 Juni 2017 saya mendapatkan telphon undangan interview face to face di kantor WRI. Sejurus kemudian saya langsung menyetujui tanggal yang disediakan dan mendapatkan kiriman email resmi undangan interview.

Secara jelas tertulis di sana tanggal dan lokasi test. Lengkap beserta interviewer dan lama waktu interview. Ada tiga orang nama yang tercantum: country director, research analyst dan monitoring and evaluation menager.  Ada rasa menggelitik bagi saya untuk mengetahui background profile dari ketiga interviewer. Luar biasa, kontribusi mereka di bidang penelitian membuat saya merasa kecil sekali.

Kamis 26 Juni 2017pukul 11.00 tepatnya waktu saat saya datang untuk pertama kali di kantor WRI. Rupanya tidak hanya saya, namun beberapa peserta lainnya yang hadir dengan jadwal dan interviewer yang berbeda-beda pula. Ketika saya datang, saya diminta langsung menuju lantai 7. Di sana saya disambut oleh seorang berparas jenaka yang bernama mba Juju. Beliau research analyst baru di WRI dengan pencapaian riset lapangannya yang berfokus di kehutanan.

Saat masuk ke ruang, saya disambut dengan perkenalan singkat oleh dua orang yang saya kenal (dari foto) sebagai pak Koni dan pak Ari. Pak Koni memberikan brief singkat tentang program-program di WRI. Saya mengangguk, dan bersuara sampai ketika beliau mempersilahkan saya memberikan perkenalan singkat.

Saya bukan jobseeker yang expert sama sekali. Ini wawancara kerja kedua saya –setelah pengalaman wawancara pertama yang benar2 gagal- serta wawancara pertama saya dengan bahasa Inggris. Mendadak saya bernostalgia dengan suasana real test ielts –hanya saja kali ini dihadapkan tiga interviewer dengan durasi 3kali lebih lama. Tapi paling tidak saya sudah latihan untuk memberikan perkenalan diri yang singkat dan baik.

Mereka bertanya bergiliran. Mereka berfokus pada CV dengan melihat track record penelitian –meskipun penelitiannya sama sekali tidak wah. Sungguh. Karena saya punya beberapa pengalaman riset PKM (di lab fisika komputasi) dan riset nanomaterial (di lab fisika material dan LPPT), mereka tertarik menanyakan proyek riset tersebut. Mba Juju bertanya padaku PKM, dan kukisahkan pengalaman saat membuat mikroskop digital portabel proyek pkm kc. Dengan alokasi dana sekian, membutuhkan waktu berapa lama, implikasinya untuk masyarakat, ketercapaian dengan tujuan akhir.
Mba Juju juga menanyakan soal kapasitas dan kompetensi saya untuk riset dalam tim, bagaimana jika diajukan penelitian yang tidak relevan dengan background sebelumnya, dan kenapa tertarik melakukan penelitian. Barangkali ini memang pertanyaan yang umum untuk ditanyakan peneliti lapangan. Tapi saya menjawab tanpa persiapan. Tanpa ide. Menjawab persis seperti jawaban saya waktu test ielts. Panjang dan belibet, baru sampai ke poinnya. Dan saya tahu betul, itu tidak bagus. Sekalipun sudah latihan 3 bulan ielts, dalam situasi nervous sekalipun, ilmu itu menguap begitu saja. Beruntung mba Juju cukup sabar mendengar, memotong dengan sopan.

Sementara pak Ari bertanya soal koordinasi saya dengan Dikti selama proyek PKM ini. Saya pun bingung. Bingung karena saya membayangkan mereka melihat track record saya mengikuti PKM sebagai suatu pengalaman yang sangat prestige, sementara dari kacamata anak ugm sendiri –atau sebenarnya lebih tepatnya dari kacamata saya pribadi, pkm adalah perlombaan tahunan biasa. Maka lolosnya proposal pkm sampai bisa didanai Dikti beberapa kali pun juga wajar. Karena itu memang sudah mengakar sebagai kultur di antara anak ugm sendiri (faktanya, saya bahkan sama sekali belum pernah berkesempatan lolos pimnas). Saya jelaskanlah bahwa koordinasinya terbentuk dengan pengiriman rutin laporan kinerja dan presentasi saat monev di akhir periode. Beliau menanyakan kesulitan yang dihadapi selama koordinasi dengan dikti. Beliau juga menanyakan soal publikasi terakhir saya, yakni riset nanomaterial. Beliau meminta saya membayangkan jika harus menjelaskan dengan masyarakat lokal tentang nanomaterial, apa yang akan saya lakukan. Pertanyaan yang membuat saya perlu berpikir agak lama, sampai menjawab dengan pikiran pendek, ‘saya akan menggunakan kata2 sederhana yang membuat mereka paham –tanpa harus menggunakan istilah ilmiah.’

Berbeda dari keduanya, pak Koni menanyakan padaku seputar kontribusiku yang cukup lama di lembaga LSiS FMIPA UGM. Beliau menanyakan apa saja jobdesc ku, kemudian proyek apa saja yang dilakukan di sana.  Beberapa kali saya gagal fokus dengan pertanyaannya. Namun beliau tetap dengan sabar bertanya ulang, meski berakhir dengan tawa atau senyuman (yang aku sudah berpikiran buruk saat itu dan masih belum bisa menginterpretasikan arti di balik senyum beliau itu).
Secara umum, hampir semua pertanyaan yang diajukan saya jawab penuh liku. Memang kodratnya perempuan, nggak bisa to the point. Tapi muter dulu sampai akhirnya interviewer paham intinya apa. Saya juga sempat miss di 3 pertanyaan. Saya nggak nyambung dengan pertanyaannya. Namun mereka tetap dengan sabar mengulang pertanyaan yang sama kembali. Beruntung ini bukan ielts. Skorku bisa jadi 6.0 kalau ini memang test speaking ielts.

Ini bukan contoh kasus interview kerja yang bagus, namun bagi saya pribadi merupakan sebuah pembelajaran berharga kalau2 interview kerja sebagai peneliti profesional ataupun beasiswa terjadi. Karena sejatinya, program peneliti muda ini memang diperuntukkan untuk mereka yang punya intuisi namun masih hijau untuk menginjakkan kaki, berkarir di bidang riset profesional, jadi saya anggap kelulusan saya sebagai salah seorang peneliti muda merupakan bentuk apresiasi bahwa program ini memang tidak berfokus pada indahnya retorika maupun formalnya penampilan saat wawancara. Saya masih dengan style saya yang biasa. Jilbab panjang, rok jeans, tas ransel, dan sepatu (tak usah dibayangkan). Tapi saya yakin bahwa ada yang harus direvisi dari style saya jika sudah berkecimpung di dunia kerja. Saya harap, dengan bergabungnya saya di sini menjadi satu momen saya bisa mulai belajar bekerja di ranah profesional.

Belum berakhir ceritanya. Satu bulan berlalu dan saya mendapati pengumuman dari mba Tieke. Awalnya sempat ragu karena mereka bilang akan memberikan pengumuman pada pertengahan juli. Jadi saya dengan sabar menerima telphon untuk mendengarkan dari mba Tieke pernyataan ketidaklolosanku dalam program ini. Ternyata sebaliknya, beliau menyatakan ‘di sini kami ingin menyampaikan penerimaan mba sebagai salah satu dari 20 kandidat peneliti muda WRI’ –dan itu nyaris membuat nafasku tercekat sesaat. Karena 10 hari menunggu pengumuman tak kunjung datang, saya sudah dalam titik tawakkal dan mengikhlaskan sepenuhnya, barangkali memang bukan yang terbaik untuk takdir saya ke depan. Alih-alih, ternyata proyek ini mundur di akhir Agustus, sehingga pemberitahuan secara personal baru dihubungi awal Agustus. Saya langsung saja sujud syukur dengan luapan air mata bahagia. Jika Anda menemui kondisi seperti saya dalam keadaan nyaris putus asa mencari tempat pekerjaan terbaik, barangkali paham arti dari pentingnya pengumuman ini.

Mereka mengirimkan offer letter, lengkap dengan konfirmasi penerimaan kerja, keterangan upah yang akan didapatkan –beserta potongan pajak, berkas yang perlu dikirim balik, dilampiri dengan berkas biodata konsultan yang harus diisi dan perjanjian bebas suap yang harus di tanda tangani. Jadi, kontrak peneliti muda ini adalah kontrak sebagai ‘consultant’.

Untuk orang sehijau saya, bisa langsung berkontribusi menjadi bagian dari lingkungan kerja bersama peneliti2 profesional dengan pekerjaan yang memang engkau minati, merupakan karunia luar biasa. Sejujurnya, lama periode antara persiapan saya melengkapi berkas WRI hingga pengumuman penerimaan itu merupakan periode yang penuh kesabaran batin. Karena semuanya penuh ketidakpastian. Engkau adalah sarjana muda. Lulusan sebuah jurusan yang tidak banyak menjual di ranah dunia kerja Indonesia (ngomong2, saya lulusan fisika murni dengan minat di fisika material, riset nanomaterial). Memiliki kapasitas spesifik yang butuh ditempatkan di tempat spesifik pula. Hanya saja, engkau masih mencari komunitas, relasi, dan masih butuh pembinaan untuk bisa langsung bekerja secara profesional. Karena selama periode tersebut, saya mendapatkan beberapa tawaran kerja yang berakhir sampai periode interview ketika saya pada akhirnya menolak tawaran tersebut –atau mereka yang menolak, karena mendapati semangat saya yang lemah. Pasalnya, saya memang tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa kalau-kalau diterima dan harus bekerja dengan totalitas. Rasanya, ada ganjalan di hati bahwa jika bekerja di tempat ini, bukanlah passionmu. Atau, memang pikiran sederhana bahwa kau tidak bisa mengembangkan diri di sini. Maka saya sampai mempertanyakan kembali, sebenarnya apa tujuan saya? Karena berkali-kali tawaran kerja itu ditolak, rasanya saya semakin merasa bersalah dengan orang tua.


Pada akhirnya, alhamdulillah dan qodarullah bisa mendapatkan kesempatan ini. Semoga satu tahun kontrak ini ibisa memberikan pembelajaran dan pengalaman berharga untuk dunia saya ke depan. Amin J .

13 Jul 2017

Emak Emak

Saya suka mengamati perilaku manusia sekitar. Interaksi mereka unik, karena merepresentasikan bahwa dunia yang sesungguhnya tidak hanya hitam putih seperti panggung sandiwara. Nyatanya, penuh warna dan ragam yang tidak akan pernah habis diceritakan dalam ragam buah karya maupun layar kaca. Dalam setiap tindakan, ucapan, dan ekspresi. Mereka membawa sepaket logika hasil dari proses pemikiran mereka. Meski kadang, ada juga yang bertindak nggak pake mikir. Itu pun, masih bisa diterka.

Dalam kesempatan saya tinggal cukup lama di rumah –setelah lama merantau dan kini kembali lagi ke haribaan. Qodarullah, saya kembali dipertemukan dengan komunitas ini. Mereka itu ibarat pleistosen di padang gurun. Eksistensi mereka nyata di antara pesatnya westernisasi kota-kota besar. Eksis –bahkan sangat eksis. Tidak (mau) peduli arus. Tetap bertahan dengan kuasa dan andil mereka. Bahkan, konon katanya pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa pun pangling, CEO perusahaan-peruahaan multinasional, maupun para kaum terpelajar lulusan luar sana paling takut jika harus berurusan dengan spesies ini. Karena kabarnya sepuh mereka pun juga bagian dari komunitas ini. Mereka adalah generasi X. Merekalah, yang dengan bangga kusebut : emak-emak.

Jika harus ditanya, ‘apa yang paling nyebelin dari Jakarta?’ Mereka bisa saja menjawab dengan alasan klasik yang menjadi jargon di tiap 5tahunan pilkada: macet dan banjir. Namun, kawan. Percayalah. Ada hal yang jauh lebih krusial daripada kedua itu. Pertama adalah pengendara mobil yang masih hijau dan berkendara di tengah jalan. Umumnya laju mereka tanpa arah, memblokir jalan, dan yang lebih menyebalkan adalah karena sengaja melambatkan kecepatan. Kedua adalah emak-emak yang naik motor. Bukan hanya menyebalkan, tetapi juga luar biasa berbahaya. Mereka berada di tengah jalan. Memblokir motor –bahkan kadang juga mobil dan pejalan kaki tanpa pandang bulu. Mereka melaju tanpa indikasi lampu sen. Tiba-tiba saja belok tanpa tahu rambu. Dan yang lebih mengerikan dari itu semua adalah : mereka tidak pernah (dan tidak akan) mau disalahkan. Maka, jangan harap untuk mendapatkan reimburse dari kecelakaan yang secara jelas terlihat siapa korbannya dan siapa yang salah. Sekonyong-konyong engkau ngotot, tetap saja kita tahu siapa yang akan menang. Maka untuk poin kedua ini, tidak akan dapat terselesaikan dalam debat cagub sekalipun.
***

23 Mei 2017

Mabat dan Retorikanya (H+20bulan KKN)

#BukanNegeriLaskarPelangi

Jakarta, 03 Januari 2017.

Ada beberapa momen dalam hidup yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia harus dijemput dengan sebuah usaha. Ia ada sebagai antitesis dari beragam konflik yang muncul di sekitarmu. Ia merupakan buah dari kontemplasi dari para pejuang.

Sudah 20 bulan berlalu semenjak kali terakhir kami kontak secara fisik dengan penduduk Mabat. Semenjak itu pula tautan kami tak lebih dari sekedar suara dalam deringan handphone tiap sabtu malam atau postingan foto di grup Whatsapp ‘keluarga Mabat’. Kadang kala, pejabat Desa Mabat juga datang ke Jawa dan menyempatkan diri ke Jogja untuk menyapa kawan lama yang sudah tersebar sebagai sarjana di penjuru pulau Jawa dan Sumatera. Mereka datang untuk mengurus berbagai hal, mulai dari anaknya yang merantau mencari ilmu ke tanah Jawa, mengurus perdagangan sahang, hingga mengikuti agenda ibu2 PKK.

Kali ini, tiga orang pejabat desa yang terdiri dari kepala desa, Humas PT Timah, dan DP Mabat datang ke Jakarta untuk sebuah misi suci: mempertahankan hak tanah dari masyarakat sipil atas tuntutan perusahaan.

Bicara mengenai hal ini, saya perlu mengulas ragam konflik di tanah Bangka dalam perspektif saya yang masih hijau.

***

Saya terbangun dari keberangkatan unit BBL-01 ketika kami sudah sampai di langit pulau Bangka. Jarak dari Jakarta ke Bangka –tepatnya Pangkal Pinang terpaut satu jam perjalanan. Langit siang itu masih cerah ketika matahari tepat di titik alzimuth. Meskipun posisi duduk saya dua kursi jauhnya dari jendela pesawat, saya bisa melihat dengan jelas hamparan laut tanpa batas. Semakin lama, beralih menjadi teritori daratan. Tapi itu bukan daratan biasa.

Saya melihat ada banyak lubang-lubang besar. Barangkali, itu yang namanya tanah bekas galian timah. Seindah apapun pantai putihnya yang tergerus ombak pasang, namun lubang-lubang itu tetap mengusik perhatian. Ketika saya dikenalkan pada masyarakat lokal, mereka menyebutnya dengan istilah kolong.

Pandangan itu mengusik pikiran kami, pendatang baru yang pertama kali melihatnya. Namun, tertutupi begitu saja sesampainya kami di bandara tujuan. Kami disibuki mengantri di wilayah transfer barang untuk mengambil kargo kami. Kormanit kami sudah menginstruksikan bahwa koper kami perlu diberi pita untuk melabeli kepemilikan unit secara keseluruhan.

Kami dijemput dengan tiga bus besar seukuran kopaja. Ada tiga unit BBL yang bertujuan ke Bangka saat itu. Tiga bus berangkat beriringan menuju sebuah wisma Bangka dengan arsitektur klasik. Selama tiga hari dua malam kami bermukim di sana, hari keempat kami kembali di jemput dua buah mobil yang mengantarkan kami ke desa tujuan. Saat itu juga, tiga unit KKN berpisah sesuai dengan tempat kontribusinya masing-masing.

Di antara desa lainnya, desa Mabat ini posisinya cukup unik. Spektrum bahasa penduduk lokal merepresentasikan kekayaan budaya masyarakat setempat dengan keunikannya tersendiri. Setiap desa punya bahasa khas dan pemandangan yang khas. Selama satu jam perjalanan, ada setidaknya 6 desa yang kami lewati hingga kami sampai di desa tujuan.  Mereka terkoneksi dengan satu jalan, sementara kebon (lebih mirip hutan) adalah satu2nya yang memisahkan antar desa. Jalannya pun lurus, hampa, dan sepi. Beberapa kali saya melewati jalanan ini mengendarai motor, saya nyaris tidur di tengah jalan saking sepinya.

Pemandangan itu kembali kami amati di sepanjang pengamatan. Kolong-kolong yang dicitrakan dalam altitude ribuan meter di atas pesawat semakin nyata  ketika kami melewatinya dalam jarak beberapa meter dari bus. Lobang itu menganga besar, terisi oleh air berwarna biru. Tanpa batas pengaman, tanpa apapun, dibiarkan menganga begitu saja. Saya bertanya-tanya dalam hati, seberapa dalam lubang itu digali. Dilihat dari pemandangan di pesawat tadi, jumlahnya bukan hanya puluhan. Mungkin ratusan. Bisa jadi lebih dari itu jika dikalkulasikan dengan seluruh pulau Bangka.

Bangka memang merupakan pulau yang eksotis dengan beragam kekayaan. Diantara kekayaan itu, timah menjadi hal yang mengundang minat investor untuk menanam investasi di sana. Setelah perbukitan bekas tanah galian yang menggunung, kolong itu dibiarkan begitu saja. Bahkan, kami melihat pemandangan di satu desa bahwa belakang rumah mereka sudah berhadapan dengan kolong. Setelah dilegitimasi bahwa kekayaan timah bisa digali bukan hanya oleh perusahaan kapitalis namun juga masyarakat lokal, berbondong2 penduduk beralih profesi dari masyarakat maritim berubah menjadi penggali timah. Itu sebabnya mereka bekerja mengeruk timah di sepanjang teritori Bangka yang ada.

Bukan hanya timah, ada juga perusahaan sawit. Nampaknya tangan2 investor itu jeli memandang kekayaan alam sebagai potensi yang besar untuk menanam saham. Ratusan hektar tanah warga lokal dialihkan menjadi kepemilikan perusahaan. Sebagaimana sawit membutuhkan banyak air untuk tumbuh, hal itu menyebabkan desa-desa sekitar dihadapi fenomena tahunan: banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Ini cerita tentang banjir setinggi lutut di tengah bulan Desember dan kemarau yang menguras habis Ae Mabet di penghujung bulan Agustus.

Paradoksnya muncul ketika kami sudah memasuki wilayah Mabat. Fokus kami teralihkan semenjak kami melewati jembatan desa Mabat yang sedang dalam proses pembangunan. Itu adalah pemandangan sungai yang berada tepat di pinggir jalan. Kami dihadapi oleh warga desa yang berteriak menyahut kami dengan pedenya ketika mereka sedang mandi dan mencuci. Tanpa sadar, kaum hawa teriak. Tidak kuasa memandang dua bulan masa depan mereka akan dihadapi oleh situasi seperti itu. Saya menepuk jidat saja.

Saya jadi ingat satu malam kami bersilaturrahim di rumah bang Zakir. Harus saya akui, rumah beliau adalah yang terunik di antara rumah warga desa lainnya seantero Mabat. Pasalnya, rumahnya masih asli berdiding kayu dan posisinya lebih tinggi satu lantai dengan bermodalkan pilar-pilar kokoh yang tertambat di tanah. Beliau menceritakan anekdot masyarakat Mabat di masa lalu dalam klausul penuh ironi.  Beliau juga mengaku bahwa keboh di halaman belakang rumahnya dulu masih banyak rusa berkeliaran mencari makanan. Sekarang, populasinya sudah langka karena tergerus perkembangan perusahaan kapitalis yang berekspansi di bawah yuridikasi hukum tanpa etika.

2 minggu yang lalu, kami mendapatkan kabar kehadiran pejabat desa itu ke tanah Jawa lagi. Rupanya, mereka datang untuk mengurus pengadilan sengketa tanah antara pihak perusahaan dan pihak desa. Tanah warga lokal sudah banyak yang terjual untuk keperluan PT dalam menanam kelapa sawit. Perkebunan sawit menjadi alasan utama krisis air desa Mabat di musim kemarau dan banjirnya desa saat musim hujan. Eksploitasi tanah secara berangsur-angsur berpotensi memperkeruh kualitas hidup desa penuh euforia ini.


Saya yakin ini bukan hanya terjadi di Bangka. Pada beberapa kawan saya yang sudah berjumpa ke Papua ataupun Kalimantan, hal yang sama rupanya juga terjadi. Hanya saja, mereka menceritakan dalam ragam yang berbeda. Beliau dengan kapasitas beliau sebagai masyarakat lokal maupun analis sosial. Dan saya dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa yang numpang tinggal di sini.

...

30 Apr 2017

Hanna

#SayaPunyaTeman

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan semenjak duduk di bangku SD kelas 1 hingga kelas 9 smp. Kami selalu berada satu kelas. Maklum, karena memang cuma segitulah jumlah kelas yang ada. Beliau adalah yang tercerdas dan tercantik yang pernah saya kenal. Datang dari kalangan aristokrat dan hidup dalam lingkungan cendekia bermartabat.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan, dan selama itu pula saya selalu ke rumahnya. Hampir setiap  hari, cuma untuk menemani beliau ke kamar mandi rumah karena beliau tidak bisa menggunakan kamar mandi sekolah. Rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah kami. Lebih tepatnya, loncat juga bisa.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan di masa kami masih labil. Emosi kami belum matang seutuhnya, sehingga saya menikmati pergolakan persahabatan kami yang penuh dinamika di masa remaja. Hampir setiap hari saya main dengan beliau. Kami punya banyak kesamaan. Barangkali, karena kami tumbuh berkembang di lingkungan yang sama pula. Kami suka menggambar kartun. Kami gemar baca komik –terutama Naruto dan Conan (dan ajaibnya, dia punya all set kedua komik itu tertata rapih di meja belajarnya). Kami juga senang menulis novel –yang mana, kalau saya baca ulang sekarang, saya sadar betapa alay nya saya dulu. Saya masih menyimpan pernak pernik yang menjadi saksi masa kecil kami berdua. Mulai dari surat menyurat, notes yang dibuat selama jam pelajaran. Hadiah dari tukar kado –padahal bukan saatnya kami ulang tahun. Luar biasa. Alay sekali (menepuk jidat).

***

Mari kita panggil dengan sebutan ‘Hanna’. Awal mengenalnya sebagai teman sekelas, beliau terkenal cerdas. Namun, sebagaimana orang cerdas lainnya, mereka juga manusia yang butuh berkomunikasi. Beliau menjadi teman saya  dan saya juga sering mengikutinya. Di jam istirahat. Di jam olahraga. Di jam main2. Saya senang berteman dengannya. Beliau adalah blasteran Arab. Ayahnya orang betawi asli sementara ibunya datang dari Damaskus, Syiria. Beliau sering berkisah tentang keluarganya seperti, bagaimana ayah dan ibu bisa dipertemukan, pada umur berapa neneknya menikah, apa yang dilakukannya selama masa kecil di Syiria, sampai soal tantenya memutuskan jaringan parabola indovision tapi masih bisa akses disney channel di TVnya.

Belakangan saya baru tahu bahwa kedua orang tuanya adalah orang hebat. Mungkin karena saya yang waktu itu masih kecil sering menyapa kedua orang tua nya di rumah, tidak menyadari seberapa terhormatnya keluarga itu. Ayahnya adalah seorang dosen –di banyak universitas yang saya juga tidak hafal saking banyaknya. Sekarang menjadi tokoh penting dalam MUI jakarta. Sementara ibunya adalah dosen LIPIA, sebuah perguruan tinggi  berlokasi di jakarta dengan sistem pendidikan Saudi Arabia. Ayahnya punya sanad hadist sementara ibunya punya sanad Quran. Subhanallah. Yang saya sadari setiap kali di rumahnya adalah keluarga itu memakai 3 bahasa; Indonesia, Inggis, dan Arab. Maklum, keluarga besarnya tersebar di berbagai belahan dunia. Kadang tiba2 dia hilang tanpa kabar di kala liburan untuk pergi keluar negeri mengunjungi kerabat.

Semenjak tahun pertama di bangku SD, beliau selalu menjadi rival saya soal hafalan Quran. Saya senang menyadari bahwa di antara kelebihannya, setidaknya kami punya kesamaan. Beliau juga menjadi salah satu alasan saya semangat menghafal. Ketika kami duduk di bangku kelas 3 SD, kami sempat diminta membaca surat di depan Syekh Wahbah az Zuhaily. Ulama besar itu datang ke Indonesia sebagai guru dari ayahnya yang merupakan pemimpin lembaga tempatku bersekolah. Di tahun yang sama pula kami sempat diundang di RRI. Wah, mengingat masa itu, saya ingin sekali memeluk diriku di masa lalu.

Yang jelas, saya mengenalnya ketika kematangan emosi kami belum sempurna. Kami masih sering berantem, iri2an, bawel, dan berisik. Beliau pernah marahan dengan saya hanya karena saya dekat dengan kawan lain. Pun, saya juga pernah marah dengan beliau hanya karena beliau tidak mengizinkan saya membaca komik naruto karena takut rusak. Namun, beliau juga yang menjadi alasan saya bersemangat ke sekolah. Menulis. Menggambar. Setiap kali saya menggambar manga, saya selalu saja teringat beliau. Masing2 dari kami punya selera gambar yang berbeda.

Ada satu hal konyol. Kami bersahabat di awal abad ke 20 ketika komunikasi lazimnya menggunakan telphon kabel. Nomor rumah beliau adalah yang ke2 yang kuhafal setelah nomor telphon rumahku sendiri. Sampai sekarang, saya masih menghafalnya sebagaimana saya hafal alamat rumah sendiri. Kami sering telphonan karena saya juga sering sendiri di rumah. Beliau dengan keramaian rumahnya senantiasa menerima telphon ku yang mencari2 teman ngobrol. Percakapannya pun tak kalah konyol. Mulai dari bahas pelaku pembunuhan di komik conan yang masih gantung, sampai saat aku kesusupan dan aku curhat lewat telphon, satu keluarga di rumahnya ikut kerepotan kasih saran. May, kata tanteku, kalo kesusupan di pake pinset. May, kalo mamaku nyaranin ... walah, anak kecil ^^”

Di penghujung tahun 2009, kami memutuskan jalan hidup masing2. Saya memilih sekolah di madrasah aliyah negeri, sementara beliau di sekolah negeri. Sudah lama kami tidak saling berkomunikasi semenjak saya ganti nomor hp karena hp yang lama hilang. Semenjak itu pula, saya bertekad tidak akan mengganti nomor –sekalipun hp silih berganti hilang dan rusak berkali2 pula. Terakhir, saya melihatnya di jakarta book fair. Saya melihatnya, namun tak saling bertegur sapa. Saya tahu kabar terakhir bahwa ia lanjut kuliah di lipia sementara saya kuliah di jogja. Ketika saya bermukim di sebuah pondok di jogja, saya mengetahui kabarnya dari anak bu nyai pondokan saya yang juga kuliah di lipia. Beliau bilang, kabar kawan saya ini baik2 saja. Beliau mumtaz di semua pelajaran, namun di pertengahan periode beliau keluar dari lipia dan lanjut di al hikmah. Saya menemukan kesulitan menghubungi beliau karena fb nya sudah tak terdeteksi. Dia juga tidak terdaftar di grup line angkatan SD dan wa angkatan SMP. Saya hanya menemukan instagram adiknya. Pun saya juga malu menanyakan lewat adiknya. Saya ini teman macam apa....

Saya menulis ini hanya untuk mengekspresikan suasana. Saya rindu beliau sementara beliau tidak bisa terjangkau. Jika ada kesempatan bisa bertemu, barangkali saya hanya tertegun lama. Malu. Selama 7 tahun ini, saya belum ada pencapaian apapun untuk bisa dibagikan. Gambar saya tidak lebih baik dari dulu. Tulisan saya ya begini2 saja gak jauh beda dari SMP. Hafalan saya juga tidak jauh dari progress di masa lalu. Bahasa arab saya sama sekali tidak berkembang. Barangkali, rivalnya cukup sampai situ saja. Dunia kami sudah jauh berbeda dan tidak ada yang bisa disampaikan dengan suasana riang satu pemikiran. Akan ada banyak gap ketika berkomunikasi. Beliau luar biasa dengan pengalaman beliau, dan saya begini saja apa adanya.


Yang jelas, saya rindu beliau. Saya menuliskan ini tidak berharap beliau akan membacanya. Toh, saya juga tidak yakin beliau tahu kepemilikan web ini atau tidak. Tapi saya yakin, sekali beliau membacanya, beliau sadar betul siapa tokoh yang saya ceritakan ini.

5 Jan 2017

Dunia Pasca Kampus : Mencari Pondok Hafalan


Jakarta, 04 Januari 2016.

Sebagai manusia, saya sudah hidup tak kurang dari 22 tahun. Dan sebagai mahasiswa, sudah lama (sekitar dua tahun lalu) saya mengaklamasikan diri untuk bertekad fokus hafalan pasca kuliah sebelum melanjutkan rencana S2. Setiap orang punya prioritas masing2 dalam hidupnya, saya paham betul. Dan kepahaman ini saya semakin sadari pada momen2 saat saya yudisium, melihat teman2 kontrakan saya sudah mengurus berkas kerja. Ada yang sudah selesai koas dan semakin sering pulang balik ke rumah (yang lokasinya di Solo) dengan alasan berbakti pada orang tua. Ada yang sudah mulai belajar2 tes CPNS. Ada yang sudah mendaftar les bahasa inggris. Masih ada pula yang masih mengurus revisian skripsinya atau pun mengolah data. Keberagamannya semakin terasa dan membuat kami semakin sadar bahwa pada akhirnya, setiap individu dari kita juga akan berpencar dengan jalannya masing2, menjalani hidup sesuai dengan kompetensi dan passionnya masing2.

Kenapa mondok? Sementara yang lain sudah disibuki bekerja untuk tidak bergantung sama orang tua? Kamu udah 22 tahun, dan kamu akan mondok. Bukan main. Pondok hafalan yang harus fokus paling tidak 20jam dalam seharinya  untuk menghafal dan mensterilkan lingkungan mu dari segala kesibukan lain yang berpotensi mendistraksimu. Kamu udah punya tabungan untuk hidup, atau masih bergantung sama orang tua? Lagipula, entah berapa lama akan selesai hafalan mutqin (di luar kepala). Begitu keluar dari pondok, jelas kamu akan terasing pada hiruk pikuk dunia dan segala tuntutannya. Anak pondok kan biasa nya jetlag kalau udah keluar dari pondok dan melihat realitas metropolitan.
Stigma seperti itu yang sering kali berkeliaran liar di kepalaku pada keputusan ini. Sok nyantri, ujug2 jadi santri liar (meminjam istilah ustadz Luthfi Fathullah untuk santri yang terlepas dari sistem dan menjadi liberal gaya hidup dan pemikirannya)

Ada banyak alasan di sini, pergulatannya juga banyak. Yang jelas, seorang pasti akan mengambil sebuah keputusan atas dasar pertimbangan yang matang. Dan pertimbangan itu diambil setelah melakukan kesepakatan dengan para stakeholder dalam hidupnya.

Karenanya, dunia pasca kampus itu lebih menantang. Karena momen itulah, 16 tahun pendidikan formal kita akan usai, bercabang menjadi percabangan pilihan hidup yang memberikan banyak penawaran. Pertanyaannya adalah : ke jalan mana kamu hendak melangkah?

Yang jelas, saya sudah mempertimbangkannya dan menyampaikan secara baik2, mendiskusikan dengan orang tua dan membuat kesepakatan dengan mereka. Bahkan nggak segan2 mereka menjadi benefactor di sini yang membuatku terharu.

Soal jetlag pasca pondok?

Saya paham.

12 tahun saya hidup dalam kota metropolitan jakarta. 2 tahun hidup dalam suasana pondok modern di jogja. Saya paham yang dimaksud dengan jetlag, realita anak pondok (malah, bukan cuma anak pondok saja, tapi sekolah islam terpadu pun juga) pasca mengenyam pendidikan dan terbebas dari sistem yang selama ini mengatur. Karenanya saya tidak berkenan untuk menerima mentah2 pendapat orang lain soal stigma pondok yang terkesan eksklusif sehingga keberterimaan nya di lingkungan sosial masyarakat luar pondok sangat rendah.

Intuisi saya untuk S2 besar, dan tekadnya pun sudah tertanam, bahkan semenjak SMA. Saya yakin, masalahnya bisa diselesaikan bukan dengan mengubah targetan, tetapi dengan memodifikasinya.

 Saya lulus pada november 2016. Itu tertarget, karena beasiswa yang saya kejar pada periode februari 2017. Pasca wisuda 16 november, secara mandiri saya berlatih toefl untuk persiapan tes toefl itp tanggal 19 desember 2016 di ppb (pusat pelatihan bahasa) ugm. Sertifikat toefl itp ini berlaku dalam negeri, dan kurang terstardardisasi jika digunakan untuk aplikasi kuliah maupun beasiswa luar negeri. Biasanya dibutuhkan sertifikat ibt ataupun ielts. Standar untuk toefl itp ke luar negeri umumnya >550. Seusainya tes, saya kembali ke rumah di Jakarta untuk mengurus berkas umum yang dibutuhkan untuk administrasi pendaftaran S2 maupun beasiswa. Baik ijazah versi bahasa inggris, legalisasi ijazah dan transkrip nilai, dan stck. (Surat keterangan sehat dokter  seharusnya juga diurus, tetapi saya tunda sampai ada kepastian dari pihak pemberi beasiswa yang saya kejar ini. Dan paspor saya sudah kadarluasa, jadi harus buat paspor ulang). Waktu itu saya belum punya e ktp dan nama saya direvisi ke kantor pengadilan jaksel sampai ke sudin. Jadi perlu diurus pula administrasi ini karena berhubungan dengan status nama saya di e-ktp (bisa baca catatan : pengurusan revisi nama).

Karena target saya ke luar negeri, maka saya berlatih diri untuk bisa mengejar slor di tes ielts. Pertengahan desember saya mendaftarkan diri ikut program ielts camp di pare selama satu bulan. Sekarang prosedur pendaftaran kursus di pare lebih terintegrasi, bahkan sampai difasilitasi untuk jasa penjemputan dan tempat menginap bagi yang tidak ikut camp. Program ini dimulai tanggal 10 januari dan berakhir sekitar 8 februari. Jadi saya targetkan sampai tanggal 09 januari 2017 sebelum keberangkatan ke pare, segala berkas harus sudah siap dan tinggal jadi.

Proses ini saya jelaskan dengan maksud, keputusan saya untuk mondok tidak asal menuruti intuisi membuncah. Karena beban moral yang besar untuk sebuah keputusan semulia itu, tapi di lain sisi tidak ingin sampai melupakan tujuan awal, saya persiapkan minimal semua berkas2 yang dibutuhkan dan bisa diurus terlebih dahulu untuk proses S2. Supaya saat proses pendaftaran, saya hanya tinggal mensubmit. Saya mendaftarkan tes  ielts di britishcouncil untuk tanggal 28 februari 2017. Sehingga pasca kursus sebulan di pare, masih ada kesempatan belajar mandiri ielts sebelum awal maret saya masuk pondok. Qodarullah, agak nekat memang, karena itu tidak menjamin saya langsung mendapat skor ielts >7.00 sesuai ekspektasi. Kalau semisal mengulang, nggak tahu lagi harus pakai uang 2,8juta darimana dan belajarnya gimana kalalu sudah mondok. Kalau soal ini bisa saya wanti2 dengan ikut simulasi ielts. Daripada harus mengulang tes resmi dengan biaya 2.8juta (mengingatkan saya dengan senior yang sekarang sudah di uk dan beliau sampai harus mengulang 4kali tes ielts dengan total biaya lebih dari 10juta) *__*.

Kembali ke topik utama, umi merekomendasikan saya untuk ikut pondokan di krapyak yogyakarta. Masalahnya di sini.


Untuk seorang masyarakat perkotaan dengan paradigma yang mau : serba cepat, tertarget, terjamin. Saya sarankan jangan mengharapkan tuntutan sebesar itu jika kamu masuk dalam suasana tradisional pondok nahdiyyin.

Ya, saya tahu. Ada banyak pondok, memang. Pondok atau program yang menawarkan ‘1 tahun menjadi hafizh’. Ada juga yang enam bulan, tiga bulan, bahkan satu bulan. Tetapi, untuk umi saya  yang merupakan lulusan pondok tradisional, paradigma nahdiyyin sangat khidmat dan ta’dzhim nya luar biasa dengan bu nyai. Hafalan quran bagi mereka bukanlah sesuatu yang bisa kau sambi2 dengan kesibukan lainnya seperti kerja dan sebagainya. Bukan pula hal yang bisa sekedar dihafal tetapi kelak bisa lupa. Meski di krapyak memang ada  juga komplek untuk mahasiswa seperti komplek GP bu Luth dan bu Nafis, tetapi umumnya mereka diminta untuk tidak terlibat aktif dalam organisasi yang bisa melalaikan tanggung jawabmu sebagai santri dalam menghafal dan belajar agama. Hafalan juga bukan sesuatu yang bisa ditargetkan satu bulan –dua bulan, seakan gelar hafizh itu dengan mudah didapat bagi mereka yang sudah rampung hafalan tapi tidak terjamin kelancarannya.

Hafalan itu harus mutqin. Bukan hanya sudah hafal 30juz dan punya sertifikat sanad, tapi harus bisa mempertanggungjawabkan hafizh dan sanadnya seseorang.

Ini kiranya yang saya pahami dari jalan pikiran umi ketika beberapa kali saya tawarkan banyak program pada beliau. Untuk mendapat acc beliau sulit sekali. Pasalnya, saya dididik (oleh beliau sendiri) selama ini dalam lingkungan islam terpadu sampai SMA. Masuk ke kampus dan bermukim di pondok modern, mahasiswa. Paradigma pondok tradisional seperti ini sulit untuk saya pahami. Sampai mendapatkan sanad dari kyai yang terjamin sanadnya pula. Bukan sesederhana itu, rupanya...

Saya ingat satu momen saat saya menjadi pandu di gmmq (gadjah mada menghafal quran) program js. Saat itu saya mengetes hafalan calon santri. Beliau sebutkan hafalan beliau sekian juz. Wah, saya terkesima dengan nominalnya. Kemudian saya ujikan pada beliau beberapa soal, dan memang banyak ketidaklancaran yang saya temui. Sangat banyak. Kalau boleh jujur, semua soal yang saya ajukan perlu saya bantu. Sampai di soal ketiga, saya tersenyum meakhiri ujian hafalannya. Batinku saat itu, ‘ini harus dihafal ulang, nggak bisa kalau diajak terus nambah...’. Beliau lantas menceritakan bahwa beliau mengikuti program hafalan di solo yang sebulan hafalan sekian juz. Lalu beliau berharap bisa memperlancar hafalannya.

Saya memahami, barangkali ini kekhawatiran yang dibayangkan umi. Jika hafalan sekedar hafalan. Jarang dimurojaahi, dan sekalinya dimurojaahi, perlu ‘dihafal ulang’.

Usaha sejauh ini pun saya cari lewat internet dan tanya2 pada kawan yang pernah mondok, satu daerah, atau minimal kenal dengan kyainya.

Saya dengar muwajjih ustazah saya dari al irsyad mondok untuk hafalan mutqin. Kakak saya (yang juga mondok di krapyak selama 10tahun di pondok mahasiswi) juga meragukan saya bisa menyelesaikan satu tahun. Musyrifah saya sendiri  mondok di al multazam untuk rampung hafalan sampai 3 tahun.

Jika orang2 sekaliber mereka berpendapat demikian, saya menyimpulkan tiga hal yang harus saya putuskan. Pertama, untuk tidak terlalu berharap bisa merampungkan hafalan selama satu tahun itu. Asal mutqin dan menjadi santri baik, bagi saya sudah cukup. Gak banyak masalah, gak banyak neko-neko, dan gak banyak perizinan. Sudah benar-benar cukup bagi saya. Kedua, tidak akan menyambi2 dengan agenda lain. Cukup fokuskan pada menghafal dan tidak menganggap ini sebuah hal yang sepele lagi. Justru semakin menyadari bahwa beban moralnya semakin tinggi (apalagi ditambah beban sarjana. Hahaha *tawa hambar*). Dan ketiga, untuk tidak menuntut banyak pada sistem, tetapi menuntut pada diri sendiri. Karena paradigma saya (setidaknya dari kemarin) adalah ‘pondok’, ‘berprogram tiga bulan –atau enam bulan, deh’ ‘ (anehnya malah nawar).  Seolah dengan program seperti itu akan menjadi status hafizh mu atau minimal multipikasi hafalanmu. Saya malah khawatir pada tanggung jawab saya dalam hafalan tersebut, sebagaimana hafalan saya sekarang yang timbul tenggelam terbawa arus memori lain.

Jujur saja, saya malu mengatakan ini, tapi dulu sesederhana itulah saya bertekad untuk menghafal.  Ternyata ada yang jauh lebih besar dari itu. Jika ingin menghafal, jangan terlalu mengandalkan program2 itu, tetapi biarlah waktu yang menjelaskan bagaimana kapasitas menghafal kita dan keberterimaan al quran untuk bisa kita hafal. Jika memang bisa menyelesaikan satu tahun yang mutqin, berarti kau menunjukkan pencapaian yang luar biasa. Jika memang kemampuanmu sebatas menyelesaikan beberapa juz, namun mutqin, tetap terimalah itu dan jaga yang sudah kau hafal baik2. Adapun soal target mu S2 dan statusmu yang belum selesai hafalan, bisa dikomunikasikan secara baik2 seiring dengan waktu. Kalau mau pamit, pamitnya pun ketika sudah jelas kamu mendapatkan beasiswa, supervisor, dan sudah jelas diterima  di universitas tertentu. Sehingga momen ketika kamu keluar pondok adalah momen saat kamu sampai di rumah dan tinggal mempersiapkan visa, mengepack barang2, dan menunggu waktu sambil memurojaahi hafalan secara mandiri.

Sederhana? Kalau dunia saat di pondok dan momen2 saat aku ke nyambi ngirim berkas sih, aku belum lewati. Bayanganku tidak sesederhana itu, tapi insyaAllah bisa dijalani, asal ingat tujuan awal saja.

Indah? Sekali lagi, saya belum menjalaninya, jadi belum berani berkomentar apa2 ^ ^”.

Apa aku sukses memberikan pandangan kepada pembaca bahwa ini bukanlah hal yang sederhana? Bahwa ini adalah hal besar yang butuh persiapannya ekstra. Pergulatan batinnya pun, juga (ekstra) ...

Akhir kata, saya mau memberikan pandangan tambahan, bahwa mondok itu bukan sesuatu yang kolot. Ketinggalan zaman. Pondok tidak dihuni oleh mereka yang berkutat pada ukhrawinya dan ngaji kitab. Tetapi tentang mereka yang hendak berfokus pada apa yang mereka pilih, dan pilihan itu tidak banyak yang berani mengambil keputusan itu. Malah, kita dilatih untuk bisa mensandwich pikiran kita (istilah bu Sri Mulyani dalam pidator akhirnya di hotel Ritz Carlton) dalam upaya untuk membagi fokus pada berbagai prioritas dan kepentingan. Kapan saat kita harus mengisi pikiran dengan mencari2 informasi research lab yang sesuai dengan riset kita. Saat perlu merevisi paper (dan ini mengingatkan saya bahwa deadline revisinya 9 januari ini -___- belum rampung). Intens menghubungi dosen meminta surat rekomendasi atau mencari supervisor. Saat menargetkan diri memenuhi kualifikasi standar ielts. Atau mencari2 pondokan yang sesuai kualifikasi orang tuamu dan memuroja’ahi hafalanmu sebagai bentuk tanggung jawabmu pada orang tua ^ ^.


Mohon doanya semoga dikuatkan. Penulis sedang tidak sehat pada momen saat ini ditulis. Terima kasih.

12 Agu 2016

Visi

Punya visi hidup itu penting, kawan.
Supaya kita nggak akan lupa janji awal kita dengan mimpi. Dengan diri sendiri. Dan dengan masa depan. Dunia dan akhirat.  Visi itu dibentuk dengan kesepakatan mereka yang menaruh tanggung jawab masa depan denganmu. Tidak dibentuk sekehendak hati. Tapi atas dasar pertimbangan mereka. Sampai engkau akan tertunduk ta'dzhim mengiyakan, atau melatih diri untuk melapangkan dada saat adanya ketidaksepakatan. Lalu mengamini doa mereka yang menyertai langkahmu.
Visi ini dibentuk supaya kita nggak lupa dengan identitas kita. Jati diri kita. Dan tanggung jawab kita pada diri sendiri. Lingkungan sosial. Keluarga. Visi ini dibentuk supaya kita tidak dan "tidak akan" terpengaruh pada variabel eksternal yang kerap ditemui selama menapaki jalan kehidupan. Supaya kita tetap istiqomah setiap kali ada kehendak diri untuk mundur. Supaya kita tidak menangguhkan diri dalam setiap alasan baru. Supaya kita bisa ingat, ingat selalu. Bahwa mimpi kita terlalu indah untuk digadaikan. Qodarullah, kecuali jika Allah menakdirkan masa depan lain di depan sana. Yang penting adalah usaha terbaik untuk semua itu.

Yogyakarta, 27 Juni 2016.

14 Mei 2016

Rukshah dalam Islam. Apa dan Bagaimana?

Kajian Dzuhur Majelis Ta’lim Tekomsel.
Rukshah dalam Islam. Apa dan Bagaimana?

Rukshah sering diterjemahkan dengan keringanan. Secara bahasa, kata-kata ini sering diterjemahkan sebagai ‘diberikannya izin untuk melakukan suatu perbuatan, padahal sebelumnya perbuatan itu dilarang.’ Awalnya perbuatan itu dilarang, setelah itu kemudian diizinkan. Tindakan diizinkan itu artinya memberi rukshah.

Secara istilah, al Imam al Ghazali menyebutkan bahwa rukshah adalah sebuah ‘perluasan.’ Memberikan perluasan kepada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu yang tadinya dilarang, Allah berikan keluasan karena adanya udzur syar’i –alasan yang kuat, dimana kita karena udzur itu tidak dapat mengerjakannya, yang sebelumnya ada sebab yang mengharamkan.

Dasar rukshah ini menarik. Karena ini juga menjadi pembeda agama kita (yang dibawa Muhammad SAW) dengan Islam juga (tapi yang dibawa nabi-nabi terdahulu).

Nabi Isa, islamkah? Musa juga Islam. Tetapi kenapa dikatakan nabinya orang kristen , nabinya orang Yahudi?

Semua nabi sebelum nabi Muhammad adalah Islam, agama yang dibawa pun juga Islam. Namun, karena karakteristik pensyariatan di masa lalu dan masa nabi Muhammad beda. Orang zaman dahulu tidak menyebut agamanya bukan Islam. Lantas, yang membedakan satu agama dengan agama lainnya apa? Nama bangsanya.

Jadi, dulu agama turun berdasarkan bangsanya (kaumnya). Nabi Musa, lahir di kaum Yahudi. Maka disebut agama Islam untuk kaum Yahudi. Namun jangan dikatakan di zaman sekarang, karena sudah banyak keluar dari asas yang paling dasar. Tapi kalau kita lihat dari masa lalu, semua nabi muslim. Dan memang kebetulan, semua nabi itu diutus berdasarkan kebangsaannya beliau. Hanya sayangnya bangsa Jawa dan Melayu tidak mendapat nabi. Akhirnya, kita pakai nabi yang universal saja. Kalau dulu, forum di zaman nabi Muhammad (sebut saja Abdullah) bertemu dengan orang di Palestina yang beragama Nasrani, tidak kompatibel. Karena agama Musa hanya diturunkan untuk orang Palestina saj. Dulu agama diturunkan sesuai bangsa dan tidak bisa saling tukar syariat. Di zaman nabi Muhammad, itu semua berakhir. Mau orang eropa atau asia. Agama dipakai untuk seluruh bangsa. Sehingga sekarang mengatakan orang Islam, kebangsaan eropa, jawa, melayu.

Yang membedakan agama Nabi Muhammad dan agama lainnya, salah satunya ada rukshoh. Bertebaran hampir di seluruh detail syariat, ada rukshohnya. Wudhu. Sholat. Puasa. Haji. Sampai muamalah pun ada rukshahnya. Ada keringanannya. Kenapa dikatakan ringan, karena dibandingkan umat terdahulu, tidak ada keringanan.

Contohnya, di surat al baqoroh, orang Yahudi jika berbuat dosa, taubatnya tidak diampuni, kecuali melakukan ritual. Bunuh diri. Faqudu ilaa baariikum faqtulu anfusakum. Jadi, syarat diterimanya taubat adalah bunuh diri. Agama nabi Muhammad, syarat diterimanya taubat ya menyesal, tidak sampai bunuh diri. Namun orang Yahudi, untuk diterima taubatnya harus bunuh diri. Dan ini tidak berlaku untuk diri kita.

Atau ada lagi, orang Yahudi di masa lalu, jika mereka tersentuh benda najis pada tubuhnya, tidak bisa disucikan. Kalau kita, bisa, tujuh kali dengan air, salah satunya dengan tanah. Orang Yahudi, tidak bisa disucikan. Sekali kena najis, dosa, dan tidak bisa disucikan. Harus dipotong bagian tubuh yang terkena najis.

Karenanya, Allah menginginkan dari kalian yang mudah, tidak suka melakukan yang susah. Oleh karena itu, reaksi wajarnya, merkea tdak bisa menjalankan agama sendiri kecuali mereka mengubah agamanya.

Jadi, misal orang Nasrani. Sholatnya lebih berat (aslinya). Kalau sekarang kita minum khamr, itu bukan rukshah. Itu karena mereka meninggalkan agamanya. Kalau kita lihat mungkin ada yang tidak mau minum khamr berjudi. Ini karena mereka membangkang, dan meninggalkan syariatnya. Sehingga demikian.

Kalau orang Islam, kita sebenarnya meninggalkan syariat, dan yang membuat syariat mengatakan, ‘tidak apa2, silahkan.’ sehingga rukshah dalam agama Islam menjadi ciri khas agama yang diturunkan nabi Muhammad dan agama yang diturunkan nabi lainnya.

***
Para ulama membagi yang namanya rukshah secara hukumnya, ada rukshah yang wajib untuk dilakukan. Keringanan dari Allah yang buat kita hukumnya wajib. Sunnah. Mubah. Dan makruh.

      1.       Wajib.
Orang dalam keadaan kelaparan mau mati di tengah padang pasir. Tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai ular. Ular hidup saja, kita makan tidak boleh. Apalagi bangkai. Berarti haramnya dua kali lipat. Tetapi ketika kita tidak bisa meneruskan hidup kecuali jika makan. Dan kali ini diberikan rukshah, wajib untuk makan bangkai. Wajib harus dikerjakan, agar orang tidak mati.

      2.       Sunnah.
Ada dua pilihan, namun lebih utama ambil yang rukshohnya. Seperti musafir yang jika dia sudah memenuhi syaratnya, perjalanan melewati jarak dilaluinya qashar. Kebanyakan ulama mengatakan dia boleh mengqashar. Maka, lebih baik jama’ ashar dibandingkan tidak usah. Ini jenis keringanan yang sifatnya sunnah.  Namun dalam konteks safar, Rasulullah lebih sering menjama’ shalatnya, sehingga para ulama mengatakan sunnahnya menjama’. Namun, yang ingin shalat biasa, juga tidak dosa.

Contoh yang lain ialah musafir di bulan Ramadhan. Mana yang lebih utama, dia membatalkan puasa, atau terus berpuasa. Dilihat kasusnya. Jika masyaqqahnya lebih tinggi. Jika dalam perjalanan, dia bisa mabok dsb, dia lebih baik tidak berpuasa. Namun jika Jakarta-Surabaya. Satu jam perajalanan, nggak apa-apa. Jadi lebih afdhal lanjut berpuasa.

Contoh yang lain. Nabi tinggalnya di madinah, yang jika dilihat dari letak geografis, posisinya lintang utara. Ada musim panas dan dingin. Jika masuk musim panas, bisa sampai 50 dercel. Di masa Rasul, jika panas demikian, diberikan keringanan, bahwa shalat zhuhur tidak perlu diawal waktu. bahkan jadi makruh. Afdhalnya diundur. Tunggu sampai udara lebih dingin, katakanlah jam setengah tiga. Sehingga afdhalnya shalat zhuhur beliau jam setengah tiga. Hal ini tertulis di Shahih Bukhari Muslim. Dan ini lebih utama dibandingkan di bawah terik matahari. Namun, kajian fiqhnya, hal itu terjadi di Madinah yang panasnya demikian. Apakah hal itu lantas terjadi di Indonesia?

Contoh lain. Melihat muka calon istri. Aslinya tidak boleh, tetapi jika melihat sekilas, tidak masalah, karena wajah itu bukan aurat. Tapi jika melotot, itu tidak boleh. Namun ada rukshah jika calonya yang mantap.  Pernah di zaman nabi, ada sahaabt menjumpai nabi dan mengatakan ada calonnya. Dikatakan beliau tsiqoh saja, namun nabi membantah, “lihat dulu wajahnya. Bisa jadi semakin mantap ataupun agak ragu. Mumpung belum lebih lanjut”. Sehingga rukshahnya dilihat dulu.

      3.       Mubah.
Boleh. Tidak masalah memilih yang manapun. Contohnya, banyak dalam masalah muamalah.

Contohnya, jual beli secara salam. Kasus di masa nabi, banyak pedagang kurma yang datang kepada petani dan mengatakan, ‘wahai petani, saya butuh kurma. Saya berikan uangnya, dan anda serahkan saat panen.’ Sehingga saat akad, pohonnya belum ada kurma maupun bunganya. Ini jual beli yang dibolehkan. Aslinya kan, jual beli yang belum ada barangnya kan tidak boleh. Namun, diperbolehkan nabi. Karena akad salam, akad yang dilakukan bukan yang dilihat itu ada apa. Namun sifatnya sama seperti kredit. Barangnya dikasih duluan, bayarnya belakangan. Jual beli dengan cara menghutang, boleh. Mahar pun juga boleh.  Jual beli salam, terbalik. Uangnya tunai, barangnya belakangan.

Dan hal ini sudah sering kita lakukan tiap hari. Pergi haji bayar dulu, berangkatnya masih jauh –nanti. Karena kalau beli nanti, harganya mahal. Karenanya bayarnya sekarang. Aslinya tidak boleh, namun khusus untuk akad salam ini, dibolehkan.
Sekarang, kita pakai atau tidak pakai akad salam, terserah. Itu rukshah yang Allah kasih, hukumnya terserah. Mubah.

Contoh yang lain, sayembara. Aslinya, sayembara itu tidak boleh, karena seperti judi. Namun, sayembara berbeda dengan judi. Kalau judi, saya pemain judi, lawan saya pemain judi. Kita sama-sama bertaruh, saya dan dia keluar uang 100rb dengan kesepakatan, yang menang boleh ambil uang lawannya. Sebut saja taruhan uang pancong. Maka itu haram. Jika sayembara, yang bertarung satu orang saja, yang lain tidak. Misalnya ini duit saya 100rb, kalahkan saya. Kalau saya kalah, silahkan ambil uang saya. Jika menang, ini uang tetap punya saya. Dan sayembara ini, aslinya diharamkan, namun karena ada bberapa rukun yang tidak dijalankan, maka ini tidak diharamkan.

      4.       Makruh.
Ini keringanan juga, namun sebaiknya jangan dipakai.
Contohnya seperti orang yang dalam keadaan musafir, dia tidak merasa lapar dan tidak merasa haus, tidak merasa kelelahan. Tetapi karena dia musafir, sebagai musafir sudah berhak makan minum. Namun, pertimbangannya, lebih baik mana? Illat (alasan) kebolehan orang berbuka puasa itu bukan masyaqqotnya, tapi safarnya.  Maka siapa saja yang memenuhi ketentuan safar, dia boleh berbuka puasa. Berat atau tidak berat. Jadi, ukurannya bukan berat –tidak berat, namun syaratnya bukan berat tidak berat, tapi safarnya.  Memang asal muasal ketika disyariatkan karena berat. Namun setellah dikodifisikasi  menjadi hukum positif, syaratnya bukan karena berat tidak berat, tapi safar itu sendiri. Tapi kasusnya begini, saya musaffir, dan saya tidak merasa berat. Maka sebaiknya saya tidak mengambil keringanan ini.

**
Q.A

Q. puasa sunnah, mendapat undangan makan. Apa sebaiknya kita buka atau tidak?
A. Kalau puasa sunnah, bebas. Kita mau teruskan sunnah atau membatalkan. Namun, afdhalnya, jika puasanya dari ashar, tidak. Karena rugi. tetapi jika undangannya pagi, silahkan saja memenuhi undangannya.  Kalau ditanya yang mana yang lebih baik,  hitung-hitung saja menurut kita. Misal kita lama nggak puasa sunnah, dan mau puasa nih. Ternyata dapat undangan. Karena susah cari waktunya lagi nih. Ya sudah bismillah, puasa saja deh. Kecuali jika alasannya begini. Kita bisa puasa kapan saja, ada hajatan teman. Kita datang  untuk memamerkan

Q. yang membuat orang boleh tidak sholat jumat?
A. yang pertama, dia bukan laki-laki. Perempuan boleh tidak sholat jumat. Atau sholat jumat jam 2, boleh. Dan tidak perlu sholat zhuhur lagi. Yang kedua, belum baligh. Yang ketiga, mukim. Orang yang musaffir tidak punya kewajiban sholat jumat. Yang keempat, orang sakit. Yang kelima, budak. Orang yang merdeka, wajib sholat jumat.
Hujan, tetap wajib. Kewajiban ini sesuai kemampuan. Kita berusaha sholat masjid. Tapi ternyata tergenang air. kalau mau ke masjid tergenang air dulu. Itu kan keadaan yang tidak harus. Banjirnya yang membuat diperbolehkan, bukan hujannya. Atau terlambat, itu sudah tidak bisa lagi sholat jumat. Tapi wajib sholat zhuhur.

Q. ada yang mengatakan, jika lebaran di hari jumat, maka tidak ada kewajiban sholat jumat setelah pagi nya sholat ied?
A. hari raya idul fitri atau idul adha, maka siapa saja yang melakukan sholat idul fitri dan idul adha maka dia tidak wajib lagi sholat jumatnya. Ini ikhtilaf di antara para ulama. Yang dikaksih rukshoh bukan semua orang islam. Tetapi memang yang mereka itu aslinya tidak wajib sholat jumat. Siapa? Orang islam, sahabat nabi, yang tinggalnya di padang pasir (nomaden). Hari ini dia di sana. Hari esok bukan di sana lagi, mengikuti hewan buruannya. Orang seperti itu, memang aslinya tidak wajib sholat jumat. Kalau orang seperti mereka pagi lebaran ikut sholat idul fitri. Kemudian mereka lebaran ke rumah rasul. Minta izin tidak sholat jumat karena tidak tinggal di sana. Dari segi syarat itu bukan tempat tinggal. Status mereka seperti musafir. Rasul berkata, ‘silahkan kalian tidak sholat jumat, tetapi kami sholat jumat.’ Karena sholat jumat diwajibkan untuk para mukallaf. Tidak bisa dijatuhkan dalil itu oleh sebuah hadist, selama ada dalil yang lain (QS. al-jum’ah : 9)

Q. Dari Arofah sampai Mina, sholat di qashar. Kalau kita ikut perjalanan dinas, berapa lama yang boleh sholat mengqoshor sholat?

A. Para ulama bicara batas berapa lama boleh di jama’ dan qoshor, semua mengacu pada kejadian yang di masa nabi ketika nabi pergi haji, kejadian 10 H dan kejadiannya unik. Beliau datang dari Madinah ke Makkah, kemudian haji 4 hari 9, 10, 11, dan 12 setelah itu beliau tetap tinggal di Makkah. Yang menarik, selama empat hari, beliau jama-qashar terus. Namun setelah itu, beliau tetap tinggal di Makkah dan tidak jama’ qashar. Kemudian para ulama menarik kesimpulan, batas jama’ qashar seseorang jika dia mendiam dalam tempat itu adalah empat hari.

13 Mei 2016

Bagaimana Memeriksa Kebenaran Sebuah Berita

Perhatikan contoh tayangan ini [Kasus lumpur Lapindo. Ada yang memberikan opini lumpur sebagai ladang penghasilan rezeki, ada yang menyampaikan belum adanya uang pengganti dari pihak perusahaan kepada masyarakat yang dirugikan].

 Sebuah peristiwa yang sama, tetapi mengapa fakta dan kesimpulannya berbeda? Jika Anda bingung, Anda tidak sendirian. Jika sudah ada dua versi seperti ini, bagaimana bisa mempercayainya? Berikut adalah beberapa tips.

Kenali reputasi media. Cara yang paling sederhana adalah apakah media itu memberitakan sesuatu yang anda saksikan sendiri, tetapi berita yang muncul tidak akurat? Misalnya pernah melihat kecelakaan, kebakaran, bencana alam. Anda ada di lokasi atau ikut mengalami? Tetapi media tersebut cenderung melebih-lebihkan atau memilih milih gambar dan hanya menayangkan yang bombastis saja. Atau Anda pernah berdebat dengan pedagang di pasar karena harga sembako? Media mengatakan bahwa harga cabai sudah turun 20.000/kg. Padahal faktanya masih 40.000/kg. Kita lantas ngotot bahwa harga seharusnya 20.000/kg seperti berita di televisi. Lalu pedagang berujar, "kalau lebih murah, kenapa tidak beli cabai di stasiun televisi saja?"

Itu contoh bagaimana ketepatan informasi atau akurasi, dan reputasi media. Bila media punya kecenderungan sering tidak akurat, berarti sistem kerja di ruang redaksinya tidak rapih. Wartawannya tidak dididik dengan benar, dan atasannya tidak menerapkan sistem check dan re-check informasi. Ada juga informasi yang sengaja ditutup-tutupi untuk menyenangkan golongan tertentu. Dari mulai pemiliknya, sampai pemasang iklan. Ruang redaksi media yang melakukan hal tersebut berarti tidak menjunjung tinggi fakta. Kalau hal ini sering terulang, berarti reputasi dan kredibilitas media ini juga rendah. Sehingga dalam berita lain, anda patut meragukan informasi yang disajikan.

Tips kedua, sumber informasi. Setiap media membutuhkan sumber informasi atau narasumber. Sebab, wartawan tidak boleh beropini sesuka hati. Bila dua stasiun televisi sama-sama memberitakan harga daging, maka yang perlu kita lakukan adalah melihat darimana sumber ifnormasinya. Bila TV A mengutip menteri pertanian atau perdagangan, dan TV  B mengutip penjual daging di pasar induk. Manakah sumber informasi yang lebih kita percaya? Tentu bagi konsumen seperti kita, TV B yang mengutip penjual daging di pasar induk, lebih mendekati kenyataan harga di lapangan, daripada TV A yang mengutip menteri yang berada di kantornya. Itulah contoh sumber berita. Jangan lihat dari jabatan atau pangkat narasumber, tapi lihatlah dari nilai kredibel dan akuratnya.

Selanjutnya, apakah sumber informasi itu selama ini layak dipercaya? Bila narasumber itu kerap berbohong dan sesuai pesanan, tentu dia bukan jenis sumber informasi yang layak dipercaya. Dan yang terakhir, apakah informasi itu jelas sumbernya? Media yang tidak menyebutkan sumber informasi yang tidak jelas, patut diragukan kuatlitas informasinya.

Ciri-ciri media yang mengutip sumber informasi tidak jelas, biasanya diawali dengan kata kata, ‘menurut sumber yang layak dipercaya’, ‘menurut informasi dari orang dekat’ atau kata kata yang tersembunyi seperti ‘masalha ini dipersoalkan berbagai kalangan’ atau ‘masalah ini telah menjadi pembicaraan’, atau ‘menurut desas-desus yang berkembang’ tanpa pernah menyebutkan darimana sumber persolaan atau desas desus itu. Sebab tak jarang, medialah yang menyulut desas desus itu.

Sekarang bayangkna jika desas-desus itu dibawa ke berita politik. Ini membawa kita pada tips ketiga yakni : mengenali pemilik media.

      1.       Elang Mahakota Teknologi (EMTEK) group.
      Pemilik                : Eddy Kusnadi Sariatmadja
      TV Nasional        : SCTV, Indosiar
      TV Lain               : Elshinta TV, TV channel, Nexmedia

     2.       Media Nusantara Citra (MNC) Group
      Pemilik                : Hary Tanoesoebidjo
      TV Nasional        : MNCTV, GlobalTV, RCTI
      Media Online      : Seputar Indonesia, Okezone.coom, Sinemart Indonesia, Indonesia Air,                                                    Indovision, WeChat.
    3.       Bakrie & Brothers (Visi Media Asia)
     Pemilik                 : Anindya Bakrie
    TV Nasional          : ANTV, TVOne
     Media Online        : VivaNews
     Bisnis Lain           : Esia, Bakrieland

    4.       Media Group
    Pemilik                 : Surya Paloh
    TV Nasional        : MetroTV
    Media Cetak      : BorneoNews, Media Indonesia, Lampung Post
    Bisnis Lain            : Indocater, The Papandayan

    5.       Trans Corpora (Para Group)
    Pemilik                                 : Chairul Tanjung
    TV Nasional        : TransTV, Trans7
    Media Online     : detik.com, basin robbins, the Coffee Beans, Metro, Carrefour

Dalam sebuah berita, tak jarang pemilik media ikut campur agar wartawannya membuat berita sesuai keinginan dan pesanan. Maka kenali apakah media itu dimiliki politisi atau pemilik partai tertentu. Selanjutnya, kenali juga apakah pemilik media juga pemilik perusahaan tertentu yang sedang diberitakan. Misalnya, pemilik Media A juga Pemilik usaha tambang atau kehutanan. Maka setiap informasi yang dibuat oleh media tersebut tentang lingkungan hidup, perlu dicermati secara bijak. Informasi tentang jenis-jenis usaha media tersebut, mudah dicari melalui internet, dari situs-situs perusahaan itu sendiri, dengan ciri-ciri, nama perusahaan yang sama, atau nama pemilik yang sama. Misalnya, sama sama menggunakan nama trans. Sama sama ada kata MNC, atau sama sama mengandung kata bakrie.

Tips keempat, keberimbangan. Tugas wartawan atau media adalah menyajikan beragam infomrasi yang ada, agar kita mendapatkan informasi dalam berbagai versi. Dalam jurnalistik, ini disebut prinsip keberimbangan, atau cover both side.

Contoh yang mudah, bila media A menuding si B dituduh mencuri, maka selain perlu menyajikan bukti bukti yang kuat dengan sumber informasi yang jelas, juga perlu memuat versi dari pihak B. Baik dari si B sendiri, kolega, atau pengacara. Tanpa itu, berita tersebut hanya satu versi, dan nilai kebenarannya belum teruji.

Kini, selamat membaca atau menonton berita dengan kacamata yang lebih jernih.



Tayangan TV merugikan Anda? Adukan ke :
Komisi Penyiaran Indonesia
Call Centre (021) 634062626
SMS pengaduan 0812 130 70000

www.kpi.go.id

*video diunggah dari RemoTivi.

8 Mei 2016

Once Upon a Time, They Lived Happily Ever After

Bagi konsumen penikmat channel disney, pasti tidak asing dengan kalimat di atas. Agaknya, animasi di disney berhasil memberikan pencerahan pada kita terhadap beberapa hal : (1) bahwa dalam hidup, kebaikan pasti akan menang melawan kejahatan, dan (2) kebahagian eternal akan didapatkan bagi orang yang mau mempertahankan itu.

Prolog
Waktu kecil dulu, saya sering mengantar teman saya pulang  ke rumah –yang rumahnya di belakang sd kami, karena teman saya ini anak dari pengurus yayasan. Sering kali dalam kesempatan itu, di rumahnya saya numpang menonton. Karena yang disetel oleh ibunya pasti channel disney atau CNN. Setidaknya, dunia saya lebih luas dalam mengetahui ada kartun seperti Rollie Pollie Ollie , selain Dora the Explorer atau Hey Arnold!.

Dalam beberapa kartun disney, tema secara umum sama. Kalau kita membaca qur’an diawali ta’awudz dan bismillah, kemudian diakhiri dengan shodaqollahul ‘adzim, pada disney diawali dengan once upon a time, dan diakhiri and they live happily ever after. Sebuah simplifikasi dari dinamika dalam hidup.

Namun sayangnya, hidup tidak sesederhana itu.

Kita tahu kartun legendaris Cinderella, cerita klasik Snow White, dan keajaiban cinta di Beauty and the Beast. Tapi kita tidak tahu –atau tidak mau tahu, apa yang terjadi setelah happily ever afternya cinderella  hidup bersama pangeran. Apakah kehidupannya punya dua anak seperti Keluarga Berencana? Atau Cinderella hidup semakin tua termakan usia. Apakah sistem monarki tetap bertahan dalam kerajaan yang dipimpin oleh Rapunzel dan pangeran dalam cerita The Tangled? Atau apakah mereka sudah cukup bahagia dengan pesta dansa yang diadakan setiap tahun dengan kepemimpinan Ratu Elsa dalam Frozen? Ataukah ilmu fiqh munakahat sudah dikuasai oleh keluarga Jasmine dalam kisah Aladdin and the Arabian Nights? Atau apakah kerajaan bawah laut Ariel masih tetap jernis setelah kasus tumpahnya bensin di daerah Samudera Pasifik, dalam kisah The Little Mermaid? Atau masihkah produk kecantikan Natasha atau Larissa laku, begitu tahu dalam kisah Beauty and The Beast, cinta abadi mampu mengubah segala hal, termasuk fisik sekalipun.

Hidup lebih kompleks dari semua itu. Dan jelas, bukan sesuatu yang bisa disimplifikasi dengan kalimat sakti, ‘once upon a time, they lived happily ever after’.

Ini yang Namanya Realita
Kakak saya bergelut dalam dunia karyawan dan terjebak dalam rutinitas yang sama. Banyak tekanan dari berbagai pihak. Tekanan untuk sebuah gelar yang menempel di punggung namanya. Tekanan dar orang tua yang berharap beliau bersegera mencari pendamping hidup. Dan tekanan pada dirinya sendiri untuk sebuah komitmen dan visi hidup. Sampai akhirn dari cerita beliau untuk saat ini adalah keberhasilan mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah perusahaan bumn. Setelah sebelumnya mendapatkan kerja kontrak yang periodenya beberapa bulan, beberapa tahun, hingga pekerjaan yang merekrut penyelesaian proyek sampai jangka waktu proyek berakhir.

Dalam dunia pekerja kantoran, struggling untuk mendapatkan pekerjaan tetap sangatlah penting. Hal itu menjadi jaminan bahwa engkau akan mendapatkan status pekerjaan yang stabil –tanpa harus melamar membawa ijazah dan transkrip nilai untuk beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan. Pekerjaan yang membuatmu lega hingga akhir usia tua mu masih bisa berpenghasilan dan menabung untuk masa tua nanti. Yang bisa menjaminmu membangun keluarga di sebuah perumahan damai bersama anak dan cucumu. Sebuah usaha yang luar biasa, terlebih lagi tantangannya adalah Indonesia sudah menghadapi MEA sejak tahun 2015. Sebuah kompetisi antara negara Asia Tenggara.

Dengan status beliau  sebagai seorang programmer lulusan sebuah universitas berlabel di Indonesia, namun ketika sudah memasuki ruang kerja, bahkan lulusan UGM pun bisa saja tidak lebih kompeten dibandingkan lulusan binus sekalipun. Meskipun di dunia snmptn, boleh jadi banyak orang lebih membanggakan mengenakan almet UGM dibandingkan President University (berapa banyak orang yang tahu President University dibandingkan UGM?). Namun di dunia kerja, semua label universitas itu akan dipertanyakan kembali pada kinerja diri sendiri.

Satu pagi ketika kami olahraga mengelilingi kampus UI. Saya dan kakak saya ini. Kemudian, ada ruang dialektika antara kami berdua. Pada sebuah visi yang beliau pertahankan di tengah berbagai tekanan. Beliau katakan, harga tanah di Jakarta sudah sangat mahal. Rumah yang dijual di dekat rumah kami saja harganya satu milyar. Untuk membeli tanah di pemakaman umum -dengan catatan bahwa jika engkau membeli untuk tempat peristirahatan terakhirmu (paling tidak, ada jaminan kuburanmu tidak akan tergusur oleh pembangunan proyek) yang ukurannya sekitar 1x0,5 meter saja harganya mencapai 2.5 juta. Membeli satu apartemen hunian saja rata-rata seharga 200 juta ke atas. Kontrakan per bulan mulai dari 5juta perbulan.

Ini yang namanya realita. Dan inilah trend yang terjadi di lingkungan metropolitan.

Saya akui ini karena saya berada di antara dua kota besar. Yang satu, ibukota sebuah negara berpenduduk –hampir mencapai 10 juta manusia. Dan yang satu lagi adalah kota klasik yang kian dipoles menjadi metropolis. Indonesia sudah membangun megaproyek pembangunan besar-besaran di setiap sektor. Masyarakat asli akan semakin tergusur, menyisakan masyarakat berpendidikan dan bermodal, yang dengan modal dan pengetahuannya mampu mempertahankan eksistensi di dunia nyata. Bukan dunia fiktif tempat Disney sukses menuai profit dari penjualan imajinasinya.

Saya melihat banyak dari orang yang saya kenal sudah semakin tergusur. Rumah mereka tidak lagi layak untuk dikatakan sebagai bangunan yang menghuni keluarga dengan ayah istri dan dua anak. Sebuah lingkungan keluarga yang tidak lagi menyediakan akses tanah lapang untuk seorang anak bermain, atau seorang ibu bisa bebas mencari sayur dan makanan bergizi di pasarnya. Karena dinamika kehidupan perkotaan jauh lebih kompleks dibandingkan kehidupan di pedesaan. Hari ini beda cerita dengan hari kemarin. Jika kemarin terjadi baku tembak di jalan Thamrin, maka hari ini aktivitas akan tetap berjalan seperti sedia kala. Karena konsekuensinya, stagnasi menyebabkan ketidakproduktivan siklus perekonomian negara. Maka masa lalu begitu mudah dilupakan, dan masyarakat hidup untuk hari ini dan masa depan. Tidak ada yang mau menggantungkan hidupnya pada masa lalu. Mereka hanya akan kembali bernostalgia di kampung halaman mereka. Karenanya, ritual liburan lebaran atau cuti panjang selalu menjadi momen saat masyarakat kota pulang kampung halaman mereka masing-masing. Bernostalgia pada masa lalu, dan berbakti pada orang tua.

Sementara masyarakat asli perkotaan, hidup dengan masa lalu mereka. Hidup dengan kenangan dimana tanah yang kini menjadi lahan proyek pembangunan mall besar mereka, dulu adalah rumah yang mereka huni bersama ayah dan ibu. Atau tempat bermain petak umpet. Atau tempat mereka memancing. Begitu banyak perumahan yang disulap menjadi areal pembangunan. Setiap kali saya kembali pulang ke rumah, selalu saja ada perubahan. Jalannya semakin tidak bisa kuhafal, karena setiap memandang di tiap sudut kota, gedung tinggi sudah membatasi ruang penglihatanmu. Areal lapangan luas tempat saya dulu bermain, kini sudah disulap menjadi apartemen puluhan tingkat yang mobil keluar masuk sana. Isinya adalah para masyarakat luar yang merantau mencari nafkah dan hidup bertaruh nasib di komplek padat karya : Jakarta. Yang di setiap gedungnya menghimpun puluhan bahkan ratusan perusahaan. Di setiap perusahaan itu menyediakan pekerjaan untuk satu manusia untuk bertahan hidup. Sementara masyarakat asli sana hidup di rumah mereka. Menjual nasi, atau jajanan dalam gerobak dorong, atau tukang ojek, atau pembantu rumah tangga. Atau bekerja di apartemen itu sendiri sebagai cleaning service atau petugas parkiran.

Inilah realita. Karena dinamika kota metropolitan begitu cepat berubah, menuntut orang dengan kapasitas dan kompetensi yang besar.

Yang paling memilukan adalah beberapa diantara masyarakat yang terpinggirkan itu adalah saudaramu. Mereka yang kau kenal. Atau teman mainmu di masa sd dulu. Atau barangkali tetanggamu. Engkau kenal mereka, dan mereka pernah menjadi bagian dari hidupmu. Pikiranmu akan tersandwich antara tuntutanmu pada realita kehidupan, atau rasa simpatimu untuk membantu mereka tetap mempertahankan eksistensi di sana.

Ini yang namanya kota metropolis. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Engkau bahkan akan kebingungan untuk mengkambing hitamkan siapa (atau bahkan, apa?)  –sekalipun engkau membenci realita tersebut.

Waktu SMA, saya sering pergi ke daerah kali Ciliwung. Bantaran kali Cililwung, letaknya di bawah fly over yang menghubungkan Kalibata dan Kampung Melayu, dekat PGC dan daerah SMAN 14 Jakarta. Saya gemar sekali di sana untuk mengisahkan kepiluan pada bagaimana diskriminasi sosial begitu nyata terjadi. Dan masyarakat semakin apatis untuk melihat bagaimana –tetangga mereka sendiri beratapkan seng beralaskan semen, atau pembantu rumahmu sendiri hidup dalam keadaan begitu terbatas dengan tuntutan merapihkan urusan rumah tangga mereka sendiri begitu pekerjaan menyetrika baju dan membersihkan rumahmu selesai dilakukan.

Setiap orang punya urusan masing-masing. Saya tidak akan ikut campur masalahmu, karena saya punya masalah sendiri yang harus segera diselesaikan.

Ini yang namanya dunia metropolitan.

Mereka adalah Sedikit di Antara yang Banyak
Di lain hal, ada juga beberapa orang yang memilih dengan jalan hidup mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang tetap pada prinsip mereka. Begitu kokoh. Mereka bermodal, entah semangat. Atau pengetahuan. Atau kecerdasan untuk mempertahankan eksistensi mereka di antara hiruk pikuk orang yang memikirkan untuk tetap hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak di kota-kota metropolitan.

Mereka adalah orang yang menyediakan jasa peristirahatan. Bukan istirahat di mall-mall besar di jam makan siang. Bukan juga istirahat menghilangkan kepenatan di malam minggumu dengan pacar. Tetapi untuk sebuah pencerahan ruhani dalam majelis ta’lim yang ada di perusahaan mereka.

Pada beberapa perusahaan yang saya ketahui di Jakarta memang memfasilitasi karyawannya untuk mengikuti kajian. Majelis Ta’lim seperti di Telkomsel, atau gedung bidakara, atau instansi pemerintahan. (saya tidak sedang berpromosi), namun inilah selayaknya sebuah peristirahatan bagi mereka yang sibuk pada tuntutan dunianya karena sebuah tuntutan, dan kesulitan untuk menghadiri majelis ilmu sebagaimana di jogja tersebar di banyak masjid di daerah sekitar kampus. Di kota besar seperti Jakarta, setiap gedung saja sudah melakukan shalat jumatnya masing-masing. Bukan hanya setiap gedung lagi. Tapi di satu gedung bisa ada jama’ah sholat jumat yang berbeda.Saya tiba-tiba teringat pertanyaan teman saya untuk menanyakan mana yang lebih utama untuk menghadiri jamaah jumat jika kondisinya lebih dari satu jamaah dalam satu kampung. Di kota metropolitan sendiri, satu gedung bisa terdapat jamaah sholat jumat di beberapa lantai!

Saya tidak menyoroti ketersediaan sebuah majelis ilmu di sebuah  kota metropolitan. Namun saya melihat pada beberapa tokoh yang saya kenal. Mereka masyarakat lokal. Yang mampu mempertahankan eksistensinya di antara begitu banyak masyarakat yang hilir mudik bermukim untuk mencari nafkah hidup di kota besar. Mereka adalah kelompok orang yang mempertahankan eksistensi untuk sebuah hal yang tidak banyak orang mengajarnya, yakni mempelajari ilmu agama dan bertahan dengan menyebarkan ilmu agama itu. Untuk mengisi ruhani mereka yang mayoritas mengejar suatu jabatan atau kenaikan gaji di perusahaan-perusahaan. Mereka adalah sekelompok orang yang banyak dicari orang-orang untuk mengisi ruhani mereka yang kering. Atau memperbaiki akhlak dari karyawan mereka yang sedang dalam masalah keluarga sehingga kinerja di kantor semakin menurun. Mereka ada dan mengisi kajian di perusahaan-perusahaan, atau komplek perumahan elit seperti di Masjid Sunda Kelapa atau Masjid Istiqlal. Mereka ada dan dihormati. Mereka ada dan tetap hidup kecukupan sesuai dengan parameter ‘cukup’ menurut mereka masing-masing.

Pada beberapa tokoh yang saya kenal, seperti keluarga besar Kiai Haji Mughni tempat saya dulu mengenyam pendidikan SD dan SMP. Betapa saya mengagumi beliau yang mendidik anak-anak beliau untuk menjadi penyebar kebaikan di Jakarta. Seperti Ustadz Luthfi Fathullah yang memiliki Pusat Kajian Hadist dan kini menjabat sebagai Ketua MUI Jakarta. Atau Ustadz Ahmad Sarwat yang membangun Rumah Fiqh Indonesia dan produktivitas beliau mengisi kajian di instansi pemerintahan. Atau ustadz Zarkasih yang mengasuh Pondok Pesantren beliau. Almarhum Ali Musthofa Ya’qub yang begitu saya kagumi konsep pemikiran Islam Nusantara dari beliau. Ustadzah Romlah Hidayati yang kini menjadi pakar qiro’at sab’ah dan aktif mengajar di Institut Ilmu al Quran.  Ustadz Ahsin Sakho, rektor LPTQ.  Qori’ah internasional, ibu Mariana Ulfa yang aktif mengikuti konferensi internasional dan menerbitkan jurnal. Azyumardi Azra. Hasyim Muzadi.

Mengenal profil beliau, saya merasa terbuka mata untuk bisa mengkompromikan antara pencapaian dunia dan ekspektasi akhirat. Begitu teduh melihat mereka dan mampu bisa lebih dekat mengenal mereka dan menyerap ilmu dari beliau. 

Islam