"idealisme"
sejujurnya, aku sudah -cukup- capek terjebak dalam idealisme mahasiswa. Entahlah. Semangat berkoar tentang kebangkita bangsa? Dunia yang selama ini kutempuh menyuguhkan berbagai realita soal keadaan polemik. Apalagi mengingat lingkungan yang kubangun selalu berisi orang-orang realistis, yang saking realistisnya, selalu merendahkan mimpi besar idealisme orang lain, "udah lah lo jangan mimpi ketinggian. paling nggak buat hidup lo berguna buat diri sendiri, gak perlu mikirin orang lain." barangkali begitu seruannya.
Ah, ya. Waktu itu aku ingat. Masa SMA aku mulai bertemu dengan orang-orang hebat. Luar biasa menginspirasi, dan dia adalah salah satu teman dekatku. Dia nggak berpikiran idealis, memang. Tapi paradigma yang ia bangun selalu berusaha melakukan hal absurd menjadi lazim dengan semangat luar biasa. Dia -yang sekarang berkuliah di Turki itu yang memprovokasi, anak-anak sekelas untuk berkontribusi.
Aku cuma nggak habis pikir, bagaimana kehidupan orang yang selama ini realistis dalam pandangan sumir, tiba-tiba menginisiasikan gerakan kontribusi. Aku ingat betul esensi kami berempat saat pertama kali nongkrong, bukan mendiskusikan persoalan remeh, namun bagaimana prospek kita ke depan dalam menciptakan ke-'absurd'an lainnya. Sungguh, pengalaman luar biasa saat itu, dan mulai dari situ, aku bisa melihat bagaimana lingkungan memberikan respek pada mereka yang -memang- respek terhadap mereka, bagaimana respon kepada sistem yang berusaha menciptakan perubahan ke arah baik. Tidak ada lagi jurang antara orang 'realistis' atau 'idealis'. mereka semua terbuka matanya, sadar, show must go on.
Sayangnya, kami berempat sudah berpisah. Aku -sungguh- berharap ini bukan sekadar retorika atau gelora kontribusi sesaat. Entah, nyata atau tidak, aku tetap menganggap itu adalah pengalaman terbaik dalam hidupku dalam proses -menuju dewasa.
Dedikasiku : Annisa Mutiara Maharani ; Ria Arni Fajriah ; Qoriatul Azizah.
Ah, ya. Waktu itu aku ingat. Masa SMA aku mulai bertemu dengan orang-orang hebat. Luar biasa menginspirasi, dan dia adalah salah satu teman dekatku. Dia nggak berpikiran idealis, memang. Tapi paradigma yang ia bangun selalu berusaha melakukan hal absurd menjadi lazim dengan semangat luar biasa. Dia -yang sekarang berkuliah di Turki itu yang memprovokasi, anak-anak sekelas untuk berkontribusi.
Aku cuma nggak habis pikir, bagaimana kehidupan orang yang selama ini realistis dalam pandangan sumir, tiba-tiba menginisiasikan gerakan kontribusi. Aku ingat betul esensi kami berempat saat pertama kali nongkrong, bukan mendiskusikan persoalan remeh, namun bagaimana prospek kita ke depan dalam menciptakan ke-'absurd'an lainnya. Sungguh, pengalaman luar biasa saat itu, dan mulai dari situ, aku bisa melihat bagaimana lingkungan memberikan respek pada mereka yang -memang- respek terhadap mereka, bagaimana respon kepada sistem yang berusaha menciptakan perubahan ke arah baik. Tidak ada lagi jurang antara orang 'realistis' atau 'idealis'. mereka semua terbuka matanya, sadar, show must go on.
Sayangnya, kami berempat sudah berpisah. Aku -sungguh- berharap ini bukan sekadar retorika atau gelora kontribusi sesaat. Entah, nyata atau tidak, aku tetap menganggap itu adalah pengalaman terbaik dalam hidupku dalam proses -menuju dewasa.
Dedikasiku : Annisa Mutiara Maharani ; Ria Arni Fajriah ; Qoriatul Azizah.