14 Des 2015

PASCA amanah

Seorang mahasiswa berprestasi yang saya kenal, pernah berkata, “setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya.” Hal itu kemudian yang melandasi saya pribadi dalam setahun berkontribusi di LSiS untuk bekerja optimal dan tidak mengkomparasikan zaman dimana baik satu dan lainnya memimpin.


Ibarat pohon teduh, LSiS sudah seperti keluarga. Tempat dimana kehangatan bisa didapatkan dalam ruang sakral yang disebut “sekre”. Saat prestasi dipandang sebagai sebuah kontribusi. Dan norma menjadi bagian dari kultur kekeluargaan. Tiga setengah tahun saya berkontribusi di LSiS, melihat begitu banyak wajah silih berganti. Yang lama menggantikan yang baru. Yang tua tergantikan yang muda.

Tepatnya tanggal 12 sd 13 Desember 2015 bertempat di ruang M2.09, saya melihat begitu banyak cerita di sana. Adalah hari dimana kami, Pengurus Harian LSiS 2015 membacakan laporan pertanggungjawaban kami selama setahun kepengurusan. Tanpa sadar, setelah ini, segala cerita ini akan usai.

Ada satu hal yang saya pelajari. Seiring dengan kepengurusan kami bergulir, pasca itulah kita akan memasuki fase kontribusi yang sesungguhnya. Fase profesionalitas yang sesungguhnya. dan fase pencarian kompetensi yang sesungguhnya.

Fase kontribusi di LSiS selama ini hanyalah sedikit dari replika pembelajaran KPK yang bisa kita dapati. Saya belajar dari pengurus harian di tahun sebelumnya. Saat inspirasi bisa didapat dari rekan seperjuangan yang bisa saling menguatkan karena sebuah amanah ini. Namun, pasca amanah ini, yang belum ada persiapan untuk menghadapinya, akan begitu saja kehilangan arah dan tujuan. Yang sebelumnya punya kesibukan menyapa staff, menyusun proker, menjalin relasi dengan kawan, mendadak semuanya terhenti. Tidak ada lagi kesibukan. Tidak ada lagi aktivitas yang menuntut deadline. Saat itulah kita berdiri sendiri. Benar-benar merasa sendiri dan terserah bagaimana kita membawa cerita hidup kita kemudian.

Yang mengaku ingin fokus kuliah, mendadak dituntut untuk mulai membuat agenda, Bagaimana kuliah kalian menjadi produktif. Yang mengaku ingin berbakti dengan orang tua, harus segera membuat rencana bagaimana dengan banyaknya waktu luang yang telah dimiliki, bisa berbakti pada orang tua secara optimal. Yang mengaku ingin sibuk merajut mimpi, silahkan untuk memanfaatkan kekosongan waktu untuk merajut mimpi dan menagih realisasi akan semua itu. Tidak ada lagi orang yang akan mendesak deadline. Tidak ada lagi BEM atau dekanat yang menagih realisasi mimpi atau kesuksesan program. Semua benar-benar terserah kita.

Dan saat itulah kita dituntut untuk mencari kompetensi masing-masing.

LSiS telah memberi masing-masing dari kita pembelajaran berharga dari interaksi kultural. Bahwa penting untuk menjalin komunikasi antar rekan kerja untuk memperkuat jaringan. Bahwa penting  membangun kemandirian finansial untuk bisa menyokong kebutuhan pribadi dalam merealisasikan mimpi. Bahwa penting memiliki kemampuan mengayomi dan peduli sesama, jika ingin dihargai orang lain. Bahwa penting untuk berfokus pada akademis dan kemampuan bahasa, karena itulah yang akan menjadi modal kita berekspansi lebih luas ke tingkat berikutnya.

Kini kita memasuki tahap kontribusi sesungguhnya. Saat ilmu yang kita punya dituntut untuk bisa diaplikasikan dalam setiap mimpi kita. Teman teman harus bersiap menjalani hidup normal bagi mereka yang memilih di jalan itu. Adapula yang memilih untuk berekspansi mencari pengalaman baru, selamat berkontribusi. Kita akan melihat masing-masing dari kita berjalan pada tujuannya masing-masing.. Namun, tetap ingatlah satu hal. Bahwa dulu kita pernah berada di kereta yang sama. yang mengantarkan kita memiliki satu pemikiran dan paradigma yang sama. LSiS. Di fase inilah saya semakin memahami makna KPK sesungguhnya.

Semoga waktu kita semakin produktif. Semoga kita tetap berkarya dalam prestasi.

9 Okt 2015

PROLOG -Desa Mabat

#BukanNegeriLaskarPelangi
 
Rasanya, merupakan sebuah anugerah luar biasa besar untuk dapat memijakkan kaki di desa ini : Desa Mabat. Sebuah desa kecil yang ukurannya tak lebih dari tiga kali luasnya UGM, berlokasi sekitar satu jam perjalanan dari Kabupaten Bangka Induk, Sungailiat. Untuk pertama kalinya dalam hidup kami, diperkenalkan dengan sebuah desa –yang boleh jadi namanya tak tertulis dalam Atlas Indonesia. Namun, sungguh, Mabat memberikan sebuah kesan yang sangat berarti di hati kami. Dalam berbagai warna yang akan dituangkan dalam kaleidoskop catatan KKN BBL -01 UGM.

PROLOG –Desa Mabat

Saya punya keluarga besar di kota Jakarta. Karena enyak (panggilan nenek dalam bahasa Betawi) punya banyak anak, barangkali saya hanyalah satu dari puluhan cucu yang besar dan tinggal di Jakarta. Sudah 17 tahun tinggal di sana, tidak membuat lantas menghafal seluruh nama sanak saudara.

Namun, 2 bulan saya tinggal di desa kecil yang jaraknya hampir satu jam perjalanan dari Kota Sungailiat. Desa yang jumlah penduduknya tak kurang dari 300 orang –setidaknya menurut data dari perangkat desa, ada setidaknya seperdelapan nama penduduk saya hafal. Barangkali bukan hanya saya, namun rekan satu unit KKN menghafal nama dan wajah warga desa dengan segala kecakapan mereka membangun relasi dengan masyarakat. Mulai dari yang masih cilik –anak-anak PAUD, SD, Madrasah, SMP, SMA, ayuk-ayuk (panggilan ‘mba’ dalam bahasa bangka), abang-abang, emak, apak, hingga encik sekalipun. Dibungkus atas nama ‘akademik’, KKN sesungguhnya memberikan arti besar bagi kami untuk bisa terjun ke dunia sosial.

Barangkali bukan karena KKN saja. Namun, juga karena masyarakat Mabat-lah yang membuka cakrawala kami.
Pertama kali mendengar nama ‘Mabat’  sudah seperti hal asing yang menggelitik di pikiran. Cerita para senior fisika yang baru saja pulang dari negeri antah berantah, menjalankan tugas suci KKN, katanya. Mereka seakan mengagungkan sebuah peradaban penuh warna dari kondisi sosiologis negeri penuh euforia :

Pertama, peradabannya maju akan moral dan tata krama.

Perhatikan. Sekonyong-konyong saya bermukim di kota metropolitan, belum pernah saya rasakan keramahtamahan dari ketulusan sapaan sebagaimana yang saya rasakan dari masyarakat Mabat. Mereka menyapa tanpa pamrih. Hanya untuk singgah di rumahnya sesaat dan menyeruput segelas fanta (rasa melon) atau makan semangkuk pempek.

Mereka menyediakan untuk kami makan dan minum. Belum habis kami mengunyah bulat-bulat pempek, ditawarkannya kembali satu piring sesajian dengan menu berbeda. Sotong. Lepet. Kepiting. Kerang. Awal kami bersilaturrahim ke rumah warga, kami terdiam membisu. Jetlag. Biasanya, kultur di Jawa itu orang mempersilahkan mampir hanya sekedar wacana. Formalitas, kata mereka. Biar dianggap punya sopan dan santun. Untungnya, sebelum berangkat kami diberikan wejangan oleh kakak senior. Mereka berkata dengan nada bergurau, “kalau kalian ditawari singgah, harus benar-benar singgah! Kalau ditawari segelas teh, harus diminum! Apalagi makanan! Makanya, kalau musim lebaran, siapkan perut kalian kosong! Harus, itu!”. Saat itu saya hanya manggut-manggut mengiyakan. Sekarang, saya paham kenapa mereka terlihat bertambah gemuk selepas KKN.

Peradabannya sangat memanusiakan manusia. Kehangatannya memberikanmu kenyamanan terbaik hingga enggan rasanya untuk angkat kaki di penghujung masa bakti KKN. Keramahannya membuatmu menemukan keluarga kedua di sini. Tradisi yang berlaku di sini akan menggelitik siapa saja yang mengaku masyarakat kosmopolitan sekalipun.

Bagaimana tidak?

Kami mencuci di sungai yang jaraknya ribuan meter berlokasi di pinggir desa. Untuk berjalan kaki saja sudah menempuh waktu setengah jam perjalanan. Belum dihitung ongkar ongkir sambil membawa gerobak beroda tiga berisikan ember-ember penuh pakaian kotor. Kondisi jalanan masih sepi kala berangkat di waktu fajar. Dua minggu pertama kami tinggal di Mabat, kami sempat vakum dari program, sampai lupa diri akan eksistensi kami di sini untuk melaksanakan kegiatan pembangunan desa sebagaimana amanat universitas. Saat itu, kerjaan kami hanya main, makan, dan nyuci baju. Kalau di jogja kami berangkat jam setengah tujuh pagi untuk kuliah, di sini, kami berangkat jam setengah enam pagi untuk mencuci baju di sungai. Produktif sekali.

Rekan satu KKN saya ada yang seorang pengamat. Hobinya memperhatikan kondisi sekitar dan menciptakan berbagai konklusi dalam diskusi kami di cafe pohon (baca: tempat nongkrong anak KKN). Ia berkata, “trend yang ada di sini tu, mau motornya scoopy, supra x, vega-r, metic, gigi, kopling, honda. Pokok e, apapun motornya, tujuannya tetep aja dibawa ke sungai, kebon. Kalo pergi ke sungai, dandanannya pake handuk diselendangin, sama bawa ember isinya alat mandi sama kemben ato gak sarung.”

Segala aktivitas mereka awali dengan pergi ke sungai: sebelum berangkat ke sekolah, setelah ngebon, selepas pulang dari PT. Segala ritual itu mereka lakukan di sungai. Mandi, nyuci baju, piring, karpet, ikan, hingga gorden menjelang lebaran. Apalagi kalau ada orang yang baru selesai manen sahang. Bau busuknya mengudara, menyengat, memantik emosi siapapun yang ada di sana. Mereka hanya akan meneriaki sambil tertawa, “bau duit, og!

Di sanalah pusat kehidupan masyarakat. Dan menjadi katalis bagi kami, para perantau KKN untuk bisa melakukan pendekatan kultural dengan warga desa.

Kedua, atmosfer kekeluargaannya terbangun di sudut manapun.

Jujur saja, pertama kali mendengar kisah dari kakak kelas, saya menduga ini adalah karangan fiktif mereka yang konon pandai berdialektika. Mereka berkisah bahwa perlakuan masyarakat kepada mereka layaknya artis yang dielu-elukan. Bakti tulus layaknya bunda yang mengayomi anaknya, selalu diberikan di sana, hingga kami nyaris lupa kepemilikan sanak saudara di kampung halaman. Ini bukan kasih sayang semu yang terputus begitu periode KKN usai. Namun, kehangatannya masih tetap dirasakan hingga telekomunikasi ribuan kilometer jauhnya, dari warga desa yang selalu menelpon kami setiap malam.

Jadi begini, kawan.

Program utama KKN kami meliputi pendidikan dan pertanian. Sehingga, sudah menjadi rutinitas harian kami mengajar di PAUD, SD hingga madrasah. Di sini kami punya banyak fans yang mayoritas bocah-bocah petualang (baca: minion) berusia 4 hingga 12 tahun yang hiperaktif. Baru berjarak beberapa puluh meter, nama kami sudah dielu-elukan, “kakaaaaaak,... kakaaaaak,...”. Sekalipun saat disamperin, ada juga yang tidak kenal nama saya –sekedar memanggil siapapun dengan sebutan ‘kakak’.

Ada yang selalu mengekor kemanapun pergi –ke desa sebelah sekalipun. Ada yang sering menginap di pondokan laki-laki. Ada yang gemar berantem. Ada yang gemar main lompat tali. Ada yang gemar gelantungan di mobil pick up. Ada yang sukanya nyeduh mie di pagi hari. Ada yang ketagihan diantar pulang kalau main di tempat kami sampai larut. Ada yang datang bawa buku pelajaran, katanya mau belajar, nyatanya main-main saja. Ada yang kerjaannya malu-malu kucing hanya bisa duduk di bawah pohon menanti sampai ada yang menghampiri. Ada yang cuma bisa sms-an dalam sunyi. Ada yang gemar mengirim surat cinta. Sampai ada pula yang gemar main drama kisah cinta konyol antara dia dan rekan KKN saya.

Ada lagi untuk pemudanya.  Hampir setiap malam, cafe pohon di pondokan desa selalu dipenuhi pemuda desa yang turut meramaikan jadwal ronda anak-anak KKN. Sambil membawa sarung dan gitar, sekotak ceret rokok, mereka keluar masuk dapur kami sambil membawa segelas kopi ABC mocca seperti rumah sendiri. Kadang kala buka layar tancap pula. Kami tinggal menyediakan LCD, biarlah tembok jadi layarnya. Di bawah cafe pohon tinggal digelar terpal. Kami membuat bioskop pribadi beratapkan bintang di langit.

Bicara soal langit, pemandangan langit malam di sana luar biasa indah. Saya sering menengadah ke atas dalam perjalanan pulang seusai shalat taraweh di masjid, pada sebuah pemandangan yang nyaris sulit kau temukan di tanah Jawa. Kita ibarat terjebak dalam dome raksasa yang berlokasi di lapangan luas pada nadir sebuah desa terpencil. Di antara batas horizon dan titik alzimuth, terhampar lazuardi malam berselimutkan jutaan bintang yang mengisi suasana. Hingga goresan nyata dari segaris tipis galaksi bimasakti di langit selatan. Seperti mimpi indah saja mengingat itu.

Saya ingat betul satu waktu di bulan Ramadhan. Saat itu, para minion menemani kami pergi untuk berangkat sholat taraweh ke masjid selepas buka puasa bersama. Bilangnya sok jantan, “aku mau nemenin kakak!”. Nyatanya juga kami yang menemani mereka. Jemari mungilnya menggenggam lengan saya. Tangan kami saling bertautan dan berayun-ayun mengikuti irama langkah kaki. Kami berteriak menyanyi sepanjang perjalanan.

Rukunnya, iman itu. Ada enam perkara. Pertama, mengimankan pada Allah yang Kuasa. Kedua malaikat. Ketiga kitab-kitab. Keempat para Rasul. Kelima hari kiamat. Keenam mengimankan takdir baik dan buruk. Itu semua dari Allah.”

Di antara ratusan rumah yang ada di Mabat, semua memperlakukan pendatang baru sama saja. Pintu terbuka selebar-lebarnya, senyum merekah seramah-ramahnya, sambutan hangat tiada henti kami rasakan.

Ada setidaknya empat keluarga yang saya jumpai dan saya merasakan sudah seperti rumah sendiri. Makan tidur mandi di sana. Nyamankan dirimu, mereka tak kenal rasa takut menyertaimu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tidur di sana. Bangun di pagi hari, lalu memasak bersama. Sarapan satu meja dalam lingkaran yang penuh canda tawa. Ikut bergabung dalam barisan geng motor bersorban handuk untuk pergi mencuci ke waduk sungai. Keliling kampung dengan wajah bermasker tebal hanya untuk beli segelas jasjus rasa jeruk. Silaturrahim keliling kampung dan pulang bawa oleh2 hasil panen warga. Berceloteh berbagi kisah hingga malam larut sambil menunggu bayinya tertidur nyenyak beratapkan kelambu. Kebanyakan pertanyaan yang mereka ajukan tentang kehidupan di kampus maupun kota. Pertanyaan kami? Kisaran kehidupan harian mereka, hingga saat pasangan suami istri masih muda.

Setiap rumah ada kisahnya, dan setiap kisah ada orangnya. Boleh saja mereka tinggal di desa yang sama dengan rutinitas yang sama. Namun, mereka semua istimewa sebagaimana mereka mengistimewakan kami. Jika ingin dirimu dihargai setinggi-tingginya manusia, Mabat akan memberikan yang terbaik bagimu hingga merasa seperti artefak berharga.

Pada akhirnya, saya tak tahu apa yang lain juga akan ikut mengagungkan desa ini sebagaimana halnya gambaran di atas. Namun, saya pikir kami sepakat. Mabat menjadi sebuah nama yang sangat istimewa dalam benak kami semua. Sebagaimana saya melihat tangis haru, baik kami unit KKN, maupun warga Mabat sendiri di penghujung periode. Saat semua generasi berkumpul mengantar kepergian kami. Memeluk, merangkul, dan menjabat. Berfoto bersama dalam senyum pahit bercampur emosi rindu yang membuncah. Kami mengabadikan momen ini dalam empat kata penuh makna, “terima kasih, Sahabat Mabat.”

#catatan Setengah Tahun

Ada sebuah perspektif baru yang orang coba bangun, begitu kali pertama mendengar sebuah amanah. Apa itu amanah? Awalnya saya juga rancu dalam mendefinisikannya.

Kita boleh saja membangun sebuah dinasti baru dengan paradigma dan gaya khas kita dalam mengatur sebuah kultur tertentu dalam sistem. Boleh saja kita membawa sebuah peradaban sesuai dengan pemikiran dan gagasan cemerlang kita. Namun, sebrilian apapun ide kita, tidak bisa berlabuh di kekumuhan bumi sosial jika tidak diimbangi dengan sebuah pemahaman akan konsep kultur dan budaya setempat. Inilah yang kemudian disebut proses membumi.
*** 

Saya mengenal istilah ini sudah sejak lama. Namun sebagai sebuah teori, baru saya kenal di masa saya dididik di asrama. Sebuah asrama luar biasa dengan kurikulum kehidupan yang –boleh saja ditertawai oleh orang lain, namun ketahuilah, inilah hal-hal sepele yang banyak orang melupakannya dan luput akan hal itu.

Pada suatu hari, hidup saya berubah untuk satu tahun ke depan. Itulah hari dimana saya dibebani amanah baru. Untuk sebuah amanah yang saya yakin, bukanlah lingkungan tempat saya seharusnya. Dengan segala macam visi hidup yang sudah dibangun sedemikian rupa, saya yakin ada kurikulum hidup yang harus saya ubah, pun juga dengan cita-cita yang perlu ditunda untuk beberapa tahun mendatang.

Dalam kisah ini, ada hal unik bagi saya. Menjadi sebuah kekhawatiran di mata orang tertentu. Meski menjadi sebuah kelegaan tersendiri pada kacamata yang lainnya.

Saya bergelut bersama seorang tokoh. Saya yakin dia akan menjadi tokoh besar suatu saat nanti. Dengan brandingnya sang pengendali forum, semangat inspirasi luar biasa, visi tertata dengan motivasi tinggi yang terbangun untuk menjadi sosok berbeda.

Ada saat dimana saya mencoba memantaskan diri berdiri di sampingnya. Satu dua, sampai kapanpun, saya tidak bisa mengimbanginya. Dia punya caranya sendiri yang membuat saya kerap kali tersenyum sumringah, merasa keunikannya adalah anugerah. Sungguh, semakin lama semakin besar sekali rasa kesungkananku dengan beliau.

Amanah memaksa saya menjadi pribadi yang berubah. Pun demikian usahanya. Seorang apatis yang didesak untuk menjadi seorang yang  paling peduli. Dari seorang yang tak peka, dipaksa menjadi seorang dengan tingkat kepekaan tinggi. Sejatinya, ini bukanlah saya, bagaimanapun itu. Seorang yang selalu bergantung, bagaimana mungkin menjadi seorang independen tanpa ketergantungan apapun? berbagai stigma mulai bergentayangan, tergubris seluruhnya oleh usaha beliau tanpa banyak keluhan. Saya memantapkan diri, dari kali pertama sampai seterusnya akibat keyakinan belilau. Ini baru kisah awal, dan masih banyak inspirasi yang saya refleksikan dari diri beliau.

Bagaimanapun, ada satu dua hal yang membuat saya menjaga jarak. Mundur beberapa langkah dari beliau. Tentang perbedaan sebuah paradigma.

Sejatinya, saya tidak suka menjadi pribadi terikat. Hakikatnya saya independen tanpa ada tendensi pada apapun. Ketidaksukaan saya akan keberpihakan, secara sederhana didasari karena belum ada orang yang secara cerdas mau dan bisa menunjukkan pada saya tentang urgensi keberpihakan sesungguhnya. Katakanlah, seorang tokoh meminta saya dengan amanah yang saya pegang untuk mengendalikan forum dan berkata A. Saya hormati itu sebagai sebuah pendapat, namun akan saya pertimbangkan hal itu untuk kemudian diaktualisasikan.

Saya hanya khawatir menjadi pribadi yang menerima ini dan itu. Banyak dari mereka menjadikan itu sebagai sebuah proses penerimaan secara mentah. Sebuah gelas terisi penuh akan lebih sulit kembali menerima air lagi, jika bukan karena kondisinya kosong sedari awal.

6 Feb 2015

pondok matahari (1)


7 tahun

 Gadis itu duduk di salah satu rest area di stasiun kota Yogyakarta. Seseorang telah menahannya untuk terjebak di tempat tersebut nyaris setengah jam. Sambil mengawasi orang-orang yang berlalu lalang, ia mengamati dengan seksama kalau-kalau orang yang ditunggunya muncul. Sesekali menggeser screen handphone touchscreennya, menshuffle list lagu yang terhubung pada earphone yang terpasang di telinganya hanya untuk membunuh waktu.
Hingga di menit selanjutnya, dorongan ketidaksabarannya membuatnya mulai merapihkan isi tas, mengangkat ranselnya. Hingga dari kejauhan, seseorang memanggil namanya setengah berteriak, “Aya!”
Aya melihat gadis paruh baya itu menghampirinya setengah berlari. Menarik koper sambil menggenggam handphone. Gayanya kasual dengan rok jeans dan jaket merah. Kerudungnya terbalut rapi dengan membungkus wajah putihnya. Satu hal yang mencolok dari dirinya, paras cantik dari wajah blasteran arab.
Ketika mereka sudah berjarak beberapa jengkal, Aya beringsut berwajah masam, sambil melipat tangan, mengeluh, “Aku bertanya-tanya jika kau sudah hilang dari peradaban,”
Tanpa banyak kata, gadis blasteran arab itu langsung memeluknya dengan erat, “aku merindukanmu,” bisiknya.
“Selamat datang kembali, Rehaf,..” timpal Aya.
Untuk beberapa detik kemudian, mereka memberikan ruang untuk menumpahkan rasa rindunya pada 7 tahun lamanya tidak bertemu. Kawan dekat itu terpisah 300.000 kilometer jauhnya oleh 2 benua.
Berusaha mengenyampingkan rasa malunya ketika mereka menjadi point of view di keramaian stasiun, Aya melepas pelukannya sambil menepuk-nepuk pundak Rehaf. Mengajak duduk di kursi sambil merapihkan barang bawaannya.
Diamatinya koper dan jaket yang diikat melingkar di pinggang Rehaf. “Kau baru saja turun dari bandara, dan ke stasiun?” tanyanya menebak.
Perempuan blasteran arab itu mengangkat pundaknya ringan. Matanya menyipit seiring senyum  di bibir tipisnya yang merekah. Sambil memegang pundak temannya yang lelah menunggu, Rehaf memilih mengajak Aya duduk di obrolan pagi hari ini. “Ayo, kutraktir kau es teh,” ujarnya. Ia terlalu lelah untuk berlari di lobi bandara maupun stasiun.
Mereka sesungguhnya adalah rekan sejawat masa remaja. 7 tahun lalu, ya. Meskipun  dulu mereka berbeda kelas, namun mereka diakrabkan oleh sebuah komunitas kepedulian sosial yang mereka bangun.
Selang setelah kelulusnya dari SMA, mereka mengambil jalannya masing-masing. Rehaf melanjutkan studinya ke Kairo, Mesir untuk mempelajari tafsir qur’an. Sementara Aya mengejar cita-citanya menjadi seorang penulis, dan belajar Sastra di salah satu universitas di Yogyakarta.
Dia tahu, Aya sama sekali belum berubah, bahkan hingga saat terakhir mereka bertemu. Satu hal yang ia yakini adalah, kemampuan luar biasa temannya untuk mendapatkan informasi. Hingga jadwal tibanya di Indonesia yang –bahkan –hanya ibunya yang tahu.
                “kau telfon ibuku?”
                “kau tahu? Selama kau pergi, aku sibuk mencitrakan diriku di depan orang tuamu,” ia nyengir mantap sambil menyibukkan diri menyeruput es tehnya.
                “memangnya kau mau melamarku?” candanya. “tidak,.. tidak. Kau sungguh menelfon orang tuaku?”
                “aku memang selalu datang ke rumahmu setiap kali kesempatan kembali ke Jakarta. Liburan kemarin, -tepat saat aku berencana mempersiapkan otakku sebelum membuat tesis –aku kembali ke jakarta dan berkunjung ke rumahmu. Tepatnya Juli, eh?”
                “kau sudah mengambil program pascasarjana?” Rehaf kali ini tersenyum sumringah. Hendak kembali memeluk temannya sebagai ucapan selamat, sebelum akhirnya Aya mencondongkan badannya ke belakang sebagai tanda keengganannya.
                Sambil menghela nafas, seolah pertanyaan itu adalah retorika absurd yang tidak mampu diterangkan secara kausalitas, ia menjawab, “Tepatnya sedang. Kau bahkan tak tahu kapan kelulusan sarjanaku.. Apakah orang yang kuliah negeri di luar, cenderung apatis masalah dalam negeri?” sambil berguyon. 
                Rehaf mengerjapkan mata, merengut seolah meminta maaaf pada temannya. “jika bukan karena aku ditahan oleh supervisorku, aku bisa pulang lebih cepat dari seharusnya.”
Ia tahu betul, tak satupun sikap dari temannya yang berubah. Selain daripada penampilannya dan gaya bicaranya yang mulai santun. Namun, bicara masalah topik candaan mereka masih sama saja. Ini membuatnya bersikap lebih nyaman, sama seperti dulu. Nyaris merasa tak ada yang perlu disembunyikan sejak terakhir kali pengalaman mereka bertemu di bandara, 7 tahun lalu.
“Ayo kita serius kali ini,” ujar Aya menyadarkan dengan tujuan awalnya. “Katakan, apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
                “Tidak ada. Tidak ada yang akan kulakukan,” Aya mengangkat alis. Rehaf melanjutkan, “Aku hanya berpikir, kupikir dengan kehadiranku, akan menjadi alasan bagus untuk berkumpulnya kita kembali. Kita semua,” senyumnya santai.
                “Aku rindu Pondok Matahari,...” Rehaf tersenyum. “Aku rindu mereka, Ay,...” ucapnya.
#

2 Feb 2015

#3 Ushul Fiqih -Dalil yang Disepakati

#3 USHUL FIQIH –DALIL YANG DISEPAKATI
Jakarta, 21/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi keempat belas. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].


DALIL 1 –al Quran
Al Quran adalah sebuah kitab yang cakupannya sangat luas –laut yang tak ada tepian pantainya. Siapapun dapat mengambil berbagai macam hal dalam al quran, bahkan para saintis sekalipun menggunakan al quran dalm eksperimennya. Sehingga jika belajar al quran sebagai ogjek kushul fiqh, tujuannya untuk memproduksi hukum dalam al quran. Karena al quran bicara akhlak, aqidah, dan berbagai macam hal. Sehingga ilmu ushul fiqh sesungguhnya mengambil 1/3 hal dari cakupan memproduksi hukum dalam al quran. Bukan akhlak yang dibahas di tasawwuf, dan lainnya.

#2 Ushul Fiqih -Sumber Dalil

#2 USHUL FIQIH
Jakarta, 20/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesepuluh. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].


Dalil secara etimologis –bahasa berarti (menunjukkan). Dasar. Sumber dari hukum fiqh yang masuk dalam wilayah agama Islam. Dalam sebuah hadist rasul bersabda “barang siapa yang memberikan petunjuk atau menunjukkan seseorang untuk berbuat kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukan pahala tersebut,”
Ulama bahasa mendefinisikannya “seseorang yang memberikan petunjuk kepada sesuatu yang ia tunjuk.” Secara terminologis –istilah ulama ushul fiqh  berkata, “ apa apa yang memungkinkan mencapai suatu hukum khabari berdasarkan analisa yang argumentatif dan benar”

Khabari?

Dalam ilmu balaghah terdapat istilah irsyai dan khabari. Ketika dikatakan waaqimusshalat adalah irsya’i –adalah yang maknanya sudah fiks seperti kata perintah, kata larangan. Karena perintah, jadi sudah jelas. Tidak mengindikasikan kata tersebut benar atau salahnya. Namun, jika khabarinya adalah menyatakan bahwa shalat itu wajib. Sehingga, statement yang masih perlu menguji apakah ada unsur kedustaan atau tidak.
Sehingga, dalil adalah perkataan, bahwa berdasarkan ayat ini, shalat hukumnya ‘wajib’. Sehingga, didefinisan apa yang ingin dituju oleh orang yang menggunakan dalil.

#1 Ushul FIQIH

#1 USHUL FIQIH
Jakarta, 19/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi keempat. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Isnan Anshory [Rumah Fiqh Indonesia].



MUQADDIMAH USHUL FIQIH
Nabi Muhammad SAW dalam HR Muslim. Man yuridillahu bihi khairan. Jika Allah menargetkan kebaikan pada seseorang, Allah akan memberikan kesempatan baginya untuk belajar perihal urusan agamanya.

Disejajarkan Fiqih dengan yurisprudensi (landasan UU). Bahwa ilmu adalah sebuah keilmuwan, baik terkait masalah agama dan non agama. Kedua, pada dasarnya ilmu umum itu bersumber dari al quran dan sunnah, sehingga dikatakan ulama bahwa ilmu adalah cara untuk mengakui keagungan al Quran. Kaligrafi sendiri, sebenarnya rujukannya adalah al quran.

Dalam al quran, ada tulisan ilmu rasm, (ilmu menulis teks al quran), dimana ilmunya diciptakan setelah mempelajari al quran.

Sehingga, ilmu apapun yang dipelajari, pada dasarnya adalah mempelajari wahyu Allah yang diturunkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga jika diberi kesempatan untuk mempelajari, adalah bentuk pengabdian bagi Allah SWT.
Meskipun setelah itu, ada skala prioritas. Tidak semua orang kemudian mempelajari ilmu agama, pun tidak semua orang belajar ilmu duniawi.

#5 Bibliografi FIQIH -Nisa

#5 BIBLIOGRAFI FIQIH NISA
Jakarta, 24/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi kedua puluh tiga. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].



KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM
Kalau saja mempelajari maqashid asy syari’ah, hikmahnya, maka akan menyadari bahwa betapa adilnya syariat Allah.

Misal 1. al waris –wanita mendapat setengah dari bagian laki laki. Jika ada seorang yang meninggal punya anak laki2 dan perempuan. Maka, anak yang laki2 akan mendapat dua kali lebih banyak daripada yang perempuan. Ini merupakan syariat yang ditetapkan oleh Allah bukan tanpa sebab dan tanpa hikmah.

Hal ini disebabkan karena laki2 a/ pihak yang di dalam Islam diwajibkan syariat untuk memberikan nafkah. Sedangkan perempuan, adalah pihak dalam Islam wajib diberikan nafkah. Walhasil, harta laki2 akan memberikan nafkah pula pada sang istri. Maka jiak seorang perempuan yan gkaya, adalah berhak jika harta itu punya dirinya, dan suami tidak punya hak untuk mengusik harta tersebut. Pun denga laki2, berhak unuk memenuhi hak hak istri dan anak atas dirinya.
Ini adalah konsekuensi dari hidup berkeluarga. Yakni memisahkan hak atas harta istri dan suami. Semisal dalam dkasus perceraian, bahwa suami akan memback up harta tertentu, pun dengan istri. Sehingga, tidak ada perselisihan ketika status barangnya jelas.

Hal ini akan lebih diperkuat jika diberikan sebuah hadiah –yang statusnya pemindahan tangan statu kepemilikan barang. Jika memang akan diberikan mobil, memberikan nama juga status kepemilikan atas nama istri. Supaya tidak ada persengketaan apapun.

Wanita sangat luar biasa posisinya dalam Islam. Hartanya tidak bisa diganggu gugat kepada siapapun, kecuali atas kerelaan atas dirinya siapapun yang dia kehendaki.

Misal 2. kesaksian. –terjadi pembunuhan di suatu pembunuhan, sendirian. Rasa takut yang dihinggapi wanita, lebih berbahaya dalam mengganggu psikologisnya daipada laki laki.

#3&4 Bibliografi FIQIH

#3&4 BIBLIOGRAFI FIQIH

Jakarta, 23/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesembilan belas. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].


Dalam penulisan kitab, ada 3 istilah;
                            1.       Matan –tulisan
                            2.       Syarah –Penjabaran yang ditulis 
                            3.       Hasyyah –saat ulama yang membaca kitab dan syarah, terkadang, sesuatu yang dalam matan                                                  belum dijelaskan secara lengkap di syarah.
                           4.       Taqrir –Kritikan pada matan ataupun syarah. Terletak di pinggirnya hasyyah.

#2 Bibliografi FIQIH

#2BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 20/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesembilan. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].



SEJARAH FIQIH
Sebelum masa Rasulullah, kata ‘fiqih’ sudah digunakan sejak dahulu sebagai sebuah ‘kata’ yang dipergunakan orang2 Jahiliyah. Namun, memiliki perbedaan makna ketika turunnya al Quran.

Adapun, pengerucutan makna ‘fiqh’ yang terjadi, mengalami 3 fase perkembangan, yakni;

a.       Pra islam
kata ‘fiqih’ –secara bahasa bermakna sama dengan al fahmu. Mengerti. Memahami.

b.       Zaman rasul dan sahabat
Allah memasukan kata fiqih dalam beberapa ayat.

Misal 1. Doa yang diajarkan kepada nabi Musa "yafqohu qouli"
Yafqohu berasal dari bentuk dasar yang sama dengan fiqih.

Misal 2. "la'alahum yafqohun"..."liyatafaqohu fiddiin"
agar mempelajari sejara mendalam ilmu agama. Fiqih untuk menyebut semua disiplin ilmu. Belum spesifik, namun global, memahami ilmu agama secara keseluruhan.

Misal 3. Rasulullah pernah mendoakan Ibn Abbas –seorang tokoh fuqoha di kalangan sahabat. Ibn Abbas masuk islam sejak kecil, saat itu Rasulullah mendoakan " Allohumma faqihu fiddiin wa 'alimhu takwil..."
faqihu artinya pemahaman. Ibnu abbas terkenal sebagai turjumaanul qur'an. Adapun, turjuman di sini juga menjelaskan maksud yang mendalam –dalam al Quran. Pada saat kecil, ibnu Abbas pernah dibawa Umar bin Khattab ke tempat ulama senior. Lalu para ulama yang ada di sana bertanya, "untuk apa anak kecil dibawa ke sini?". Umar menjawab dengan surat an nashr. Ditanya para ulama senior tafsir dari surat an nashr. Mayoritas ulama senior menjawab hal yang sama, soal kemenangan Islam. Namun, saat ditanya pada Ibn Abbas, beliau menjawab pada hal yang berbeda. Bahwa makna surat an nashr bermakna akan wafatnya nabi. Karena kemenangan Islam sudah dikumandangkan, oleh karena itu, tugas kenabian telah usai, dan sudah di penghujung hal tersebut. Itu artinya, pemberitaan bahwa akan wafatnya Rasulullah.
Makna kata fiqih dalam doa Rasulullah untuk ibnu abbas adalah faqih dalam segala ilmu dalam agama. Jadi tidak hanya ilmu fiqih, namun seluruhnya.

Misal 4. "Panjangnya shalatnya seseorang dan pendeknya khutbah adalah salah satu tanda dari kedalaman ilmu seseorang." (HR. Bukhari) -faqih

Misal 5. "Semoga Allah akan mencerahkan wajahnya seseorang yang mendengarkan haditsku kemudian dia sampaikan hadits ini sebagaimana dia dengarkan. Berapa banyak orang yang mendengarkan secara langsung namun tidak sepaham yang tidak mendengar langsung."
Dari hadits tersebut diketahui bahwa banyak orang yang mendengar langsung hadits dari Rasul akan tetapi mungkin orang yang mendengar tidak langsung lebih paham darioada yang mendengar langsung.

c.        Masa kodifikasi ilmu islam
Fiqih sekarang: kumpulan hukum syar'i, ‘amali yang digali dari dalil-dalil yang tafsiri –terperinci.
Misal 1. Shalat itu wajib –hasil kesimpulan hukum fiqih. Prosesnya disebut ijtihad. Dan proses memahami al Quran dan as Sunnah adalah wilayah para mujtahid. Wilayah kita adalah fatwa para ulama. Jadi kita bukan secara langsung hukum setiap aktivitas namun kita kembali kepada kajian ulama yang matang yang di dalamnya sudah ada informasi. Jadi kalau kita cari sendiri di dalam al quran dan sunnah maka tidak bisa kecuali memang punya kapasitas. Yang kita dapati saat ini adalah hasil dari para mujtahid, ulama. Kita mengaplikasikan berdasar pemahaman para ulama, bukan hanya pemahaman kita. Sebab kita tidak bisa langsung sampai pada alquran dan sunnah, butuh jembatan.

Islam