24 Apr 2016

Pulang Kampung

Ini semacam tradisi. Tradisi yang kebetulan, sedang saya amati polanya dan saya coba bukukan sebelum usia merebut memori dan kesibukan merebut intuisi ini. Bahwa setiap orang pasti punya tradisi dalam hidupnya. Rutinitas selama ia bekerja. Kebiasaan dalam menghabiskan weekend. Ritual yang dilakukan ketika liburan. Segala hal yang mereka ketahui berpola selama  hidupnya.

Untuk ini, bagianku menceritakan tradisi di keluarga kami.

**

Saya pulang. Bukan ke kota halaman. Tapi ke kampung halaman. Letaknya di Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah yang terletak di antara dua kota besar Solo dan Yogyakarta. Sebuah kecamatan yang terkenal sebagai produsen cor besi. itu loh, yang bantu memproduksi deal part dari Mercedes Benz. Knalpotnya.

Ada tradisi yang coba dibangun tiap kali kami pulang kampung. Bahwa sesampainya di rumah, orang pertama yang akan dicari adalah mereka yang menjadi tanggung jawab moril terbesarmu. Ketika menjadi musyrifah, maka santri menjadi orang pertama yang disapa –sesibuk apapun engkau. Ketika menjadi seorang anak, orang tua menjadi sosok pertama yang engkau salami.

Dalam hal ini, saya melihat orang tua saya bergegas mencari mbah untuk sungkem dan menyapa mbah kakung yang rutinitasnya antara kasur dan kamar mandi. Memijat beliau ketika pegal. Me-ngipasi beliau ketika kegerahan. Mengantar ke kamar mandi ketika ada kebutuhan. Sesaat saya iri melihatnya. Di saat yang lain saya sadar. Akan ada masa dimana saya yang menggantikan posisi mereka, sambil membayangkan sosok kedua orang tua yang kian menua.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika pagi hari hanya ada engkau dan ayahmu. Berjalan bersama di pagi buta. Saat lazuardi biru membentang dan serabut cahaya orange ketika matahari perlahan beranjak dari horizon. Ketika udara perkampungan masih sesejuk kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di iklim hijau taman buatan terbaik manapun di kota-kota besar. Saat ibu-ibu masih mengayuhkan sepeda bergegas ke pasar menjejalkan jualannya. Ada juga yang pergi ke majelis ta’lim –yang saya tidak tahu dimana.

Saat itulah hanya ada ruang antaramu dan ayahmu untuk saling bercerita. Lebih tepatnya, beliau yang bercerita. Mendengar celoteh ayah. Mulai dari harga bahan pokok di desa terlampau murah. Kondisi bangunan sekitar yang tidak terurus. Masjid yang menjadi tempat bermain anak. Aneka jajanan yang dijual di pasar. Semuanya dikritisi. Semuanya diberikan pendapat. Mengkritisi seakan tahu banyak hal, sekalipun sebuah data tersaji dan engkau dapat memberikan kesimpulan yang sama dalam sekali lihat. Namun, engkau tetap menjadi pendengar yang baik  dalam menikmati celotehnya. Sambil membayangkan akan ada masa dimana saya akan merindukan kebersamaan  ini.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika kami pergi ke pasar. Menjelajah sampai ke sudut terdalam di pasar, melakukan screening begitu cepatnya pada kebutuhan kami saat itu. Berjalan cepat seolah mobilitasnya sepadat stasiun Jatinegara –padahal tidak. Kemudian, pulangnya memborong begitu banyak hal seolah akan menghabiskan semuanya dalam satu waktu. Membeli lalu mengkritisi betapa murahnya harga ini dan itu. Membeli sekarung dua karung tanpa ada intuisi menjadi wirausaha. Kemudian, pulangnya akan bertanya sebuah pertanyaan retoris, -dan kejadian ini berulang terjadi, “bapak. Ini mau dihabisin semua?” Beliau lantas tertawa.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika kami beranjak pergi dari rumah bersejarah ini, bapak menyerahkan amplop putih padaku untuk diserahkan kepada embah. Saat itulah saya pahami ada nilai moril  yang luar biasa bermakna. Bahwa dalam diam beliau seolah menyampaikan, ‘kelak, di masa tua kami dan kesuksesanmu, jangan lupakan kewajibanmu pada orang tua.’

Ini adalah tradisi. Budaya. Semacam ritual yang kami lakukan setiap kali pulang kampung. Sebut saja sebuah rutinitas yang menjadi keniscayaan. Dan saya yakin setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Yang barangkali ketika tergerus arus zaman, baru akan kuketahui seberapa berharganya hal itu. Kucoba menikmati setiap prosesnya. Karena kesadaran penuh bahwa semua ini akan menjadi sebuah kenangan yang (percayalah), akan engkau rindukan.

Dan segala hal yang disebutkan tadi, kupelajari dari mereka. Perilakunya. Keputusannya. Kesehariannya. Usahanya. Semuanya coba kupelajari meski tidak akan mungkin bisa mengenal –sesungguhnya, siapakah sosok yang mendidik kita dari awal. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.
Mendengar petuah seseorang, ada satu hal yang coba kusampaikan.

Bahwa jangan sampai seorang anak kehilangan kekagumannya pada orang tua. Karena itu adalah anugerah yang menjadikanmu tetap memahami seberapa besar pengorbanan mereka. Ketika seorang anak tidak dapat mencari kekagumannya dari sosok orang tuanya, dia akan mencari sosok lain yang akan dijadikan inspirasi baginya sebagai tujuan hidup.

Seorang anak yang baik akan mencoba mencari segala alasan untuk tetap mengagumi orang tua mereka. Dari setiap perilaku mereka yang bisa ditiru. Tanpa sadar, segala hal begitu indah ketika sosok inspirator bagimu tidak jauh dari mereka yang dalam kesehariannya sering engkau jumpai. Apalagi kenyaaan bahwa inspirator bagimu adalah mereka yang bersedia berkorban begitu banyak hal dalam hidupnya untukmu. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.



Klaten, 24 April 2016.

19 Apr 2016

Split Personality

Tidak semua orang dapat menyamankan diri dalam semua komunitas yang ia miliki. Pada beberapa komunitas ia bisa enjoy. Rileks. Di komunitas lainnya ia memilih untuk mempercepat diri untuk bersinggungan, atau hanya bisa duduk memberikan suara sedikit, atau bahkan tidak sama sekali. Dalam bahasa lainnya, ini disebut split personality. Menempatkan diri pada tempatnya. Tahu dan paham. Atau bahkan hanya sekedar naluri untuk tahu bahwa ini adalah tempat yang nyaman untuk berekspresi, dan bahwa ruang ini membatasiku dan karakterku untuk beraksi. 

Bahkan faktanya, setiap manusia sejatinya dituntut untuk bisa split personality. Menempatkan diri pada tempatnya. Tahu dan paham. Bahwa lingkungan  ini menuntutku untuk bersikap profesional. Bahwa dalam komunitas ini karakterku bisa secara bebas berkreasi. Bahwa di sini ada tuntutan besar untuk menjadi panutan dan bersikap dewasa. Bahwa dalam  lingkungan ini, ada penangguhan bagiku untuk meluapkan segala kepenatan dari semua tanggung jawab. 

Mau tidak mau harus mau. Kita tidak bisa bersikap dewasa dalam setiap kesempatan. Akan ada kondisi kita membuncah dan butuh sandaran. Maka di saat itulah dibutuhkan seorang dengan power of hearing yang tinggi untuk bisa mendengar dan memahami.

Tidak setiap saat kita bisa kekanak-kanakan. Akan ada masa dan tempat yang hanya menerima kita untuk bergerak cepat dan profesional untuk menyelesaikan masalah. Dan dalam kondisi seperti itulah kita bisa meningkatkan kapasitas diri. Karena Anda akan tereliminasi dari kompetisi jika tidak bisa bekerja secara becus.

Segala hal sesungguhnya saling melengkapi. Senang jika bisa melihat seseorang yang secara ideal sudah menemukan komunitasnya masing-masing. Siapa sangka bahwa dia yang terlihat begitu sempurna sesungguhnya sama saja tetap saja seorang manusia biasa yang butuh ruang untuk berekspresi? Dan siapa tahu dia yang begitu kekanak-kanakan di mata kita, akan ada masa dimana berdiri begitu gagah sebagai sosok leader dengan segala wibawanya? 

Semua ada waktunya.

18 Apr 2016

Mahrom

Perbedaan penggunaan bahasa;
                Muhrim                : memakai pakaian ihram,
                Mahram               : orang yang haram untuk dinikahi,

Urgensi untuk mengetahui siapa mahrom kita?
                Supaya kita tahu batasan dalam bersikap kepada orang lain.

Terdapat tiga jenis mahrom;

(a)    Mahrom nasab –perhubungan darah [QS. an-Nur : 31]
Yang haram untuk dinikahi adalah;
1.       Ayah (ayah/ kakek/ buyut, dst). Ayah angkat tidak termasuk mahrom
2.       Anak lelaki (anak lelaki/ anak perempuan/ cucu dari anak lelaki/ cucu dari anak perempuan, dst)
3.       Saudara leaki (saudara kandung/sebapak/seibu, dst)
4.       Keponakan (keponakan dari saudara lelaki/keponakan dari saudara perempuan)
5.       Paman (baik dari ibu /bapak)

(b)   Mahrom persusuan –mahrom karena persusuan [QS. an-Nisa’ : 23]
Syaratnya ; (1) Telah terjadi proses persusuan 5 kali;  (2) Terjadi selama bayi menysui (2 tahun sejak kelahiran).
Yang haram untuk dinikahi adalah;
1.       Bapak persusuan
2.       Anak lelaki/anak perempuan persusuan
3.       Keponakan persusuan
4.       Paman persusuan

(c)    Mahrom pernikahan [QS. an-Nur : 31, an-Nisa : 22-23]
Yang haram untuk dinikahi adalah;
1.       Ibu tiri
2.       Anak tiri

Yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan mahrom sepersusuan :
              1.       Boleh melihat,
              2.       Boleh berkholwat,
              3.       Boleh bersafar,
              4.       Tidak boleh menikah,
              5.       Tidak ada hubungan saling mewarisi,
              6.       Tidak ada kewajiban menafkahi,
              7.       Persaksian tidak akan ditolak jika dia seorang yang benar dan menguntungkan, (dalam 
                    persidangan, biasanya saudara kandung persaksian tidak akan diterima. Artinya saudara
                    sepersusuan masih bisa diterima persaksiannya)

Hukum wanita dengan mahrom secara umum
              1.       Tidak boleh menikah,
              2.       Boleh menjadi wali,
              3.       Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahrom,
              4.       Tidak boeh memperlihatkan aurot /perhiasan kecuali dengan mahrom
              5.       Boleh berkholwat,
              6.       Boleh berjabat tangan,
              7.       Ada hubungan saling mewarisi,
              8.       Ada kewajiban menafkahi,
              9.       Persaksian akan ditolak dalam persidangan 

     sumber : kajian singkat Ustadzah Fathin Azkiya :)

14 Apr 2016

Mengobral Pendidikan

Hierarki dalam masyarakat memiliki distribusi yang unik bicara soal trend. Trend yang ada di masyarakat sosialita berbeda dengan kalangan pedesaan. Mulai dari pejabat publik sampai pejabat rumah tangga. Penikmat pajak sampai yang paling terpaksa membayar pajak. Setiap lapisan masyarakat punya trend sendiri. Termasuk dalam dunia pendidikan.

Sadar atau tidak. Mengaku atau tidak. Terenyah atau tidak. Pada banyak kalangan akademisi, terjebak dalam paradoks dimana trend dalam institusi pelajar adalah Pendidikan Kognitif.

Analoginya seperti gedung pencakar langit.

Sebuah gedung tinggi menjulang hingga atapnya menyentuh awan-awan di puncaknya. Untuk mencapai puncak tertinggi, Anda disajikan pada berbagai opsi. Menaiki tangga dengan catatan akan mengalami kelelahan. Atau mencapai puncak dengan menaiki lift, dengan kesadaran penuh bahwa kapasitas lift terbatas. Hanya sedikit orang yang memilih –atau diberikan kesempatan untuk memilih cara lain yang lebih ekstrim seperti dengan katrol petugas kebersihan kaca, semisal. Atau helikopter. Atau meminta sedikit bantuan superman jika ia hidup dalam imajimu.

Dunia mempersempit kualitas individu dengan mengelompokkannya dalam kasta-kasta institusi favorit dan yang biasa. Sebuah lift disulap oleh tangan para teknokrat akal sehat sebagai pengelompokkan kasta manusia unggul dan tidak. Sepertinya lembaga SNI pindah haluan masuk ke ranah pendidikan, sehingga muncul standardisasi institusi favorit dan institusi yang dikeduakan. Institusi favorit sering kali digeneralisasi sebagai sekumpulan bibit unggul tempat bagi perusahaan elit multinasional menarik kader penggubah PT. Institusi lainnya dipandang sebelah mata

Istilah PT dalam dunia pendidikan bukanlah Perseroan Terbatas. Tetapi Perguruan Tinggi. Dan ini  bukan hanya tentang Perguruan Tinggi saja, namun fase pendidikan secara struktural. Ia juga masuk ke ranah SD. SMP. SMA. Semua ada label ‘favorit’nya. Dan pelabelan itu ditentukan oleh sebuah proses. Pendidikan Kognitif.

Dengan pendidikan kognitif, kualitas individu dihargai lewat angka normatif. Saat standar itu menyajikan kisi-kisi dan para penikmat pendidikan terpaku menyelesaikan ‘sebatas’ dalam lingkup kisi-kisi saja. Saat sebuah soal disajikan dengan harapan para pengerja soal memahami proses berpikirnya, namun secara ajaib diberikan cara cepat. Apa namanya. Smart solution?

Saya katakan ini karena saya adalah mahasiswa MIPA sebuah universitas berlabel. Melihat dengan jelas bagaimana dinamika yang ada soal kebutuhan kami dan kebutuhan orang lain terhadap kami. Sering sekali ada broadcast di grup sosial media bertemakan ‘dibutuhkan guru ini dan itu.’ Umumnya karena melihat label kami anak MIPA, seharusnya terbekali pelajaran matematika dan ipa. Hanya untuk memuaskan standar mereka untuk tahu bahwa background kita MIPA dan merupakan mahasiswa, maka cukup bagi saya untuk mengandalkan jasa Anda. Mereka tidak mau tahu IPK kita berapa atau makanan favorit kita apa –toh itu juga tidak penting. Yang jelas, anak mereka bisa memenuhi apa yang menjadi standar umum. Yang jelas, nilainya meningkat dan anak saya ‘kalau bisa sih’ masuk ke sekolah favorit. Become a common person in today’s society, achieving common achievement in the expectation of common society.

Saya tidak akan mengeneralisasikannya, karena kisah klasik di atas hanya partisi dari sekian banyak retorika dalam hidup.

Di sisi lain, seorang dosen yang ikut menjadi kontributor pembuat soal snmptn (waktu zaman saya namanya masih snmptn) bercerita dalam sebuah mata kuliah. Bahwa harapan beliau dalam proses mengerjakan soal –yang dibuatnya, lebih daripada apa yang bisa diselesaikan oleh smart solution. Bahwa ketika Anda masuk ke dalam di dunia perkuliahan –sebagaimana menjadi alasan kenapa Anda mengikuti snmptn, penting untuk memahami konsep dasar dari ini dan itu. Karenanya, seharusnya proses berpikir secara logis lah yang digunakan. Meski realitanya, hanya satu dari sekian orang yang mampu mengerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sebagai seorang pengajar paruh waktu, awalnya saya berpikir naif bahwa seorang pengajar bukan mendatangi murid. Justru sebaliknya, murid yang mendatangi tempat guru sebagaimana hal itu yang terinternalisasi selama saya duduk di bangku pendidikan. Namun akhirnya saya mengikuti arus. Dan ini adalah kesempatan kedua saya dan kembali timbul lagi pergolakan ini. Pemikiran ini memuncak, sampai klimaksnya adalah saat saya dituntut untuk membuat soal, persis sebagaimana kisi-kisi yang sudah dilegitimasi pembuat soal.


Barangkali ini bagian dari kejenuhan saya. Karena ada pula golongan manusia yang memilih jalan hidupnya masing-masing. Mereka yang belajar ilmu agama. Mereka yang menggemari seni. Mereka yang beraksi dengan hobinya masing-masing. Mereka yang cinta dengan hidup dan memilih tidak mau ambil pusing soal paradigma formalitas seperti ini. Mereka adalah orang yang percaya bahwa masih ada cara lain selain dari memperebutkan satu lift untuk sampai ke puncak gedung.

12 Apr 2016

Lembaran Kosong

Anak-anak adalah lembaran kosong. Namun mereka bukan bagian dari buku tulis. Bukan pula bagian dari tumpukan kanvas. Mereka adalah lembaran kosong yang bebas terisi. Namun bukan berarti bebas terwarnai. Seorang pengajar yang baik paham bahwa hak mereka sebatas  memperkenalkan beragam warna dan memberikan pengetahuan soal hidup. Namun mereka akan bergerak sesuai intuisi. Sesuai ego. Sesuai dengan rasa keingintahuan. Demi sekedar menjawab tanda tanya dalam hati.

Karena kreativitas mereka begitu melambung tinggi, sering kali orang tua kerepotan memenuhi segala tuntutannya. Pada akhirnya berlabuh pada menyerahkan segala pertanyaan kepada tenaga pendidik. Mereka dituntut untuk menjawab segala pertanyaan anak yang tak berpijak dengan realita. Kadang kala juga mereka dituntut untuk menjadi sosok ideal serba bisa. Dengan fakta domain mereka sebagai manusia yang memiliki segala keterbatasan dan kekhususan dalam bidang ilmu, namun di lain hal dituntut untuk menjadi apa yang mereka tidak bisa.

Saya jadi ingat satu kesempatan.

Pada semester ini saya dihadapi oleh dua dunia tempat saya menjadi pengajar. Yang satu, menuntut saya menjadi pribadi serba tahu karena rasa keingintahuan luar biasa besar dari seorang anak. Orang tuanya adalah dosen yang begitu memukau. Tanpa sadar, sang anak berharap bisa mengejar sosok orang tuanya dan melabuhkan segala pertanyaan yang menuntut komparasi tokoh antara saya dan sosok idamannya. Jelas jauh sekali. Masing-masing dalam pilihan hidupnya sendiri. Saya tidak iri terhadap sosok idamannya, sama besarnya seperti orang tuanya tidak iri hati pada kompetensi mahasiswa yang masih terseok di tahun keempatnya. Namun tuntutan moralnya besar. Ketika begitu besar ekspektasi dari pelajar, dan saya tetap berharap menjadi diri saya dengan segala visi yang dimiliki.

Yang kedua, menuntut saya menjadi pribadi yang sepenuhnya memikirkan soal mereka. Mereka adalah sekelompok anak labil yang berharap selalu diayomi. Ini lebih berat lagi. Mereka terang-terangan memberikan penghormatan pada mereka yang dirasa layak untuk mereka, yakni mereka yang lebih berilmu dibandingkan mereka. Tidak sedikit pada beberapa kesempatan, saya menangisi ego mereka. Karena mereka dituntut banyak hal dan menyebabkan kompetensi mereka di atas standar seusianya. Namun, tenaga pengajar tetaplah tenaga pengajar. Butuh penghargaan dan rasa hormat.

Beberapa kesempatan saya mengelus dada. Karena realitanya begitu besar. Anda tidak berharap dihargai, namun paling tidak cukup didengarkan saja. Tetapi, saat tidak ada seorangpun yang mengapresiasi, rasanya lebih baik tenggelam dari fakta. Sampai pada titik saya berpikir, bagaimanapun mereka tetaplah lembaran kosong. Yang butuh diisi. Yang butuh dibina.

Barangkali, saya bukanlah tenaga pendidik sejati. Yang belum paham pahit manis sebagai seorang komunikator manusia. Karena tiap profesi menuntut tantangan yang berbeda. Dan pada tahap ini, saya sadar betapa berat menjadi seorang tenaga pengajar. Terima kasih luar biasa, guru. 

Kuliah Umum : Kebijakan Publik dan Etika Publik oleh Sri Mulyani Indrawati

Saya rasanya lebih berat berdiri di sinidaripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karenea konten dari moral dan etikanya jelas berbeda, dan itu yang membuat saya jarang sekali biasanya grogi, sekarang menjadi grogi.

Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki laki. Hati kecil saya tetap mengatakan bahwa sampai saat ini saya adalah pembantu laki laki itu. Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami. Pada saat saya menjadi pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal buruk tentang siapa yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf ika agak berbeda dan aspirasinya agak berbeda dengan yang ada di malam ini.

Tapi saya diminta untuk bicara kebijakan dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai Menteri di Kabinet, di Republik Indonesia itu.

Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran. Dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara, yang di dalam dirinya setiap hari adalah melakukan tindakan membuat pernyataan, membuat keputusan yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.

Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar seperti anda semua, tentang filosofi.

Tapi saya dididik untuk memahami etika dalam pemahaman yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus tahu untuk membuat garis apa yang disebut untuk kepentingan publik, dengan kepentingan pribadi saya, keluarga, atau kelompok. Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Roki Gerung di Filsafat UI untuk pintar tentang itu.  Karena kita belajar 30 tahun di bawah rezim Soeharto, dimana begitu acak hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk  memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik, dengan domain saya sebagai makhluk yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.

Di dalam ranah itulah kemudian hari-hari pertama dan lebih dari lima tahun saya bekerja untuk kepemerintah ini. Topik mengenai ‘Apa itu kebijakan publik’, dan bagaimana kita harus berpikir, merasakan, membuat keputusan, menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut apa yang disebut,  tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak, Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Jadi, kebijakan publik dibuat dengan tujuan melayani masyarakat. Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis, karena dia merupakan produk dari suatu proses politik, dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Di situlah letak persinggungan, atau yang disebut ingredients dari kebijakan publik, yaitu ‘unsur kekuasaan’. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita. Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa ada pengendalian dan sistem pengawasaan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua.

Namun, pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik,  memiliki kekuasaan dan kekuasaan itu dipastikan membuat kita corrupt, maka pertanyaan ‘kalau saya ingin jadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?’

Oleh karena itu, di dalam proses proses yang saya lalui, dari hari pertama. Karena begitu khawatirnya, tapi di saat yang sama ada perasaan anxiety namun tidak ingin tergelincir kepada korupsi. Maka, pada hari pertama Anda masuk kantor, Anda tanyakan dulu pada sistem pengawasan dan staff Anda. Apalagi waktu itu, jabatan dari bappenas menjadi Menteri Keungan. Dan saya sadar sesadar-sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan, pada saat saya tidak berpikir corrupt pun, orang sudah berpikir ngeres tentang hal itu.

Bayangkan seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar mulai dari 400 triliyun sampai sekarang di atas 1000 triliyun. Itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliyun lebih.

Saya sudah melihat banyak sekali –apa yang disebut tata kelola atau governance pada saat seseorang memegang suatu keuangan begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur atau apalagi terpeleset. Sehingga tergoda, bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-oleh aset miliknya sendiri.

Dan di situlah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri, dan bahkan dalam pikiran dan perasaan kita. Untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dan penuh perhitungan, dan tidak memperbolehkan perasaan ataupun godaan apapun, untuk bahkan berpikir untuk meng-abusenya.

Barangkali itu istilah yang disebut teknokratik. Tapi saya sih menganggap bahwa banyak juga orang yang katanya berasal dari akademik, disebut teknokrat, tetapi baunya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi, lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasafiikaan label, tapi sebagai genuine, produknya dia seperti apa. Tingkah laku yang esensial.

Di dalam hari-hari dimana kita harus membuat kebijakan publik, dan tadi disebutkan kewenangan menyangkut sebuah, atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba menegakkan rambu-rambu internal dan juga eksternal.

Mungkin contoh untuk internal, hari pertama saya tanyakan pada inspektorat jendral saya, ‘tolong berikan list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri.’ Biasanya mereka bingung, ‘tidak ada menteri yang tanya begitu, bu. Karena menteri boleh semua, termasuk boleh mecat saya.’ Kalau seorang menteri menanyakan apa yang boleh dan tidak boleh, menurut mereka menjadi sebuah pertanyaan yang sangat ganjal. Untuk kultur birokrat, hal itu sangat sulit dipahami.

Di dalam kewenangan yang sangat besar, kita membuat rambu-rambu. Kita membuat standard operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance. Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan.

Saya bisa cerita berhari-hari kepada Anda, banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang pada jabatan Menteri Keuangan mudah tergoda. Dari korupsi kecil, sampai besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan retail, sampai korupsi yang sifatnya apstrim dan hulu.  Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya, dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia sebetulnya juga bisa membeli sistem. Dia bisa menciptkan network. Dia bisa  menciptkan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa yang menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu Anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.

Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan peraturan, membuat rambu-rambu dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Di situlah apa yang kemudian muncul, unsur ‘etika’. Karena etika menempel di dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas. Apakah sesuatu itu mengkhianati atau tidak mengkhianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang mengkhianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita. Dan kemudian, kalau kemudian kita bicara tentang ‘total’, atau agregat. Setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang sifatnya agregat atau publik. Pertanyaannya adalah, ‘apakah di dalam domain publik ini, setiap etika pribadi kita bisa dijualkan dan menghasilkan barang publik yang diinginkan, yaitu suatu rambu-rambu normal yang mengatur dan memberikan guidance yang pada kita? ‘ saya termasuk yangbanyak mendapat penderitaan menjadi menteri, karena itu tidak terjadi.

Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam jam, duduk di DPR. Di situ anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Mereka mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan, ‘ini adalah panggung politik, ibu.’

Waktu saya dulu masuk Menteri Keuangan, pertama. Saya masih punya dua dirjen yang sangat terkenal. Dirjen pajak dan dirjen keungan saya. Mereka sangat powerful. Karena pengaruhnya, dan juga respectability,  saya tidak tahu karena apa, kepada anggota dewan, mereka luar biasa.

Dan waktu saya ditanya, segala macam. Setiap keputusan, statement saya, selalu ditanya sangat keras. Saya dulunya begitu naif mengatakan, ‘oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar’ saya legowo saja dengan tenang saya menulis. Waktu saya sudah ditulis, mereka keluar ruangan, tidak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian, saya dinasehati dirjen saya, ‘ibu nggak usah  dimasukkan ke hati, bu, hal seperti itu. Itu hanya episode. Satu drama saja’.

Tapi kemudian itu menimbulkan suatu pergolakan batin. Karena saya kemudian bertanya, tadi dikaitkan dengan etika publik. ‘Kalau orang bisa secara terus menerus berpura pura, dan media memuat. Dan tidak ada satu kelompok pun yang menyatakan itu adalah kepura-puraan. Maka kita bertanya-tanya apalagi, siapa lagi yang akan menjadi guidance Yang mengingatkan pada kita tentang apa yang disebut norma kepantasan?’

Dan itu sungguh berat. Karena terus saya mengatakan, ‘jika saya jadi pejabat publik, ongkos menjadi pejabat publik, pertama. Kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo tidak ada masalah. Yang kedua saya khawatir saya akan menjadi  split personality. ‘ Waktu di dewan, saya jadi personality yang lain. Nanti di kantor juga demikian. Waktu di rumah lain lagi. Untung suami dan anak anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah ubah. Kalau pagi lain dengan sore, sore laindengan malam, malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalan kan secara konsisten.

Oleh karena itu, di dalam konteks inilah kita berbicara tentang etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan, bagi bagaimana kita memproduksi tindakan, keputusan yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan situasi yang baik di masyarakat. namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana menurut mereka, norma dan etika itu nampaknya tidak hanya double standard. Triple standard.

Bahkan, kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul betul terpana. Waktu saya menjadi executif director di AMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara-negara maju. Hari pertama, saya diminta untuk tanda tangan sebagai eksekutif direktor, do dan donts. Di situ juga disebutkan konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memproduksi suatu policy public untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat dalam proses politik atau proses kebijakan itu, harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu, kita boleh tanya, ‘apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat ini termasuk domain konflik kepentingan?’ dan mereka membeirkan consoul pada kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.  Sehingga bekerja dalam institusi seperti itu, mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir, ya kebangetan saja, Anda.

Namun, waktu saya kembali ke Indonesia, dan setahu saya tentang konflik kepentingan, saya sering membuat rapat, dan kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran. Entah belanja, intensif. Dan pihak yang ikut duduk kebijakan adalah pihak yang akan dapat kekuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan bahwa yang penting, pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa, itu urusan sekunder.

Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu backgroundnya pengusaha. Meskipun yang bersangkutan mengatakan, ‘telah meninggalkan seluruh bisnisnya.’ Tapisemua orang tahu bahwa adiknya, anaknya, kakaknya, semuanya masih run’ dan dengan tenangnya berbagi kebijakan. Bahkan yang kadang membuat saya terpana, -kalau dalam bahasa inggris, i drop my joy. Bengong. Kita bingung bahwa ada sebuah keputusan dibuat. dan ada banyak catatan pribadi dibuat. dan keputusan ini, besok lagi yang mengimport adalah perusahaannya dia.

Ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa perlu didramatisir, the most reason phenomena. Kita semua tahu itulah penyakit yang terjadi di zaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup. Tapi sekarang, dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia bisa mengkooptasi, decision making process juga. Kelihatannya melalui demokrasi, keliahatannya melalui proses check and balance juga. Tetapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut, pak.

Ada suatu saat saya membuat rapat. Dan rapat itu jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan dari beberapa yang saya undang, komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan mengatakan dengan tenang,  ‘bagi yang punya afiliasi dari apa yang kita diskusikan, silahkan keluar dari ruangan.’ Memang itu tradisi yang kita coba dilakkan di Kementrian Keuangan. Kebetulan mereka teman teman saya, dan dengan bitter mereka mengatakan, “mba Ani, jangan sadis-sadis begitulah. Kalaupun kita suruh keluar, biar kami keluar diam-diam. Gak usah caranya begitu’

Saya ingin mengatakan ini kepada Anda bahwa bagaimana, konsep mengenai etika dan konflik kepentingan bisa dikatakan sangat langka direpublik ini. Dan kalau kita berusaha menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh.

Tentu adalah sebuah keresahan bagi kita, karena episode beberapa kali adalah di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang seharusnya menjadi the ultimate share holder dari kekuasaan. Yang memilh, kepada siapapun menjadi CEO dari republik ini. Dan memilih yang menjadi pengawas atau check terhadap CEOnya. Proses ini tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang mengatakan untuk memegang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, provinsi, membutuhkan biaya luar biasa. Apalagi presiden, pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan. Untuk suatu beban seseorang.

Saya Menteri Keuangan, saya biasa mengurusi ratusan triliyun bahkan ribuan. Saya tidak kaget dengan angka, tapi saya akan kaget jika itu jadi beban personal. Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return on investment saja tidak masuk. Saya lihat, struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan, karena nanti dianggap dianggap mau menyejahterahkan diri sebelum menyejahterahkan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengatakan, ‘strukturnya harus diubah. Dibenahi lagi.’

Namun tetap, toh tidak bisa menjelaskan sebuah proses politik yang begitu sangat mahalnya. Sehingga, memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber financial. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin dibayar dengan gajinya, bahkan melalui APBDnya pun tidak mungkin, karena size dari APBDnya kadang kadang tidak sebesar atau tidak sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy  yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah hasil dari sebuah kolaborasi.

Pertanyaan untuk kita semua, ‘bagaimana kita menyikapi hal ini, di dalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik melalui sebuah proses politik yang begitu mahal, sudah pasti akan distorted . dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah hilir, hasil akhir. Hulunya, lebih hulu lagi, prosesnya dalam membentuk kekuasaan itu, sedemikian mahal. Dan itu, akan menjadi pertanyaan yang constant untuk sebuah sistem demokrasi.

Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu dari pemerintah, tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. Politik dimana saja adalah tentang kepentingan, dan kepentingan itu kawin di antara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu. Hasil perkawainan itu, siapa saja yang ingin kalau pada hari ini disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan, menangisi, ada yang gelo kenapa kok, Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan? Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap, sumbangan saya atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik, tidak lagi dikehendaki oleh sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan begitu dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu kartel, saya lebih suka itu kawin. Walaupun jenis kelaminnya sama. Karena politik itu sama.  Karena politik lebih banyak lakinya dibandingkan perempuan. Hampir semua ketua partai itu laki, kecuali satu.

Dan di dalam sistem politik tidak menghendaki lagi, atau dalam ha ini tidak memungkinkan etika publik itu dimunculkan, maka untuk orang seperti saya, akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tanggung jawab untuk menjadi pejabat publik saya sudah berjanji pada diri saya sendiri saya tidak angin menjadi orang yang mengkhianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak  mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mencucurkan atau meneteskan air mata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa. Anda mampu. Anda bahkan boleh. Anda bahkan diharapkan untuk mengabusenya. Oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi. Agar nyaman. Dan Anda tidak mau.

Pada saat yang sama, Anda tidak selalu diapresasi. P2D  kan baru muncul sesudah saya mundur.  Jadi ya, terlambat tidak apa, asal masih bisa menyelamatkan republik ini, lah.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suarahati kita. Bahkan mejaga etika kita dalam bertindak, berbuat serta membuat keputusan.

Mungkin saya akan mengatakan bahwa, pada bagian akhir kuliah saya ini, saya ingin menyampaikan pada semua kawan-kawan ini. Say abukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi bukan berarti bahwa saya tidak tahu politik. Selama lebih dari lima tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi.

Kita punya perasaan bergumul, bergelora, atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita bahwa, jangan jangan, banyak orang ingin berbuat baik, merasa frustasi. Atau mungkin saya mencoba less dramatic ..................... kompromi itu perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru. Karena saya tahu betul cerita para teknokroat jaman pak Harto,  untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema : apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau Anda out dan anda punya chance untuk berbuat atau paling tidak resiko utuk bisa getting associated with berkurang. Personal gain, public loss. Atau paling tidak . if you are stay, dan itu yang saya rasakan lima tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy. Karena no one yang sangat simpati yang tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita masih dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan kita pun tidak bisa karena kita bukan kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Dan itu bukanlah sebuah pengalaman yang mudah. Dan kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak. Sehingga kita bisa menemukan kesamaan.

Nah, kalau kita ingin kembali ke dalam topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum- forum semacam ini atau kelompok seperti Anda yang saya yakin adalah kelompok kelas menengah yang sangat sadar membayar pajak. Membayarnya pun tentu tidak sukarela, tidak ada orang yang patriotik yang mau mengatakan membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, Anda sadar bahwa itu adalah kewajiban yang dibuat untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti Anda, yang karena tahu membayar pajak adalah kewajiban adalah hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistem politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti Andalah republik ini harus dijaga.

Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali kali di banyak forum ditanya, ‘kenapa ibu pergi? Bagiamana reformasi? Kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting, dibandingkan bank dunia? Seolah oleh negara ini menjadi tanggung jawab Sri mulyani. Dan saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini jika anda bertanya hal yang sama ke saya  Anda semua bertanggung jawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan. Sampai saya harus menyampaikan pada jajaran beacukai, jajaran perbendaharaan, jangan pernah putus asa mencintai republik. Saya tahu sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.

Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan, menjaga etika kita di dalam bertindak dan berbuat serta membuat keputusan.

Dan saya ingin membagi kepada teman-teman di sini. Karena terlalu banyak di media seolah olah ditunjukkan yang terjadi di aparat di Kementrian Keuangan,  yang sudah direformasi, masih terjadi kasus seperti Gayus.

Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly mereka adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta Republik sama seperti Anda. Mereka juga kritis. Mereka punya nurani. Mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit. Mungkin mereka tidak bersuara, karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak, tapi harus bekerja.

Sebagian kecil adalah kelompok rakus, yang dengan kekuasaan dan kewenangan, sangat senang untuk meng-abuse.  Tapi saya katakan, sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin, tolong dibantu. Berilah ruang untuk orang-orang ini, untuk dikenali oleh Anda juga, dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi difabrikasi dengan seolah-olah mengambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh.

Selama seminggu ini saya terus melakukan petemuan dan perpisahan di jajaran di kementrian Keuangan. Dan saya bisa memberikan, sekali lagi testimoni, bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan, ada di sana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu.

Dan jangan kemudian Anda semua di sini bicara dengan saya, ‘bisa diselamatkan, kalau Sri Mulyani tetap jadi Menteri Keuangan.’ Saya rasa tidak juga.

Suasana yang kita rasakan pada minggu minggu yang lalu, bulan bulan yang lalu, seolah olah persoalan negara disandera oleh satu orang, Sri Mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu, sedemikian, sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada suatu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah. Dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia tetap harus membuat kebijakan publik.

Dia berusaha berusaha di setiap pertemuan. Mencoba untuk meneliti dirinya sendiri, apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok. Dan apakah dia diintervensi atau tidak? Apakah dia membuat keputusan ada tujuan yang lain? Berhari-hari, berjam-jam, dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang. Dan orang orang ini yang tidak akan segan mengingatkan pada saya, karena meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin. Siapa yang bisa bilang atau marahin pak Marsilam? Orang semua orang dimarahin duluan sama dia.

Mereka ada di sana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan, dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan. Dan itu diaudit. Dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR.

Bagaimana mungkin itu kemudian, delapan belas kemudian, dia menjadi seolah oleh menjadi keputusan individu, seorang Sri Mulyani seorang. Proses itu berjalan dalam etika sunyi. Akal sehat tidak ada . Dan itu meunculkan suatu perasaan, ‘apakah pejabat publik yang bertugas membuat kebijakan publik. Pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik?’

Saya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, orang semua di strigma komunis. Kalau sekarang khusus diera reformasi, Sri Mulyani identik Century.

Mungkin kejadiannya di satu orang saja. Tapi sebetulnya, analogi ....... Sebetulnya disitulah letak kita mulai betanya, ‘apakah proses politik yang didorong, dimotivair, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan, membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan? Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah episode yang sebetulnya, sesudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita, dibenturkan dengan realita-realita politik.

Dan untuk itu, saya hanya akan mengatakan sebagai penutup.

Sebagian dari Anda mengatakan, ‘apakah Sri Mulyani kalah? ‘Apakah Sri Mulyani lari’? Dan saya yakin, banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan.

Di antara Anda semua yang ada di sini, saya ingin mengatakan, bahwa ‘saya menang’. ‘Saya berhasil’. Kemenangan dan keberhasilan, saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya untuk tidak di sini. Saya merasa berhasl dan saya merasa menang, karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak mengkhianati kebenaran. Selama saya tidak mengingkari nurani saya. Dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya. Maka disitu saya menang.

Terima kasih. 



notulensi dari Kuliah Umum : Kebijakan Publik dan Etika Publik oleh Sri Mulyani Indrawati
dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=PtjM73oNYuM 

Islam