30 Mar 2016

Jangan Ajak Aku Berlari

“mereka masih anak kecil,...” akhir-akhir ini, hanya kata itu yang coba kusematkan dalam benakku setiap kali mencoba menggerakkan sistem.

Sudah 2 bulan saya tinggal di sini. Semakin mencoba menyamankan diri dalam lingkungan ini. Nyaman nggak nyaman, harus tetap dibuat nyaman. Batinku sambil mengingat si pemilik petuah itu, rekan kerjaku setahun kepengurusan yang lalu.

Untuk apa repot-repot mengurus bocah labil, sementara tahun lalu kau sudah mengopeni anak kampus? Menyapa santri SMP yang luar biasa di kala seharusnya skripsi dan masa depan, engkau sapa dengan lebih matang.

Saya nyaris lupa esensi awal saya berpijak di bumi ini, kawan.

Hidup itu bukan sekedar teori dan normatif belaka. Bahwa setiap sistem punya tantangan yang berbeda. Saya masih perlu berlatih diri untuk menerima dan diterima di lingkungan manapun. Dalam beberapa masa transisi saya dalam lingkungan baru, tidak semuanya sukses. Tidak semuanya saya tetap jalin awet.

Keluarga. Teman seangkatan fisika. Lembaga kampus. Lingkaran halaqoh. Rekan KKN. Warga desa KKN. DS. Grup riset. Lingkungan pondok.

Semuanya punya sistem yang berbeda. Ada yang gagal kubangun. Ada yang masih kental saya jaga silaturrahimnya. Betapa sulitnya untuk menjaga sebuah jaringan dengan karaktermu dan prinsip untuk tidak membiarkan lingkungan mengubah sifatmu.

Dulu, mengurus anak kampus dengan anekdotnya. Mereka penuh warna, aku sikapi dengan penuh warna pula. Kadang kala pulang tengah malam mengurus anak orang yang butuh diantar. Menemani curhat gadis galau tentang hubungan ‘persahabatan’nya dengan senior. Atau ngebut menyusul staff yang sedang kumpul makan bareng di malam hari. Menyesuaikan, sambil masih memegang prinsip hidup untuk tidak bertidak kelewat batas. Mencoba membaur dan beradaptasi tanpa harus terwarnai.

Lama aku bermukim di lingkungan tersebut. Mencoba mengubah diri menjadi pribadi yang melebur diterima lapisan masyarakat yang penuh dengan warna dalam hidup dan visi tinggi bicara mimpi.

Sekarang. Saya tenggelam dalam kerumunan labilnya santri SMP. Yang masih berpikir dangkal soal hidup. Yang respektabilitasnya sangat minim terhadap norma dan etika karena memang masih butuh pengajaran. Yang sering menuntut tanpa pernah mau untuk dituntut. Yang banyak neko-neko. Yang masih butuh disadari bahwa hidup tidak hanya sebatas rumah dan pondok. Wawasan mereka masih cetek dan pandangan mereka masih sempit dalam melihat hidup dan warnanya.

May. Mereka masih anak kecil.

Belakangan saya menyadari. Bahwa ketika mencoba peduli pada mereka, maka butuh aksi nyata untuk memporakporandakan sistem supaya berjalan sesuai dengan koridornya. Namun, mereka tidak bisa diajak berlari, kawan. Dioprak-oprak, mereka akan bergunjing di belakang. Diketahui kelemahannya, akan menjadi bahan ejekan dalam pembicaraan tanpa Anda di sana. Banyak sekali tuntutannya. Luar biasa banyak.

Belakangan saya semakin harus menyadari. Bahwa rasa peduli saya besar. Namun, bahwa wujud kepeduliannya dilakukan dengan cara yang salah. Se hingga beberapa di antara mereka enggan berkomunikasi dengan saya, itu yang jadi masalah. Saya turunkan rasa kepedulian saya dan intuisi membantu. Saya longgarkan tali saya yang kalau-kalau mengikat terikat kencang. Saya tinggikan rasa apatis dan besarkan ruang untuk rasa ego. Saya terus tanamkan bahwa mimpi saya begitu indah, dan terlalu mennyedihkan jika hidup hanya dibuat memikirkan mereka dan semua tuntutan yang dapat mengubahmu dan seluruh rangkaian proyeksi masa depanmu. Hidupku terlalu sempit untuk hanya memikirkan mereka. Sungguh.

Saya harus ingat visi awal. Sungguh. Di sini saya semakin mengingat betapa pentingnya memiliki visi hidup. Anda akan mudah goyah dan tumbang saat tidak memiliki pegangan yang kokoh. Hidupmu tidak bisa terarah dan mengikuti ekspresi belaka saat titik klimaks warna membuncah dan anda terbawa arus. Hanya sesaat. Nanti juga hilang.

Sampai saya berlabuh pada satu kesimpulan. Kalau sayaberpikiran begini, saya yang tidak dewasa dan terbawa mereka yang berpikiran kekanak-kanakan. Sama-sama ngambek. Hasilnya : stagnan.

Di saat seperti inilah, logika harus berjalan dan kedewasaan perlu ditingkatkan. Rasa sabar harus diperkuat. Di bumi manapun, sabar itu adalah ilmu yang digunakan dalam semua lini kehidupan dan interaksi pada dunia sosial. Anda akan lebih kejam ditindas atasan tirani kalau Anda tidak bisa kebal. Nah, bagaimana cara menyikapi kesabarannya ini yang beraneka macam. Bisa bersabar menerima dengan pasrah, atau bersabar dengan berpikir solusi dan menyuarakan aspirasi.

Dalam hal ini, saya perlu bersabar dengan fakta bahwa mereka masih bocah yang labil. Luar biasa labil.

Ada yang suka marah dan sering sekali cemberut, dan saya belum jenuh mengingatkan untuk bisa tersenyum.

Ada yang luar biasa ekspresif dalam melenggak melenggok dan senang melengkingkan suara menggoda, sampai saya sering kali menegurnya. Dia semakin menjauh.

Ada yang gemar sekali hafalan sampai ketika kumpul berdiskusi pun, masih tetap menghafal. Untuk semangat menghafal yang salah situasi dan kondisi.

Ada yang ‘sering tersenyum tapi hatinya sakit’, katanya. Tiba-tiba meledakkan emosi satu kali dengan begitu dramatis.

Ada yang kebersihannya luar biasa harus diporak porandakan. Sampai cuciannya jamuran pun belum merasa ada masalah.

Saya harus lebih memahami saat ini, untuk lebih menyederhanakan masalah di depan mereka tanpa melupakan masalah besar yang engkau miliki secara individu. Untuk menanggapi tangisan dan kedramatisan mereka sewajarnya saja. Untuk tidak overact dalam memberikan perhatian, namun tetap berpikir rasional untuk membina mereka. Karena semakin lama mengenal mereka, semakin saya merasa hidup dalam dunia drama. Segala hal menjadi drama klasik. Ada banyak tangisan, ada banyak tawa, dan ada banyak nada. Setiap masalah, ada dramanya. Saya harus semakin berlatih. Untuk menyelesaikan sengketa perebutan kursi di jam pelajaran. Mendamaikan perdebatan antri kamar mandi. Mewajarkan santri yang pura-pura sakit atau memang benar sakit. Segala halnya penuh warna. Sungguh.

Yang penting seimbang saja. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah anak kecil yang masih butuh bimbingan moril. Dan saya tetaplah seorang manusia yang sejatinya lebih banyak belajar dalam membina di sini.

Antara Akademisi dan Ahli Herbal

 Ada banyak retorika  yang berkembang di kalangan masyarakat pondok. Mulai dari menganut rasa ta’dzhim kepada ustadz. Meningkatkan rasa kepekaan dan rasa tolong menolong dalam kehidupan satu atap. Sampai dengan kemampuan untuk bisa manajemen waktu di antara rutinitas yang lebih padat dibandingkan anak sekolah umum favorit sekalipun. Dengan beban akademik, hafalan quran, dan tuntutan penguasaan bahasa mereka.

Yang saya ceritakan di sini adalah hal yang membangkitkan intuisi pribadi sampai-sampai tergelitik untuk menuangkannya. Ada satu paradigma yang membuat saya menepuk jidat dan mengelus dada berkali-kali. Sampai saya berkonsultasi pada rekan sejawat.

Tentang pengobatan herbal diutamakan di atas logika kesehatan.

Pertama kali saya menjadi musyrifah, pada malam kedua, pintu kamar saya diketuk oleh santri pada tengah malam sekitar jam setengah satu pagi. Untungnya saya masih tersadar mengerjakan tugas sehingga suara tapak kaki mereka yang ragu mengetuk pintu antara nyata dan redup, samar terdengar olehku.

“ada apa?” aku membuka pintu, melihat kedua santri berwajah cemas.

Mereka menoleh bernafas lega. “Hurin, ukhti,...”

Kemudian aku bergegas ke sana. Meninggalkan kamar dengan rekan saya yang masih tertidur pulas saat itu. Kesibukan kami berbeda, dan kondisi memaksa saya masih terjaga sampai tengah malam. Akhirnya, saya bergegas pergi ke kamar santri.

Gadis kecil itu termasuk kecil untuk usianya. Kelas 1 SMP. Cantik. Sangat cantik dan manis.

Beliau mengeluh sakit. Saya yang menjadi orang baru di sini, tidak habis pikir untuk menghadapi situasi yang begitu rumit, terlebih kala itu saya belum membaca apapun riwayat penyakit para santri. Sejurus kemudian, saya langsung mengambil handphone dan menghubungi teman saya, anak fakes yang kebetulan kami sekontrakan. Meskipun saya paham betul kondisinya beliau sedang pulang kampung ke tempat asalnya, Cilacap.

Satu dering beliau belum mengangkat.  Yang kedua masih belum. Sampai dering ke delapan. Beruntung sekali, tengah malam dan beliau masih terjaga..

“gif.. ini kalau sakit perut gimana, ya? katanya penyakit maag... dia sampai nangis perih banget.” Aku kalap sekali kala itu.

Suaranya masih terantuk setengah sadar. Rupanya dering handphone membangunkannya dari alam mimpi, “oh, Ay.. hm... pakai air hangat saja dikompres perutnya, atau yang hangat-hangat. Sambil dipijitin..”

“ada obatnya, gif? Anaknya sakit banget gif, ini lagi nangis...”

“promaag coba, Ay,..”

Kutanyakan kepada Hurin, apakah terbiasa mengkonsumsi promaag, beliau meggeleng sambil masih terus menangis. Ia duduk kaku sambil memegang perut yang kesakitan dan air mata berderai. Sementara teman teman sekelilingnya semua telah tertidur lelap selain dua orang santri yang membangunkanku. Ada yang berujar, “pakai habbatus sa’udah punyaku, ukhti...”

Saya terdiam sesaat. Tersenyum. Lalu kembali mengalihkan fokus pada si santri. Singkat cerita, malam heroik itu berakhir dengan saya yang tertidur lelap di samping Hurin. Memijit perut sebelah kirinya yang sakit sampai mereda. Tangisnya terbawa tidur. Dan tidurnya membawa saya bernafas lega.

Ini baru satu contoh kasus.

Kemudian, pada tanggal 02 maret tepatnya. Saya pulang dari kampus. Mendadak begitu banyak keluhan dari anak-anak. Apa ada yang salah dengan kondisi kamar santri atau makanan. Yang jelas ada ketidakberesan dengannya.

Pertama,

“ukhti.. Nadia tadi pagi muntah dua kali.. Mencret juga, bolak-balik kamar mandi terus..”

Saya memutar otak, bergegas bertanya pada anaknya yang kondisinya sudah cukup lemas. Meski wajahnya putih, namun kali ini putih pucat.

“sudah diminum obat?”

“sudah.. tadi pakai sarang semut punya noni..”

“sarang semut?”

“itu loh ukhti, obat herbal punya Noni,”

Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh. Rasanya seperti nostalgia.

Kedua,

“Ukhti... Jihan pusing, ukhti,”

“oh iya?” sambil mencoba mengecek suhu badan dengan tangan. Suhunya normal. “sudah dikasih obat pusing?”

“nanti coba bekam, ukhti.. sama ibunya mba Ima.”

Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh. Ada lagi ...

Ketiga,

“ukhti..mba Dani tadi, bab nya berdarah..”

Oh iya? “iya, Dan?”

“iya, aku ambein, ukhti..”

“punya ambeven?”

“nggak ukhti.. aku biasa pakai obat herbal..”

“obat herbal?”

“iya, spray herbal.”

“terus, gimana cara pakainya?”

“disemprot, dibagian belakang.”

Saya hanya diam. Sejenak. Oh. Sambil menepok jidat.

Dan yang lebih kerennya lagi, semua ini terjadi dalam satu hari. Satu waktu. Maka saya (kembali) mengambil smartphone sambil menanyakan pada salah satu grup yang –alhamdulillah saya berkesempatan berkenalan dengan beberapa anak fakes yang sangat membantu untuk ini.

Satu respon pertama yang saya ingat, ‘bawa ke dokter aja, Ay.’ Rupanya beliau mengira poin penyakit itu dialami satu orang. Padahal, saya tuliskan per poin karena setiap poin dialami orang yang berbeda.

Kemudian, seorang mahasiswi teman kontrakan yang saya kenal sedang menjalani koas segera menjapri saya dan menjelaskan solusi penanganannya.

“ammah Aya, kalau yang diare dan muntah terus, bawa  minum oralit. Kalau nggak ada, coba beli  pocari sweat. Diminta diminum, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Untuk kasus yang babnya berdarah, tanyakan, darahnya merah segar atau tidak. Jika masih merah segar, berarti ada luka di dinding saluran pembuangannya. Bisa jadi karena mengejan terlalu kuat saat defekasi. Kalau darahnya tidak segar, coba bawa periksa ke dokter. Bisa jadi ada penyakit dalam.’

Saya merasa menjadi manusia beruntung saat itu juga.

‘anaknya saya tanya darahnya gimana warnanya? Dia jawab nggak mau,.. nggak mau, ukhti...’
‘namanya juga bocah, Ay...’

Iya, ya. Saya bukan lagi mengurus anak kampus.

Kasus terakhir, terjadi beberapa hari yang lalu. Saat mata saya gatal, saya ditawari ‘pakai propolis saja, ukhti.. tapi agak perih, sih. Katanya juga menurunkan minus di mata,. Supaya ukhti gak perlu pakai kacamata lagi..’

Saya hanya tersenyum hambar.

Malamnya langsung kukumpulkan saja anak-anak. Memberikan sebuah pencerdasan wawasan. Bahwa kebutuhan obat herbal sejatinya merupakan kebutuhan komplementer. Bukan untuk pengobatan total. Eksistensinya untuk menjaga kesehatan dan bumbu tambahan dalam menjaga kesehatan jasmani. Namun bukan solusi yang cerdas untuk pengobatan dalam atau luka yang parah. Betapa paradigma ini ingin sekali kuubah.

Saya tidak menyesalkan ini. Karena dengan ihwal seperti ini, kapasitas ilmu saya semakin holistik menangkan sinyal tambahan sebagai ilmu hidup.

Bahwa jika seorang memiliki asma, mereka biasanya mengkonsumsi obat khusus dari dokter seperti sarbutamol, dan rutin tiap hari memakai bronkodilator beberapa kali semprot.

Bahwa pada maag kronis, bisa diatasi dengan makan temulawak untuk meningkatkan nafsu makan. Orang maag biasanya diakibatkan jarang makan. Boleh jadi karena malas. Hal ini perlu diminimalisasi dengan banyak makan misal mengisi perut setiap sekian jam sekali dengan biskuit. Dan mengkonsumsi antasid sebelum makan.

Bahwa ada obat yang namanya oralit, setara dengan satu gelas air putih ditambah satu sendok gula dan dua sendok garam untuk mengganti cairan tubuh dari orang yang banyak mengeluarkan cairan tubuh.

Bahwa ada obat namanya diazepam untuk menekan sugesti manusia pada kekhawatiran akan sakit. Lebih tepatnya, obat ini dibutuhkan untuk menangani mereka yang punya kekahawatiran berlebih misal punya penyakit kronis padahal yang sugestinya saja.

Bahwa untuk menekan rasa sakit berlebih, bisa karena dismenor atau maag, bisa dengan asam mefenamat.

Bahwa minum air putih harus lebih sering dirutinkan lagi, untuk menghindari konstipasi yang berpotensi merusak saluran pembuangan.

Saya bersyukur untuk segala wawasan kehidupan ini.


Yogyakarta, 09 Maret 2016.

10 Mar 2016

Kepada Ratih dan Ishfi,

Sekitar jam 2 pagi saya terbangun dari tidur. Senyap senyap mata mencoba meraba sekeliling, dan menjangkau yang bisa terjangkau. Kamar saya gelap gulita saat saya tersadar bahwa malam kemarin saya bergumul dengan kelelahan sampai akhirnya memutuskan untuk tidur ke kamar selepas kajian ustadz Sholih.

Saya memang tinggal di pondok, tapi khusus malam jumat. Dan untuk seterusnya, saya meminta izin kepada ustazah untuk mabit di kontrakan lama saya –yang dibangun bersama dengan anak2 pasca asrama saya yang dulu. Inilah kontrakan yang sudah terkondisikan dengan atmosfer  yang membuat saya bisa kerasan di sini.

Kemudian, bukan hal itu yang ingin kusoroti.

Semua karakter warga kontrakan ini unik-unik. Kalian tidak akan bisa membayangkan gambaran dari pribadi yang akan kukisahkan ini. Namun, bukan dalam catatan ini.

Ada dua orang rekan saya. Mereka sudah satu paket. Deal. Tidak bisa dipisahkan. Nama saya samarkan untuk sebuah privasi. Yang jelas, mereka ini ibarat kembar identik. Ada orang yang dalam hidupnya sering kali berinteraksi. Dan hal itu yang membuat mereka kerap dianggap kembar. Padahal, hal itu hanya merupakan konsekuensi logis akibat dari interaksi yang intens. Mengubah karakter mereka menjadi dua pribadi yang saling melengkapi.

Jangan bayangkan pribadi itu saling akur. Kadang akur, ya memang. Tapi kadang juga bertengkar untuk sebuah hal di luar logika saya pribadi. Membuat saya tersenyum saja dalam hati. Lebih sering saya abaikan, karena pertengkarannya agak konyol. Ya sudahlah. Itulah keunikan dalam diri mereka.

Mereka dulu satu kamar sewaktu kami asrama. Dipertemukan dalam ruang seluas 4x4 meter di Jabal Tsur 2. Sewaktu di asrama dulu, saya jarang berinteraksi dengan warga JT2. Saya tinggal di Jabal Nur (JN) yang lokasinya sudah berbeda gedung, meski satu asrama. Hal itulah yang membuat saya kurang akrab mengenal mereka. Dan karena sebuah kontrakan ini, saya jadi semakin mengenal mereka.

Yang satu adalah pejuang wisuda bulan Mei 2016. Beliau mengaku tidak suka terikat perjanjian atau hitam di atas putih. Biarkan beliau bebas memilih kemana intuisi mengarah. Meski sejatinya masuk jurusan pendidikan, beliau tidak suka ngeles dan lebih memilih pekerjaan yang mengembangkan kreatifitas dan seninya. Sebuah pekerjaan yang mengekspansikan pengetahuannya pada seluk beluk kota Jogjakarta.  Sebuah pekerjaan yang anti mainstream.

Yang satu lain cerita lagi. Beliau kelihatannya suka imajinasi dan kaya akan kreatifitas. Dengan usia beliau yang dituntut untuk segera wisuda, beliau bisa menyamankan diri dari tekanan berbagai pihak yang mencoba mendorongnya untuk berjuang bersama dalam barisan pejuang skripsi. Luar biasa. Beliau meninggikan eksistensi kebebasannya dalam hidup terlepas dari berbagai tuntutan eksternal. Sebuah pribadi yang anti mainstream.

Satu kesamaan yang membuat mereka semakin akrab di mata saya. Mereka sedang membangun sebuah usaha. Si pejuang wisuda sedang sibuk mengejar dosen untuk bimbingan. Si pejuang kebebasan sedang sibuk mengajar, ngeles. Dan di kala semua kesibukan itu, mereka berdua tengah membangun sebuah dinasti sendiri. Tempat dimensi mereka bisa bebas berekspresi dalam gulungan-gulungan kertas –yang boleh saja bagi orang tidak berarti. Namun mereka menyulapnya menjadi sumber penghasilan rezeki.

Mereka menyebutnya “paper quilling”.

Saya sedang tidak berpromosi, hanya melilhat refleksi dari kegigihan mereka. Karena di pagi buta saat saya terbangun, saya dapati mereka masih sibuk mempersiapkan untuk hari ini. Tepat jam 10 mereka harus mendirikan stand ke UMY, untuk mempresentasikan mimpi mereka kepada publik. Dunia harus tahu bahwa itu merupakan simbol dari perjuangan dan persahabatan mereka!
Semoga usaha mereka terbalas setimpal dengan perjuangannya.


*semua nama di sini disamarkan, termasuk nama ustadznya.

Lab Fismatel Dept Fisika UGM, 11 Maret 2016

9 Mar 2016

Bobot 'Wakil Ketua'

Rasa itu bernama ‘kekeluargaan’.

Sekarang, giliranku tersenyum sambil memutar otak. Hal baru yang mencoba kubiasakan saat ini. Senantiasa tersenyum sekalipun setumpuk beban dengan segunung tugas dan tanggung jawab menyerang dalam satu waktu. Ini bukan masalah sekompleks menyelesaikan problematika umat. Ini hanya perkara mengayomi 16 orang yang membawahi 236 staff dan 106 proker. Itu menjadi jargon yang selalu terngiang di akhir 3 bulan kepengurusan.

Iri rasanya di kala orang lain sudah berpikir interdisipliner, holistik, ataupun act globally. Sementara aku tetap berada stagnan dalam posisi. Orang yang paling apatis ini dipaksa bertransformasi menjadi makhluk paling peduli dalam satu kepala membawahi 236 staff. Oh ya, sudah beranak 120 orang. Ada potensi yang harus digali pula.

Ada sebuah alasan yang mendasariku berpikir ulang untuk mengambil langkah mengejar idealitas. Memilih menjadi manusia yang hidup dalam realita sambil menyusun sebuah visi yang direalisasikan dalam sepaket buku kecil berisikan targetan-targetan. Sebuah pagar yang membatasi dari tindakan bodoh berupa : pengkhianatan mimpi hidup.

Sebelum membahas substansi pokok kondisi lembaga ini, perlu digarisbawahi kondisi rekan seperjuangan. Mereka adalah pejuang tangguh. Karenanya kami menjuluki diri kami sendiri sebagai “pejuang harian.” Kami berjuang setiap harinya. Berjuang akan tanggung jawab akademis. Berjuang akan tuntutan organisasi. Serta mengingat akan orang tua yang menggantungkan harapan begitu tinggi untuk kebermanfaatan pribadi. Kami berjuang dalam lingkungan kami masing-masing.

Ada posisi dimana harus memimpin. Dialah sosok pemimpin. Saya tidak meragukan jiwa kepemimpinan beliau dengan begitu sistematis dan teratur. Penuh strategi dan matang.

Izinkan kuceritakan satu hal, kawan. Ini bukan sekedar retorika.

Ada sebuah dinamika yang unik dalam setahun kepengurusan. Dan sepanjang itulah, kami yang memahaminya perlu mengenal masa dimana jalinan keakraban itu bisa mulai dirangkai, atau masa dalam menata hati dari perasaan egois untuk menarik diri dari lingkungan dan mengabaikan amanah. Atau masa saat kami harus menutup kisah dengan tangisan bercampur kelegaan luar biasa? Semuanya bercampur baur menjadi satu.

Memang pada akhirnya, dibutuhkan orang yang tetap stagnan. Dalam arti begini. Beliau menjadi sosok yang selalu ada. Senantiasa menjadi penyemangat, pendorong moral serta pemantik intuisi. Tidak perlu dituntut untuk bisa menjadi problem solver. Namun, dia sosok yang selalu bisa hadir saat kejenuhan itu melanda. Dialah yang memberikan perhatian lebih, seolah semua diistimewakan tanpa mereka saling tahu bahwa semuanya diperlakukan istimewa.

Dan dalam posisi ini, aku melihat refleksi dari bagaimana senior terdahulu bersikap. Dan mencoba belajar.

Mari berpikir. Ketika mengambil jalan untuk mengasah kompetensi dan terbang melangit sebagai sosok prestatif dengan segala inspirasi yang moga-moga terciprat, para rekan pun akan sulit untuk menyapa. Apalagi bergurau dan bercanda. Lain hal saat memposisikan diri sejajar dengan mereka. Sebagaimana orang yang memiliki waktu kosong dalam hidupnya untuk bisa nongkrong dan bercakap sambil mengomentari karakter orang.

Sedikit-sedikit aku mulai memahami bahwa konsep kekeluargaan membutuhkan proses yang lama. Waktu. Uang. Tenaga. Menguras otak. Emosi. Dan ekspresi. Itu bukanlah seperti PKM yang bisa dikerjakan seminggu penuh hingga kau absen jam malam asrama. Bukan pula seperti engkau menggarap skripsi yang menghabiskan puluhan gelas kopi dalam semalam suntuk selama satu tahun penuh. Atau bahkan paper yang bisa kau kerjakan sambil mendiskusikan tema bersama dosen dan rekan penelitian.

Itu membutuhkan kesediaan diri untuk menjadi sosok yang sederhana. Yang mau menunda sebagian dari targetan hidupmu untuk bisa duduk di sekre. Kadang kala berusaha memproduktifkan waktu. Lalu saat itu, kau lihat suasana keramaian satu-dua orang berdatangan. Ada yang main catur. Ada yang berdiskusi. Ada yang mengerjakan laprak. Ada yang ngenet. Sampai kemudian ada satu-dua orang datang menghampirimu. Mereka berkeluh kesah. Menyampaikan rasa dan meminta saran. Atau sekedar bercerita.

Akan banyak lagi warna yang ada. Dan aku mulai menikmatinya. Semoga bisa bertahan untuk 3 bulan berikutnya.


Yogyakarta, 24 September 2015

Namanya Erma

Namanya Erma. Putri Ermawati.

Adinda hanya satu dari sekian orang yang senantiasa berkorban. Berkorban untuk mengingatkan kepada mereka yang fana bahwa akhir itu pasti ada. Bahwa akan ada sebuah hari akhir dari rangkaian kisahmu di dunia nyata. Itulah alam yang kekal abadi. Yang katanya, hidup di dunia hanya dua setengah menit dibandingkan dengan pembalasan di hari kekal nanti.

Saya belum pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu. Mengenal orangnya saja belum pernah. Kami berbeda lembaga. Beliau berkontribusi di da’wah, konon katanya. Saya bekerja di ranah kelompok studi.

Beberapa minggu yang lalu tersiar kabar. Broadcast dari sesama pejuang tangguh sebuah grup sosial media. Menyiarkan kabar tentang kondisi beliau yang sedang diopname. Sebuah penyakit yang melumpuhkan seluruh fungsi tubuh. Adalah virus yang menyerang otak. Belum teridentifikasi.

Betapa hina, kali pertama saya membaca, saya mengabaikan. Semakin lama, berita tersiar semakin gencar. Saking seringnya, saya mencoba tanya pada salah seorang adik kelas. Begitu rupanya. Sampai satu hari, mereka membuat sebuah jadwal jaga Erma. Luar biasa. Saya bertanya, ‘separah apa kah kondisnya?’. Saat tersiap broadcast donasi pun saya hanya membaca sekenanya. Lelaki perempuan, semuanya bergerak.

Sampai satu saat, saya ikut menjaga beliau. Tepat selasa pagi. Saya menjapri salah seorang penanggung jawab yang saya tahu, betapa bertanggung jawabnya beliau. Saya berniat memberikan donasi ketika memang tahu betul kondisinya. Betapa luar biasa bodohnya saya.
Saya berangkat jam 7 saat baru membuka handphone. Betapa ramai grup. Membicarakan turut berduka cita. Saat itu, saya tahu saya sudah terlambat. 

Beliau telah tiada. Pada jam 05.00 shubuh, tersiar kabarnya.

Sejenak terhenti sesaat. Awalnya saya pikir adalah hal biasa. Begitu banyak informasi berlalu lalang. Itu hanya satu dari sekian banyak kejadian di sekitar saya. Namun, rasanya berbeda. Karena saat itu, kematian terasa begitu dekat dengan saya. Hanya selisih 3 jam sebelum saya bertatap muka melihatnya, dan beliau sudah tiada.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un... allohummaghfirlaha warhamha wa’afihaa wa’fu’anha,

Mendadak semua orang menyesal. Belum bisa memberikan yang terbaik. Dan saya menyesal, belum memberikan apapun. Namun beliau begitu besar memberikan pengertian pada kami. Pemahaman. Bahwa tiga jam saja langkah melihat sebuah kematian. Bahwa itu adalah sebuah keniscayaan.

Ada satu hal lagi yang paling penting. Kesadaran saya bahwa sebuah rasa ketulusan untuk menolong sesama begitu penting dibangun. Bahwa rasa kepekaan saya mulai tergerus, dan nurani saya mulai mengeras. Bahwa mata saya mulai buta dan telinga saya mulai tuli karena kebodohan. Bahwa saya semakin meninggikan ego dan merenggangkan tali silaturrahmi.

Luar biasa, bodoh sekali.  

Semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya. Amin Ya Rabb,

Yogyakarta, 08 Maret 2016


Islam