26 Nov 2017

Pertama

Tepat 02 Agustus 2017 pukul 11.14 wib, saya mendapatkan telphon dari seorang bernama Tieke Utama yang mengaku HR advisor dari WRI Indonesia. Beliau memberikan klise formal  dan mengatakan dalam kalimat efektif dan tone profesional bahwa saya diterima dalam sebuah program pembinaan intensif satu tahun menjadi peneliti muda di sebuah lembaga penelitian independen bernama WRI Indonesia. Tulisan ini saya buat dengan harapan semoga bermanfaat untuk kawan2 lainnya yang memiliki keinginan sama dengan saya. Berkontribusi, meski pada awalnya mempertanyakan kontribusi seperti apakah yang ingin diwujudkan?

Saya lulus dari Universitas Pancasila cabang Bulaksumur pada November 2016. Beberapa bulan setelahnya, berfokus merevisi publikasi paper penelitian tugas akhir dan belajar mandiri bahasa Inggris untuk mengikuti tes TOEFL ITP. Selanjutnya, 2,5 bulan kemudian dihabiskan untuk mempersiapkan real test ielts dengan belajar di Pare. Tepat 28 Maret 2017 adalah real test pertama (dan harapan saya juga yang terakhir) ielts di British Council Jakarta. Selang setelah itu, saya menghabiskan satu bulan untuk mempersiapkan diri dan segala berkas untuk aplikasi S2 dengan mendaftar beasiswa dan mencari universitas. Jadi, sesungguhnya, baru terbersit pikiran untuk mencari kerja pada bulan Mei 2017. Dan tepat saat itu pula saya mendapatkan pengumuman informasi lowongan peneliti muda Wahana Riset Indonesia.

Sekilas mengenai WRI, sesungguhnya merupakan kepanjangan dari World Resources Institute. Sebuah lembaga penelitian independen yang berfokus pada riset sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap kebijakan publik untuk mendukung terwujudnya lingkungan yang berkelanjutan. Lembaga ini langsung bekerja sama dengan stakeholder tertentu yang membutuhkan koordinasi terkait lima bidang penelitian; lingkungan, energi, kehutanan, dan iklim. Basis nya di Washington DC dengan kantor cabang yang menyebar di 5 negara, termasuk salah satunya Indonesia. Di Indonesia sendiri, lembaga ini baru didirikan pada tahun 2014. Tergolong baru, memang. Ketika saya melihat publikasinya, baru terbit 2 jurnal. Beberapa bulan kemudian, saya lihat semakin produktif menghasilkan op-ad yang diposting di website nya.

Setelah lama mencoba mengkaji lembaga ini, saya tertarik untuk mendaftar program peneliti muda. Syarat administrasinya membutuhkan banyak persiapan. Tidak seperti lowongan pekerjaan lainnya yang saya daftarkan melalui ECC hanya sulap dalam sekali tekan. Berkas administrasi yang dibutuhkan lebih mirip berkas untuk mendaftar beasiswa. List nya;
       1.       CV,
       2.       IPK minimal 3,20,
       3.       Background keilmuwan tidak dipermasalahkan, selama bisa relevan dan memberikan kontribusi  dengan keilmuwannya,
    4.        Surat rekomendasi dari dosen /atasan kerja (minimal 2). Bebas format. Saat itu, saya menggunakan referee report beasiswa AAS tanpa mengubah redaksi dan formatnya sama sekali,
      5.       Contoh publikasi atau tulisan –saya lampirkan proposal riset saya tentang nanomaterial dalam sustainable technology,
    6.       Essay topik bebas, berkaitan dengan pemahaman kita tentang sumber daya alam, energi, lingkungan, iklim, dan lainnya serta kontribusi yang dapat diberikan WRI,
       7.       Freshgraduate atau pengalaman kerja max 2 tahun,
       8.       Sertifikat bahasa (TOEFL atau IELTS),
9.       dan cover letter.
Semua berkas tersebut menggunakan bahasa inggris dan disubmit melalui official website wri yang terintegrasi dengan wri pusat.

Saya pikir, secara administrasi mereka secara tidak langsung telah mengintimidasi calon peneliti muda bahwa program ini memang tidak main-main. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk mempersiapkan berkas2 tersebut. Apalagi saya butuh waktu kontemplasi yang cukup lama untuk membuat essay WRI. Beruntung saat itu saya telah mendaftar di AAS. (Sebenarnya, saya juga tidak tahu harus berkomentar apa) Meskipun tidak lolos AAS 2018, paling tidak berkas2 yang saya gunakan untuk apply AAS bisa saya manfaatkan untuk apply di program peneliti muda ini. Termasuk surat rekomendasi dan proposal riset yang sudah di acc dosen –dan sesungguhnya saya buat untuk apply salah satu universitas di Australia setelah studi literatur jurnal2 hasil publikasi lab yang bersangkutan sekitar satu bulan. Karena kebetulan lab yang bersangkutan berfokus tentang sustainable technology dengan carbon capture.

Selang satu bulan setelahnya, tepat 24 Juni 2017 saya mendapatkan telphon undangan interview face to face di kantor WRI. Sejurus kemudian saya langsung menyetujui tanggal yang disediakan dan mendapatkan kiriman email resmi undangan interview.

Secara jelas tertulis di sana tanggal dan lokasi test. Lengkap beserta interviewer dan lama waktu interview. Ada tiga orang nama yang tercantum: country director, research analyst dan monitoring and evaluation menager.  Ada rasa menggelitik bagi saya untuk mengetahui background profile dari ketiga interviewer. Luar biasa, kontribusi mereka di bidang penelitian membuat saya merasa kecil sekali.

Kamis 26 Juni 2017pukul 11.00 tepatnya waktu saat saya datang untuk pertama kali di kantor WRI. Rupanya tidak hanya saya, namun beberapa peserta lainnya yang hadir dengan jadwal dan interviewer yang berbeda-beda pula. Ketika saya datang, saya diminta langsung menuju lantai 7. Di sana saya disambut oleh seorang berparas jenaka yang bernama mba Juju. Beliau research analyst baru di WRI dengan pencapaian riset lapangannya yang berfokus di kehutanan.

Saat masuk ke ruang, saya disambut dengan perkenalan singkat oleh dua orang yang saya kenal (dari foto) sebagai pak Koni dan pak Ari. Pak Koni memberikan brief singkat tentang program-program di WRI. Saya mengangguk, dan bersuara sampai ketika beliau mempersilahkan saya memberikan perkenalan singkat.

Saya bukan jobseeker yang expert sama sekali. Ini wawancara kerja kedua saya –setelah pengalaman wawancara pertama yang benar2 gagal- serta wawancara pertama saya dengan bahasa Inggris. Mendadak saya bernostalgia dengan suasana real test ielts –hanya saja kali ini dihadapkan tiga interviewer dengan durasi 3kali lebih lama. Tapi paling tidak saya sudah latihan untuk memberikan perkenalan diri yang singkat dan baik.

Mereka bertanya bergiliran. Mereka berfokus pada CV dengan melihat track record penelitian –meskipun penelitiannya sama sekali tidak wah. Sungguh. Karena saya punya beberapa pengalaman riset PKM (di lab fisika komputasi) dan riset nanomaterial (di lab fisika material dan LPPT), mereka tertarik menanyakan proyek riset tersebut. Mba Juju bertanya padaku PKM, dan kukisahkan pengalaman saat membuat mikroskop digital portabel proyek pkm kc. Dengan alokasi dana sekian, membutuhkan waktu berapa lama, implikasinya untuk masyarakat, ketercapaian dengan tujuan akhir.
Mba Juju juga menanyakan soal kapasitas dan kompetensi saya untuk riset dalam tim, bagaimana jika diajukan penelitian yang tidak relevan dengan background sebelumnya, dan kenapa tertarik melakukan penelitian. Barangkali ini memang pertanyaan yang umum untuk ditanyakan peneliti lapangan. Tapi saya menjawab tanpa persiapan. Tanpa ide. Menjawab persis seperti jawaban saya waktu test ielts. Panjang dan belibet, baru sampai ke poinnya. Dan saya tahu betul, itu tidak bagus. Sekalipun sudah latihan 3 bulan ielts, dalam situasi nervous sekalipun, ilmu itu menguap begitu saja. Beruntung mba Juju cukup sabar mendengar, memotong dengan sopan.

Sementara pak Ari bertanya soal koordinasi saya dengan Dikti selama proyek PKM ini. Saya pun bingung. Bingung karena saya membayangkan mereka melihat track record saya mengikuti PKM sebagai suatu pengalaman yang sangat prestige, sementara dari kacamata anak ugm sendiri –atau sebenarnya lebih tepatnya dari kacamata saya pribadi, pkm adalah perlombaan tahunan biasa. Maka lolosnya proposal pkm sampai bisa didanai Dikti beberapa kali pun juga wajar. Karena itu memang sudah mengakar sebagai kultur di antara anak ugm sendiri (faktanya, saya bahkan sama sekali belum pernah berkesempatan lolos pimnas). Saya jelaskanlah bahwa koordinasinya terbentuk dengan pengiriman rutin laporan kinerja dan presentasi saat monev di akhir periode. Beliau menanyakan kesulitan yang dihadapi selama koordinasi dengan dikti. Beliau juga menanyakan soal publikasi terakhir saya, yakni riset nanomaterial. Beliau meminta saya membayangkan jika harus menjelaskan dengan masyarakat lokal tentang nanomaterial, apa yang akan saya lakukan. Pertanyaan yang membuat saya perlu berpikir agak lama, sampai menjawab dengan pikiran pendek, ‘saya akan menggunakan kata2 sederhana yang membuat mereka paham –tanpa harus menggunakan istilah ilmiah.’

Berbeda dari keduanya, pak Koni menanyakan padaku seputar kontribusiku yang cukup lama di lembaga LSiS FMIPA UGM. Beliau menanyakan apa saja jobdesc ku, kemudian proyek apa saja yang dilakukan di sana.  Beberapa kali saya gagal fokus dengan pertanyaannya. Namun beliau tetap dengan sabar bertanya ulang, meski berakhir dengan tawa atau senyuman (yang aku sudah berpikiran buruk saat itu dan masih belum bisa menginterpretasikan arti di balik senyum beliau itu).
Secara umum, hampir semua pertanyaan yang diajukan saya jawab penuh liku. Memang kodratnya perempuan, nggak bisa to the point. Tapi muter dulu sampai akhirnya interviewer paham intinya apa. Saya juga sempat miss di 3 pertanyaan. Saya nggak nyambung dengan pertanyaannya. Namun mereka tetap dengan sabar mengulang pertanyaan yang sama kembali. Beruntung ini bukan ielts. Skorku bisa jadi 6.0 kalau ini memang test speaking ielts.

Ini bukan contoh kasus interview kerja yang bagus, namun bagi saya pribadi merupakan sebuah pembelajaran berharga kalau2 interview kerja sebagai peneliti profesional ataupun beasiswa terjadi. Karena sejatinya, program peneliti muda ini memang diperuntukkan untuk mereka yang punya intuisi namun masih hijau untuk menginjakkan kaki, berkarir di bidang riset profesional, jadi saya anggap kelulusan saya sebagai salah seorang peneliti muda merupakan bentuk apresiasi bahwa program ini memang tidak berfokus pada indahnya retorika maupun formalnya penampilan saat wawancara. Saya masih dengan style saya yang biasa. Jilbab panjang, rok jeans, tas ransel, dan sepatu (tak usah dibayangkan). Tapi saya yakin bahwa ada yang harus direvisi dari style saya jika sudah berkecimpung di dunia kerja. Saya harap, dengan bergabungnya saya di sini menjadi satu momen saya bisa mulai belajar bekerja di ranah profesional.

Belum berakhir ceritanya. Satu bulan berlalu dan saya mendapati pengumuman dari mba Tieke. Awalnya sempat ragu karena mereka bilang akan memberikan pengumuman pada pertengahan juli. Jadi saya dengan sabar menerima telphon untuk mendengarkan dari mba Tieke pernyataan ketidaklolosanku dalam program ini. Ternyata sebaliknya, beliau menyatakan ‘di sini kami ingin menyampaikan penerimaan mba sebagai salah satu dari 20 kandidat peneliti muda WRI’ –dan itu nyaris membuat nafasku tercekat sesaat. Karena 10 hari menunggu pengumuman tak kunjung datang, saya sudah dalam titik tawakkal dan mengikhlaskan sepenuhnya, barangkali memang bukan yang terbaik untuk takdir saya ke depan. Alih-alih, ternyata proyek ini mundur di akhir Agustus, sehingga pemberitahuan secara personal baru dihubungi awal Agustus. Saya langsung saja sujud syukur dengan luapan air mata bahagia. Jika Anda menemui kondisi seperti saya dalam keadaan nyaris putus asa mencari tempat pekerjaan terbaik, barangkali paham arti dari pentingnya pengumuman ini.

Mereka mengirimkan offer letter, lengkap dengan konfirmasi penerimaan kerja, keterangan upah yang akan didapatkan –beserta potongan pajak, berkas yang perlu dikirim balik, dilampiri dengan berkas biodata konsultan yang harus diisi dan perjanjian bebas suap yang harus di tanda tangani. Jadi, kontrak peneliti muda ini adalah kontrak sebagai ‘consultant’.

Untuk orang sehijau saya, bisa langsung berkontribusi menjadi bagian dari lingkungan kerja bersama peneliti2 profesional dengan pekerjaan yang memang engkau minati, merupakan karunia luar biasa. Sejujurnya, lama periode antara persiapan saya melengkapi berkas WRI hingga pengumuman penerimaan itu merupakan periode yang penuh kesabaran batin. Karena semuanya penuh ketidakpastian. Engkau adalah sarjana muda. Lulusan sebuah jurusan yang tidak banyak menjual di ranah dunia kerja Indonesia (ngomong2, saya lulusan fisika murni dengan minat di fisika material, riset nanomaterial). Memiliki kapasitas spesifik yang butuh ditempatkan di tempat spesifik pula. Hanya saja, engkau masih mencari komunitas, relasi, dan masih butuh pembinaan untuk bisa langsung bekerja secara profesional. Karena selama periode tersebut, saya mendapatkan beberapa tawaran kerja yang berakhir sampai periode interview ketika saya pada akhirnya menolak tawaran tersebut –atau mereka yang menolak, karena mendapati semangat saya yang lemah. Pasalnya, saya memang tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa kalau-kalau diterima dan harus bekerja dengan totalitas. Rasanya, ada ganjalan di hati bahwa jika bekerja di tempat ini, bukanlah passionmu. Atau, memang pikiran sederhana bahwa kau tidak bisa mengembangkan diri di sini. Maka saya sampai mempertanyakan kembali, sebenarnya apa tujuan saya? Karena berkali-kali tawaran kerja itu ditolak, rasanya saya semakin merasa bersalah dengan orang tua.


Pada akhirnya, alhamdulillah dan qodarullah bisa mendapatkan kesempatan ini. Semoga satu tahun kontrak ini ibisa memberikan pembelajaran dan pengalaman berharga untuk dunia saya ke depan. Amin J .

13 Jul 2017

Emak Emak

Saya suka mengamati perilaku manusia sekitar. Interaksi mereka unik, karena merepresentasikan bahwa dunia yang sesungguhnya tidak hanya hitam putih seperti panggung sandiwara. Nyatanya, penuh warna dan ragam yang tidak akan pernah habis diceritakan dalam ragam buah karya maupun layar kaca. Dalam setiap tindakan, ucapan, dan ekspresi. Mereka membawa sepaket logika hasil dari proses pemikiran mereka. Meski kadang, ada juga yang bertindak nggak pake mikir. Itu pun, masih bisa diterka.

Dalam kesempatan saya tinggal cukup lama di rumah –setelah lama merantau dan kini kembali lagi ke haribaan. Qodarullah, saya kembali dipertemukan dengan komunitas ini. Mereka itu ibarat pleistosen di padang gurun. Eksistensi mereka nyata di antara pesatnya westernisasi kota-kota besar. Eksis –bahkan sangat eksis. Tidak (mau) peduli arus. Tetap bertahan dengan kuasa dan andil mereka. Bahkan, konon katanya pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa pun pangling, CEO perusahaan-peruahaan multinasional, maupun para kaum terpelajar lulusan luar sana paling takut jika harus berurusan dengan spesies ini. Karena kabarnya sepuh mereka pun juga bagian dari komunitas ini. Mereka adalah generasi X. Merekalah, yang dengan bangga kusebut : emak-emak.

Jika harus ditanya, ‘apa yang paling nyebelin dari Jakarta?’ Mereka bisa saja menjawab dengan alasan klasik yang menjadi jargon di tiap 5tahunan pilkada: macet dan banjir. Namun, kawan. Percayalah. Ada hal yang jauh lebih krusial daripada kedua itu. Pertama adalah pengendara mobil yang masih hijau dan berkendara di tengah jalan. Umumnya laju mereka tanpa arah, memblokir jalan, dan yang lebih menyebalkan adalah karena sengaja melambatkan kecepatan. Kedua adalah emak-emak yang naik motor. Bukan hanya menyebalkan, tetapi juga luar biasa berbahaya. Mereka berada di tengah jalan. Memblokir motor –bahkan kadang juga mobil dan pejalan kaki tanpa pandang bulu. Mereka melaju tanpa indikasi lampu sen. Tiba-tiba saja belok tanpa tahu rambu. Dan yang lebih mengerikan dari itu semua adalah : mereka tidak pernah (dan tidak akan) mau disalahkan. Maka, jangan harap untuk mendapatkan reimburse dari kecelakaan yang secara jelas terlihat siapa korbannya dan siapa yang salah. Sekonyong-konyong engkau ngotot, tetap saja kita tahu siapa yang akan menang. Maka untuk poin kedua ini, tidak akan dapat terselesaikan dalam debat cagub sekalipun.
***

23 Mei 2017

Mabat dan Retorikanya (H+20bulan KKN)

#BukanNegeriLaskarPelangi

Jakarta, 03 Januari 2017.

Ada beberapa momen dalam hidup yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia harus dijemput dengan sebuah usaha. Ia ada sebagai antitesis dari beragam konflik yang muncul di sekitarmu. Ia merupakan buah dari kontemplasi dari para pejuang.

Sudah 20 bulan berlalu semenjak kali terakhir kami kontak secara fisik dengan penduduk Mabat. Semenjak itu pula tautan kami tak lebih dari sekedar suara dalam deringan handphone tiap sabtu malam atau postingan foto di grup Whatsapp ‘keluarga Mabat’. Kadang kala, pejabat Desa Mabat juga datang ke Jawa dan menyempatkan diri ke Jogja untuk menyapa kawan lama yang sudah tersebar sebagai sarjana di penjuru pulau Jawa dan Sumatera. Mereka datang untuk mengurus berbagai hal, mulai dari anaknya yang merantau mencari ilmu ke tanah Jawa, mengurus perdagangan sahang, hingga mengikuti agenda ibu2 PKK.

Kali ini, tiga orang pejabat desa yang terdiri dari kepala desa, Humas PT Timah, dan DP Mabat datang ke Jakarta untuk sebuah misi suci: mempertahankan hak tanah dari masyarakat sipil atas tuntutan perusahaan.

Bicara mengenai hal ini, saya perlu mengulas ragam konflik di tanah Bangka dalam perspektif saya yang masih hijau.

***

Saya terbangun dari keberangkatan unit BBL-01 ketika kami sudah sampai di langit pulau Bangka. Jarak dari Jakarta ke Bangka –tepatnya Pangkal Pinang terpaut satu jam perjalanan. Langit siang itu masih cerah ketika matahari tepat di titik alzimuth. Meskipun posisi duduk saya dua kursi jauhnya dari jendela pesawat, saya bisa melihat dengan jelas hamparan laut tanpa batas. Semakin lama, beralih menjadi teritori daratan. Tapi itu bukan daratan biasa.

Saya melihat ada banyak lubang-lubang besar. Barangkali, itu yang namanya tanah bekas galian timah. Seindah apapun pantai putihnya yang tergerus ombak pasang, namun lubang-lubang itu tetap mengusik perhatian. Ketika saya dikenalkan pada masyarakat lokal, mereka menyebutnya dengan istilah kolong.

Pandangan itu mengusik pikiran kami, pendatang baru yang pertama kali melihatnya. Namun, tertutupi begitu saja sesampainya kami di bandara tujuan. Kami disibuki mengantri di wilayah transfer barang untuk mengambil kargo kami. Kormanit kami sudah menginstruksikan bahwa koper kami perlu diberi pita untuk melabeli kepemilikan unit secara keseluruhan.

Kami dijemput dengan tiga bus besar seukuran kopaja. Ada tiga unit BBL yang bertujuan ke Bangka saat itu. Tiga bus berangkat beriringan menuju sebuah wisma Bangka dengan arsitektur klasik. Selama tiga hari dua malam kami bermukim di sana, hari keempat kami kembali di jemput dua buah mobil yang mengantarkan kami ke desa tujuan. Saat itu juga, tiga unit KKN berpisah sesuai dengan tempat kontribusinya masing-masing.

Di antara desa lainnya, desa Mabat ini posisinya cukup unik. Spektrum bahasa penduduk lokal merepresentasikan kekayaan budaya masyarakat setempat dengan keunikannya tersendiri. Setiap desa punya bahasa khas dan pemandangan yang khas. Selama satu jam perjalanan, ada setidaknya 6 desa yang kami lewati hingga kami sampai di desa tujuan.  Mereka terkoneksi dengan satu jalan, sementara kebon (lebih mirip hutan) adalah satu2nya yang memisahkan antar desa. Jalannya pun lurus, hampa, dan sepi. Beberapa kali saya melewati jalanan ini mengendarai motor, saya nyaris tidur di tengah jalan saking sepinya.

Pemandangan itu kembali kami amati di sepanjang pengamatan. Kolong-kolong yang dicitrakan dalam altitude ribuan meter di atas pesawat semakin nyata  ketika kami melewatinya dalam jarak beberapa meter dari bus. Lobang itu menganga besar, terisi oleh air berwarna biru. Tanpa batas pengaman, tanpa apapun, dibiarkan menganga begitu saja. Saya bertanya-tanya dalam hati, seberapa dalam lubang itu digali. Dilihat dari pemandangan di pesawat tadi, jumlahnya bukan hanya puluhan. Mungkin ratusan. Bisa jadi lebih dari itu jika dikalkulasikan dengan seluruh pulau Bangka.

Bangka memang merupakan pulau yang eksotis dengan beragam kekayaan. Diantara kekayaan itu, timah menjadi hal yang mengundang minat investor untuk menanam investasi di sana. Setelah perbukitan bekas tanah galian yang menggunung, kolong itu dibiarkan begitu saja. Bahkan, kami melihat pemandangan di satu desa bahwa belakang rumah mereka sudah berhadapan dengan kolong. Setelah dilegitimasi bahwa kekayaan timah bisa digali bukan hanya oleh perusahaan kapitalis namun juga masyarakat lokal, berbondong2 penduduk beralih profesi dari masyarakat maritim berubah menjadi penggali timah. Itu sebabnya mereka bekerja mengeruk timah di sepanjang teritori Bangka yang ada.

Bukan hanya timah, ada juga perusahaan sawit. Nampaknya tangan2 investor itu jeli memandang kekayaan alam sebagai potensi yang besar untuk menanam saham. Ratusan hektar tanah warga lokal dialihkan menjadi kepemilikan perusahaan. Sebagaimana sawit membutuhkan banyak air untuk tumbuh, hal itu menyebabkan desa-desa sekitar dihadapi fenomena tahunan: banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Ini cerita tentang banjir setinggi lutut di tengah bulan Desember dan kemarau yang menguras habis Ae Mabet di penghujung bulan Agustus.

Paradoksnya muncul ketika kami sudah memasuki wilayah Mabat. Fokus kami teralihkan semenjak kami melewati jembatan desa Mabat yang sedang dalam proses pembangunan. Itu adalah pemandangan sungai yang berada tepat di pinggir jalan. Kami dihadapi oleh warga desa yang berteriak menyahut kami dengan pedenya ketika mereka sedang mandi dan mencuci. Tanpa sadar, kaum hawa teriak. Tidak kuasa memandang dua bulan masa depan mereka akan dihadapi oleh situasi seperti itu. Saya menepuk jidat saja.

Saya jadi ingat satu malam kami bersilaturrahim di rumah bang Zakir. Harus saya akui, rumah beliau adalah yang terunik di antara rumah warga desa lainnya seantero Mabat. Pasalnya, rumahnya masih asli berdiding kayu dan posisinya lebih tinggi satu lantai dengan bermodalkan pilar-pilar kokoh yang tertambat di tanah. Beliau menceritakan anekdot masyarakat Mabat di masa lalu dalam klausul penuh ironi.  Beliau juga mengaku bahwa keboh di halaman belakang rumahnya dulu masih banyak rusa berkeliaran mencari makanan. Sekarang, populasinya sudah langka karena tergerus perkembangan perusahaan kapitalis yang berekspansi di bawah yuridikasi hukum tanpa etika.

2 minggu yang lalu, kami mendapatkan kabar kehadiran pejabat desa itu ke tanah Jawa lagi. Rupanya, mereka datang untuk mengurus pengadilan sengketa tanah antara pihak perusahaan dan pihak desa. Tanah warga lokal sudah banyak yang terjual untuk keperluan PT dalam menanam kelapa sawit. Perkebunan sawit menjadi alasan utama krisis air desa Mabat di musim kemarau dan banjirnya desa saat musim hujan. Eksploitasi tanah secara berangsur-angsur berpotensi memperkeruh kualitas hidup desa penuh euforia ini.


Saya yakin ini bukan hanya terjadi di Bangka. Pada beberapa kawan saya yang sudah berjumpa ke Papua ataupun Kalimantan, hal yang sama rupanya juga terjadi. Hanya saja, mereka menceritakan dalam ragam yang berbeda. Beliau dengan kapasitas beliau sebagai masyarakat lokal maupun analis sosial. Dan saya dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa yang numpang tinggal di sini.

...

30 Apr 2017

Hanna

#SayaPunyaTeman

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan semenjak duduk di bangku SD kelas 1 hingga kelas 9 smp. Kami selalu berada satu kelas. Maklum, karena memang cuma segitulah jumlah kelas yang ada. Beliau adalah yang tercerdas dan tercantik yang pernah saya kenal. Datang dari kalangan aristokrat dan hidup dalam lingkungan cendekia bermartabat.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan, dan selama itu pula saya selalu ke rumahnya. Hampir setiap  hari, cuma untuk menemani beliau ke kamar mandi rumah karena beliau tidak bisa menggunakan kamar mandi sekolah. Rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah kami. Lebih tepatnya, loncat juga bisa.

Saya punya seorang teman akrab. 9 tahun lamanya kami menjalin persahabatan di masa kami masih labil. Emosi kami belum matang seutuhnya, sehingga saya menikmati pergolakan persahabatan kami yang penuh dinamika di masa remaja. Hampir setiap hari saya main dengan beliau. Kami punya banyak kesamaan. Barangkali, karena kami tumbuh berkembang di lingkungan yang sama pula. Kami suka menggambar kartun. Kami gemar baca komik –terutama Naruto dan Conan (dan ajaibnya, dia punya all set kedua komik itu tertata rapih di meja belajarnya). Kami juga senang menulis novel –yang mana, kalau saya baca ulang sekarang, saya sadar betapa alay nya saya dulu. Saya masih menyimpan pernak pernik yang menjadi saksi masa kecil kami berdua. Mulai dari surat menyurat, notes yang dibuat selama jam pelajaran. Hadiah dari tukar kado –padahal bukan saatnya kami ulang tahun. Luar biasa. Alay sekali (menepuk jidat).

***

Mari kita panggil dengan sebutan ‘Hanna’. Awal mengenalnya sebagai teman sekelas, beliau terkenal cerdas. Namun, sebagaimana orang cerdas lainnya, mereka juga manusia yang butuh berkomunikasi. Beliau menjadi teman saya  dan saya juga sering mengikutinya. Di jam istirahat. Di jam olahraga. Di jam main2. Saya senang berteman dengannya. Beliau adalah blasteran Arab. Ayahnya orang betawi asli sementara ibunya datang dari Damaskus, Syiria. Beliau sering berkisah tentang keluarganya seperti, bagaimana ayah dan ibu bisa dipertemukan, pada umur berapa neneknya menikah, apa yang dilakukannya selama masa kecil di Syiria, sampai soal tantenya memutuskan jaringan parabola indovision tapi masih bisa akses disney channel di TVnya.

Belakangan saya baru tahu bahwa kedua orang tuanya adalah orang hebat. Mungkin karena saya yang waktu itu masih kecil sering menyapa kedua orang tua nya di rumah, tidak menyadari seberapa terhormatnya keluarga itu. Ayahnya adalah seorang dosen –di banyak universitas yang saya juga tidak hafal saking banyaknya. Sekarang menjadi tokoh penting dalam MUI jakarta. Sementara ibunya adalah dosen LIPIA, sebuah perguruan tinggi  berlokasi di jakarta dengan sistem pendidikan Saudi Arabia. Ayahnya punya sanad hadist sementara ibunya punya sanad Quran. Subhanallah. Yang saya sadari setiap kali di rumahnya adalah keluarga itu memakai 3 bahasa; Indonesia, Inggis, dan Arab. Maklum, keluarga besarnya tersebar di berbagai belahan dunia. Kadang tiba2 dia hilang tanpa kabar di kala liburan untuk pergi keluar negeri mengunjungi kerabat.

Semenjak tahun pertama di bangku SD, beliau selalu menjadi rival saya soal hafalan Quran. Saya senang menyadari bahwa di antara kelebihannya, setidaknya kami punya kesamaan. Beliau juga menjadi salah satu alasan saya semangat menghafal. Ketika kami duduk di bangku kelas 3 SD, kami sempat diminta membaca surat di depan Syekh Wahbah az Zuhaily. Ulama besar itu datang ke Indonesia sebagai guru dari ayahnya yang merupakan pemimpin lembaga tempatku bersekolah. Di tahun yang sama pula kami sempat diundang di RRI. Wah, mengingat masa itu, saya ingin sekali memeluk diriku di masa lalu.

Yang jelas, saya mengenalnya ketika kematangan emosi kami belum sempurna. Kami masih sering berantem, iri2an, bawel, dan berisik. Beliau pernah marahan dengan saya hanya karena saya dekat dengan kawan lain. Pun, saya juga pernah marah dengan beliau hanya karena beliau tidak mengizinkan saya membaca komik naruto karena takut rusak. Namun, beliau juga yang menjadi alasan saya bersemangat ke sekolah. Menulis. Menggambar. Setiap kali saya menggambar manga, saya selalu saja teringat beliau. Masing2 dari kami punya selera gambar yang berbeda.

Ada satu hal konyol. Kami bersahabat di awal abad ke 20 ketika komunikasi lazimnya menggunakan telphon kabel. Nomor rumah beliau adalah yang ke2 yang kuhafal setelah nomor telphon rumahku sendiri. Sampai sekarang, saya masih menghafalnya sebagaimana saya hafal alamat rumah sendiri. Kami sering telphonan karena saya juga sering sendiri di rumah. Beliau dengan keramaian rumahnya senantiasa menerima telphon ku yang mencari2 teman ngobrol. Percakapannya pun tak kalah konyol. Mulai dari bahas pelaku pembunuhan di komik conan yang masih gantung, sampai saat aku kesusupan dan aku curhat lewat telphon, satu keluarga di rumahnya ikut kerepotan kasih saran. May, kata tanteku, kalo kesusupan di pake pinset. May, kalo mamaku nyaranin ... walah, anak kecil ^^”

Di penghujung tahun 2009, kami memutuskan jalan hidup masing2. Saya memilih sekolah di madrasah aliyah negeri, sementara beliau di sekolah negeri. Sudah lama kami tidak saling berkomunikasi semenjak saya ganti nomor hp karena hp yang lama hilang. Semenjak itu pula, saya bertekad tidak akan mengganti nomor –sekalipun hp silih berganti hilang dan rusak berkali2 pula. Terakhir, saya melihatnya di jakarta book fair. Saya melihatnya, namun tak saling bertegur sapa. Saya tahu kabar terakhir bahwa ia lanjut kuliah di lipia sementara saya kuliah di jogja. Ketika saya bermukim di sebuah pondok di jogja, saya mengetahui kabarnya dari anak bu nyai pondokan saya yang juga kuliah di lipia. Beliau bilang, kabar kawan saya ini baik2 saja. Beliau mumtaz di semua pelajaran, namun di pertengahan periode beliau keluar dari lipia dan lanjut di al hikmah. Saya menemukan kesulitan menghubungi beliau karena fb nya sudah tak terdeteksi. Dia juga tidak terdaftar di grup line angkatan SD dan wa angkatan SMP. Saya hanya menemukan instagram adiknya. Pun saya juga malu menanyakan lewat adiknya. Saya ini teman macam apa....

Saya menulis ini hanya untuk mengekspresikan suasana. Saya rindu beliau sementara beliau tidak bisa terjangkau. Jika ada kesempatan bisa bertemu, barangkali saya hanya tertegun lama. Malu. Selama 7 tahun ini, saya belum ada pencapaian apapun untuk bisa dibagikan. Gambar saya tidak lebih baik dari dulu. Tulisan saya ya begini2 saja gak jauh beda dari SMP. Hafalan saya juga tidak jauh dari progress di masa lalu. Bahasa arab saya sama sekali tidak berkembang. Barangkali, rivalnya cukup sampai situ saja. Dunia kami sudah jauh berbeda dan tidak ada yang bisa disampaikan dengan suasana riang satu pemikiran. Akan ada banyak gap ketika berkomunikasi. Beliau luar biasa dengan pengalaman beliau, dan saya begini saja apa adanya.


Yang jelas, saya rindu beliau. Saya menuliskan ini tidak berharap beliau akan membacanya. Toh, saya juga tidak yakin beliau tahu kepemilikan web ini atau tidak. Tapi saya yakin, sekali beliau membacanya, beliau sadar betul siapa tokoh yang saya ceritakan ini.

5 Jan 2017

Dunia Pasca Kampus : Mencari Pondok Hafalan


Jakarta, 04 Januari 2016.

Sebagai manusia, saya sudah hidup tak kurang dari 22 tahun. Dan sebagai mahasiswa, sudah lama (sekitar dua tahun lalu) saya mengaklamasikan diri untuk bertekad fokus hafalan pasca kuliah sebelum melanjutkan rencana S2. Setiap orang punya prioritas masing2 dalam hidupnya, saya paham betul. Dan kepahaman ini saya semakin sadari pada momen2 saat saya yudisium, melihat teman2 kontrakan saya sudah mengurus berkas kerja. Ada yang sudah selesai koas dan semakin sering pulang balik ke rumah (yang lokasinya di Solo) dengan alasan berbakti pada orang tua. Ada yang sudah mulai belajar2 tes CPNS. Ada yang sudah mendaftar les bahasa inggris. Masih ada pula yang masih mengurus revisian skripsinya atau pun mengolah data. Keberagamannya semakin terasa dan membuat kami semakin sadar bahwa pada akhirnya, setiap individu dari kita juga akan berpencar dengan jalannya masing2, menjalani hidup sesuai dengan kompetensi dan passionnya masing2.

Kenapa mondok? Sementara yang lain sudah disibuki bekerja untuk tidak bergantung sama orang tua? Kamu udah 22 tahun, dan kamu akan mondok. Bukan main. Pondok hafalan yang harus fokus paling tidak 20jam dalam seharinya  untuk menghafal dan mensterilkan lingkungan mu dari segala kesibukan lain yang berpotensi mendistraksimu. Kamu udah punya tabungan untuk hidup, atau masih bergantung sama orang tua? Lagipula, entah berapa lama akan selesai hafalan mutqin (di luar kepala). Begitu keluar dari pondok, jelas kamu akan terasing pada hiruk pikuk dunia dan segala tuntutannya. Anak pondok kan biasa nya jetlag kalau udah keluar dari pondok dan melihat realitas metropolitan.
Stigma seperti itu yang sering kali berkeliaran liar di kepalaku pada keputusan ini. Sok nyantri, ujug2 jadi santri liar (meminjam istilah ustadz Luthfi Fathullah untuk santri yang terlepas dari sistem dan menjadi liberal gaya hidup dan pemikirannya)

Ada banyak alasan di sini, pergulatannya juga banyak. Yang jelas, seorang pasti akan mengambil sebuah keputusan atas dasar pertimbangan yang matang. Dan pertimbangan itu diambil setelah melakukan kesepakatan dengan para stakeholder dalam hidupnya.

Karenanya, dunia pasca kampus itu lebih menantang. Karena momen itulah, 16 tahun pendidikan formal kita akan usai, bercabang menjadi percabangan pilihan hidup yang memberikan banyak penawaran. Pertanyaannya adalah : ke jalan mana kamu hendak melangkah?

Yang jelas, saya sudah mempertimbangkannya dan menyampaikan secara baik2, mendiskusikan dengan orang tua dan membuat kesepakatan dengan mereka. Bahkan nggak segan2 mereka menjadi benefactor di sini yang membuatku terharu.

Soal jetlag pasca pondok?

Saya paham.

12 tahun saya hidup dalam kota metropolitan jakarta. 2 tahun hidup dalam suasana pondok modern di jogja. Saya paham yang dimaksud dengan jetlag, realita anak pondok (malah, bukan cuma anak pondok saja, tapi sekolah islam terpadu pun juga) pasca mengenyam pendidikan dan terbebas dari sistem yang selama ini mengatur. Karenanya saya tidak berkenan untuk menerima mentah2 pendapat orang lain soal stigma pondok yang terkesan eksklusif sehingga keberterimaan nya di lingkungan sosial masyarakat luar pondok sangat rendah.

Intuisi saya untuk S2 besar, dan tekadnya pun sudah tertanam, bahkan semenjak SMA. Saya yakin, masalahnya bisa diselesaikan bukan dengan mengubah targetan, tetapi dengan memodifikasinya.

 Saya lulus pada november 2016. Itu tertarget, karena beasiswa yang saya kejar pada periode februari 2017. Pasca wisuda 16 november, secara mandiri saya berlatih toefl untuk persiapan tes toefl itp tanggal 19 desember 2016 di ppb (pusat pelatihan bahasa) ugm. Sertifikat toefl itp ini berlaku dalam negeri, dan kurang terstardardisasi jika digunakan untuk aplikasi kuliah maupun beasiswa luar negeri. Biasanya dibutuhkan sertifikat ibt ataupun ielts. Standar untuk toefl itp ke luar negeri umumnya >550. Seusainya tes, saya kembali ke rumah di Jakarta untuk mengurus berkas umum yang dibutuhkan untuk administrasi pendaftaran S2 maupun beasiswa. Baik ijazah versi bahasa inggris, legalisasi ijazah dan transkrip nilai, dan stck. (Surat keterangan sehat dokter  seharusnya juga diurus, tetapi saya tunda sampai ada kepastian dari pihak pemberi beasiswa yang saya kejar ini. Dan paspor saya sudah kadarluasa, jadi harus buat paspor ulang). Waktu itu saya belum punya e ktp dan nama saya direvisi ke kantor pengadilan jaksel sampai ke sudin. Jadi perlu diurus pula administrasi ini karena berhubungan dengan status nama saya di e-ktp (bisa baca catatan : pengurusan revisi nama).

Karena target saya ke luar negeri, maka saya berlatih diri untuk bisa mengejar slor di tes ielts. Pertengahan desember saya mendaftarkan diri ikut program ielts camp di pare selama satu bulan. Sekarang prosedur pendaftaran kursus di pare lebih terintegrasi, bahkan sampai difasilitasi untuk jasa penjemputan dan tempat menginap bagi yang tidak ikut camp. Program ini dimulai tanggal 10 januari dan berakhir sekitar 8 februari. Jadi saya targetkan sampai tanggal 09 januari 2017 sebelum keberangkatan ke pare, segala berkas harus sudah siap dan tinggal jadi.

Proses ini saya jelaskan dengan maksud, keputusan saya untuk mondok tidak asal menuruti intuisi membuncah. Karena beban moral yang besar untuk sebuah keputusan semulia itu, tapi di lain sisi tidak ingin sampai melupakan tujuan awal, saya persiapkan minimal semua berkas2 yang dibutuhkan dan bisa diurus terlebih dahulu untuk proses S2. Supaya saat proses pendaftaran, saya hanya tinggal mensubmit. Saya mendaftarkan tes  ielts di britishcouncil untuk tanggal 28 februari 2017. Sehingga pasca kursus sebulan di pare, masih ada kesempatan belajar mandiri ielts sebelum awal maret saya masuk pondok. Qodarullah, agak nekat memang, karena itu tidak menjamin saya langsung mendapat skor ielts >7.00 sesuai ekspektasi. Kalau semisal mengulang, nggak tahu lagi harus pakai uang 2,8juta darimana dan belajarnya gimana kalalu sudah mondok. Kalau soal ini bisa saya wanti2 dengan ikut simulasi ielts. Daripada harus mengulang tes resmi dengan biaya 2.8juta (mengingatkan saya dengan senior yang sekarang sudah di uk dan beliau sampai harus mengulang 4kali tes ielts dengan total biaya lebih dari 10juta) *__*.

Kembali ke topik utama, umi merekomendasikan saya untuk ikut pondokan di krapyak yogyakarta. Masalahnya di sini.


Untuk seorang masyarakat perkotaan dengan paradigma yang mau : serba cepat, tertarget, terjamin. Saya sarankan jangan mengharapkan tuntutan sebesar itu jika kamu masuk dalam suasana tradisional pondok nahdiyyin.

Ya, saya tahu. Ada banyak pondok, memang. Pondok atau program yang menawarkan ‘1 tahun menjadi hafizh’. Ada juga yang enam bulan, tiga bulan, bahkan satu bulan. Tetapi, untuk umi saya  yang merupakan lulusan pondok tradisional, paradigma nahdiyyin sangat khidmat dan ta’dzhim nya luar biasa dengan bu nyai. Hafalan quran bagi mereka bukanlah sesuatu yang bisa kau sambi2 dengan kesibukan lainnya seperti kerja dan sebagainya. Bukan pula hal yang bisa sekedar dihafal tetapi kelak bisa lupa. Meski di krapyak memang ada  juga komplek untuk mahasiswa seperti komplek GP bu Luth dan bu Nafis, tetapi umumnya mereka diminta untuk tidak terlibat aktif dalam organisasi yang bisa melalaikan tanggung jawabmu sebagai santri dalam menghafal dan belajar agama. Hafalan juga bukan sesuatu yang bisa ditargetkan satu bulan –dua bulan, seakan gelar hafizh itu dengan mudah didapat bagi mereka yang sudah rampung hafalan tapi tidak terjamin kelancarannya.

Hafalan itu harus mutqin. Bukan hanya sudah hafal 30juz dan punya sertifikat sanad, tapi harus bisa mempertanggungjawabkan hafizh dan sanadnya seseorang.

Ini kiranya yang saya pahami dari jalan pikiran umi ketika beberapa kali saya tawarkan banyak program pada beliau. Untuk mendapat acc beliau sulit sekali. Pasalnya, saya dididik (oleh beliau sendiri) selama ini dalam lingkungan islam terpadu sampai SMA. Masuk ke kampus dan bermukim di pondok modern, mahasiswa. Paradigma pondok tradisional seperti ini sulit untuk saya pahami. Sampai mendapatkan sanad dari kyai yang terjamin sanadnya pula. Bukan sesederhana itu, rupanya...

Saya ingat satu momen saat saya menjadi pandu di gmmq (gadjah mada menghafal quran) program js. Saat itu saya mengetes hafalan calon santri. Beliau sebutkan hafalan beliau sekian juz. Wah, saya terkesima dengan nominalnya. Kemudian saya ujikan pada beliau beberapa soal, dan memang banyak ketidaklancaran yang saya temui. Sangat banyak. Kalau boleh jujur, semua soal yang saya ajukan perlu saya bantu. Sampai di soal ketiga, saya tersenyum meakhiri ujian hafalannya. Batinku saat itu, ‘ini harus dihafal ulang, nggak bisa kalau diajak terus nambah...’. Beliau lantas menceritakan bahwa beliau mengikuti program hafalan di solo yang sebulan hafalan sekian juz. Lalu beliau berharap bisa memperlancar hafalannya.

Saya memahami, barangkali ini kekhawatiran yang dibayangkan umi. Jika hafalan sekedar hafalan. Jarang dimurojaahi, dan sekalinya dimurojaahi, perlu ‘dihafal ulang’.

Usaha sejauh ini pun saya cari lewat internet dan tanya2 pada kawan yang pernah mondok, satu daerah, atau minimal kenal dengan kyainya.

Saya dengar muwajjih ustazah saya dari al irsyad mondok untuk hafalan mutqin. Kakak saya (yang juga mondok di krapyak selama 10tahun di pondok mahasiswi) juga meragukan saya bisa menyelesaikan satu tahun. Musyrifah saya sendiri  mondok di al multazam untuk rampung hafalan sampai 3 tahun.

Jika orang2 sekaliber mereka berpendapat demikian, saya menyimpulkan tiga hal yang harus saya putuskan. Pertama, untuk tidak terlalu berharap bisa merampungkan hafalan selama satu tahun itu. Asal mutqin dan menjadi santri baik, bagi saya sudah cukup. Gak banyak masalah, gak banyak neko-neko, dan gak banyak perizinan. Sudah benar-benar cukup bagi saya. Kedua, tidak akan menyambi2 dengan agenda lain. Cukup fokuskan pada menghafal dan tidak menganggap ini sebuah hal yang sepele lagi. Justru semakin menyadari bahwa beban moralnya semakin tinggi (apalagi ditambah beban sarjana. Hahaha *tawa hambar*). Dan ketiga, untuk tidak menuntut banyak pada sistem, tetapi menuntut pada diri sendiri. Karena paradigma saya (setidaknya dari kemarin) adalah ‘pondok’, ‘berprogram tiga bulan –atau enam bulan, deh’ ‘ (anehnya malah nawar).  Seolah dengan program seperti itu akan menjadi status hafizh mu atau minimal multipikasi hafalanmu. Saya malah khawatir pada tanggung jawab saya dalam hafalan tersebut, sebagaimana hafalan saya sekarang yang timbul tenggelam terbawa arus memori lain.

Jujur saja, saya malu mengatakan ini, tapi dulu sesederhana itulah saya bertekad untuk menghafal.  Ternyata ada yang jauh lebih besar dari itu. Jika ingin menghafal, jangan terlalu mengandalkan program2 itu, tetapi biarlah waktu yang menjelaskan bagaimana kapasitas menghafal kita dan keberterimaan al quran untuk bisa kita hafal. Jika memang bisa menyelesaikan satu tahun yang mutqin, berarti kau menunjukkan pencapaian yang luar biasa. Jika memang kemampuanmu sebatas menyelesaikan beberapa juz, namun mutqin, tetap terimalah itu dan jaga yang sudah kau hafal baik2. Adapun soal target mu S2 dan statusmu yang belum selesai hafalan, bisa dikomunikasikan secara baik2 seiring dengan waktu. Kalau mau pamit, pamitnya pun ketika sudah jelas kamu mendapatkan beasiswa, supervisor, dan sudah jelas diterima  di universitas tertentu. Sehingga momen ketika kamu keluar pondok adalah momen saat kamu sampai di rumah dan tinggal mempersiapkan visa, mengepack barang2, dan menunggu waktu sambil memurojaahi hafalan secara mandiri.

Sederhana? Kalau dunia saat di pondok dan momen2 saat aku ke nyambi ngirim berkas sih, aku belum lewati. Bayanganku tidak sesederhana itu, tapi insyaAllah bisa dijalani, asal ingat tujuan awal saja.

Indah? Sekali lagi, saya belum menjalaninya, jadi belum berani berkomentar apa2 ^ ^”.

Apa aku sukses memberikan pandangan kepada pembaca bahwa ini bukanlah hal yang sederhana? Bahwa ini adalah hal besar yang butuh persiapannya ekstra. Pergulatan batinnya pun, juga (ekstra) ...

Akhir kata, saya mau memberikan pandangan tambahan, bahwa mondok itu bukan sesuatu yang kolot. Ketinggalan zaman. Pondok tidak dihuni oleh mereka yang berkutat pada ukhrawinya dan ngaji kitab. Tetapi tentang mereka yang hendak berfokus pada apa yang mereka pilih, dan pilihan itu tidak banyak yang berani mengambil keputusan itu. Malah, kita dilatih untuk bisa mensandwich pikiran kita (istilah bu Sri Mulyani dalam pidator akhirnya di hotel Ritz Carlton) dalam upaya untuk membagi fokus pada berbagai prioritas dan kepentingan. Kapan saat kita harus mengisi pikiran dengan mencari2 informasi research lab yang sesuai dengan riset kita. Saat perlu merevisi paper (dan ini mengingatkan saya bahwa deadline revisinya 9 januari ini -___- belum rampung). Intens menghubungi dosen meminta surat rekomendasi atau mencari supervisor. Saat menargetkan diri memenuhi kualifikasi standar ielts. Atau mencari2 pondokan yang sesuai kualifikasi orang tuamu dan memuroja’ahi hafalanmu sebagai bentuk tanggung jawabmu pada orang tua ^ ^.


Mohon doanya semoga dikuatkan. Penulis sedang tidak sehat pada momen saat ini ditulis. Terima kasih.

Islam