23 Nov 2014

16 Nov 2014

#Keluarga Ketiga

Saya selalu percaya bahwa hakikatnya, manusia memiliki hak2 untuk bisa hidup sendiri. Membangun paradigma sendiri, visi, dan ada kalanya kepentingan bersama itu mengusik waktu luang kita untuk bisa membangun segala mimpi dan cita cita.

Di bangku kuliah ini mengajarkan saya banyak hal. Pada hal yang terlalu banyak..

Untuk membuka mata melihat kehidupan. Untuk membuka rasa dan berbagi kisah. Untuk membuka wawasan bahwa kita adalah makhluk sosial. Pelabuhan akhir kita adalah keluarga. Pada keluarga tempat kita menghela nafas, menyenderkan pundak, berbagi keluh kesah, canda tawa. Pada keluarga keluarga kecil yang perlahan bisa terbuka. Pada keluarga baru yang perlahan bisa saling mengakrabi. Yang mulai merekatkan kisah dan cerita antar kita dalam sebuah ikatan satu atap.

Keluarga pertama saya adalah orang tua. Ya, keluarga asli. mereka tempat saya harus terus membenahi diri menjadi pribadi yang bisa membanggakan mereka.

Keluarga kedua saya adalah asrama. Asrama tempat saya terbina dan belajar membina. tempat saya belajar cara menjadi seorang yang saling menghargai, mencintai, berbagi. Dan yang terpenting adalah memuliakan mimpi menjadi seorang ibunda para ulama. Tempat saya menanggalkan mimpi menjadi seorang hafizah. Indah sekali, bukan?

Keluarga ketiga ini sederhana, namun bermakna. Ini bukan sekadar lembaga formalitas tempat sebuah alur birokrasi riset dan edukasi berlalu. Lembaga ini berpayungkan kekeluargaan. Bercirikan nuansa keakraban.

 Namanya Lingkar Studi Sains. Saya mengenalnya di awal kepengurusan maba. Awalnya pun, bergabung dalam lingkaran seperti ini tanpa banyak pikiran. sebatas intuisi seorang maba yang mencoba membuka wawasan, memandang dunia dalam perspektif yang luas.

Ini adalah tempat kami berkumpul, melingkar, membuka wacana, berdiskusi, bertukar pikiran, berbagi rasa. Atap kami sama. Atap yang rindang, yang amat meneduhkan. Mereka berasal dari beragam jenis. Ada yang inspiratif, ada yang prestatif, totalitas, sampai yang galau, rempong, atau konyol. Itu yang namanya suasana kekeluargaan, ya? Saling berbagi sifat dan sikap.

Saya rindu masa itu. pertama kali diperkenalkan dalam forum kecil beranggotakan 16 orang. Sore hari di lobi rektorat. Saat itu, saya menyebrangi zebra cross jalan, berlari kecil menyadari keterlambatan saya. Pertama datang bersama keluarga itu, cemas was was. mencoba menjaga sikap. Mereka akan menjadi rekan kerja saya selama satu periode penuh. Untuk sebuah cerita yang akan dibukukan dalam kisah baru dalam  notulensi kehidupan saya. Mengamati satu per satu pada wajah-wajah baru. Beberapa ada yang sudah dikenal, beberapa lainnya agak asing. Beberapa wajah tersenyum sumringah, ada juga yang serius khidmat mendengarkan. Saya bersikap datar, tapi hati membuncah senang.

Sang pemimpin bertugas sebagai protokol yang memimpin kami dalam satu dekade kepengurusan. Pada semangat dan totalitas beliau, pada pembelajaran karakter dari refleksi seorang ketua yang sabar dan totalitas. pada sebuah pengorbanan dan pengabdian. Pun dengan teman2 lainnya. pada kontribusi tiada henti. Pada sebuah cerita hangat di tiap proker yang kami lalui.



3 bulan terakhir menjadi agenda terpadat kami. Pada sebuah rangkaian program kerja yang memadat di akhir kepengurusan. Sedikti banyak, saya justru lebih bersyukur akan itu. Karena dari kepadatan itu, memaksa kami untuk lebih intens untuk bertemu. Lebih akrab untuk bisa mengakrabi rekan yang lama tidak disapa. Atau mempererat persaudaraan pada mereka, rekan seperjuangan. Berbagai agenda yang kami lalui semakin berwarna. Seperti ranger atau pelangi, yang penuh warna. Di akhir periode ini, kami semakin 

Pertengahan desember ini adalah sebuah momentum besar, ya? tempat seluruh cerita itu seharusnya berakhir. Sebuah ikatan kekeluargaan memang tidak selayaknya berakhir begitu saja. Namun, sebuah formalitas memaksa kami menghentikan seluruh rangkaian pertemuan dalam agenda program kerja. Sebuah alur kaderisasi memaksa kita untuk melengserkan sebuah jabatan dan mengamanahkannya pada mereka yang bertanggung jawab. Apakah itu akhir sebuah kisah kekeluargaan kita? Semoga tidak, kawan. Saya sedang sendu, memikirkan akhir cerita kita.


Ada satu hal yang menjadi masalah bagi saya. Sulitnya mengungkapkan perasaan pribadi. Jika rasa ini bisa ditumpahkan dalam luapan emosional kerinduan yang begitu membuncah, ingin rasanya bisa berbagi dengan yang lainnya. Hingga mereka bisa tahu kecintaan yang bercampur dengan rasa duka. Yang saya yakini, semua PH PI pun akan merasakan hal yang sama pada setiap periode kami menceritakan kisah kami. Dalam sebuah buku kecil. di Keluarga kecil bernama LSiS ini.

Bukankah, mimpi kita terlalu indah untuk bisa diabaikan? Atau ingatkan, kawan? Pada semangat kontribusi kita yang terlalu sayang untuk dihentikan?

Semoga doa dan perjuangan kami selama ini untuk sebuah keluarga kecil bisa terbang mengangkasa, hingga semesta mengamininya.
Semoga kontribusi kami bisa membumi, menerbangka asa asa, seperti bunga dandellion yang menyebar, menebarkan inspirasi untuk sesama.
Semoga ikatan kami tak lekang oleh waktu.
Sungguh.
Untuk sebuah keluarga kecil kami,...
Keluarga LSiS.

#salam KPK!

Islam