23 Nov 2014

16 Nov 2014

#Keluarga Ketiga

Saya selalu percaya bahwa hakikatnya, manusia memiliki hak2 untuk bisa hidup sendiri. Membangun paradigma sendiri, visi, dan ada kalanya kepentingan bersama itu mengusik waktu luang kita untuk bisa membangun segala mimpi dan cita cita.

Di bangku kuliah ini mengajarkan saya banyak hal. Pada hal yang terlalu banyak..

Untuk membuka mata melihat kehidupan. Untuk membuka rasa dan berbagi kisah. Untuk membuka wawasan bahwa kita adalah makhluk sosial. Pelabuhan akhir kita adalah keluarga. Pada keluarga tempat kita menghela nafas, menyenderkan pundak, berbagi keluh kesah, canda tawa. Pada keluarga keluarga kecil yang perlahan bisa terbuka. Pada keluarga baru yang perlahan bisa saling mengakrabi. Yang mulai merekatkan kisah dan cerita antar kita dalam sebuah ikatan satu atap.

Keluarga pertama saya adalah orang tua. Ya, keluarga asli. mereka tempat saya harus terus membenahi diri menjadi pribadi yang bisa membanggakan mereka.

Keluarga kedua saya adalah asrama. Asrama tempat saya terbina dan belajar membina. tempat saya belajar cara menjadi seorang yang saling menghargai, mencintai, berbagi. Dan yang terpenting adalah memuliakan mimpi menjadi seorang ibunda para ulama. Tempat saya menanggalkan mimpi menjadi seorang hafizah. Indah sekali, bukan?

Keluarga ketiga ini sederhana, namun bermakna. Ini bukan sekadar lembaga formalitas tempat sebuah alur birokrasi riset dan edukasi berlalu. Lembaga ini berpayungkan kekeluargaan. Bercirikan nuansa keakraban.

 Namanya Lingkar Studi Sains. Saya mengenalnya di awal kepengurusan maba. Awalnya pun, bergabung dalam lingkaran seperti ini tanpa banyak pikiran. sebatas intuisi seorang maba yang mencoba membuka wawasan, memandang dunia dalam perspektif yang luas.

Ini adalah tempat kami berkumpul, melingkar, membuka wacana, berdiskusi, bertukar pikiran, berbagi rasa. Atap kami sama. Atap yang rindang, yang amat meneduhkan. Mereka berasal dari beragam jenis. Ada yang inspiratif, ada yang prestatif, totalitas, sampai yang galau, rempong, atau konyol. Itu yang namanya suasana kekeluargaan, ya? Saling berbagi sifat dan sikap.

Saya rindu masa itu. pertama kali diperkenalkan dalam forum kecil beranggotakan 16 orang. Sore hari di lobi rektorat. Saat itu, saya menyebrangi zebra cross jalan, berlari kecil menyadari keterlambatan saya. Pertama datang bersama keluarga itu, cemas was was. mencoba menjaga sikap. Mereka akan menjadi rekan kerja saya selama satu periode penuh. Untuk sebuah cerita yang akan dibukukan dalam kisah baru dalam  notulensi kehidupan saya. Mengamati satu per satu pada wajah-wajah baru. Beberapa ada yang sudah dikenal, beberapa lainnya agak asing. Beberapa wajah tersenyum sumringah, ada juga yang serius khidmat mendengarkan. Saya bersikap datar, tapi hati membuncah senang.

Sang pemimpin bertugas sebagai protokol yang memimpin kami dalam satu dekade kepengurusan. Pada semangat dan totalitas beliau, pada pembelajaran karakter dari refleksi seorang ketua yang sabar dan totalitas. pada sebuah pengorbanan dan pengabdian. Pun dengan teman2 lainnya. pada kontribusi tiada henti. Pada sebuah cerita hangat di tiap proker yang kami lalui.



3 bulan terakhir menjadi agenda terpadat kami. Pada sebuah rangkaian program kerja yang memadat di akhir kepengurusan. Sedikti banyak, saya justru lebih bersyukur akan itu. Karena dari kepadatan itu, memaksa kami untuk lebih intens untuk bertemu. Lebih akrab untuk bisa mengakrabi rekan yang lama tidak disapa. Atau mempererat persaudaraan pada mereka, rekan seperjuangan. Berbagai agenda yang kami lalui semakin berwarna. Seperti ranger atau pelangi, yang penuh warna. Di akhir periode ini, kami semakin 

Pertengahan desember ini adalah sebuah momentum besar, ya? tempat seluruh cerita itu seharusnya berakhir. Sebuah ikatan kekeluargaan memang tidak selayaknya berakhir begitu saja. Namun, sebuah formalitas memaksa kami menghentikan seluruh rangkaian pertemuan dalam agenda program kerja. Sebuah alur kaderisasi memaksa kita untuk melengserkan sebuah jabatan dan mengamanahkannya pada mereka yang bertanggung jawab. Apakah itu akhir sebuah kisah kekeluargaan kita? Semoga tidak, kawan. Saya sedang sendu, memikirkan akhir cerita kita.


Ada satu hal yang menjadi masalah bagi saya. Sulitnya mengungkapkan perasaan pribadi. Jika rasa ini bisa ditumpahkan dalam luapan emosional kerinduan yang begitu membuncah, ingin rasanya bisa berbagi dengan yang lainnya. Hingga mereka bisa tahu kecintaan yang bercampur dengan rasa duka. Yang saya yakini, semua PH PI pun akan merasakan hal yang sama pada setiap periode kami menceritakan kisah kami. Dalam sebuah buku kecil. di Keluarga kecil bernama LSiS ini.

Bukankah, mimpi kita terlalu indah untuk bisa diabaikan? Atau ingatkan, kawan? Pada semangat kontribusi kita yang terlalu sayang untuk dihentikan?

Semoga doa dan perjuangan kami selama ini untuk sebuah keluarga kecil bisa terbang mengangkasa, hingga semesta mengamininya.
Semoga kontribusi kami bisa membumi, menerbangka asa asa, seperti bunga dandellion yang menyebar, menebarkan inspirasi untuk sesama.
Semoga ikatan kami tak lekang oleh waktu.
Sungguh.
Untuk sebuah keluarga kecil kami,...
Keluarga LSiS.

#salam KPK!

17 Okt 2014

/Dua Ibu/




Ada dua konotasi saat kita menyebutkan ibu.

Satu, adalah orang yang melahirkan dan memberimu kesempatan untuk hidup secara layak. Dua, adalah mereka yang membekalimu seperangkat properti kehidupan tempatmu bisa bercermin tentang akhlak.

Aku mendapatkan kedua hal tersebut dari ibu pertama.

Beliau adalah semesta kehidupan tempatku berlabuh di pangkuannya. Pada kehidupan dinamis kota metropolis yang serba hedon dan skeptis, Beliau adalah matahari bagiku. Aku ingat betul belaiannya yang dengan lembut menyisir rambutku. Senyum lelahnya setiap kali pulang mengajar dari kampus. Aku terkenang masa dimana beliau berdiri di podium mempresentasikan penelitian beliau. Aku berada di barisan terdepan, duduk tersenyum membesarkan jiwanya. Aku hafal betul tartil Beliau senantiasa mengiringi tidur malamku. Atau ceramah Beliau di pagi hari menjelang mengisi kajian di majelis ilmu. Aku duduk menyimak dengan baik, seolah tahu –meski hanya memberikan anggukan atau senyuman.

Sungguh. Beliau adalah matahari bagiku.

Tidak pernah terpikir bagiku untuk mencitrakan sosok Ibu sekaliber Beliau. Di zaman seperti ini, terlahir dari keluarga seperti ini saja sudah merupakan karunia luar biasa. Karenanya, belum pernah terpikir sedikitpun bagiku untuk mencari sosok ‘ibu’ lainnya.

Ini hanya segaris perspektif dari santri yang belum mumpuni, namun mulai terbuka hatinya untuk ta’dzhim pada guru.



Bu nyai adalah sosok yang qowy. Beliau pendidik dari kalangan terdidik tradisionalis. Dari gaya pengajarannya. Orasinya mengisi kelas. Totalitasnya dalam setiap kegiatan. Beliau pernah pulang ke pondok jam 2 pagi mengantar rombongan tamu dan bangun tidur jam 3 untuk membangunkan shalat tahajjud. Perfeksionisnya hingga menyambut majelis kajian hingga memperhatikan standar kerapihan susunan sandal hingga motor. Mengajarkan pada kami cara melipat sajadah, atau membersihkan kompor. Untuk bisa senantiasa tersenyum dan ikhlas. Menginternalisasi rasa kesyukuran dalam setiap peristiwa kehidupan.

Beliau adalah  pengasuh asrama tempatku bermukim sekarang. Darush Shalihat.


Ada banyak cerita di sini. Ini bukan tentang euforia hidup, tapi pada proses menuju sholihah. Tentang bagaimana sekelompok mahasiswa menjadi generasi terdidik yang berakhlak. Kurikulum hidup kami pun membahas pada pusara kehidupan. Bagaimana etika pada orang yang lebih tua, adab menuntut ilmu, fiqh kehidupan, hingga kode etik menjadi ibunda para ulama. Terlalu banyak cerita untuk dikisahkan di sini.

Ya. Terlalu banyak, ya.

Barangkali, cerita ini hanya segaris kisah hidupku yang bersinggungan dengan Beliau. Pada caranya berbicara, pada senyum sumringahnya, pada perkataannya yang menghujam siapapun untuk segera berbenah diri. Beliau adalah sosok yang akan menjadikan seseorang merasa istimewa di matanya. Begitu istimewa sehingga aku mencoba berproses untuk lebih menta'dzhimkan diri padanya.

14 Sep 2014

Cerita Masa Depan

 

Senandung lagu sinden terdengar, meliuk mengalun indah mengiringi proses pelaminan. Pasangan muda itu duduk berdua dalam kursi pelaminan yang disoroti banyak mata dalam penjuru pandangan. Memulai prosesi syahdu dalam suasana khidmat adat Jawa.
Mereka duduk seragam. Berbalut batik jawa berwarna merah bermotifkan kembang. Sang pria menganggalkan keris pada sarung yang diselempangkan pada sepanjang lingkar pinggang. Memakai tuksedo hitam licin ala Jawa. Sang pengantin wanita lebih heboh lagi. Pipinya tampak merona dibalut make up tebal dan rambutnya dihisasi bunga melati menggantung seperti kuncir rambut, dipoles dengan konde besar. Menata diri seelok mungkin di depan  suami pilihan.
Sambil beranjak bersamaan, beriringan melangkah menuju wali mereka. Membungkukkan diri, ta’dzhim di depan sesepuh. Sesekali memejamkan matanya, sang perempuan merunduk khidmat. Dibisikilah mereka wasiat sebelum membangun sebuah peradaban baru. Wasiat sesepuh untuk pasangan  yang masih hijau itu.
Lelaki tua itu adalah ayah dari sang istri. Beliau duduk bersahaja. Tubuhnya tegak dan tegang, berlama-lama menatap nanar sosok ayu berbalut kebaya merah yang duduk bersimpuh di hadapannya. Tangan lembutnya memegang sang ayah. Sementara sang ayah mengusap-usap kepala anaknya, seolah itu kali terakhir ia masih diberi kesempatan memiliki gadis kecil tempatnya menaruh semesta dan kehidupan.
Betapa mudahnya seseorang yang kau kenal bisa lepas dari hidupmu setelah melalui ikatan suci. Meninggalkanmu dan memori tentang masa kecilnya denganmu. Saat kau sedih, marah, tertawa. Tawamu adalah kebahagiaannya. Tangismu adalah kesedihannya. Hidupmu adalah jiwanya.Tentulah ada secuil pikirannya terbersit penyesalan melepasmu untuk diberikan kepada seseorang yang sudah kau pilih. Ia yang telah merebutmu. Membawamu pergi setelah lelah kau didik hingga dewasa.
Tidak. Atau barangkali tidak. Kulihat seksama. Air matanya memang menggenang, matanya memang memerah, atau isaknya memang terdengar samar. Tapi wajahnya cerah, tersenyum. Itu adalah air mata kebahagiaan, kawan. Itu adalah ungkapan dari perasaan lega dan keikhlasan menitipkanmu pada orang yang engkau yakini sebagai pilihan terbaikmu. Begitu lega rasanya sampai air mata itu mati-matian ia tahan dan senyum itu mati-matian ia kiprahkan. Seolah mengatakan, “berbahagialah sana... Kebahagiaanku ada dalam setiap kebahagiaanmu,...”

Tanpa sadar terbawa suasana. Lama aku memandang mereka lekat-lekat. Bukan antara sang Kekasih baru, tapi pada putri dan rajanya. pada dialektika mereka dan menerka memori pada linangan air mata yag tertuang.
Barangkali, akan tiba masanya kau  adalah dia, dan sosok tegar itu tak lain adalah orang yang kau kan kenal betul selalu tampak heroik dalam perspektifmu. Barangkali, kau akan melihatnya terharu biru.
‘Kapan’ itu, ada masanya. ‘Siapa’ itu, biarlah Paduka yang mengurus. Paduka adalah orang yang sangat bijaksana untuk menentukan nasib hambaNya.
Tapi aku tahu satu hal. Jika saat itu tiba, barangkali aku tak akan mampu melihat sosok di hadapanku untuk kali apapun itu.

11 Sep 2014




it needs a tons time for me just to remind that,

"ive my own story. my own way. let they are be themselves. let myself find my true colour. let each other shine. let my light be the one enlighten them one day."

Jangan Percaya Fisika




Ilmu fisika itu berangkat dari pemahaman segala pola yang ada di alam semesta. Pada keyakinan bahwa segala hal yang terjadi dapat direpresentasikan secara matematis. Dapat dikaji. Pokok kajiannya pun berangkat dari hal sederhana. Mengamati lingkungan sekitar. Sehingga pada dasarnya, objek pembelajarannya sama. Realitasnya sama. Yang berbeda dari kurun waktu ke waktu adalah bagaimana manusia memberikan sebuah konsep pemikiran yang berbeda.

Pada permulaannya, dogma masyarakat berada dalam fase mitologi. Munculnya berbagai kisah dalam mitologi Yunani memiliki sebuah alasan kenapa mitos tersebut kemudian muncul di tengah masyarakat. Sehingga kondisi masyarakatnya mencoba membuat sebuah alasan logis dalam terciptanya fenomena tersebut. Parameter logisnya demikian.

Tokoh Aristoteles muncul membangun lapangan logika. Pasca peradaban filusuf aristoteles, tokoh fisikawan lainnya muncul, memadukan filsafat dalam fisika. Membawa manusia pada serangkaian kerangka berpikir yang logis.

Konsep fisis pada akhirnya disajikan dalam dunia nyata. Hingga kemudian berkembang terinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Kenapa saya katakan  terinternalisasi?

Jikadiajukan sebuah pertanyaan, “mengapa batu lebih dulu jatuh ke bawah dibandingkan dengan burung?”. Wajar kemudian, jika orang dahulu akan menjawab bahwa kecenderungan batu pada unsur bumi lebih besar dibandingkan dengan burung yang punya kecenderungan unsur udara. Sebaliknya, masyarakat sekarang akan lebih memilih jawaban “karena ada gaya gravitasi”

Sederhananya begini. Untuk apa saya menjelaskan panjang lebar sejarah dan fase dalam perkembangan logika manusia dalam membentuk sebuah pola pikir.

Sebagaimana ilmu fisika mengulas berbagai fenomena –mikro hingga makroskopis pada berbagai pola yang terjadi di alam semesta. Tidak ada yang tidak bisa dijelaskan dengan fisika, jika kita perlu berkata naïf. Segala hal mampu dijelaskan dengan fisika.

Jika sekarang kita berani mengatakan barang jatuh karena unsur bumi yang lebih condong ketimbang unsur udara, kita lebih memilih alasan bahwa karenaadanya gaya gravitasi, dan itu masuk dalam nalar kita. Kita mampu menjelaskan fenomenapada pesawat terbang karena beda kecepatan dan tekanan antara penambang atas dan penampang bawah pada sayap pesawat terbang, dan itu masuk dalam nalar kita.

Sampai pada tataran kita menyelami lebih lama pada dunia fisika, boleh jadi kemudian kita berkesimpulan bahwa tidak ada yang tak mampu dijelaskan oleh fisika, termasuk kebenaran yang hakiki. Hal ini pula yang kemudian dilansir bahwa saintis kemudian lebih memilih atheis ketimbang beragama. Karena keyakinan mereka bahwa segala hal mampu dijeaskan dengan ilmu pengetahuan.

Jika kita disuguhkan fakta, mana yang akan lebih kita percayai. Apakah karena suatu kekuatan mistis yang menyebabkan benda jatuh ke bawah, ataukah karena adanya percepatan gravitasi? Bagaimana planet yang sedemikian besarnya mampu bergerak secara teratur mengitar matahari dalam sistem tata surya? Akibat dari gravitasi yang menyebabkan kelengkungan ruang-waktu dalam alam semesta, atau karena kehendak Tuhan yang menciptakannya sedemikian rupa sehingga mereka bergerak dalam harmonisasi dan keteraturan yang luar biasa indah?

Mereka lebih memilih berseru bahwa segala hal mampu dijelaskan dengan ilmu pengetahuan! Tak perlu campur tangan Tuhan dalam proses penciptaan alam semesta.

Analoginya begini.
Dalam fisika, terdapat postulat. Atau dalam bahasa matematikanya disebut conjecture. Suatu ketentuan yang jika ketentuan itu berlaku, maka berjalanlah hukum tersebut. Semisal pada relativitas umum, postulatnya adalah bahwa cahaya dengan kecepatan sebesar 3x10^8 m/s adalah kecepatan tercepat. Jika tidak berlaku, seluruh rangkaian pembahasaan dalam postulat berikutnya tidak akan berlaku. Begitu cara kerjanya.

Sama dengan konsep dalam keTuhanan. Bahwa dalam beragama, terdapat rukun Iman. Bahwa selayaknya kita mengimani keberadaan Allah sebagai Tuhan, nabi Muhammad sebagai Rasul utusan Allah.  Jika mengimaninya, Anda adalah seorang muslim.

Na’udzubillahi min dzalik.
Saya teringat dua ayat yang kemudian menjadi sangat esensial bagi setiap nawaytu saya dalam beribadah di jalan menuntut ilmu ini. Bahwa sekehendaknya, dalampergiliran siang dan malam, terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berakal. Ini postulat kita. Termaktub dalam al-Quranul karim. Bahwa ketika Allah berkata inni jaa’ilun fil ardhi khalifah (menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi), kita diberikan sepaket amanah. Amanah akal untuk berpikir, jasmani untuk memimpin, dan ruhani untuk berdzikir (tafakkur dan dzikr [al-imran : 91]). Menjadikan setiap  perilaku alam semesta sebagai bahan observasi untuk dikaji dan difikirkan. Tafakkur.

Pertama.
Sekonyong-konyongnya kita berkata, “serangkaian proses belajar yang menguras usaha dan waktu. Berujung pada kesia-siaan belaka ika kemudian kita tetap berserah diri pada sesuatu yang Ghaib?”

Sama seperti rezeki berupa kesehatan.Setiap manusia sudah diatur hidup-matinya oleh Sang Pencipta. Sudah tertulis pula di lauhul mahfudz. Adalah kewajiban bagi kita menjaga kesehatan, baik jasmani maupun ruhani. Terus untuk apa, toh hidup mati tetap di tangan Tuhan?

Ini masalah usaha. mereka yang memang mau menjalani prosesnya, dalam bahasa Arabnya disebut ikhtiar. Nilai ikhtiarnya menjadi amalan tersindiri daripada orang yang enggan menjaga kesehatan sebagai nikmat. Berkah dari Tuhan. Karena saat tidak ada seorang pun yang beribadah pada Allah pun, Kanjengan tidak akan rugi! Jika suatu kaum kafir terhadap Allah, apakah kemudian akan ada kerugian pada diri Tuhan? Tidak! Yang Kuasa tidak akan rugi sedikitpun.

Kedua.
Bahwa hakikat manusia yang sesungguhnya adalah bertumpu pada suatu Dzat. Maka kesombongan manusia dalam mengatakan bahwa taka da segala sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam fisika, maka kembali pada hal esensial seorang manusia. Berlindung, bersandar. Kepada siapa? Mampukah sains memberikan jawabannya?

Pencapaian tertinggi dari akal dan kebenaran terdalam dari hati adalah pada Sesuatu Yang Mengatur. 

25 Agu 2014

Atonement

Atonement

Especially to whom i ignored.

First of all, I do apologize. Despite this rhetoric posting wont represent my deepest apologize.

Let me make some kinda intro. As it begins my elaboration from my friends statement. Once, she told me, that ive a numbers of talent and show me why. But none of them i focus to be, she told me so. At that moment i nodded and agree. But at the same time i didnt evaluate it.

Indeed, several times I often inspired by a great figures with an awesome achievement. Herwandhini, Iman Usman, Mariana Ulfa. They are fabulous person, arent they? Having such a tons of achievement, makes some people wonder how could they manage their own time while other focus on a single thing they’re tends to be? I saw and highly appreciate on them, so then i think that i can be like them! Surely it would show my own capacity and learn about time management.

Briefly, i intend to follow their footsteps. Rather be the one i should be, but i inclined to wonder be the one i intend to be, which it means i intend to be like them. Ridiculous thought. Which recently i notice thats the reason why i didnt like the event such as socialization of mapres or video self motivation, how to manage ur time. It was intended to motivate people. But at this point, I do not need to be motivated, but rather, resist the motivation for the sake of my own goodness.

I have join many organizations, actively participated in many competitions. I passionly intend to grab whole thing, endless nothing except a failure. Lingkar Studi Sains, Gadjah Mada Mengajar, Forum Lingkar Pena, Gama Cendekia. At the first Im so idealistic person, because my own intuition to give a contribution on every kinda aspect. I love the realm of authorship, especially social contributions, which continue my story in high school when i actively build social civil organization.

It's just a story about people who cannot manage their time and having such a consistent thinking. And at the end, I know that im the lowest. At least, one thing left,is  LSiS. At least I'm still considered to be the member of one organization.

Which i, occasionally making some kinda sin. By making my own goodness as my priority and leave their goodness to be nothing as an accessories.

At the exact date of 24th august 2014, I ignored the important agenda of LSiS (syawalan), by did not participate and nor making an excuses. I have a high priority in my own need, which surely i know its much more important, bu still, i didnt take a permission.

For the sins ive made, i deeply apologize. By any change –and at any rate, still i know its useless rather say it personally.

Whats exactly happen yesterday is by my own intuition. Several days before, i got an announcement of the finalist of some kinda competition. Social business competition helds by nsbc. We got a chance to be a finalist in such a great change. But right after the announcement, me and 2 of my friends which im sure they’re such a bussy person with tons of appointment compare to me, weve met and discuss this one. Which im not sure how could i spend much more time compare to my prediction before. Discussed our new concept, having a report and took a documentation in Bantul since about 8 o’clock right after adzan maghrib, building a concept to make a teaser which committee of that competition give us deadline up until 27th of august for the finalist as the requirement. In fact for the next 3 days we’ll have such a crowded business. My friends with her committe, others contribute in her place (KKN), and myself with my academic responsibility.

Im afraid if then by the time goes by, my intention changes day by day not to give such a contribution value, but in a useless action to win. Its such a useless worry since other able to handle it in such a good manner to express, or thing they act. Forgive me if i say a rude thing.

So, let me evaluate this one. This time I want to stop the old ideals embedded since i was newbie. I've been ignoring LSIs, disrupt my own academic activities, and betrayed my own willingness to be a writer.

How could i ask to God to be the better one whom always consistent and to not ignoring other by the sake of my own goodness only? Amin.

With a highly respect to LSiS itself. I do apologize for my lack of participation in every kinda –such a family event. At the exact date, (one of them) 24th august. The Social business camp –which i follow, is sort of building such a social business. Our intention at the very first time is to build a community thats able to employ marginalized communities, cover it with a unique concept which we summarize in our proposal. Unexpectedly, our proposal passes and become one of the finalist. Right after that, we were given a bunch of tasks and give us such an unexpected time to finish it.

For several times, i said. Im afraid if then, by the time goes on, then my intention change and i’ld become such a suck person giving no hope to other people which at out first intuition is will be our object. Forgive us, to remind ourselves, straighten out intentions.

A single day ve passed and I do felt such a suck person. For leave the moment, I do apologize. For aint having such a good responsibility, I do apologize. For the reason which I cannot express my sincere or melancholic node, i do apologize since it just looks my sincerity didn’t goes well. To be such a suck secretary, I do forgive.

And for my –unreasonable afraid to said personally my own sincere, I do apologize.

I do apologize for whole my sins. Forgive me by aint taking permission or give an excuses. Forgive me if i said a rude thing.


Regards,

7 Jul 2014

setiap orang punya kapasitas masing-masing




Orang jahat itu tercipta karena adanya orang baik. Orang zalim itu berkuasa karena ada yang kita sebut orang adil. Orang licik itu berkapasitas karena ada cendekia berintelektual yang kompeten. Mereka tercipta sebagai sebuah konsekuensi logis dari kultur yang terbentuk dalam masyarakat. Ini hanya masalah istilah dan konotasi, tempat kita menyebut Atas dan Bawah.

Bukan hanya kesalahan orang zalim jika mereka hidup dan turut serta dalam menyumbangkan kontribusi kelaliman kepemimpinannya pada semesta. Bukan hanya kesalahan pencopet jika suatu kondisi ia mencuri dompet seseorang, padahal kondisinya masih berkecukupan. Karena mereka mengimitasi latar belakang tempatnya dilahirkan. Yang berbeda adalah pemahamannya tentang baik itu berbeda dari perspektif umum. Sumir sekali jika kita hanya memandang dalam satu perspektif.

Izinkan pemikiran dangkal saya berkesimpulan bahwa bukan hanya kesalahan mereka yang salah dalam anggapan umum.

Yang salah juga ada pada si orang baik yang mengaku diri baik. Mengkalamasikan kebaikan dirinya meski hanya dalam hati. Melihat dengan jelas adanya kelaliman tapi tidak memerah mukanya. Mengaku sebagai seorang alim namun tidak tergerak hatinya saat melihat diskriminasi di lingkungan sekitar. Menganggap diri seorang sufi, namun menzalimi diri sendiri dalam membagi waktu beribadah dengan ihwal dunia.

Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing, tak perlu diaklamasikan supaya semesta tahu peranmu.

Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing, jangan bersolek dalam membuntuti orang lain supaya ikut menyempurnakan niat dan aspek dzahir perbuatanmu.

Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing, cukup interaksi antara kau dan Yang Maha Kuasa yang tahu.

Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing, tak perlu terusik jika orang lain berkata apa padamu. Toh, Yang Maha Esa lebih tahu kebutuhan dan keperluanmu,

karena setiap orang punya kapasitasnya masing-masing...

Yogyakarta, 26 Juni 2014

4 Jul 2014

Dorman




Saya sedang dorman.Dipaksa menjadi manusia yang tidak produktif.

Tanpa sadar, ada beberapa kenangan masa kecil saat saya punya berjuta waktu nganggur untuk bermain dengan tokoh khayalan, atau alat-alat rumah tangga. Sayangnya, waktu itu umur saya 4 tahun. Keluarga saya belum punya laptop. Komputer pun juga belum. Motor hanya ada satu, vespa biru tua kebanggaan ayahku sang guru teladan.

Saya sedang dorman. Dipaksa menjadi manusia konsumtif.

Namun saya tidak suka diam terbujur kaku. Kalau memang tidak bisa melakukan apa-apa, tegarkan suaramu supaya orang lain tidak merasa bersalah saat meninggalkanmu. Tersenyum saja dan bersikap baik.

Saya sedang dorman. Namun saya punya serangkaian agenda.

Ini hanya masalah permainan waktu kecil. Memainkan sakelar lampu sambil berusaha menyeimbangkan antara tombol nyala dan hidup. Ada dua lagi seharusnya yang menjadi sahabat setiaku. Kulkas dan pintu kamar. Saya akan bersuka cita untuk membuka-tutup pintu kulkas hanya untuk melihat lampu kulkasnya perlahan mati dan nyala. Atau memainkan knop pintu hanya untuk melihat knopnya masuk dan keluar secara perlahan. Tapi sayang, kulkas di sini tidak ada lampunya dan kamar saya tidak ada knopnya. Sakelar menjadi tempat favorit saya sekarang. Dan laptop saya yang semoga terjaga kebermanfaatannya.

Masa kecil saya itu bisa mendapatkan kebahagiaan secara sederhana, ya. Nggak muluk-muluk minta dibelikan gadget. Boros. Mahal. Dan menyiksa mata.


Saya sedang dorman. Namun saya masih punya kawan sejati, sakelar lampu yang setia menemaniku. Dan al-Qur’an yang semoga saya bisa konsisten mengirimkan paket-paket pahala kepada yang tercinta J


19 Jun 2014

Antara Rasionalitas dan Kuantitas



Manusia punya serangkaian sistem yang mereka sepakati tanpa suatu tinta hitam di atas putih. Sistem yang terbangun tanpa perlu bermusyawarah dalam sebuah forum. Tanpa sebuah lembaga birokrasi sebagai payung yudikasi dalam memastikan segalanya tetap berada pada jalannya. Karena mereka memiliki sepaket rasionalitas.

Rasionalitas yang membuat mereka paham antara baik dan buruk tanpa perlu membuat pedoman garis besar haluan beretika. Bahwa menjenguk orang sakit itu perbuatan terpuji. Bahwa mencuri itu akhlak tercela. Bahwa menggunjing orang itu sikap tidak beretika.

Di sini rasionalitas yang bertindak mengkomparasikan dua hal tersebut. Baik, jahat. Atas, bawah. Kanan, kiri.

Karena ketiadaannya suatu amandemen tertulis, maka nilai tersebut menjadi sangat relatif dalam perspektif manusia. Yang ada hanya kuantitas yang bermain di sini. Masyarakat minoritas akan mengikuti kultur yang menghegemoni sistem. Masyarakat mayoritas bertindak sebagai pembuat peraturan. Kuantitas yang berkuasa. Dan karena diversitas adalah suatu keniscayaan, sebuah toleransi sering kali digantungkan. Fakta menjadi sebuah paradoks dalam bungkusan : “diversitas menjadi nilai yang sering kita pahami, kita ketahui. Namun jarang bagi kita untuk mencoba membuka ruang bagi mereka dalam menerima dan dibicarakan.”

Sebagai sebuah konsekuensi dari eksistensi ‘diversitas’, yang namanya orang jahat, licik, zalim itu pasti ada. Yang jelas, mereka semua adalah produk dari kultur tempat mereka dilahirkan. Melekatkan mereka dalam rangkaian takdir yang menentukan akan seperti apa mereka di masa depan. Mengikatkan dogma pada masyarakat bahwa kontribusi tempat dimana kita lahir menjadi sangat esensial, dan meluputkan pandangan bahwa dalam hidup ini, masih ruang untuk doa dan usaha dalam berperan. Ini pandangan masyarakat kolot.

Ini sistem. Jangan salahkan sistem. Sistem berkuasa di sini. Dan yang menjadi variabel penentu sistem adalah kontribusi dari kuantitas. Kuantitas adalah mayoritas yang berkuasa mengatur sistem.


Nah, saat ini lagi musim-musimnya pemilu presiden. Dari parameter yang tersedia, kita bisa lihat bagaimana kabar rasionalitas bumi pertiwi dari hasil kalkulasi kuantitas  pemilih ^_^ Mau dibawa kemana Indonesia 5 tahun ke depan?

17 Jun 2014

Mereka lebih beretika




Kadang, mereka lebih beretika dibandingkan dengan kita.

Data BPS menunjukkan bahwa persentase mahasiswa di Indonesia hanya pada kisaran 2% dari total penduduk di Indonesia. Akan jauh lebih sedikit jika dikerucutkan menjadi golongan masyarakat cendekia yang berakhlak  dan bermoral. Lebih sedikit lagi bagi golongan mahasiswa yang mau berkontribusi aktif di masyarakat. Yang sadar dan peduli akan perannya di ranah sosial. Yang tidak secara egois mementingkan pemuasan kebutuhan pribadi.

Perkenankan saya menggores pena, menulis kisah ini.

21:57 WIB.

Saya baru saja pulang. Baru saja. Dari tempat biasa saya mengajar pengajian ibu-ibu, memperbaiki bacaan Qur’an mereka di salah satu masjid yang berlokasi tak jauh dari asrama tempat saya berteduh. Bersama sekelompok teman-teman satu ukhuwah.

Asrama kami adalah asrama mahasiswa. Sebagaimana saya sebutkan pada introduksi. Kami adalah sekelompok mahasiswa yang alhamdulillah telah diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu sedikit lebih lama, mendapatkan kapasitas intelektual yang sedikit lebih banyak, dan kondisi iman yang sangat butuh pemfasilitasan *dan karena itulah kami bermukim di asrama hanya untuk meneguhkan iman kami.

Kami baru pulang dari pengajian, saat berlalu dalam perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit dari asrama. Hendak menyebrang jalan, saat melihat sosok bapak berpakaian kusam. Tidak banyak mengamati, saya langsung saja berlalu. Entah dimana saat itu rasionalitas saya  pergi.

Sampai di seberang jalan, teman mengobrol saya menoleh menyatakan rasa ibanya. Baru saat itu saya dibuka matanya dan disadarkan nuraninya.  Saya mengamati di seberang jalan itu, bapak tersebut hanya berlalu.

“Muthi’ah,..” seruku pada seorang teman yang ada di depanku. “boleh kuminta makananmu?” aku menimpal tanpa logika, refleks berkata demikian. Ia langsung saja menyanggupi dengan ramah.

Begitu pula temanku yang ada di belakang, rupanya ia memiliki intuisi yang sama. Kami langsung kembali menyebrang dan mengejar si bapak yang tak jauh langkahnya, tertatih dibantu tongkat kayunya berjalan tanpa alas.

Ia berbalik, menoleh pada kami. Aku lebih miris memandangnya. Kami memaksakan kilah senyum kami, seraya menyerahkan beberapa bungkus makanan yang baru saja kami dapatkan dari pengajian. Ya Allah, semoga ini membantunya,.. Rezeki tetaplah di tanganMu.

Ini bukan kisah heroik dari sosok mahasiswa yang memberikan sebungkus makanan pada orang yang dianggap membutuhkan. Bukan pula kisah anak muda yang berlari mengejar pahala untuk berkontribusi secara sosial.  Sama sekali bukan.

Sama sekali bukan.

Tapi, ini adalah tamparan untuk saya. Termasuk untuk pembaca, barangkali jikalau sekali-dua kali pernah mengalaminya.

Kadang kita menganggap remeh hal kecil yang kita lakukan.

Merasa pernah untuk perlu diibakan orang lain? Sering meminta tolong sesuatu yang masih dalam batas kemampuan kita?

Sekali lagi, ini tamparan buat saya pribadi. Baik saya maupun pembaca.

Kadang kala kita merasa membutuhkan uluran tangan orang lain untuk hal sekecil apapun itu. Untuk menuntaskan hal sepele. Untuk mengerjakan hal yang mampu kita kerjakan. Mereka yang bertaruhkan antara kelangsungan hidupnya, enggan untuk meminta. Mereka lebih beretika. Meski mereka tidak lulus secara edukasinya, tapi mereka tampaknya lebih paham cara beretika.

Barangkali sang bapak melihat dengan jelas sekelompok anak muda yang berlalu, ngobrol dengan asiknya dalam jalannya mereka, menggenggam sebungkus makanan. Ia diam saat kami melewatinya. Memperkenankan kami. Dan bodohnya saya hanya selintas melihatnya, tanpa terbesit rasa apapun, kalau bukan teman saya tidak menyadarkan saya.

Aish, saya menuliskan ini dengan penuh emosi. Emosi yang sulit dilebur menjadi satu hingga menimbulkan berbagai kontradiksi dan konotasi yang barangkali membingungkan pembaca. Perasaan saya sedang kacau. Yang jelas, masih terbayang dengan jelas wajah bapak itu. Klise saat kami menyerahkan bungkusan tersebut. Jemari kaki beliau. Kemeja lusuh yang beliau kenakan. Celana pendeknya. Sorot lampu malam saat mobil-mobil berlalu. Ataupun suara ‘terima kasih’ berkali-kali yang beliau utarakan.


Ini bukan fiksi. Ini nyata. Tokoh bapak tersebut pun bukan sekadar retorika. Mereka adalah masyarakat marginal, kaum terdiskriminasi yang sering kali kita abaikan. Hikmah ini juga bukan sekadar teguran. Ini tamparan bagi mereka yang berakal dan merasa punya nurani. Ini tamparan bagi kita semua.

15 Jun 2014

gaji pertama


Belakangan ini, saya merasa bahwa idealisme saya semakin rontok termakan oleh realita. Ya, saya paham ini adalah dua oposisi. Yang saya yakini hanya gelap konotasi dari ketiadaan cahaya. Hitam berarti ketiadaan putih. Namun saya belum percaya jika memang idealisme adalah ketiadaan realita? Koreksi saya jika memang demikian sehendaknya.

Tepat kamis, 12th Juni 2014 adalah hari dimana saya mendapatkan gaji pertama saya. Bukan sebagai pegawai perusahaan. Atau juru ketik nasional. Atau tukang kalkulasi tugas kantoran. Hanya sebagai tentor. Mahasiswa yang merangkap menjadi seorang tentor. General, bukan? Sangat biasa, iya.

Hari itu, saya goreskan pena pada selembar kertas untuk ditanda tangani. Masam. Saya mendapat sejumlah uang dengan kilahan senyum dan ucapan terima kasih tak terhingga dari beliau sang orang tua. Saya balas tersenyum Menyesakkan.

Pesimisitik sekali?

Tidak. Sesungguhnya tidak. Yang saya rasakan hanya kala itu ada dorongan untuk mengatakan, "tidak. saya memang mengajar ini dengan ikhlas, bu,..." Itu yang sungguh ingin saya katakan. Namun, saya sadar diri, saya pantas menerima dari hasil usaha saya semalam larut mempelajari materi sebagai bahan ajar. Bersabar dan tersenyum selama proses itu. Dan memang benar saya sedang dalam kondisi membutuhkan itu. Selalu saja dapat menemukan sebuah alasan untuk menerima uang tersebut.

Bukan itu yang saya soroti, kawan. Namun ada esensi dimana, keberkahan itu dirasa tidak diterima. Meski harus saya akui, selama prosesnya, saya kerap kali disorientasi. Membayangkan pada apa yang akan saya lakukan dengan sejumlah uang tersebut.

Saya memang tidak seperti mereka. Iman saya masih sangat lemah. karena itu pula, saya mundur dari panggung ini, dan kembali menjadi orang biasa.


I was born in the metropolitan city of Indonesia, Jakarta. I was living around educated people, in a comfortable family, which I called 'my comfort zone'. I was a senior high school student when my world gets wider and clearer. I’m able to see the differences between how I live and how those who swept the road, or sell newspaper in the road traffic live. Those people are fighters who work hard to make a living to ensure that they’ll have food in their stomach that day.

I was still attending grade 2 of high school when my friends and I founded a charity organization “Pondok Matahari”, a non-governmental organization which is located in a slum area in Pondok Ranji, Bintaro, Tangerang.   

It was on December 9th of 2011, when we set our foot down on muddy footpath, through various steps of land, and paddy field to reach a slum area amidst the densely populated capital city. There were rows of houses with concrete floor. Each of its front yards is decorated with a mountain of garbage. The food vendors jammed their wares in between mud puddles. All of it is a reasonable view of the metropolitan city, where the sovereign society live off of the suffering of marginalized people.

The atmosphere of the capital is always ablaze with dynamism, and discrimination, and ignorance.There 's a certain trend flourishing amongst the metropolis in Indonesia. They build splendor buildings as though they cannot see a slum area just several minutes away.

The growing group of young people are apathetic to charitable actions and are more interested on their personal satisfaction, an inclination that makes their sense of charity to be pathologically ignored.

In an attempt to better understand these issues, I’m wondering, “what’s wrong with the system?” considering that as an archipelago, Indonesia has a very diverse population, as well as having the culture of tolerance and community work.

Firstly, the realization that humans are social beings. It is impossible for an individual to stand alone without relying on others, and it is simply impossible to be a person who's not going to need others’ help.

Secondly, we realize that caring for others is very substantial in life. Ignorance can be seen when parents’ disregard their children’s need for education for the sake of helping the family financial affairs. Ignorance also leads to discrimination and intolerance in this world.

The interesting thing that I’m trying to highlight is, that we cannot conclude that Indonesia was hit by a crisis of concern.

Fortunately, a batch of younger generation who actually care and willing to contribute begins to manifest. There are a number of social-humanitarian organizations that have been established by young scholars, just like Pondok Matahari. People who do and actuate an attempt. Those who observe and not only criticizing rhetorically, but also actively involved as an agent of change. Those who are unwilling to become the 'casualties of today's society'.

Pondok Matahari was originally founded by four people. The first four months are the most difficult phase for us and other volunteers to try to give the best contribution. We wanted to facilitate them as best as we could with meager financial aid that we, as students at that time, can provide.

All of the hard works we did are finally paid back when we were finally able to launch a big event with the help of other social humanitarian organizations. We were finally financially independent after going through a time of hardship. I believe that the contributors who help us also have their own inspiring story.

It proves that the culture of community work has not disappeared in Indonesia. People are still concerned with others, and it proves the lack of apathy in the society. People who do not care and are not touched their conscience to contribute when they see the circumstances around them will create discrimination. We can even say that discrimination is the consequence of people’s ignorance.Thus, an initiator has an important role to make others aware of the importance of contributing, stripped of their personal interests.


In conclusion, even if we are just one of the few people who care and are able do something, take it as a personal role to ignite the spirit of contributing in others.

14 Jun 2014

Maaf. Saya belum bisa menjawabnya.


Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman. Teman  yang suka saya ajak berdialektika, membentuk forum diskusi dalam membahas pergulatan pikiran pada kondisi sekitar. Dia adalah satu dari beberapa orang yang memang saya terbuka untuk berbagi wawasan. Saya belum cukup ilmu untuk menahan emosi pada beberapa orang. Atau belum cukup kata untuk berdebat bagi yang lainnya. Saya hanya mencoba membuka forum yang Sali bertoleransi satu sama lain.

 Tafakkur, berpikir memandang alam semesta pada bagaimana semesta bergerak secara dinamis dan mencoba berdiskusi bagaimana menyikapinya secara bijaksana. Tafakkarun fi khalq as-sama wati wal ardh (berpikir pada pergiliran siang dan malam).

Teman ini adalah teman lama. Lama karena sudah beberapa bulan sejak aku berdiskusi dengannya.  Dan di tengah pergulatan saya menguzlahkan diri untuk mencari tempat nyaman bereksplorasi di dnia virtual,rupanya si teman ini sedang mencari sosok saya untuk berdiskusi.

Dalam pandangan saya, dia adalah sosok dengan pemikiran fleksibel. Hal ini pula yang diterka oleh beberapa orang *dimana ia curahkan perasaannya kepada saya, bahwa pemikirannya pernah dijustifikasi oleh sebagian orang sebagai* pandangan liberal. Soal apa? Saya pikir pembaca bisa menerka sendiri mau dibawa kemana topik bahasan saya kali ini.

Di tengah perbincangan kami dalam siang yang lenggang, ia bertutur. Ada satu aklamasi yang membuat saya sungguh tertekan, dan itu yang jelas, paling saya ingat betul.

Ketika ia melakukan perbincangan dengan kiai di pesantrennya, “Kalian bangga sebagai orang Muslim. Bangga berpayungkan Islam. Memang apa sih yang kalian tahu tentang Islam? Sudah berapa kali syari’at yang kalian amalkan dan kalian langgar? Islam kalian itu sesungguhnya hanya Islam turunan. Islam dari orang tua. Coba renungkan, jika kalian lahir di lingkungan keluarga non-Islam, toh kalian pasti tidak beragama Islam sekarang. Iya, kan?”

Na’udzubillahimin dzalik.

Saya tidak mencoba mengajak segenap pembaca siapapun itu untuk melakukan evaluasi diri. Bergegas menuntut ilmu di agama seberang sambil berguru pada pak kiai sebagai proses muhasabah diri. Tidak, sesungguhnya tidak. Silahkan kalian berasumsi apapun.

Saya hanya berpikir. Coba cermati, dan sikapi sebagaimana seorang berintelektualitas bersikap, menanggapi perspektif yang berbeda.

Sering kali kita memperjuangkan sesuatu tanpa suatu landasan yang kuat. Hanya karena terbawa arus dan emosi. Terbawa kultural dan bawaan budaya. Saya sepakat jika kita harus bergerak, atau tergantikan. Harus memperjuangkan prinsip kita hingga panji kemenangan itu dalam genggaman. Atau konotasi lainnya yang mampu memberikan gambaran heroik seberapa besar urgensi mempertahankan prinsip itu kita internalisasi.
Tapi kadang kita sampai luput dari substansi yang seharusnya menjadi asas. Apa yang kita perjuangkan? Benarkah itu layak diperjuangkan? Bagaimana dengan perspektif orang lain, apakah tidak layak, coba untuk kita pahami dan didiskusikan secara baik-baik?

Kita ini negeri pancasila, katanya. Yang bunyi sila ke-empatnya ; permusyawaratan perwakilan. Kalau Kiai Musthofa Bisri sering menganalogikan agama seperti sebuah jenjang pendidikan. Si kelompok SD SMP punya kontribusi lebih besar dari segi kuantitas. Selain itu, mereka juga turut berkontribusi aktif dalam memperjuangkan hal yang mengambang. Artinya, mereka masih belum cukup ilmu dalam memperjuangkan itu, sehingga mengaklamasikan pernyataan retoris, yang hanya cukup mengubah intonasi untuk terlihat seolah heroik.

Saat itu memang saya belum mampu menjawabnya. Namun, jika kemudian satu malam pikiran ini terbesit dibenak saya, barangkali saya akan menjawab,
“maaf, saya belum punya cuup ilmu untuk menjawab pertanyaan itu. Namun yang saya tahu, sejak kecil lingkungan mendidik saya untuk senantiasa bersyukur akan nikmat Islam. Karenanya setiap usai shalat, berdo’a pada sang Kuasa,  nikmat Islam 


Inilah nikmat yang sering kita lupakan. Kita terlalu tsiqah pada takdir, atau taqlid pada satu pendapat sampai memuaskan ruhani kita pada fakta kita orang Islam hingga lupa bersyukur padanya? Ini juga sebagai bahan refleksi kita bersama. 

Menginternalisasi Keberkahan


Saya punya teman. Sebut saja Azza.

Azza itu unik. Ya, unik dari perspektif saya. Dia adalah produk imitasi dari bagaimana masyarakat dan budaya metropolitan membentuk karakternya, sedemikian rupa sehingga dari segala atribut kebanggaan, gaya bicara, dialektika tempatnya bergumam, maupun topik diskusi berbau metropolis. Tanpa sadar, saya yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya terciprat kultural ini.

Saya paham dari ceritanya saat dia mengalir. Ada hal yang merupakan kelebihan darinya dan selayaknya ia banggakan. Hal yang akan meninggikan derajatnya begitu indah dalam pandangan akhirat. Ini bukan testimoni dari refleksi kiamat. Bukan. Tapi ini adalah pembelajaran bagi saya maupun pembaca, tentang cerita dari masyarakat yang mengabaikan keberkahannya.

Hafalannya banyak. Nyaris 30 juz jika iya konsisten menjadi seorang hafizah.Saya menghormatinya sebagai seorang teman. Namun saya sulit menyatakan pernyataan untuk meneguhkan kompetensinya tersebut. Iya suka memuraja'ahi lagu Taylor Swift, men-ziyadahi film Hannah Montana.

Refleksi kondisi lingkungan saya adalah sekumpulan dari orang orang yang mendekatkan dirinya pada al-Qur'an. Katakanlah Arif. Tidurnya mendengarkan rekaman murattal seorang syekh fasih. Bangunnya diringi kiprah senyuman dan kilasan waktunya mereka pergunakan untuk muraja'ah juz. Meski hanya awal-awal juz 30, 29, 28.

Yang saya pahami di sini adalah, banyak orang dalam dunia saya yang sebelumnya dihadapi. Mereka dengan kapasitasnya, belum mampu menganggap sebuah keberkahan itu ada. Mereka menggenggamnya, namun mengabaikannya. Belum mampu menginternalisasinya.

Saya tidak mencoba untuk meninggikan martabat sisi lainnya. Namun saya suka dengan cara mereka. Sedikit banyak, saya sepakat jika 'usaha' di sini adalah nilai yang ditinggikan. Bahwa seberapa sedikitnya hafalan kita, namun tetaplah masih ada semangat perbaikan.

Kadang juga menjadi bahan refleksi. Saya sadar betul jika harus diakui lahir dan tumbuh pada keluarga yang alhamdulillah mampu memahami agama dengan baik. Masa kecil kami dipenuhi tuntutan menjalankan syariat Islam ataupun bersikap selayaknya muslim. Namun, bagi seorang anak kecil, itu hanya menjadi kebiasaan yang belum bisa dinalarkan dalam logika kami yang masih rendah.

Baik si Azza ataupun Arif tetaplah menjadi seorang teman untuk saya. Teman yang konyol, bahkan. Namun, inilah komparasi dari bahan pelajaran yang dapat saya petik di sini.
Banyak orang yang kompeten, namun mengabaikan kapasitas mereka karena bukan menjadi bagian dari visi hidupnya.
Namun, ada juga yang bersungguh-sungguh meraih kompetensi itu, meski bukan bagian dari kapasitasnya. Terlebih, mereka mencoba menginternalisasinya dalam diri mereka :)

13 Jun 2014


Later, then,
 Be a good one. Behave properly. Remind ur vision. No excuses for whole the hurdles. For the best moment of ur life, is looking for their smile.

11 Jun 2014

Keberkahan itu Dimana?


Saya sering dianggap skeptis. Senantiasa mengkritisi sistem yang ada. sampai pada titik dimana berpikir lebih baik diam, dan mengamati bagaimana semesta di sekeliling kami beraksi dalam dalam porosnya masing-masing. Dan saya pikir, inilah puncak dimana kita mempelajari ihwal murni soal pelajaran kehidupan, tempat kita berkaca soal sikap yang benar dan salah. Adil dan zalim. Kanan dan kiri. Dan segala konotasi yang sering kali didikotomikan, seolah menunjukkan tidak adanya relasi ekivalen antara kedua oposisi.

Sistem. Sederhananya, itu yang saya kritik. Lambat laun, saya mencoba mengeneralisasi pada dua akar permasalahan. Apakah sistem yang secara perlahan namun berkesinambungan memberikan doktrin pada kita soal ‘kanan’ dan ‘kiri’, atau ‘benar’ dan ‘salah’? atau memang kami adalah anomaly yang terlalu meributkan hal yang sepele? Saya pikir tidak. karena itulah manusia memiliki prinsip dalam hidupnya yang berkembang menjadi sebuah jati diri.

Adalah mencari sebuah keberkahan.

Bagi saya pribadi, mencari sebuah keberkahan dari setiap kegiatan yang kita lakukan adalah hal substansial yang ironisnya, sering kali terabaikan. Atau merupakan sebuah beban moral yang sering kali dianggap enteng.

Ada hal yang rasional dan tidak, menurut perspektif saya. Contohnya saja begini,

Terdapat dua aktor di sini. Sebut saja A dan B. Si A meminjam modem B. Maka A harus menjamin kebermanfaatan modem akan terjaga selama dipegang olehnya. Akadnya harus jelas, mengapa meminjam modem. “saya ingin download materi kualiah di fb. upload surat. Posting notulensi.” Jika si A menyepakati serangkaian agenda yang akan dilakukan B dengan modemnya, maka dapat kita katakan sang keberkahan telah terjamin. Pun tidak dinyatakan, sebuah rasionalitas manusia hendaknya mampu mengkomparasikan secara wajar hal baik dan buruk. Lalu membuat konklusi sendiri bahwa, ‘saya meminjam modem ini, adalah sebuah kemurahan hati dari A. Karenanya, balas jasa saya adalah memanfaatkannya untuk tujuan2 yang baik.’
Sederhana. Dan saya pikir sangatlah rasional. Ironisya, hal ini sering kali terabaikan.

Saat orang tua kita mengamanahi motor atau laptop bagi seorang mahasiswa demi kelancaran proses kuliahnya, sudahkah setiap rute yang kita lalui, atau setiap tuts keyboard yang kita tekan, mampu mengantarkan paket-paket pahala bagi orang tua?

6 Feb 2014

aktor

diversitas/antimeanstream/kritis/berwawasan/unpredictable.

homogen/stagnan/bersama/mainstream/dogma.



saya mencoba memaknai lebih banyak tentang hidup. Kemudian, fakta untuk menjadi seorang observer of life sangatlah sulit,tanpa berusaha bertendensi pada golongan apapun. Barangkali, ini pemikiran radikal yang mengawal dari sitasi seorang politisi (baca: kawan). Saya hanya mencoba menjadi sang narator kehidupan, faktanya, saya tetaplah seorang aktor.

Bagaimanapun, saya tetap kagum dengan para "aktor" tersebut. Siapapun itu. Karena kita hanyalah manusia dengan segala keterbatasan wawasan.

4 Feb 2014

those who memorizing quran

I do remember and miss the moment while i was young, full-of enthusiasm on memorizing every single ayat of Yours, the Glory who kholq samaa wal ard, wa ikhtilaaf fil lail wa an-nahaar. for those ulil albab.


For whom it may concern,

People of the Quran should be like a mirror wherein people see the values and morals of the Glorious Quran and reflected. Ibn Mas'ud (may Allah be pleased with him) said, "The one who learn Quran by heart should be distinguished by his prayer and recitation at night while people sleep, his (earnest) works while people laugh, his silence whille people indulge (in nonsense), and his consciousness (of Allah) while people are conceited. One who memorized Quran, moreover, should be humble and tender-hearted. He should be not hard-hearted, disputant, vociferous, or harsh.
(Yusuf Al-Qardhawi)

.sekat.



Ada sekat antara saya dan mereka
itu yang saya amat pahami di kali pertama masuk dalam dunia ini.
baik secara fisik -yang tak perlu kujelaskan apa itu, maupun secara ruhani.

Ada ilmu yang saya pahami,
wawasan yang saya ketahui,
kelebihan yang saya miliki,
...mereka tidak

Ada akhlak yang mereka ketahui,
ilmu yang mereka terapkan,
visi  yang mereka bangun,
...saya tidak

apa itu menjadi dinding pembatas?
saya pikir, 'ya'
dalam beberapa kondisi, i dare to say.

namun, yang membuat saya terperangah. Adalah bagaimana lingkaran itu saling menjaga.

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap melihat indahnya sebuah persaudaraan.
Atau beruntungnya memiliki sebuah relasi.
Atau dalam setiap guratan senyum yang menjadi khas mereka.

mereka homogen.
namun mereka membaur.
Aish, jangan memandang sebelah mata.
Ambil sisi baiknya.

kadang mengganggu. tentu saja.
mungkin itu hanya usikan negatif dari sang pengganggu.

..kata insan yang masih perlu banyak belajar dari mereka

Jakarta, 02 Februari 2014

29 Jan 2014

how's the "exact" meaning of time?

"How IS the exact meaning of TIME, based on "my" own perspective?"
note : 23rd August 2013

This question above begin my elaboration and contemplation in order on making this essay as the one who's having a place in social society (thats actually makes the writer seems choosing the wrong major -not to be the anthropologist one). It seeks to highlight the exact meaning of time based on others argument, then compare it to writer's own perspective. Consist of the case in everyday life of thinking from the simple-minded person. While it is interesting to be as an observer of life, as we are, the social human that unconsciously holding a role (whether its important or not) as a social-human person.


27 Jan 2014

menjadi *manusia* part 3


Tanpa sadar, dalam 3 hari ini saya keranjingan menulis blog, rupanya. Sebuah intuisi yang jarang saya bangun *barangkali, kebetulan saja karena di rumah ada akses internet, jadi terbayar sudah puasa hampir2 satu semester, nge-net, melsayakan hal2 tidak berguna seperti stalkerin orang, dimana belakangan ini, saya pikir hal tersebut penting sebagai dalih untuk standar kaderisasi.

Kemudian, saya mencoba melanjutkan sebuah kisah yang mana, penting bagi saya untuk menuangkannya. Sambil membayangkan ini menjadi sebuah memori indah yang akan terkenang, dalam torehan senyum dari wajah saya nanti *futuristik mode on.

bismillahirrahmanirrahim,...

menjadi *manusia* part 2

bismillahirrahmanirrahim

"absurd"

Barang kali, itu kali pertama saya mengawali sebuah perenungan di tengah goresan malam dari lazuardi bertabur gemerlap rasi orion, kalau2 keberuntungan saya di tengah langit perkotaan bisa melihat messier 1. *kita cukupkan pembicaraan astronomi. Di sini kita tidak ingin membuka forum diskusi.

Saya ingat di satu malam, periode awalku memasuki sistem baru, teman saya menceritakan keluh-kesahnya pada saya. Kemudian, saya menjawab *selayaknya orang bijak yang dimintai nasehat*, untuk, "tidak menjustifikasi orang dari kali pertama kau melihat, atau bahkan dalam kali kesekiannya. Karena seberapapun kau mengenalnya, akan banyak hal menakjubkan yang mampu kau temui dari sisi lain seorang insan. Selayaknya kita memposisikannya sebagai objek dengan identitas beragam dan variatif, dan kita sedang memandang tinggi untuk nilai keunikan tiap individu tersebut,"
...bahasa sederhananya sih, kita gak bisa langsung berargumen, "gue gak suka dia... dia orangnya begini," dan sebagainya. Karena barang kali, yang kita lihat hanya refleksi permukaan dari bagaimana 'ekspektasi' dia untuk kita menganggap dia seperti apa? Jika dia berharap kita memandangnya sebagai orang bijak & kita memang betul kemudian berpikir dia orang bijak (nyatanya tidak sepenuhnya), artinya ia sukses membangun model karakter hingga paradigma kita seperti demikian adanya.

er,.. bagaimana? apa penjelasanku cukup jelas?


Kemudian, saya gemar memposisikan diri sebagai seorang observer of life, sebagaimana aku sering berujar pada teman sekamar saya yang senang saya ajak untuk berdiskusi. Bahwa manusia itu variatif. Masing-masing dari mereka unik.

dan poin pokok ke arah mana saya ingin bercerita adalah, bagaimana sistem -yang mana saya mengawali dari semester 3 kemarin, adalah sebuah tempat dimana (bagi saya pribadi) adalah murni didominasi orang2 yang saya memandang banyak pelajaran dari mereka. dan dalam memaknai betapa fitrinya perbedaan -meski sering kali saya merasa diri sebagai sosok minoritas yang tidak terdiskriminasi.


Saya baru mengawali cerita di sini, kawan.

Islam