5 Jan 2017

Dunia Pasca Kampus : Mencari Pondok Hafalan


Jakarta, 04 Januari 2016.

Sebagai manusia, saya sudah hidup tak kurang dari 22 tahun. Dan sebagai mahasiswa, sudah lama (sekitar dua tahun lalu) saya mengaklamasikan diri untuk bertekad fokus hafalan pasca kuliah sebelum melanjutkan rencana S2. Setiap orang punya prioritas masing2 dalam hidupnya, saya paham betul. Dan kepahaman ini saya semakin sadari pada momen2 saat saya yudisium, melihat teman2 kontrakan saya sudah mengurus berkas kerja. Ada yang sudah selesai koas dan semakin sering pulang balik ke rumah (yang lokasinya di Solo) dengan alasan berbakti pada orang tua. Ada yang sudah mulai belajar2 tes CPNS. Ada yang sudah mendaftar les bahasa inggris. Masih ada pula yang masih mengurus revisian skripsinya atau pun mengolah data. Keberagamannya semakin terasa dan membuat kami semakin sadar bahwa pada akhirnya, setiap individu dari kita juga akan berpencar dengan jalannya masing2, menjalani hidup sesuai dengan kompetensi dan passionnya masing2.

Kenapa mondok? Sementara yang lain sudah disibuki bekerja untuk tidak bergantung sama orang tua? Kamu udah 22 tahun, dan kamu akan mondok. Bukan main. Pondok hafalan yang harus fokus paling tidak 20jam dalam seharinya  untuk menghafal dan mensterilkan lingkungan mu dari segala kesibukan lain yang berpotensi mendistraksimu. Kamu udah punya tabungan untuk hidup, atau masih bergantung sama orang tua? Lagipula, entah berapa lama akan selesai hafalan mutqin (di luar kepala). Begitu keluar dari pondok, jelas kamu akan terasing pada hiruk pikuk dunia dan segala tuntutannya. Anak pondok kan biasa nya jetlag kalau udah keluar dari pondok dan melihat realitas metropolitan.
Stigma seperti itu yang sering kali berkeliaran liar di kepalaku pada keputusan ini. Sok nyantri, ujug2 jadi santri liar (meminjam istilah ustadz Luthfi Fathullah untuk santri yang terlepas dari sistem dan menjadi liberal gaya hidup dan pemikirannya)

Ada banyak alasan di sini, pergulatannya juga banyak. Yang jelas, seorang pasti akan mengambil sebuah keputusan atas dasar pertimbangan yang matang. Dan pertimbangan itu diambil setelah melakukan kesepakatan dengan para stakeholder dalam hidupnya.

Karenanya, dunia pasca kampus itu lebih menantang. Karena momen itulah, 16 tahun pendidikan formal kita akan usai, bercabang menjadi percabangan pilihan hidup yang memberikan banyak penawaran. Pertanyaannya adalah : ke jalan mana kamu hendak melangkah?

Yang jelas, saya sudah mempertimbangkannya dan menyampaikan secara baik2, mendiskusikan dengan orang tua dan membuat kesepakatan dengan mereka. Bahkan nggak segan2 mereka menjadi benefactor di sini yang membuatku terharu.

Soal jetlag pasca pondok?

Saya paham.

12 tahun saya hidup dalam kota metropolitan jakarta. 2 tahun hidup dalam suasana pondok modern di jogja. Saya paham yang dimaksud dengan jetlag, realita anak pondok (malah, bukan cuma anak pondok saja, tapi sekolah islam terpadu pun juga) pasca mengenyam pendidikan dan terbebas dari sistem yang selama ini mengatur. Karenanya saya tidak berkenan untuk menerima mentah2 pendapat orang lain soal stigma pondok yang terkesan eksklusif sehingga keberterimaan nya di lingkungan sosial masyarakat luar pondok sangat rendah.

Intuisi saya untuk S2 besar, dan tekadnya pun sudah tertanam, bahkan semenjak SMA. Saya yakin, masalahnya bisa diselesaikan bukan dengan mengubah targetan, tetapi dengan memodifikasinya.

 Saya lulus pada november 2016. Itu tertarget, karena beasiswa yang saya kejar pada periode februari 2017. Pasca wisuda 16 november, secara mandiri saya berlatih toefl untuk persiapan tes toefl itp tanggal 19 desember 2016 di ppb (pusat pelatihan bahasa) ugm. Sertifikat toefl itp ini berlaku dalam negeri, dan kurang terstardardisasi jika digunakan untuk aplikasi kuliah maupun beasiswa luar negeri. Biasanya dibutuhkan sertifikat ibt ataupun ielts. Standar untuk toefl itp ke luar negeri umumnya >550. Seusainya tes, saya kembali ke rumah di Jakarta untuk mengurus berkas umum yang dibutuhkan untuk administrasi pendaftaran S2 maupun beasiswa. Baik ijazah versi bahasa inggris, legalisasi ijazah dan transkrip nilai, dan stck. (Surat keterangan sehat dokter  seharusnya juga diurus, tetapi saya tunda sampai ada kepastian dari pihak pemberi beasiswa yang saya kejar ini. Dan paspor saya sudah kadarluasa, jadi harus buat paspor ulang). Waktu itu saya belum punya e ktp dan nama saya direvisi ke kantor pengadilan jaksel sampai ke sudin. Jadi perlu diurus pula administrasi ini karena berhubungan dengan status nama saya di e-ktp (bisa baca catatan : pengurusan revisi nama).

Karena target saya ke luar negeri, maka saya berlatih diri untuk bisa mengejar slor di tes ielts. Pertengahan desember saya mendaftarkan diri ikut program ielts camp di pare selama satu bulan. Sekarang prosedur pendaftaran kursus di pare lebih terintegrasi, bahkan sampai difasilitasi untuk jasa penjemputan dan tempat menginap bagi yang tidak ikut camp. Program ini dimulai tanggal 10 januari dan berakhir sekitar 8 februari. Jadi saya targetkan sampai tanggal 09 januari 2017 sebelum keberangkatan ke pare, segala berkas harus sudah siap dan tinggal jadi.

Proses ini saya jelaskan dengan maksud, keputusan saya untuk mondok tidak asal menuruti intuisi membuncah. Karena beban moral yang besar untuk sebuah keputusan semulia itu, tapi di lain sisi tidak ingin sampai melupakan tujuan awal, saya persiapkan minimal semua berkas2 yang dibutuhkan dan bisa diurus terlebih dahulu untuk proses S2. Supaya saat proses pendaftaran, saya hanya tinggal mensubmit. Saya mendaftarkan tes  ielts di britishcouncil untuk tanggal 28 februari 2017. Sehingga pasca kursus sebulan di pare, masih ada kesempatan belajar mandiri ielts sebelum awal maret saya masuk pondok. Qodarullah, agak nekat memang, karena itu tidak menjamin saya langsung mendapat skor ielts >7.00 sesuai ekspektasi. Kalau semisal mengulang, nggak tahu lagi harus pakai uang 2,8juta darimana dan belajarnya gimana kalalu sudah mondok. Kalau soal ini bisa saya wanti2 dengan ikut simulasi ielts. Daripada harus mengulang tes resmi dengan biaya 2.8juta (mengingatkan saya dengan senior yang sekarang sudah di uk dan beliau sampai harus mengulang 4kali tes ielts dengan total biaya lebih dari 10juta) *__*.

Kembali ke topik utama, umi merekomendasikan saya untuk ikut pondokan di krapyak yogyakarta. Masalahnya di sini.


Untuk seorang masyarakat perkotaan dengan paradigma yang mau : serba cepat, tertarget, terjamin. Saya sarankan jangan mengharapkan tuntutan sebesar itu jika kamu masuk dalam suasana tradisional pondok nahdiyyin.

Ya, saya tahu. Ada banyak pondok, memang. Pondok atau program yang menawarkan ‘1 tahun menjadi hafizh’. Ada juga yang enam bulan, tiga bulan, bahkan satu bulan. Tetapi, untuk umi saya  yang merupakan lulusan pondok tradisional, paradigma nahdiyyin sangat khidmat dan ta’dzhim nya luar biasa dengan bu nyai. Hafalan quran bagi mereka bukanlah sesuatu yang bisa kau sambi2 dengan kesibukan lainnya seperti kerja dan sebagainya. Bukan pula hal yang bisa sekedar dihafal tetapi kelak bisa lupa. Meski di krapyak memang ada  juga komplek untuk mahasiswa seperti komplek GP bu Luth dan bu Nafis, tetapi umumnya mereka diminta untuk tidak terlibat aktif dalam organisasi yang bisa melalaikan tanggung jawabmu sebagai santri dalam menghafal dan belajar agama. Hafalan juga bukan sesuatu yang bisa ditargetkan satu bulan –dua bulan, seakan gelar hafizh itu dengan mudah didapat bagi mereka yang sudah rampung hafalan tapi tidak terjamin kelancarannya.

Hafalan itu harus mutqin. Bukan hanya sudah hafal 30juz dan punya sertifikat sanad, tapi harus bisa mempertanggungjawabkan hafizh dan sanadnya seseorang.

Ini kiranya yang saya pahami dari jalan pikiran umi ketika beberapa kali saya tawarkan banyak program pada beliau. Untuk mendapat acc beliau sulit sekali. Pasalnya, saya dididik (oleh beliau sendiri) selama ini dalam lingkungan islam terpadu sampai SMA. Masuk ke kampus dan bermukim di pondok modern, mahasiswa. Paradigma pondok tradisional seperti ini sulit untuk saya pahami. Sampai mendapatkan sanad dari kyai yang terjamin sanadnya pula. Bukan sesederhana itu, rupanya...

Saya ingat satu momen saat saya menjadi pandu di gmmq (gadjah mada menghafal quran) program js. Saat itu saya mengetes hafalan calon santri. Beliau sebutkan hafalan beliau sekian juz. Wah, saya terkesima dengan nominalnya. Kemudian saya ujikan pada beliau beberapa soal, dan memang banyak ketidaklancaran yang saya temui. Sangat banyak. Kalau boleh jujur, semua soal yang saya ajukan perlu saya bantu. Sampai di soal ketiga, saya tersenyum meakhiri ujian hafalannya. Batinku saat itu, ‘ini harus dihafal ulang, nggak bisa kalau diajak terus nambah...’. Beliau lantas menceritakan bahwa beliau mengikuti program hafalan di solo yang sebulan hafalan sekian juz. Lalu beliau berharap bisa memperlancar hafalannya.

Saya memahami, barangkali ini kekhawatiran yang dibayangkan umi. Jika hafalan sekedar hafalan. Jarang dimurojaahi, dan sekalinya dimurojaahi, perlu ‘dihafal ulang’.

Usaha sejauh ini pun saya cari lewat internet dan tanya2 pada kawan yang pernah mondok, satu daerah, atau minimal kenal dengan kyainya.

Saya dengar muwajjih ustazah saya dari al irsyad mondok untuk hafalan mutqin. Kakak saya (yang juga mondok di krapyak selama 10tahun di pondok mahasiswi) juga meragukan saya bisa menyelesaikan satu tahun. Musyrifah saya sendiri  mondok di al multazam untuk rampung hafalan sampai 3 tahun.

Jika orang2 sekaliber mereka berpendapat demikian, saya menyimpulkan tiga hal yang harus saya putuskan. Pertama, untuk tidak terlalu berharap bisa merampungkan hafalan selama satu tahun itu. Asal mutqin dan menjadi santri baik, bagi saya sudah cukup. Gak banyak masalah, gak banyak neko-neko, dan gak banyak perizinan. Sudah benar-benar cukup bagi saya. Kedua, tidak akan menyambi2 dengan agenda lain. Cukup fokuskan pada menghafal dan tidak menganggap ini sebuah hal yang sepele lagi. Justru semakin menyadari bahwa beban moralnya semakin tinggi (apalagi ditambah beban sarjana. Hahaha *tawa hambar*). Dan ketiga, untuk tidak menuntut banyak pada sistem, tetapi menuntut pada diri sendiri. Karena paradigma saya (setidaknya dari kemarin) adalah ‘pondok’, ‘berprogram tiga bulan –atau enam bulan, deh’ ‘ (anehnya malah nawar).  Seolah dengan program seperti itu akan menjadi status hafizh mu atau minimal multipikasi hafalanmu. Saya malah khawatir pada tanggung jawab saya dalam hafalan tersebut, sebagaimana hafalan saya sekarang yang timbul tenggelam terbawa arus memori lain.

Jujur saja, saya malu mengatakan ini, tapi dulu sesederhana itulah saya bertekad untuk menghafal.  Ternyata ada yang jauh lebih besar dari itu. Jika ingin menghafal, jangan terlalu mengandalkan program2 itu, tetapi biarlah waktu yang menjelaskan bagaimana kapasitas menghafal kita dan keberterimaan al quran untuk bisa kita hafal. Jika memang bisa menyelesaikan satu tahun yang mutqin, berarti kau menunjukkan pencapaian yang luar biasa. Jika memang kemampuanmu sebatas menyelesaikan beberapa juz, namun mutqin, tetap terimalah itu dan jaga yang sudah kau hafal baik2. Adapun soal target mu S2 dan statusmu yang belum selesai hafalan, bisa dikomunikasikan secara baik2 seiring dengan waktu. Kalau mau pamit, pamitnya pun ketika sudah jelas kamu mendapatkan beasiswa, supervisor, dan sudah jelas diterima  di universitas tertentu. Sehingga momen ketika kamu keluar pondok adalah momen saat kamu sampai di rumah dan tinggal mempersiapkan visa, mengepack barang2, dan menunggu waktu sambil memurojaahi hafalan secara mandiri.

Sederhana? Kalau dunia saat di pondok dan momen2 saat aku ke nyambi ngirim berkas sih, aku belum lewati. Bayanganku tidak sesederhana itu, tapi insyaAllah bisa dijalani, asal ingat tujuan awal saja.

Indah? Sekali lagi, saya belum menjalaninya, jadi belum berani berkomentar apa2 ^ ^”.

Apa aku sukses memberikan pandangan kepada pembaca bahwa ini bukanlah hal yang sederhana? Bahwa ini adalah hal besar yang butuh persiapannya ekstra. Pergulatan batinnya pun, juga (ekstra) ...

Akhir kata, saya mau memberikan pandangan tambahan, bahwa mondok itu bukan sesuatu yang kolot. Ketinggalan zaman. Pondok tidak dihuni oleh mereka yang berkutat pada ukhrawinya dan ngaji kitab. Tetapi tentang mereka yang hendak berfokus pada apa yang mereka pilih, dan pilihan itu tidak banyak yang berani mengambil keputusan itu. Malah, kita dilatih untuk bisa mensandwich pikiran kita (istilah bu Sri Mulyani dalam pidator akhirnya di hotel Ritz Carlton) dalam upaya untuk membagi fokus pada berbagai prioritas dan kepentingan. Kapan saat kita harus mengisi pikiran dengan mencari2 informasi research lab yang sesuai dengan riset kita. Saat perlu merevisi paper (dan ini mengingatkan saya bahwa deadline revisinya 9 januari ini -___- belum rampung). Intens menghubungi dosen meminta surat rekomendasi atau mencari supervisor. Saat menargetkan diri memenuhi kualifikasi standar ielts. Atau mencari2 pondokan yang sesuai kualifikasi orang tuamu dan memuroja’ahi hafalanmu sebagai bentuk tanggung jawabmu pada orang tua ^ ^.


Mohon doanya semoga dikuatkan. Penulis sedang tidak sehat pada momen saat ini ditulis. Terima kasih.

Islam