17 Okt 2014

/Dua Ibu/




Ada dua konotasi saat kita menyebutkan ibu.

Satu, adalah orang yang melahirkan dan memberimu kesempatan untuk hidup secara layak. Dua, adalah mereka yang membekalimu seperangkat properti kehidupan tempatmu bisa bercermin tentang akhlak.

Aku mendapatkan kedua hal tersebut dari ibu pertama.

Beliau adalah semesta kehidupan tempatku berlabuh di pangkuannya. Pada kehidupan dinamis kota metropolis yang serba hedon dan skeptis, Beliau adalah matahari bagiku. Aku ingat betul belaiannya yang dengan lembut menyisir rambutku. Senyum lelahnya setiap kali pulang mengajar dari kampus. Aku terkenang masa dimana beliau berdiri di podium mempresentasikan penelitian beliau. Aku berada di barisan terdepan, duduk tersenyum membesarkan jiwanya. Aku hafal betul tartil Beliau senantiasa mengiringi tidur malamku. Atau ceramah Beliau di pagi hari menjelang mengisi kajian di majelis ilmu. Aku duduk menyimak dengan baik, seolah tahu –meski hanya memberikan anggukan atau senyuman.

Sungguh. Beliau adalah matahari bagiku.

Tidak pernah terpikir bagiku untuk mencitrakan sosok Ibu sekaliber Beliau. Di zaman seperti ini, terlahir dari keluarga seperti ini saja sudah merupakan karunia luar biasa. Karenanya, belum pernah terpikir sedikitpun bagiku untuk mencari sosok ‘ibu’ lainnya.

Ini hanya segaris perspektif dari santri yang belum mumpuni, namun mulai terbuka hatinya untuk ta’dzhim pada guru.



Bu nyai adalah sosok yang qowy. Beliau pendidik dari kalangan terdidik tradisionalis. Dari gaya pengajarannya. Orasinya mengisi kelas. Totalitasnya dalam setiap kegiatan. Beliau pernah pulang ke pondok jam 2 pagi mengantar rombongan tamu dan bangun tidur jam 3 untuk membangunkan shalat tahajjud. Perfeksionisnya hingga menyambut majelis kajian hingga memperhatikan standar kerapihan susunan sandal hingga motor. Mengajarkan pada kami cara melipat sajadah, atau membersihkan kompor. Untuk bisa senantiasa tersenyum dan ikhlas. Menginternalisasi rasa kesyukuran dalam setiap peristiwa kehidupan.

Beliau adalah  pengasuh asrama tempatku bermukim sekarang. Darush Shalihat.


Ada banyak cerita di sini. Ini bukan tentang euforia hidup, tapi pada proses menuju sholihah. Tentang bagaimana sekelompok mahasiswa menjadi generasi terdidik yang berakhlak. Kurikulum hidup kami pun membahas pada pusara kehidupan. Bagaimana etika pada orang yang lebih tua, adab menuntut ilmu, fiqh kehidupan, hingga kode etik menjadi ibunda para ulama. Terlalu banyak cerita untuk dikisahkan di sini.

Ya. Terlalu banyak, ya.

Barangkali, cerita ini hanya segaris kisah hidupku yang bersinggungan dengan Beliau. Pada caranya berbicara, pada senyum sumringahnya, pada perkataannya yang menghujam siapapun untuk segera berbenah diri. Beliau adalah sosok yang akan menjadikan seseorang merasa istimewa di matanya. Begitu istimewa sehingga aku mencoba berproses untuk lebih menta'dzhimkan diri padanya.

Islam