Dunia Pasca Kampus : Mencari Pondok Hafalan
Jakarta, 04 Januari 2016.
Sebagai manusia, saya sudah hidup
tak kurang dari 22 tahun. Dan sebagai mahasiswa, sudah lama (sekitar dua tahun
lalu) saya mengaklamasikan diri untuk bertekad fokus hafalan pasca kuliah
sebelum melanjutkan rencana S2. Setiap orang punya prioritas masing2 dalam
hidupnya, saya paham betul. Dan kepahaman ini saya semakin sadari pada momen2
saat saya yudisium, melihat teman2 kontrakan saya sudah mengurus berkas kerja.
Ada yang sudah selesai koas dan semakin sering pulang balik ke rumah (yang
lokasinya di Solo) dengan alasan berbakti pada orang tua. Ada yang sudah mulai
belajar2 tes CPNS. Ada yang sudah mendaftar les bahasa inggris. Masih ada pula
yang masih mengurus revisian skripsinya atau pun mengolah data. Keberagamannya
semakin terasa dan membuat kami semakin sadar bahwa pada akhirnya, setiap
individu dari kita juga akan berpencar dengan jalannya masing2, menjalani hidup
sesuai dengan kompetensi dan passionnya masing2.
Kenapa mondok? Sementara yang
lain sudah disibuki bekerja untuk tidak bergantung sama orang tua? Kamu udah 22
tahun, dan kamu akan mondok. Bukan main. Pondok hafalan yang harus fokus paling
tidak 20jam dalam seharinya untuk
menghafal dan mensterilkan lingkungan mu dari segala kesibukan lain yang
berpotensi mendistraksimu. Kamu udah punya tabungan untuk hidup, atau masih
bergantung sama orang tua? Lagipula, entah berapa lama akan selesai hafalan
mutqin (di luar kepala). Begitu keluar dari pondok, jelas kamu akan terasing
pada hiruk pikuk dunia dan segala tuntutannya. Anak pondok kan biasa nya jetlag kalau udah keluar dari pondok dan
melihat realitas metropolitan.
Stigma seperti itu yang sering
kali berkeliaran liar di kepalaku pada keputusan ini. Sok nyantri, ujug2 jadi santri liar (meminjam istilah ustadz Luthfi
Fathullah untuk santri yang terlepas dari sistem dan menjadi liberal gaya hidup
dan pemikirannya)
Ada banyak alasan di sini, pergulatannya
juga banyak. Yang jelas, seorang pasti akan mengambil sebuah keputusan atas
dasar pertimbangan yang matang. Dan pertimbangan itu diambil setelah melakukan kesepakatan
dengan para stakeholder dalam
hidupnya.
Karenanya, dunia pasca kampus itu
lebih menantang. Karena momen itulah, 16 tahun pendidikan formal kita akan usai,
bercabang menjadi percabangan pilihan hidup yang memberikan banyak penawaran.
Pertanyaannya adalah : ke jalan mana kamu hendak melangkah?
Yang jelas, saya sudah
mempertimbangkannya dan menyampaikan secara baik2, mendiskusikan dengan orang
tua dan membuat kesepakatan dengan mereka. Bahkan nggak segan2 mereka menjadi
benefactor di sini yang membuatku terharu.
Soal jetlag pasca pondok?
Saya paham.
12 tahun saya hidup dalam kota
metropolitan jakarta. 2 tahun hidup dalam suasana pondok modern di jogja. Saya
paham yang dimaksud dengan jetlag,
realita anak pondok (malah, bukan cuma anak pondok saja, tapi sekolah islam
terpadu pun juga) pasca mengenyam pendidikan dan terbebas dari sistem yang
selama ini mengatur. Karenanya saya tidak berkenan untuk menerima mentah2
pendapat orang lain soal stigma pondok yang terkesan eksklusif sehingga keberterimaan
nya di lingkungan sosial masyarakat luar pondok sangat rendah.
Intuisi saya untuk S2 besar, dan
tekadnya pun sudah tertanam, bahkan semenjak SMA. Saya yakin, masalahnya bisa
diselesaikan bukan dengan mengubah targetan, tetapi dengan memodifikasinya.
Saya lulus pada november 2016. Itu tertarget,
karena beasiswa yang saya kejar pada periode februari 2017. Pasca wisuda 16
november, secara mandiri saya berlatih toefl untuk persiapan tes toefl itp
tanggal 19 desember 2016 di ppb (pusat pelatihan bahasa) ugm. Sertifikat toefl
itp ini berlaku dalam negeri, dan kurang terstardardisasi jika digunakan untuk
aplikasi kuliah maupun beasiswa luar negeri. Biasanya dibutuhkan sertifikat ibt ataupun ielts. Standar untuk toefl itp ke luar negeri umumnya >550. Seusainya
tes, saya kembali ke rumah di Jakarta untuk mengurus berkas umum yang
dibutuhkan untuk administrasi pendaftaran S2 maupun beasiswa. Baik ijazah versi
bahasa inggris, legalisasi ijazah dan transkrip nilai, dan stck. (Surat
keterangan sehat dokter seharusnya juga
diurus, tetapi saya tunda sampai ada kepastian dari pihak pemberi beasiswa yang
saya kejar ini. Dan paspor saya sudah kadarluasa, jadi harus buat paspor
ulang). Waktu itu saya belum punya e ktp dan nama saya direvisi ke kantor
pengadilan jaksel sampai ke sudin. Jadi perlu diurus pula administrasi ini
karena berhubungan dengan status nama saya di e-ktp (bisa baca catatan :
pengurusan revisi nama).
Karena target saya ke luar
negeri, maka saya berlatih diri untuk bisa mengejar slor di tes ielts. Pertengahan
desember saya mendaftarkan diri ikut program ielts camp di pare selama satu
bulan. Sekarang prosedur pendaftaran kursus di pare lebih terintegrasi, bahkan
sampai difasilitasi untuk jasa penjemputan dan tempat menginap bagi yang tidak
ikut camp. Program ini dimulai tanggal 10 januari dan berakhir sekitar 8
februari. Jadi saya targetkan sampai tanggal 09 januari 2017 sebelum
keberangkatan ke pare, segala berkas harus sudah siap dan tinggal jadi.
Proses ini saya jelaskan dengan
maksud, keputusan saya untuk mondok tidak asal menuruti intuisi membuncah.
Karena beban moral yang besar untuk sebuah keputusan semulia itu, tapi di lain
sisi tidak ingin sampai melupakan tujuan awal, saya persiapkan minimal semua
berkas2 yang dibutuhkan dan bisa diurus terlebih dahulu untuk proses S2. Supaya
saat proses pendaftaran, saya hanya tinggal mensubmit. Saya mendaftarkan tes ielts di britishcouncil untuk tanggal 28
februari 2017. Sehingga pasca kursus sebulan di pare, masih ada kesempatan
belajar mandiri ielts sebelum awal maret saya masuk pondok. Qodarullah, agak
nekat memang, karena itu tidak menjamin saya langsung mendapat skor ielts
>7.00 sesuai ekspektasi. Kalau semisal mengulang, nggak tahu lagi harus
pakai uang 2,8juta darimana dan belajarnya gimana kalalu sudah mondok. Kalau
soal ini bisa saya wanti2 dengan ikut simulasi ielts. Daripada harus mengulang tes resmi
dengan biaya 2.8juta (mengingatkan saya dengan senior yang sekarang sudah di uk dan beliau sampai harus mengulang 4kali tes ielts dengan total biaya lebih dari 10juta) *__*.
Kembali ke topik utama, umi merekomendasikan saya untuk ikut pondokan di krapyak yogyakarta. Masalahnya di sini.
Untuk seorang masyarakat
perkotaan dengan paradigma yang mau : serba cepat, tertarget, terjamin. Saya
sarankan jangan mengharapkan tuntutan sebesar itu jika kamu masuk dalam suasana
tradisional pondok nahdiyyin.
Ya, saya tahu. Ada banyak pondok,
memang. Pondok atau program yang menawarkan ‘1 tahun menjadi hafizh’. Ada juga
yang enam bulan, tiga bulan, bahkan satu bulan. Tetapi, untuk umi saya yang merupakan lulusan pondok tradisional,
paradigma nahdiyyin sangat khidmat dan ta’dzhim nya luar biasa dengan bu nyai.
Hafalan quran bagi mereka bukanlah sesuatu yang bisa kau sambi2 dengan
kesibukan lainnya seperti kerja dan sebagainya. Bukan pula hal yang bisa
sekedar dihafal tetapi kelak bisa lupa. Meski di krapyak memang ada juga komplek untuk mahasiswa seperti komplek
GP bu Luth dan bu Nafis, tetapi umumnya mereka diminta untuk tidak terlibat
aktif dalam organisasi yang bisa melalaikan tanggung jawabmu sebagai santri
dalam menghafal dan belajar agama. Hafalan juga bukan sesuatu yang bisa
ditargetkan satu bulan –dua bulan, seakan gelar hafizh itu dengan mudah didapat
bagi mereka yang sudah rampung hafalan tapi tidak terjamin kelancarannya.
Hafalan itu harus mutqin. Bukan
hanya sudah hafal 30juz dan punya sertifikat sanad, tapi harus bisa
mempertanggungjawabkan hafizh dan sanadnya seseorang.
Ini kiranya yang saya pahami dari
jalan pikiran umi ketika beberapa kali saya tawarkan banyak program pada
beliau. Untuk mendapat acc beliau sulit sekali. Pasalnya, saya dididik (oleh
beliau sendiri) selama ini dalam lingkungan islam terpadu sampai SMA. Masuk ke
kampus dan bermukim di pondok modern, mahasiswa. Paradigma pondok tradisional
seperti ini sulit untuk saya pahami. Sampai
mendapatkan sanad dari kyai yang terjamin sanadnya pula. Bukan sesederhana itu,
rupanya...
Saya ingat satu momen saat saya
menjadi pandu di gmmq (gadjah mada menghafal quran) program js. Saat itu saya
mengetes hafalan calon santri. Beliau sebutkan hafalan beliau sekian juz. Wah,
saya terkesima dengan nominalnya. Kemudian saya ujikan pada beliau beberapa
soal, dan memang banyak ketidaklancaran yang saya temui. Sangat banyak. Kalau
boleh jujur, semua soal yang saya ajukan perlu saya bantu. Sampai di soal
ketiga, saya tersenyum meakhiri ujian hafalannya. Batinku saat itu, ‘ini harus
dihafal ulang, nggak bisa kalau diajak terus nambah...’. Beliau lantas
menceritakan bahwa beliau mengikuti program hafalan di solo yang sebulan
hafalan sekian juz. Lalu beliau berharap bisa memperlancar hafalannya.
Saya memahami, barangkali ini
kekhawatiran yang dibayangkan umi. Jika hafalan sekedar hafalan. Jarang
dimurojaahi, dan sekalinya dimurojaahi, perlu ‘dihafal ulang’.
Usaha sejauh ini pun saya cari
lewat internet dan tanya2 pada kawan yang pernah mondok, satu daerah, atau
minimal kenal dengan kyainya.
Saya dengar muwajjih ustazah saya
dari al irsyad mondok untuk hafalan mutqin. Kakak saya (yang juga mondok di
krapyak selama 10tahun di pondok mahasiswi) juga meragukan saya bisa
menyelesaikan satu tahun. Musyrifah saya sendiri mondok di al multazam untuk rampung hafalan
sampai 3 tahun.
Jika orang2 sekaliber mereka
berpendapat demikian, saya menyimpulkan tiga hal yang harus saya putuskan. Pertama, untuk tidak terlalu berharap
bisa merampungkan hafalan selama satu tahun itu. Asal mutqin dan menjadi santri
baik, bagi saya sudah cukup. Gak banyak masalah, gak banyak neko-neko, dan gak
banyak perizinan. Sudah benar-benar cukup bagi saya. Kedua, tidak akan menyambi2 dengan agenda lain. Cukup fokuskan pada
menghafal dan tidak menganggap ini sebuah hal yang sepele lagi. Justru semakin
menyadari bahwa beban moralnya semakin tinggi (apalagi ditambah beban sarjana.
Hahaha *tawa hambar*). Dan ketiga,
untuk tidak menuntut banyak pada sistem, tetapi menuntut pada diri sendiri.
Karena paradigma saya (setidaknya dari kemarin) adalah ‘pondok’, ‘berprogram
tiga bulan –atau enam bulan, deh’ ‘ (anehnya malah nawar). Seolah dengan program seperti itu akan menjadi
status hafizh mu atau minimal multipikasi hafalanmu. Saya malah khawatir pada
tanggung jawab saya dalam hafalan tersebut, sebagaimana hafalan saya sekarang
yang timbul tenggelam terbawa arus memori lain.
Jujur saja, saya malu mengatakan
ini, tapi dulu sesederhana itulah saya bertekad untuk menghafal. Ternyata ada yang jauh lebih besar dari itu.
Jika ingin menghafal, jangan terlalu mengandalkan program2 itu, tetapi biarlah
waktu yang menjelaskan bagaimana kapasitas menghafal kita dan keberterimaan al
quran untuk bisa kita hafal. Jika memang bisa menyelesaikan satu tahun yang
mutqin, berarti kau menunjukkan pencapaian yang luar biasa. Jika memang
kemampuanmu sebatas menyelesaikan beberapa juz, namun mutqin, tetap terimalah
itu dan jaga yang sudah kau hafal baik2. Adapun soal target mu S2 dan statusmu
yang belum selesai hafalan, bisa dikomunikasikan secara baik2 seiring dengan
waktu. Kalau mau pamit, pamitnya pun ketika sudah jelas kamu mendapatkan
beasiswa, supervisor, dan sudah jelas diterima
di universitas tertentu. Sehingga momen ketika kamu keluar pondok adalah
momen saat kamu sampai di rumah dan tinggal mempersiapkan visa, mengepack
barang2, dan menunggu waktu sambil memurojaahi hafalan secara mandiri.
Sederhana? Kalau dunia saat di
pondok dan momen2 saat aku ke nyambi ngirim berkas sih, aku belum lewati.
Bayanganku tidak sesederhana itu, tapi insyaAllah bisa dijalani, asal ingat
tujuan awal saja.
Indah? Sekali lagi, saya belum
menjalaninya, jadi belum berani berkomentar apa2 ^ ^”.
Apa aku sukses memberikan
pandangan kepada pembaca bahwa ini bukanlah hal yang sederhana? Bahwa ini
adalah hal besar yang butuh persiapannya ekstra. Pergulatan batinnya pun, juga
(ekstra) ...
Akhir kata, saya mau memberikan
pandangan tambahan, bahwa mondok itu bukan sesuatu yang kolot. Ketinggalan
zaman. Pondok tidak dihuni oleh mereka yang berkutat pada ukhrawinya dan ngaji
kitab. Tetapi tentang mereka yang hendak berfokus pada apa yang mereka pilih,
dan pilihan itu tidak banyak yang berani mengambil keputusan itu. Malah, kita
dilatih untuk bisa mensandwich pikiran kita (istilah bu Sri Mulyani dalam
pidator akhirnya di hotel Ritz Carlton) dalam upaya untuk membagi fokus pada
berbagai prioritas dan kepentingan. Kapan saat kita harus mengisi pikiran
dengan mencari2 informasi research lab
yang sesuai dengan riset kita. Saat perlu merevisi paper (dan ini mengingatkan
saya bahwa deadline revisinya 9 januari ini -___- belum rampung). Intens
menghubungi dosen meminta surat rekomendasi atau mencari supervisor. Saat
menargetkan diri memenuhi kualifikasi standar ielts. Atau mencari2 pondokan
yang sesuai kualifikasi orang tuamu dan memuroja’ahi hafalanmu sebagai bentuk
tanggung jawabmu pada orang tua ^ ^.