Hanna
#SayaPunyaTeman
Saya punya seorang teman akrab. 9
tahun lamanya kami menjalin persahabatan semenjak duduk di bangku SD kelas 1
hingga kelas 9 smp. Kami selalu berada satu kelas. Maklum, karena memang cuma segitulah jumlah kelas yang ada.
Beliau adalah yang tercerdas dan tercantik yang pernah saya kenal. Datang dari
kalangan aristokrat dan hidup dalam lingkungan cendekia bermartabat.
Saya punya seorang teman akrab. 9
tahun lamanya kami menjalin persahabatan, dan selama itu pula saya selalu ke
rumahnya. Hampir setiap hari, cuma untuk
menemani beliau ke kamar mandi rumah karena beliau tidak bisa menggunakan kamar
mandi sekolah. Rumahnya hanya beberapa meter dari sekolah kami. Lebih tepatnya,
loncat juga bisa.
Saya punya seorang teman akrab. 9
tahun lamanya kami menjalin persahabatan di masa kami masih labil. Emosi kami
belum matang seutuhnya, sehingga saya menikmati pergolakan persahabatan kami
yang penuh dinamika di masa remaja. Hampir setiap hari saya main dengan beliau.
Kami punya banyak kesamaan. Barangkali, karena kami tumbuh berkembang di
lingkungan yang sama pula. Kami suka menggambar kartun. Kami gemar baca komik –terutama
Naruto dan Conan (dan ajaibnya, dia punya all set kedua komik itu tertata rapih
di meja belajarnya). Kami juga senang menulis novel –yang mana, kalau saya baca
ulang sekarang, saya sadar betapa alay nya saya dulu. Saya masih menyimpan
pernak pernik yang menjadi saksi masa kecil kami berdua. Mulai dari surat
menyurat, notes yang dibuat selama jam pelajaran. Hadiah dari tukar kado –padahal
bukan saatnya kami ulang tahun. Luar biasa. Alay sekali (menepuk jidat).
Mari kita panggil dengan sebutan ‘Hanna’.
Awal mengenalnya sebagai teman sekelas, beliau terkenal cerdas. Namun,
sebagaimana orang cerdas lainnya, mereka juga manusia yang butuh berkomunikasi.
Beliau menjadi teman saya dan saya juga
sering mengikutinya. Di jam istirahat. Di jam olahraga. Di jam main2. Saya
senang berteman dengannya. Beliau adalah blasteran Arab. Ayahnya orang betawi
asli sementara ibunya datang dari Damaskus, Syiria. Beliau sering berkisah
tentang keluarganya seperti, bagaimana ayah dan ibu bisa dipertemukan, pada
umur berapa neneknya menikah, apa yang dilakukannya selama masa kecil di
Syiria, sampai soal tantenya memutuskan jaringan parabola indovision tapi masih
bisa akses disney channel di TVnya.
Belakangan saya baru tahu bahwa
kedua orang tuanya adalah orang hebat. Mungkin karena saya yang waktu itu masih
kecil sering menyapa kedua orang tua nya di rumah, tidak menyadari seberapa
terhormatnya keluarga itu. Ayahnya adalah seorang dosen –di banyak universitas
yang saya juga tidak hafal saking banyaknya. Sekarang menjadi tokoh penting
dalam MUI jakarta. Sementara ibunya adalah dosen LIPIA, sebuah perguruan tinggi
berlokasi di jakarta dengan sistem pendidikan
Saudi Arabia. Ayahnya punya sanad hadist sementara ibunya punya sanad Quran. Subhanallah.
Yang saya sadari setiap kali di rumahnya adalah keluarga itu memakai 3 bahasa; Indonesia,
Inggis, dan Arab. Maklum, keluarga besarnya tersebar di berbagai belahan dunia.
Kadang tiba2 dia hilang tanpa kabar di kala liburan untuk pergi keluar negeri
mengunjungi kerabat.
Semenjak tahun pertama di bangku
SD, beliau selalu menjadi rival saya soal hafalan Quran. Saya senang menyadari bahwa
di antara kelebihannya, setidaknya kami punya kesamaan. Beliau juga menjadi salah
satu alasan saya semangat menghafal. Ketika kami duduk di bangku kelas 3 SD,
kami sempat diminta membaca surat di depan Syekh Wahbah az Zuhaily. Ulama besar
itu datang ke Indonesia sebagai guru dari ayahnya yang merupakan pemimpin
lembaga tempatku bersekolah. Di tahun yang sama pula kami sempat diundang di
RRI. Wah, mengingat masa itu, saya ingin sekali memeluk diriku di masa lalu.
Yang jelas, saya mengenalnya
ketika kematangan emosi kami belum sempurna. Kami masih sering berantem,
iri2an, bawel, dan berisik. Beliau pernah marahan dengan saya hanya karena saya dekat dengan
kawan lain. Pun, saya juga pernah marah dengan beliau hanya karena beliau tidak
mengizinkan saya membaca komik naruto karena takut rusak. Namun, beliau juga
yang menjadi alasan saya bersemangat ke sekolah. Menulis. Menggambar. Setiap
kali saya menggambar manga, saya selalu saja teringat beliau. Masing2 dari kami
punya selera gambar yang berbeda.
Ada satu hal konyol. Kami bersahabat
di awal abad ke 20 ketika komunikasi lazimnya menggunakan telphon kabel. Nomor rumah
beliau adalah yang ke2 yang kuhafal setelah nomor telphon rumahku sendiri. Sampai
sekarang, saya masih menghafalnya sebagaimana saya hafal alamat rumah sendiri. Kami
sering telphonan karena saya juga sering sendiri di rumah. Beliau dengan
keramaian rumahnya senantiasa menerima telphon ku yang mencari2 teman ngobrol.
Percakapannya pun tak kalah konyol. Mulai dari bahas pelaku pembunuhan di komik
conan yang masih gantung, sampai saat aku kesusupan dan aku curhat lewat
telphon, satu keluarga di rumahnya ikut kerepotan kasih saran. May, kata
tanteku, kalo kesusupan di pake pinset. May, kalo mamaku nyaranin ... walah,
anak kecil ^^”
Di penghujung tahun 2009, kami
memutuskan jalan hidup masing2. Saya memilih sekolah di madrasah aliyah negeri,
sementara beliau di sekolah negeri. Sudah lama kami tidak saling berkomunikasi
semenjak saya ganti nomor hp karena hp yang lama hilang. Semenjak itu pula,
saya bertekad tidak akan mengganti nomor –sekalipun hp silih berganti hilang dan
rusak berkali2 pula. Terakhir, saya melihatnya di jakarta book fair. Saya melihatnya,
namun tak saling bertegur sapa. Saya tahu kabar terakhir bahwa ia lanjut kuliah
di lipia sementara saya kuliah di jogja. Ketika saya bermukim di sebuah pondok
di jogja, saya mengetahui kabarnya dari anak bu nyai pondokan saya yang juga
kuliah di lipia. Beliau bilang, kabar kawan saya ini baik2 saja. Beliau mumtaz
di semua pelajaran, namun di pertengahan periode beliau keluar dari lipia dan
lanjut di al hikmah. Saya menemukan kesulitan menghubungi beliau karena fb nya
sudah tak terdeteksi. Dia juga tidak terdaftar di grup line angkatan SD dan wa
angkatan SMP. Saya hanya menemukan instagram adiknya. Pun saya juga malu
menanyakan lewat adiknya. Saya ini teman macam apa....
Saya menulis ini hanya untuk mengekspresikan
suasana. Saya rindu beliau sementara beliau tidak bisa terjangkau. Jika ada kesempatan
bisa bertemu, barangkali saya hanya tertegun lama. Malu. Selama 7 tahun ini,
saya belum ada pencapaian apapun untuk bisa dibagikan. Gambar saya tidak lebih
baik dari dulu. Tulisan saya ya begini2 saja gak jauh beda dari SMP. Hafalan saya
juga tidak jauh dari progress di masa lalu. Bahasa arab saya sama sekali tidak
berkembang. Barangkali, rivalnya cukup sampai situ saja. Dunia kami sudah jauh
berbeda dan tidak ada yang bisa disampaikan dengan suasana riang satu
pemikiran. Akan ada banyak gap ketika
berkomunikasi. Beliau luar biasa dengan pengalaman beliau, dan saya begini saja
apa adanya.
Yang jelas, saya rindu beliau. Saya
menuliskan ini tidak berharap beliau akan membacanya. Toh, saya juga tidak
yakin beliau tahu kepemilikan web ini atau tidak. Tapi saya yakin, sekali
beliau membacanya, beliau sadar betul siapa tokoh yang saya ceritakan ini.