Emak Emak
Saya suka mengamati
perilaku manusia sekitar. Interaksi mereka unik, karena merepresentasikan
bahwa dunia yang sesungguhnya tidak hanya hitam putih seperti panggung
sandiwara. Nyatanya, penuh warna dan ragam yang tidak akan pernah habis
diceritakan dalam ragam buah karya maupun layar kaca. Dalam setiap tindakan, ucapan,
dan ekspresi. Mereka membawa sepaket logika hasil dari proses pemikiran mereka.
Meski kadang, ada juga yang bertindak nggak pake mikir. Itu pun, masih bisa diterka.
Dalam kesempatan
saya tinggal cukup lama di rumah –setelah lama merantau dan kini kembali lagi
ke haribaan. Qodarullah, saya kembali
dipertemukan dengan komunitas ini. Mereka itu ibarat pleistosen di padang gurun.
Eksistensi mereka nyata di antara pesatnya westernisasi kota-kota besar. Eksis
–bahkan sangat eksis. Tidak (mau) peduli arus. Tetap bertahan dengan kuasa dan
andil mereka. Bahkan, konon katanya pejabat-pejabat pemerintah yang berkuasa
pun pangling, CEO perusahaan-peruahaan multinasional, maupun para kaum
terpelajar lulusan luar sana paling takut jika harus berurusan dengan spesies
ini. Karena kabarnya sepuh mereka pun juga bagian dari komunitas ini. Mereka
adalah generasi X. Merekalah, yang dengan bangga kusebut : emak-emak.
Jika harus ditanya,
‘apa yang paling nyebelin dari
Jakarta?’ Mereka bisa saja menjawab dengan alasan klasik yang menjadi jargon di
tiap 5tahunan pilkada: macet dan banjir. Namun, kawan. Percayalah. Ada hal yang
jauh lebih krusial daripada kedua itu. Pertama
adalah pengendara mobil yang masih hijau dan berkendara di tengah jalan.
Umumnya laju mereka tanpa arah, memblokir jalan, dan yang lebih menyebalkan
adalah karena sengaja melambatkan kecepatan. Kedua adalah emak-emak yang naik motor. Bukan hanya menyebalkan,
tetapi juga luar biasa berbahaya. Mereka berada di tengah jalan. Memblokir
motor –bahkan kadang juga mobil dan pejalan kaki tanpa pandang bulu. Mereka
melaju tanpa indikasi lampu sen. Tiba-tiba saja belok tanpa tahu rambu. Dan
yang lebih mengerikan dari itu semua adalah : mereka tidak pernah (dan tidak
akan) mau disalahkan. Maka, jangan harap untuk mendapatkan reimburse dari
kecelakaan yang secara jelas terlihat siapa korbannya dan siapa yang salah.
Sekonyong-konyong engkau ngotot, tetap saja kita tahu siapa yang akan menang.
Maka untuk poin kedua ini, tidak akan dapat terselesaikan dalam debat cagub
sekalipun.
***