/Dua Ibu/
Ada dua konotasi saat kita
menyebutkan ibu.
Satu, adalah orang yang
melahirkan dan memberimu kesempatan untuk hidup secara layak. Dua, adalah
mereka yang membekalimu seperangkat properti kehidupan tempatmu bisa bercermin
tentang akhlak.
Aku mendapatkan kedua hal tersebut
dari ibu pertama.
Beliau adalah semesta kehidupan
tempatku berlabuh di pangkuannya. Pada kehidupan dinamis kota metropolis yang
serba hedon dan skeptis, Beliau adalah matahari bagiku. Aku ingat betul
belaiannya yang dengan lembut menyisir rambutku. Senyum lelahnya setiap kali
pulang mengajar dari kampus. Aku terkenang masa dimana beliau berdiri di podium
mempresentasikan penelitian beliau. Aku berada di barisan terdepan, duduk
tersenyum membesarkan jiwanya. Aku hafal betul tartil Beliau senantiasa
mengiringi tidur malamku. Atau ceramah Beliau di pagi hari menjelang mengisi
kajian di majelis ilmu. Aku duduk menyimak dengan baik, seolah tahu –meski
hanya memberikan anggukan atau senyuman.
Sungguh. Beliau adalah matahari
bagiku.
Tidak pernah terpikir bagiku
untuk mencitrakan sosok Ibu sekaliber Beliau. Di zaman seperti ini, terlahir
dari keluarga seperti ini saja sudah merupakan karunia luar biasa. Karenanya,
belum pernah terpikir sedikitpun bagiku untuk mencari sosok ‘ibu’ lainnya.
Ini hanya segaris perspektif dari
santri yang belum mumpuni, namun mulai terbuka hatinya untuk ta’dzhim pada
guru.
Bu nyai adalah sosok yang qowy.
Beliau pendidik dari kalangan terdidik tradisionalis. Dari gaya pengajarannya.
Orasinya mengisi kelas. Totalitasnya dalam setiap kegiatan. Beliau pernah
pulang ke pondok jam 2 pagi mengantar rombongan tamu dan bangun tidur jam 3
untuk membangunkan shalat tahajjud. Perfeksionisnya hingga menyambut majelis
kajian hingga memperhatikan standar kerapihan susunan sandal hingga motor.
Mengajarkan pada kami cara melipat sajadah, atau membersihkan kompor. Untuk
bisa senantiasa tersenyum dan ikhlas. Menginternalisasi rasa kesyukuran dalam
setiap peristiwa kehidupan.
Beliau adalah pengasuh asrama tempatku bermukim sekarang.
Darush Shalihat.
Ada banyak cerita di sini. Ini
bukan tentang euforia hidup, tapi pada proses menuju sholihah. Tentang bagaimana
sekelompok mahasiswa menjadi generasi terdidik yang berakhlak. Kurikulum hidup
kami pun membahas pada pusara kehidupan. Bagaimana etika pada orang yang lebih
tua, adab menuntut ilmu, fiqh kehidupan, hingga kode etik menjadi ibunda para
ulama. Terlalu banyak cerita untuk dikisahkan di sini.
Ya. Terlalu banyak, ya.
Barangkali, cerita ini hanya segaris kisah hidupku yang bersinggungan dengan Beliau. Pada caranya berbicara, pada senyum sumringahnya, pada perkataannya yang menghujam siapapun untuk segera berbenah diri. Beliau adalah sosok yang akan menjadikan seseorang merasa istimewa di matanya. Begitu istimewa sehingga aku mencoba berproses untuk lebih menta'dzhimkan diri padanya.