Mabat dan Retorikanya (H+20bulan KKN)
#BukanNegeriLaskarPelangi
Jakarta, 03 Januari
2017.
Ada beberapa momen
dalam hidup yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia harus dijemput dengan
sebuah usaha. Ia ada sebagai antitesis dari beragam konflik yang muncul di
sekitarmu. Ia merupakan buah dari kontemplasi dari para pejuang.
Sudah 20 bulan
berlalu semenjak kali terakhir kami kontak secara fisik dengan penduduk Mabat.
Semenjak itu pula tautan kami tak lebih dari sekedar suara dalam deringan
handphone tiap sabtu malam atau postingan foto di grup Whatsapp ‘keluarga
Mabat’. Kadang kala, pejabat Desa Mabat juga datang ke Jawa dan menyempatkan
diri ke Jogja untuk menyapa kawan lama yang sudah tersebar sebagai sarjana di
penjuru pulau Jawa dan Sumatera. Mereka datang untuk mengurus berbagai hal,
mulai dari anaknya yang merantau mencari ilmu ke tanah Jawa, mengurus
perdagangan sahang, hingga mengikuti agenda ibu2 PKK.
Kali ini, tiga
orang pejabat desa yang terdiri dari kepala desa, Humas PT Timah, dan DP Mabat
datang ke Jakarta untuk sebuah misi suci: mempertahankan hak tanah dari
masyarakat sipil atas tuntutan perusahaan.
Bicara mengenai hal
ini, saya perlu mengulas ragam konflik di tanah Bangka dalam perspektif saya
yang masih hijau.
***
Saya terbangun dari
keberangkatan unit BBL-01 ketika kami sudah sampai di langit pulau Bangka.
Jarak dari Jakarta ke Bangka –tepatnya Pangkal Pinang terpaut satu jam
perjalanan. Langit siang itu masih cerah ketika matahari tepat di titik
alzimuth. Meskipun posisi duduk saya dua kursi jauhnya dari jendela pesawat,
saya bisa melihat dengan jelas hamparan laut tanpa batas. Semakin lama, beralih
menjadi teritori daratan. Tapi itu bukan daratan biasa.
Saya melihat ada
banyak lubang-lubang besar. Barangkali, itu yang namanya tanah bekas galian
timah. Seindah apapun pantai putihnya yang tergerus ombak pasang, namun
lubang-lubang itu tetap mengusik perhatian. Ketika saya dikenalkan pada
masyarakat lokal, mereka menyebutnya dengan istilah kolong.
Pandangan itu
mengusik pikiran kami, pendatang baru yang pertama kali melihatnya. Namun,
tertutupi begitu saja sesampainya kami di bandara tujuan. Kami disibuki
mengantri di wilayah transfer barang untuk mengambil kargo kami. Kormanit kami
sudah menginstruksikan bahwa koper kami perlu diberi pita untuk melabeli kepemilikan
unit secara keseluruhan.
Kami dijemput
dengan tiga bus besar seukuran kopaja. Ada tiga unit BBL yang bertujuan ke Bangka
saat itu. Tiga bus berangkat beriringan menuju sebuah wisma Bangka dengan
arsitektur klasik. Selama tiga hari dua malam kami bermukim di sana, hari
keempat kami kembali di jemput dua buah mobil yang mengantarkan kami ke desa
tujuan. Saat itu juga, tiga unit KKN berpisah sesuai dengan tempat
kontribusinya masing-masing.
Di antara desa
lainnya, desa Mabat ini posisinya cukup unik. Spektrum bahasa penduduk lokal
merepresentasikan kekayaan budaya masyarakat setempat dengan keunikannya
tersendiri. Setiap desa punya bahasa khas dan pemandangan yang khas. Selama
satu jam perjalanan, ada setidaknya 6 desa yang kami lewati hingga kami sampai
di desa tujuan. Mereka terkoneksi dengan
satu jalan, sementara kebon (lebih mirip hutan) adalah satu2nya yang memisahkan
antar desa. Jalannya pun lurus, hampa, dan sepi. Beberapa kali saya melewati
jalanan ini mengendarai motor, saya nyaris tidur di tengah jalan saking
sepinya.
Pemandangan itu
kembali kami amati di sepanjang pengamatan. Kolong-kolong yang dicitrakan dalam
altitude ribuan meter di atas pesawat semakin nyata ketika kami melewatinya dalam jarak beberapa
meter dari bus. Lobang itu menganga besar, terisi oleh air berwarna biru. Tanpa
batas pengaman, tanpa apapun, dibiarkan menganga begitu saja. Saya bertanya-tanya
dalam hati, seberapa dalam lubang itu digali. Dilihat dari pemandangan di
pesawat tadi, jumlahnya bukan hanya puluhan. Mungkin ratusan. Bisa jadi lebih
dari itu jika dikalkulasikan dengan seluruh pulau Bangka.
Bangka memang
merupakan pulau yang eksotis dengan beragam kekayaan. Diantara kekayaan itu,
timah menjadi hal yang mengundang minat investor untuk menanam investasi di
sana. Setelah perbukitan bekas tanah galian yang menggunung, kolong itu
dibiarkan begitu saja. Bahkan, kami melihat pemandangan di satu desa bahwa
belakang rumah mereka sudah berhadapan dengan kolong. Setelah dilegitimasi
bahwa kekayaan timah bisa digali bukan hanya oleh perusahaan kapitalis namun
juga masyarakat lokal, berbondong2 penduduk beralih profesi dari masyarakat
maritim berubah menjadi penggali timah. Itu sebabnya mereka bekerja mengeruk
timah di sepanjang teritori Bangka yang ada.
Bukan hanya timah,
ada juga perusahaan sawit. Nampaknya tangan2 investor itu jeli memandang kekayaan alam sebagai potensi yang besar untuk menanam saham. Ratusan hektar
tanah warga lokal dialihkan menjadi kepemilikan perusahaan. Sebagaimana sawit
membutuhkan banyak air untuk tumbuh, hal itu menyebabkan desa-desa sekitar
dihadapi fenomena tahunan: banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim
kemarau. Ini cerita tentang banjir setinggi lutut di tengah bulan Desember dan
kemarau yang menguras habis Ae Mabet di penghujung bulan Agustus.
Paradoksnya muncul
ketika kami sudah memasuki wilayah Mabat. Fokus kami teralihkan semenjak kami
melewati jembatan desa Mabat yang sedang dalam proses pembangunan. Itu adalah
pemandangan sungai yang berada tepat di pinggir jalan. Kami dihadapi oleh warga
desa yang berteriak menyahut kami dengan pedenya ketika mereka sedang mandi dan
mencuci. Tanpa sadar, kaum hawa teriak. Tidak kuasa memandang dua bulan masa
depan mereka akan dihadapi oleh situasi seperti itu. Saya menepuk jidat saja.
Saya jadi ingat
satu malam kami bersilaturrahim di rumah bang Zakir. Harus saya akui, rumah
beliau adalah yang terunik di antara rumah warga desa lainnya seantero Mabat.
Pasalnya, rumahnya masih asli berdiding kayu dan posisinya lebih tinggi satu
lantai dengan bermodalkan pilar-pilar kokoh yang tertambat di tanah. Beliau
menceritakan anekdot masyarakat Mabat di masa lalu dalam klausul penuh ironi. Beliau juga mengaku bahwa keboh di halaman
belakang rumahnya dulu masih banyak rusa berkeliaran mencari makanan. Sekarang,
populasinya sudah langka karena tergerus perkembangan perusahaan kapitalis yang
berekspansi di bawah yuridikasi hukum tanpa etika.
2 minggu yang lalu,
kami mendapatkan kabar kehadiran pejabat desa itu ke tanah Jawa lagi. Rupanya,
mereka datang untuk mengurus pengadilan sengketa tanah antara pihak perusahaan
dan pihak desa. Tanah warga lokal sudah banyak yang terjual untuk keperluan PT
dalam menanam kelapa sawit. Perkebunan sawit menjadi alasan utama krisis air
desa Mabat di musim kemarau dan banjirnya desa saat musim hujan. Eksploitasi
tanah secara berangsur-angsur berpotensi memperkeruh kualitas hidup desa penuh
euforia ini.
Saya yakin ini
bukan hanya terjadi di Bangka. Pada beberapa kawan saya yang sudah berjumpa ke
Papua ataupun Kalimantan, hal yang sama rupanya juga terjadi. Hanya saja,
mereka menceritakan dalam ragam yang berbeda. Beliau dengan kapasitas beliau
sebagai masyarakat lokal maupun analis sosial. Dan saya dengan kapasitas saya
sebagai mahasiswa yang numpang tinggal di sini.
...