23 Mei 2017

Mabat dan Retorikanya (H+20bulan KKN)

#BukanNegeriLaskarPelangi

Jakarta, 03 Januari 2017.

Ada beberapa momen dalam hidup yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia harus dijemput dengan sebuah usaha. Ia ada sebagai antitesis dari beragam konflik yang muncul di sekitarmu. Ia merupakan buah dari kontemplasi dari para pejuang.

Sudah 20 bulan berlalu semenjak kali terakhir kami kontak secara fisik dengan penduduk Mabat. Semenjak itu pula tautan kami tak lebih dari sekedar suara dalam deringan handphone tiap sabtu malam atau postingan foto di grup Whatsapp ‘keluarga Mabat’. Kadang kala, pejabat Desa Mabat juga datang ke Jawa dan menyempatkan diri ke Jogja untuk menyapa kawan lama yang sudah tersebar sebagai sarjana di penjuru pulau Jawa dan Sumatera. Mereka datang untuk mengurus berbagai hal, mulai dari anaknya yang merantau mencari ilmu ke tanah Jawa, mengurus perdagangan sahang, hingga mengikuti agenda ibu2 PKK.

Kali ini, tiga orang pejabat desa yang terdiri dari kepala desa, Humas PT Timah, dan DP Mabat datang ke Jakarta untuk sebuah misi suci: mempertahankan hak tanah dari masyarakat sipil atas tuntutan perusahaan.

Bicara mengenai hal ini, saya perlu mengulas ragam konflik di tanah Bangka dalam perspektif saya yang masih hijau.

***

Saya terbangun dari keberangkatan unit BBL-01 ketika kami sudah sampai di langit pulau Bangka. Jarak dari Jakarta ke Bangka –tepatnya Pangkal Pinang terpaut satu jam perjalanan. Langit siang itu masih cerah ketika matahari tepat di titik alzimuth. Meskipun posisi duduk saya dua kursi jauhnya dari jendela pesawat, saya bisa melihat dengan jelas hamparan laut tanpa batas. Semakin lama, beralih menjadi teritori daratan. Tapi itu bukan daratan biasa.

Saya melihat ada banyak lubang-lubang besar. Barangkali, itu yang namanya tanah bekas galian timah. Seindah apapun pantai putihnya yang tergerus ombak pasang, namun lubang-lubang itu tetap mengusik perhatian. Ketika saya dikenalkan pada masyarakat lokal, mereka menyebutnya dengan istilah kolong.

Pandangan itu mengusik pikiran kami, pendatang baru yang pertama kali melihatnya. Namun, tertutupi begitu saja sesampainya kami di bandara tujuan. Kami disibuki mengantri di wilayah transfer barang untuk mengambil kargo kami. Kormanit kami sudah menginstruksikan bahwa koper kami perlu diberi pita untuk melabeli kepemilikan unit secara keseluruhan.

Kami dijemput dengan tiga bus besar seukuran kopaja. Ada tiga unit BBL yang bertujuan ke Bangka saat itu. Tiga bus berangkat beriringan menuju sebuah wisma Bangka dengan arsitektur klasik. Selama tiga hari dua malam kami bermukim di sana, hari keempat kami kembali di jemput dua buah mobil yang mengantarkan kami ke desa tujuan. Saat itu juga, tiga unit KKN berpisah sesuai dengan tempat kontribusinya masing-masing.

Di antara desa lainnya, desa Mabat ini posisinya cukup unik. Spektrum bahasa penduduk lokal merepresentasikan kekayaan budaya masyarakat setempat dengan keunikannya tersendiri. Setiap desa punya bahasa khas dan pemandangan yang khas. Selama satu jam perjalanan, ada setidaknya 6 desa yang kami lewati hingga kami sampai di desa tujuan.  Mereka terkoneksi dengan satu jalan, sementara kebon (lebih mirip hutan) adalah satu2nya yang memisahkan antar desa. Jalannya pun lurus, hampa, dan sepi. Beberapa kali saya melewati jalanan ini mengendarai motor, saya nyaris tidur di tengah jalan saking sepinya.

Pemandangan itu kembali kami amati di sepanjang pengamatan. Kolong-kolong yang dicitrakan dalam altitude ribuan meter di atas pesawat semakin nyata  ketika kami melewatinya dalam jarak beberapa meter dari bus. Lobang itu menganga besar, terisi oleh air berwarna biru. Tanpa batas pengaman, tanpa apapun, dibiarkan menganga begitu saja. Saya bertanya-tanya dalam hati, seberapa dalam lubang itu digali. Dilihat dari pemandangan di pesawat tadi, jumlahnya bukan hanya puluhan. Mungkin ratusan. Bisa jadi lebih dari itu jika dikalkulasikan dengan seluruh pulau Bangka.

Bangka memang merupakan pulau yang eksotis dengan beragam kekayaan. Diantara kekayaan itu, timah menjadi hal yang mengundang minat investor untuk menanam investasi di sana. Setelah perbukitan bekas tanah galian yang menggunung, kolong itu dibiarkan begitu saja. Bahkan, kami melihat pemandangan di satu desa bahwa belakang rumah mereka sudah berhadapan dengan kolong. Setelah dilegitimasi bahwa kekayaan timah bisa digali bukan hanya oleh perusahaan kapitalis namun juga masyarakat lokal, berbondong2 penduduk beralih profesi dari masyarakat maritim berubah menjadi penggali timah. Itu sebabnya mereka bekerja mengeruk timah di sepanjang teritori Bangka yang ada.

Bukan hanya timah, ada juga perusahaan sawit. Nampaknya tangan2 investor itu jeli memandang kekayaan alam sebagai potensi yang besar untuk menanam saham. Ratusan hektar tanah warga lokal dialihkan menjadi kepemilikan perusahaan. Sebagaimana sawit membutuhkan banyak air untuk tumbuh, hal itu menyebabkan desa-desa sekitar dihadapi fenomena tahunan: banjir saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Ini cerita tentang banjir setinggi lutut di tengah bulan Desember dan kemarau yang menguras habis Ae Mabet di penghujung bulan Agustus.

Paradoksnya muncul ketika kami sudah memasuki wilayah Mabat. Fokus kami teralihkan semenjak kami melewati jembatan desa Mabat yang sedang dalam proses pembangunan. Itu adalah pemandangan sungai yang berada tepat di pinggir jalan. Kami dihadapi oleh warga desa yang berteriak menyahut kami dengan pedenya ketika mereka sedang mandi dan mencuci. Tanpa sadar, kaum hawa teriak. Tidak kuasa memandang dua bulan masa depan mereka akan dihadapi oleh situasi seperti itu. Saya menepuk jidat saja.

Saya jadi ingat satu malam kami bersilaturrahim di rumah bang Zakir. Harus saya akui, rumah beliau adalah yang terunik di antara rumah warga desa lainnya seantero Mabat. Pasalnya, rumahnya masih asli berdiding kayu dan posisinya lebih tinggi satu lantai dengan bermodalkan pilar-pilar kokoh yang tertambat di tanah. Beliau menceritakan anekdot masyarakat Mabat di masa lalu dalam klausul penuh ironi.  Beliau juga mengaku bahwa keboh di halaman belakang rumahnya dulu masih banyak rusa berkeliaran mencari makanan. Sekarang, populasinya sudah langka karena tergerus perkembangan perusahaan kapitalis yang berekspansi di bawah yuridikasi hukum tanpa etika.

2 minggu yang lalu, kami mendapatkan kabar kehadiran pejabat desa itu ke tanah Jawa lagi. Rupanya, mereka datang untuk mengurus pengadilan sengketa tanah antara pihak perusahaan dan pihak desa. Tanah warga lokal sudah banyak yang terjual untuk keperluan PT dalam menanam kelapa sawit. Perkebunan sawit menjadi alasan utama krisis air desa Mabat di musim kemarau dan banjirnya desa saat musim hujan. Eksploitasi tanah secara berangsur-angsur berpotensi memperkeruh kualitas hidup desa penuh euforia ini.


Saya yakin ini bukan hanya terjadi di Bangka. Pada beberapa kawan saya yang sudah berjumpa ke Papua ataupun Kalimantan, hal yang sama rupanya juga terjadi. Hanya saja, mereka menceritakan dalam ragam yang berbeda. Beliau dengan kapasitas beliau sebagai masyarakat lokal maupun analis sosial. Dan saya dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa yang numpang tinggal di sini.

...

Islam