Cerita Masa Depan
Senandung
lagu sinden terdengar, meliuk mengalun indah mengiringi proses
pelaminan. Pasangan muda itu duduk berdua dalam kursi pelaminan yang
disoroti banyak mata dalam penjuru pandangan. Memulai prosesi syahdu
dalam suasana khidmat adat Jawa.
Mereka
duduk seragam. Berbalut batik jawa berwarna merah bermotifkan
kembang. Sang pria menganggalkan keris pada sarung yang
diselempangkan pada sepanjang lingkar pinggang. Memakai tuksedo hitam
licin ala Jawa. Sang pengantin wanita lebih heboh lagi. Pipinya
tampak merona dibalut make up tebal dan rambutnya dihisasi
bunga melati menggantung seperti kuncir rambut, dipoles dengan
konde besar. Menata diri seelok mungkin di depan suami pilihan.
Sambil
beranjak bersamaan, beriringan melangkah menuju wali mereka.
Membungkukkan diri, ta’dzhim di depan sesepuh. Sesekali
memejamkan matanya, sang perempuan merunduk khidmat. Dibisikilah
mereka wasiat sebelum membangun sebuah peradaban baru. Wasiat sesepuh
untuk pasangan yang masih hijau itu.
Lelaki
tua itu adalah ayah dari sang istri. Beliau duduk bersahaja. Tubuhnya
tegak dan tegang, berlama-lama menatap nanar sosok ayu berbalut
kebaya merah yang duduk bersimpuh di hadapannya. Tangan lembutnya
memegang sang ayah. Sementara sang ayah mengusap-usap kepala anaknya,
seolah itu kali terakhir ia masih diberi kesempatan memiliki gadis
kecil tempatnya menaruh semesta dan kehidupan.
Betapa
mudahnya seseorang yang kau kenal bisa lepas dari hidupmu setelah
melalui ikatan suci. Meninggalkanmu dan memori tentang masa kecilnya
denganmu. Saat kau sedih, marah, tertawa. Tawamu adalah
kebahagiaannya. Tangismu adalah kesedihannya. Hidupmu adalah
jiwanya.Tentulah ada secuil pikirannya terbersit penyesalan melepasmu
untuk diberikan kepada seseorang yang sudah kau pilih. Ia yang telah
merebutmu. Membawamu pergi setelah lelah kau didik hingga dewasa.
Tidak.
Atau barangkali tidak. Kulihat seksama. Air matanya memang
menggenang, matanya memang memerah, atau isaknya memang terdengar
samar. Tapi wajahnya cerah, tersenyum. Itu adalah air mata
kebahagiaan, kawan. Itu adalah ungkapan dari perasaan lega dan
keikhlasan menitipkanmu pada orang yang engkau yakini sebagai pilihan
terbaikmu. Begitu lega rasanya sampai air mata itu mati-matian ia
tahan dan senyum itu mati-matian ia kiprahkan. Seolah mengatakan,
“berbahagialah sana... Kebahagiaanku ada dalam setiap
kebahagiaanmu,...”
Tanpa sadar terbawa suasana. Lama aku memandang mereka lekat-lekat. Bukan antara sang Kekasih baru, tapi pada putri dan rajanya. pada dialektika mereka dan menerka memori pada linangan air mata yag tertuang.
Barangkali, akan tiba masanya kau adalah
dia, dan sosok tegar itu tak lain adalah orang yang kau kan kenal betul
selalu tampak heroik dalam perspektifmu. Barangkali, kau akan melihatnya terharu biru.
‘Kapan’ itu, ada masanya. ‘Siapa’
itu, biarlah Paduka yang mengurus. Paduka adalah orang
yang sangat bijaksana untuk menentukan nasib hambaNya.
Tapi aku tahu satu
hal. Jika saat itu tiba, barangkali aku tak akan mampu melihat sosok
di hadapanku untuk kali apapun itu.