11 Sep 2014

Jangan Percaya Fisika




Ilmu fisika itu berangkat dari pemahaman segala pola yang ada di alam semesta. Pada keyakinan bahwa segala hal yang terjadi dapat direpresentasikan secara matematis. Dapat dikaji. Pokok kajiannya pun berangkat dari hal sederhana. Mengamati lingkungan sekitar. Sehingga pada dasarnya, objek pembelajarannya sama. Realitasnya sama. Yang berbeda dari kurun waktu ke waktu adalah bagaimana manusia memberikan sebuah konsep pemikiran yang berbeda.

Pada permulaannya, dogma masyarakat berada dalam fase mitologi. Munculnya berbagai kisah dalam mitologi Yunani memiliki sebuah alasan kenapa mitos tersebut kemudian muncul di tengah masyarakat. Sehingga kondisi masyarakatnya mencoba membuat sebuah alasan logis dalam terciptanya fenomena tersebut. Parameter logisnya demikian.

Tokoh Aristoteles muncul membangun lapangan logika. Pasca peradaban filusuf aristoteles, tokoh fisikawan lainnya muncul, memadukan filsafat dalam fisika. Membawa manusia pada serangkaian kerangka berpikir yang logis.

Konsep fisis pada akhirnya disajikan dalam dunia nyata. Hingga kemudian berkembang terinternalisasi pada kehidupan sehari-hari. Kenapa saya katakan  terinternalisasi?

Jikadiajukan sebuah pertanyaan, “mengapa batu lebih dulu jatuh ke bawah dibandingkan dengan burung?”. Wajar kemudian, jika orang dahulu akan menjawab bahwa kecenderungan batu pada unsur bumi lebih besar dibandingkan dengan burung yang punya kecenderungan unsur udara. Sebaliknya, masyarakat sekarang akan lebih memilih jawaban “karena ada gaya gravitasi”

Sederhananya begini. Untuk apa saya menjelaskan panjang lebar sejarah dan fase dalam perkembangan logika manusia dalam membentuk sebuah pola pikir.

Sebagaimana ilmu fisika mengulas berbagai fenomena –mikro hingga makroskopis pada berbagai pola yang terjadi di alam semesta. Tidak ada yang tidak bisa dijelaskan dengan fisika, jika kita perlu berkata naïf. Segala hal mampu dijelaskan dengan fisika.

Jika sekarang kita berani mengatakan barang jatuh karena unsur bumi yang lebih condong ketimbang unsur udara, kita lebih memilih alasan bahwa karenaadanya gaya gravitasi, dan itu masuk dalam nalar kita. Kita mampu menjelaskan fenomenapada pesawat terbang karena beda kecepatan dan tekanan antara penambang atas dan penampang bawah pada sayap pesawat terbang, dan itu masuk dalam nalar kita.

Sampai pada tataran kita menyelami lebih lama pada dunia fisika, boleh jadi kemudian kita berkesimpulan bahwa tidak ada yang tak mampu dijelaskan oleh fisika, termasuk kebenaran yang hakiki. Hal ini pula yang kemudian dilansir bahwa saintis kemudian lebih memilih atheis ketimbang beragama. Karena keyakinan mereka bahwa segala hal mampu dijeaskan dengan ilmu pengetahuan.

Jika kita disuguhkan fakta, mana yang akan lebih kita percayai. Apakah karena suatu kekuatan mistis yang menyebabkan benda jatuh ke bawah, ataukah karena adanya percepatan gravitasi? Bagaimana planet yang sedemikian besarnya mampu bergerak secara teratur mengitar matahari dalam sistem tata surya? Akibat dari gravitasi yang menyebabkan kelengkungan ruang-waktu dalam alam semesta, atau karena kehendak Tuhan yang menciptakannya sedemikian rupa sehingga mereka bergerak dalam harmonisasi dan keteraturan yang luar biasa indah?

Mereka lebih memilih berseru bahwa segala hal mampu dijelaskan dengan ilmu pengetahuan! Tak perlu campur tangan Tuhan dalam proses penciptaan alam semesta.

Analoginya begini.
Dalam fisika, terdapat postulat. Atau dalam bahasa matematikanya disebut conjecture. Suatu ketentuan yang jika ketentuan itu berlaku, maka berjalanlah hukum tersebut. Semisal pada relativitas umum, postulatnya adalah bahwa cahaya dengan kecepatan sebesar 3x10^8 m/s adalah kecepatan tercepat. Jika tidak berlaku, seluruh rangkaian pembahasaan dalam postulat berikutnya tidak akan berlaku. Begitu cara kerjanya.

Sama dengan konsep dalam keTuhanan. Bahwa dalam beragama, terdapat rukun Iman. Bahwa selayaknya kita mengimani keberadaan Allah sebagai Tuhan, nabi Muhammad sebagai Rasul utusan Allah.  Jika mengimaninya, Anda adalah seorang muslim.

Na’udzubillahi min dzalik.
Saya teringat dua ayat yang kemudian menjadi sangat esensial bagi setiap nawaytu saya dalam beribadah di jalan menuntut ilmu ini. Bahwa sekehendaknya, dalampergiliran siang dan malam, terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang berakal. Ini postulat kita. Termaktub dalam al-Quranul karim. Bahwa ketika Allah berkata inni jaa’ilun fil ardhi khalifah (menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi), kita diberikan sepaket amanah. Amanah akal untuk berpikir, jasmani untuk memimpin, dan ruhani untuk berdzikir (tafakkur dan dzikr [al-imran : 91]). Menjadikan setiap  perilaku alam semesta sebagai bahan observasi untuk dikaji dan difikirkan. Tafakkur.

Pertama.
Sekonyong-konyongnya kita berkata, “serangkaian proses belajar yang menguras usaha dan waktu. Berujung pada kesia-siaan belaka ika kemudian kita tetap berserah diri pada sesuatu yang Ghaib?”

Sama seperti rezeki berupa kesehatan.Setiap manusia sudah diatur hidup-matinya oleh Sang Pencipta. Sudah tertulis pula di lauhul mahfudz. Adalah kewajiban bagi kita menjaga kesehatan, baik jasmani maupun ruhani. Terus untuk apa, toh hidup mati tetap di tangan Tuhan?

Ini masalah usaha. mereka yang memang mau menjalani prosesnya, dalam bahasa Arabnya disebut ikhtiar. Nilai ikhtiarnya menjadi amalan tersindiri daripada orang yang enggan menjaga kesehatan sebagai nikmat. Berkah dari Tuhan. Karena saat tidak ada seorang pun yang beribadah pada Allah pun, Kanjengan tidak akan rugi! Jika suatu kaum kafir terhadap Allah, apakah kemudian akan ada kerugian pada diri Tuhan? Tidak! Yang Kuasa tidak akan rugi sedikitpun.

Kedua.
Bahwa hakikat manusia yang sesungguhnya adalah bertumpu pada suatu Dzat. Maka kesombongan manusia dalam mengatakan bahwa taka da segala sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam fisika, maka kembali pada hal esensial seorang manusia. Berlindung, bersandar. Kepada siapa? Mampukah sains memberikan jawabannya?

Pencapaian tertinggi dari akal dan kebenaran terdalam dari hati adalah pada Sesuatu Yang Mengatur. 

Islam