Jangan Percaya Fisika
Ilmu
fisika itu berangkat dari pemahaman segala pola yang ada di alam semesta. Pada
keyakinan bahwa segala hal yang terjadi dapat direpresentasikan secara
matematis. Dapat dikaji. Pokok
kajiannya pun berangkat dari hal sederhana. Mengamati lingkungan sekitar.
Sehingga pada dasarnya, objek pembelajarannya sama. Realitasnya sama. Yang
berbeda dari kurun waktu ke waktu adalah bagaimana manusia memberikan sebuah
konsep pemikiran yang berbeda.
Pada
permulaannya, dogma masyarakat berada dalam fase mitologi. Munculnya berbagai
kisah dalam mitologi Yunani memiliki sebuah alasan kenapa mitos tersebut
kemudian muncul di tengah masyarakat. Sehingga kondisi masyarakatnya mencoba
membuat sebuah alasan logis dalam terciptanya fenomena tersebut. Parameter
logisnya demikian.
Tokoh
Aristoteles muncul membangun lapangan logika. Pasca peradaban filusuf
aristoteles, tokoh fisikawan lainnya muncul, memadukan filsafat dalam fisika. Membawa
manusia pada serangkaian kerangka berpikir yang logis.
Konsep
fisis pada akhirnya disajikan dalam dunia nyata. Hingga kemudian berkembang terinternalisasi
pada kehidupan sehari-hari. Kenapa saya katakan terinternalisasi?
Jikadiajukan
sebuah pertanyaan, “mengapa batu lebih dulu jatuh ke bawah dibandingkan dengan
burung?”. Wajar kemudian, jika orang dahulu akan menjawab bahwa kecenderungan
batu pada unsur bumi lebih besar dibandingkan dengan burung yang punya
kecenderungan unsur udara. Sebaliknya, masyarakat sekarang akan lebih memilih
jawaban “karena ada gaya gravitasi”
Sederhananya
begini. Untuk apa saya menjelaskan panjang lebar sejarah dan fase dalam
perkembangan logika manusia dalam membentuk sebuah pola pikir.
Sebagaimana
ilmu fisika mengulas berbagai fenomena –mikro hingga makroskopis pada berbagai
pola yang terjadi di alam semesta. Tidak ada yang tidak bisa dijelaskan dengan
fisika, jika kita perlu berkata naïf. Segala hal mampu dijelaskan dengan
fisika.
Jika
sekarang kita berani mengatakan barang jatuh karena unsur bumi yang lebih
condong ketimbang unsur udara, kita lebih memilih alasan bahwa
karenaadanya gaya gravitasi, dan itu masuk dalam nalar kita. Kita mampu
menjelaskan fenomenapada pesawat terbang karena beda kecepatan dan tekanan
antara penambang atas dan penampang bawah pada sayap pesawat terbang, dan itu
masuk dalam nalar kita.
Sampai
pada tataran kita menyelami lebih lama pada dunia fisika, boleh jadi kemudian
kita berkesimpulan bahwa tidak ada yang tak mampu dijelaskan oleh fisika,
termasuk kebenaran yang hakiki. Hal
ini pula yang kemudian dilansir bahwa saintis kemudian lebih memilih atheis
ketimbang beragama. Karena keyakinan mereka bahwa segala hal mampu dijeaskan
dengan ilmu pengetahuan.
Jika
kita disuguhkan fakta, mana yang akan lebih kita percayai. Apakah karena suatu
kekuatan mistis yang menyebabkan benda jatuh ke bawah, ataukah karena adanya
percepatan gravitasi? Bagaimana
planet yang sedemikian besarnya mampu bergerak secara teratur mengitar matahari
dalam sistem tata surya? Akibat dari gravitasi yang menyebabkan kelengkungan
ruang-waktu dalam alam semesta, atau karena kehendak Tuhan yang menciptakannya
sedemikian rupa sehingga mereka bergerak dalam harmonisasi dan keteraturan yang
luar biasa indah?
Mereka
lebih memilih berseru bahwa segala hal mampu dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan! Tak perlu campur tangan Tuhan dalam proses penciptaan alam
semesta.
Analoginya
begini.
Dalam
fisika, terdapat postulat. Atau dalam bahasa matematikanya disebut conjecture.
Suatu ketentuan yang jika ketentuan itu berlaku, maka berjalanlah hukum
tersebut. Semisal pada relativitas umum, postulatnya adalah bahwa cahaya dengan
kecepatan sebesar 3x10^8 m/s adalah kecepatan tercepat. Jika tidak berlaku, seluruh rangkaian pembahasaan dalam postulat berikutnya tidak akan berlaku. Begitu cara kerjanya.
Sama
dengan konsep dalam keTuhanan. Bahwa dalam beragama, terdapat rukun Iman. Bahwa
selayaknya kita mengimani keberadaan Allah sebagai Tuhan, nabi Muhammad sebagai
Rasul utusan Allah. Jika mengimaninya,
Anda adalah seorang muslim.
Na’udzubillahi
min dzalik.
Saya
teringat dua ayat yang kemudian menjadi sangat esensial bagi setiap nawaytu saya
dalam beribadah di jalan menuntut ilmu ini. Bahwa sekehendaknya, dalampergiliran
siang dan malam, terdapat tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang
berakal. Ini postulat kita. Termaktub dalam al-Quranul karim. Bahwa
ketika Allah berkata inni jaa’ilun fil ardhi khalifah (menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi), kita diberikan sepaket amanah. Amanah
akal untuk berpikir, jasmani untuk memimpin, dan ruhani untuk berdzikir (tafakkur
dan dzikr [al-imran : 91]). Menjadikan setiap perilaku alam semesta sebagai bahan observasi
untuk dikaji dan difikirkan. Tafakkur.
Pertama.
Sekonyong-konyongnya
kita berkata, “serangkaian proses belajar yang menguras usaha dan waktu.
Berujung pada kesia-siaan belaka ika kemudian kita tetap berserah diri pada
sesuatu yang Ghaib?”
Sama
seperti rezeki berupa kesehatan.Setiap manusia sudah diatur hidup-matinya oleh
Sang Pencipta. Sudah tertulis pula di lauhul mahfudz. Adalah kewajiban
bagi kita menjaga kesehatan, baik jasmani maupun ruhani. Terus untuk
apa, toh hidup mati tetap di tangan Tuhan?
Ini
masalah usaha. mereka yang memang mau menjalani prosesnya, dalam bahasa Arabnya
disebut ikhtiar. Nilai ikhtiarnya menjadi amalan
tersindiri daripada orang yang enggan menjaga kesehatan sebagai nikmat.
Berkah dari Tuhan. Karena
saat tidak ada seorang pun yang beribadah pada Allah pun, Kanjengan tidak akan
rugi! Jika suatu kaum kafir terhadap Allah, apakah kemudian akan ada kerugian
pada diri Tuhan? Tidak! Yang Kuasa tidak akan rugi sedikitpun.
Kedua.
Bahwa
hakikat manusia yang sesungguhnya adalah bertumpu pada suatu Dzat. Maka
kesombongan manusia dalam mengatakan bahwa taka da segala sesuatu yang tak
bisa dijelaskan dalam fisika, maka kembali pada hal esensial seorang
manusia. Berlindung, bersandar. Kepada siapa? Mampukah sains memberikan
jawabannya?
Pencapaian
tertinggi dari akal dan kebenaran terdalam dari hati adalah pada Sesuatu Yang Mengatur.