Pertama
Tepat 02 Agustus 2017 pukul 11.14
wib, saya mendapatkan telphon dari seorang bernama Tieke Utama yang mengaku HR
advisor dari WRI Indonesia. Beliau memberikan klise formal dan mengatakan dalam kalimat efektif dan tone
profesional bahwa saya diterima dalam sebuah program pembinaan intensif satu
tahun menjadi peneliti muda di sebuah lembaga penelitian independen bernama WRI
Indonesia. Tulisan ini saya buat dengan harapan semoga bermanfaat untuk kawan2
lainnya yang memiliki keinginan sama dengan saya. Berkontribusi, meski pada
awalnya mempertanyakan kontribusi seperti apakah yang ingin diwujudkan?
Saya lulus dari Universitas
Pancasila cabang Bulaksumur pada November 2016. Beberapa bulan setelahnya,
berfokus merevisi publikasi paper penelitian tugas akhir dan belajar mandiri
bahasa Inggris untuk mengikuti tes TOEFL ITP. Selanjutnya, 2,5 bulan kemudian dihabiskan
untuk mempersiapkan real test ielts dengan belajar di Pare. Tepat 28 Maret 2017
adalah real test pertama (dan harapan saya juga yang terakhir) ielts di British
Council Jakarta. Selang setelah itu, saya menghabiskan satu bulan untuk
mempersiapkan diri dan segala berkas untuk aplikasi S2 dengan mendaftar
beasiswa dan mencari universitas. Jadi, sesungguhnya, baru terbersit pikiran untuk
mencari kerja pada bulan Mei 2017. Dan tepat saat itu pula saya mendapatkan
pengumuman informasi lowongan peneliti muda Wahana Riset Indonesia.
Sekilas mengenai WRI, sesungguhnya
merupakan kepanjangan dari World Resources Institute. Sebuah lembaga penelitian
independen yang berfokus pada riset sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap
kebijakan publik untuk mendukung terwujudnya lingkungan yang berkelanjutan. Lembaga
ini langsung bekerja sama dengan stakeholder
tertentu yang membutuhkan koordinasi terkait lima bidang penelitian;
lingkungan, energi, kehutanan, dan iklim. Basis nya di Washington DC dengan kantor
cabang yang menyebar di 5 negara, termasuk salah satunya Indonesia. Di Indonesia
sendiri, lembaga ini baru didirikan pada tahun 2014. Tergolong baru, memang.
Ketika saya melihat publikasinya, baru terbit 2 jurnal. Beberapa bulan
kemudian, saya lihat semakin produktif menghasilkan op-ad yang diposting di
website nya.
Setelah lama mencoba mengkaji
lembaga ini, saya tertarik untuk mendaftar program peneliti muda. Syarat administrasinya
membutuhkan banyak persiapan. Tidak seperti lowongan pekerjaan lainnya yang
saya daftarkan melalui ECC hanya sulap dalam sekali tekan. Berkas administrasi
yang dibutuhkan lebih mirip berkas untuk mendaftar beasiswa. List nya;
1. CV,
2. IPK
minimal 3,20,
3. Background
keilmuwan tidak dipermasalahkan, selama bisa relevan dan memberikan kontribusi dengan keilmuwannya,
4. Surat rekomendasi dari dosen /atasan kerja
(minimal 2). Bebas format. Saat itu, saya menggunakan referee report beasiswa
AAS tanpa mengubah redaksi dan formatnya sama sekali,
5. Contoh
publikasi atau tulisan –saya lampirkan proposal riset saya tentang nanomaterial
dalam sustainable technology,
6. Essay
topik bebas, berkaitan dengan pemahaman kita tentang sumber daya alam, energi,
lingkungan, iklim, dan lainnya serta kontribusi yang dapat diberikan WRI,
7. Freshgraduate
atau pengalaman kerja max 2 tahun,
8. Sertifikat
bahasa (TOEFL atau IELTS),
9. dan
cover letter.
Semua berkas tersebut menggunakan
bahasa inggris dan disubmit melalui official website wri yang terintegrasi
dengan wri pusat.
Saya pikir, secara administrasi
mereka secara tidak langsung telah mengintimidasi calon peneliti muda bahwa
program ini memang tidak main-main. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk
mempersiapkan berkas2 tersebut. Apalagi saya butuh waktu kontemplasi yang cukup
lama untuk membuat essay WRI. Beruntung saat itu saya telah mendaftar di AAS. (Sebenarnya,
saya juga tidak tahu harus berkomentar apa) Meskipun tidak lolos AAS 2018, paling
tidak berkas2 yang saya gunakan untuk apply AAS bisa saya manfaatkan untuk
apply di program peneliti muda ini. Termasuk surat rekomendasi dan proposal
riset yang sudah di acc dosen –dan sesungguhnya saya buat untuk apply salah
satu universitas di Australia setelah studi literatur jurnal2 hasil publikasi
lab yang bersangkutan sekitar satu bulan. Karena kebetulan lab yang
bersangkutan berfokus tentang sustainable technology dengan carbon capture.
Selang satu bulan setelahnya,
tepat 24 Juni 2017 saya mendapatkan telphon undangan interview face to face di
kantor WRI. Sejurus kemudian saya langsung menyetujui tanggal yang disediakan
dan mendapatkan kiriman email resmi undangan interview.
Secara jelas tertulis di sana
tanggal dan lokasi test. Lengkap beserta interviewer dan lama waktu interview.
Ada tiga orang nama yang tercantum: country director, research analyst dan monitoring
and evaluation menager. Ada rasa
menggelitik bagi saya untuk mengetahui background profile dari ketiga
interviewer. Luar biasa, kontribusi mereka di bidang penelitian membuat saya
merasa kecil sekali.
Kamis 26 Juni 2017pukul 11.00
tepatnya waktu saat saya datang untuk pertama kali di kantor WRI. Rupanya tidak
hanya saya, namun beberapa peserta lainnya yang hadir dengan jadwal dan
interviewer yang berbeda-beda pula. Ketika saya datang, saya diminta langsung
menuju lantai 7. Di sana saya disambut oleh seorang berparas jenaka yang bernama
mba Juju. Beliau research analyst baru di WRI dengan pencapaian riset
lapangannya yang berfokus di kehutanan.
Saat masuk ke ruang, saya
disambut dengan perkenalan singkat oleh dua orang yang saya kenal (dari foto)
sebagai pak Koni dan pak Ari. Pak Koni memberikan brief singkat tentang program-program
di WRI. Saya mengangguk, dan bersuara sampai ketika beliau mempersilahkan saya
memberikan perkenalan singkat.
Saya bukan jobseeker yang expert
sama sekali. Ini wawancara kerja kedua saya –setelah pengalaman wawancara
pertama yang benar2 gagal- serta wawancara pertama saya dengan bahasa Inggris.
Mendadak saya bernostalgia dengan suasana real test ielts –hanya saja kali ini
dihadapkan tiga interviewer dengan durasi 3kali lebih lama. Tapi paling tidak
saya sudah latihan untuk memberikan perkenalan diri yang singkat dan baik.
Mereka bertanya bergiliran.
Mereka berfokus pada CV dengan melihat track record penelitian –meskipun penelitiannya
sama sekali tidak wah. Sungguh. Karena saya punya beberapa pengalaman riset PKM
(di lab fisika komputasi) dan riset nanomaterial (di lab fisika material dan
LPPT), mereka tertarik menanyakan proyek riset tersebut. Mba Juju bertanya
padaku PKM, dan kukisahkan pengalaman saat membuat mikroskop digital portabel
proyek pkm kc. Dengan alokasi dana sekian, membutuhkan waktu berapa lama,
implikasinya untuk masyarakat, ketercapaian dengan tujuan akhir.
Mba Juju juga menanyakan soal kapasitas
dan kompetensi saya untuk riset dalam tim, bagaimana jika diajukan penelitian
yang tidak relevan dengan background sebelumnya, dan kenapa tertarik melakukan
penelitian. Barangkali ini memang pertanyaan yang umum untuk ditanyakan
peneliti lapangan. Tapi saya menjawab tanpa persiapan. Tanpa ide. Menjawab
persis seperti jawaban saya waktu test ielts. Panjang dan belibet, baru sampai
ke poinnya. Dan saya tahu betul, itu tidak bagus. Sekalipun sudah latihan 3
bulan ielts, dalam situasi nervous sekalipun, ilmu itu menguap begitu saja.
Beruntung mba Juju cukup sabar mendengar, memotong dengan sopan.
Sementara pak Ari bertanya soal
koordinasi saya dengan Dikti selama proyek PKM ini. Saya pun bingung. Bingung
karena saya membayangkan mereka melihat track record saya mengikuti PKM sebagai
suatu pengalaman yang sangat prestige, sementara dari kacamata anak ugm sendiri
–atau sebenarnya lebih tepatnya dari kacamata saya pribadi, pkm adalah perlombaan
tahunan biasa. Maka lolosnya proposal pkm sampai bisa didanai Dikti beberapa
kali pun juga wajar. Karena itu memang sudah mengakar sebagai kultur di antara
anak ugm sendiri (faktanya, saya bahkan sama sekali belum pernah berkesempatan
lolos pimnas). Saya jelaskanlah bahwa koordinasinya terbentuk dengan pengiriman
rutin laporan kinerja dan presentasi saat monev di akhir periode. Beliau
menanyakan kesulitan yang dihadapi selama koordinasi dengan dikti. Beliau juga
menanyakan soal publikasi terakhir saya, yakni riset nanomaterial. Beliau
meminta saya membayangkan jika harus menjelaskan dengan masyarakat lokal
tentang nanomaterial, apa yang akan saya lakukan. Pertanyaan yang membuat saya
perlu berpikir agak lama, sampai menjawab dengan pikiran pendek, ‘saya akan
menggunakan kata2 sederhana yang membuat mereka paham –tanpa harus menggunakan
istilah ilmiah.’
Berbeda dari keduanya, pak Koni
menanyakan padaku seputar kontribusiku yang cukup lama di lembaga LSiS FMIPA
UGM. Beliau menanyakan apa saja jobdesc ku, kemudian proyek apa saja yang
dilakukan di sana. Beberapa kali saya
gagal fokus dengan pertanyaannya. Namun beliau tetap dengan sabar bertanya
ulang, meski berakhir dengan tawa atau senyuman (yang aku sudah berpikiran
buruk saat itu dan masih belum bisa menginterpretasikan arti di balik senyum
beliau itu).
Secara umum, hampir semua
pertanyaan yang diajukan saya jawab penuh liku. Memang kodratnya perempuan,
nggak bisa to the point. Tapi muter dulu sampai akhirnya interviewer paham
intinya apa. Saya juga sempat miss di 3 pertanyaan. Saya nggak nyambung dengan
pertanyaannya. Namun mereka tetap dengan sabar mengulang pertanyaan yang sama
kembali. Beruntung ini bukan ielts. Skorku bisa jadi 6.0 kalau ini memang test
speaking ielts.
Ini bukan contoh kasus interview
kerja yang bagus, namun bagi saya pribadi merupakan sebuah pembelajaran
berharga kalau2 interview kerja sebagai peneliti profesional ataupun beasiswa
terjadi. Karena sejatinya, program peneliti muda ini memang diperuntukkan untuk
mereka yang punya intuisi namun masih hijau untuk menginjakkan kaki, berkarir
di bidang riset profesional, jadi saya anggap kelulusan saya sebagai salah
seorang peneliti muda merupakan bentuk apresiasi bahwa program ini memang tidak
berfokus pada indahnya retorika maupun formalnya penampilan saat wawancara.
Saya masih dengan style saya yang biasa. Jilbab panjang, rok jeans, tas ransel,
dan sepatu (tak usah dibayangkan). Tapi saya yakin bahwa ada yang harus
direvisi dari style saya jika sudah berkecimpung di dunia kerja. Saya harap, dengan
bergabungnya saya di sini menjadi satu momen saya bisa mulai belajar bekerja di
ranah profesional.
Belum berakhir ceritanya. Satu
bulan berlalu dan saya mendapati pengumuman dari mba Tieke. Awalnya sempat ragu
karena mereka bilang akan memberikan pengumuman pada pertengahan juli. Jadi
saya dengan sabar menerima telphon untuk mendengarkan dari mba Tieke pernyataan
ketidaklolosanku dalam program ini. Ternyata sebaliknya, beliau menyatakan ‘di
sini kami ingin menyampaikan penerimaan mba sebagai salah satu dari 20 kandidat
peneliti muda WRI’ –dan itu nyaris membuat nafasku tercekat sesaat. Karena 10 hari
menunggu pengumuman tak kunjung datang, saya sudah dalam titik tawakkal dan
mengikhlaskan sepenuhnya, barangkali memang bukan yang terbaik untuk takdir
saya ke depan. Alih-alih, ternyata proyek ini mundur di akhir Agustus, sehingga
pemberitahuan secara personal baru dihubungi awal Agustus. Saya langsung saja
sujud syukur dengan luapan air mata bahagia. Jika Anda menemui kondisi seperti
saya dalam keadaan nyaris putus asa mencari tempat pekerjaan terbaik,
barangkali paham arti dari pentingnya pengumuman ini.
Mereka mengirimkan offer letter,
lengkap dengan konfirmasi penerimaan kerja, keterangan upah yang akan
didapatkan –beserta potongan pajak, berkas yang perlu dikirim balik, dilampiri
dengan berkas biodata konsultan yang harus diisi dan perjanjian bebas suap yang
harus di tanda tangani. Jadi, kontrak peneliti muda ini adalah kontrak sebagai
‘consultant’.
Untuk orang sehijau saya, bisa
langsung berkontribusi menjadi bagian dari lingkungan kerja bersama peneliti2
profesional dengan pekerjaan yang memang engkau minati, merupakan karunia luar
biasa. Sejujurnya, lama periode antara persiapan saya melengkapi berkas WRI hingga
pengumuman penerimaan itu merupakan periode yang penuh kesabaran batin. Karena
semuanya penuh ketidakpastian. Engkau adalah sarjana muda. Lulusan sebuah
jurusan yang tidak banyak menjual di ranah dunia kerja Indonesia (ngomong2,
saya lulusan fisika murni dengan minat di fisika material, riset nanomaterial).
Memiliki kapasitas spesifik yang butuh ditempatkan di tempat spesifik pula. Hanya
saja, engkau masih mencari komunitas, relasi, dan masih butuh pembinaan untuk
bisa langsung bekerja secara profesional. Karena selama periode tersebut, saya
mendapatkan beberapa tawaran kerja yang berakhir sampai periode interview
ketika saya pada akhirnya menolak tawaran tersebut –atau mereka yang menolak, karena
mendapati semangat saya yang lemah. Pasalnya, saya memang tidak bisa
menyembunyikan rasa kecewa kalau-kalau diterima dan harus bekerja dengan totalitas.
Rasanya, ada ganjalan di hati bahwa jika bekerja di tempat ini, bukanlah passionmu.
Atau, memang pikiran sederhana bahwa kau tidak bisa mengembangkan diri di sini.
Maka saya sampai mempertanyakan kembali, sebenarnya apa tujuan saya? Karena
berkali-kali tawaran kerja itu ditolak, rasanya saya semakin merasa bersalah
dengan orang tua.
Pada akhirnya, alhamdulillah dan qodarullah bisa mendapatkan kesempatan ini. Semoga satu tahun
kontrak ini ibisa memberikan pembelajaran dan pengalaman berharga untuk dunia
saya ke depan. Amin J
.