21 Okt 2011

Paradoks mengenai Kejujuran

     Dewasa ini, dunia dengan segala perkembangannya telah merevolusi pola kehidupan manusia. Mulai dari hal primitif, kini telah berubah menjadi seluruh kegiatan struktural yang berporos pada manusia sebagai insan berakal. perubahan inilah yang membimbing berbagai dampak pada zaman kini.
     Pada dasarnya, era globalisasi dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem sosialisasi yang ada di masyarakat. namun, dalam perkembangannya, hal ini justru membelokkan sebuah norma yang sudah lama terakar dan berkali-kali dikumbandangkan oleh para tokoh pemimpin bangsa. sebagai contoh, salah satunya adalah kejujuran.
     Sekilas melihat pada sejarah, tentang bagaimana perjuangan bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara untuk membangun kesadaran masyarakat agraris ini tentang pentingnya pendidikan, yang membawa para pelajar mengucap hormat pada sang saka merah putih setiap tanggal 2 Mei. Atau perjuangan Kartini dalam mempertahankan hak pada setiap gender untuk mengenyam pendidikan.
     Kalau kita harus mengaca pada kondisi pelajar saat ini, betapa menyedihkannya posisi kita sebenarnya. Mungkin, para tokoh yang bertanggung jawab akan keberadaan manusia berpendidikan di tanah ibu pertiwi ini akan bertanya, "Dimanakah hal yang selama ini kami perjuangkan?"
     Menyikapi kondisi ini, kecanggihan tekhnologi justru membuat pelajar memandang dunia sepraktis mengerjakan tugas dari browsing internet, atau seefisien saat datang ke sekolah tanpa niat papaun? Nyatanya, di zaman dahululah, saat pendidikan merupakan hal yang sangat mahal, berbondong-bondong kita bersatu padu untuk mendapatkannya meski adalah sebuah kemustahilan.
     Pola pemikiran ini membawa pelajar kurang menghargai arti usaha, saat lingkungan mereka menunjang untuk berpikir praktis. Bagi pelajar sebagian, justru norma kejujuran semakin terlepas, dan adalah sebuah paradoks jika mendapatkan sesuatu tanpa usaha apapun.
     Sebagai contoh, mencontek bukanlah hal yang asing lagi jika harus diterapkan pada budaya kini. ini ditunjukkan dari kondisi globalisasi di masyarakat. Usaha bagai hal yang menguras waktu mereka, padahal apa salahnya sedikit waktu untuk itu? Selain itu, minimnya kesadaran pelajar untuk menghargai usaha orang lain, juga patut untuk dipertanyakan.
     Dalam sebuah kasus, seorang anak sekolah dasar yang melaporkan tindak curang selama ujian berlangsung pada Departemen Pendidikan Nasional. Reaksi teman-temannya setelah itu ialah diasingkan. Maka, menangsilah para tokoh bangsa menyikapi hal ini. Seolah bukanlah tindakan patriotik saat seseorang menyatakan sebuah kejujuran.
    Permasalahannya kini, malukah kita jika menyikapi posisi kita kini? Seberapa pentingkah suatu penghargaan tanpa usaha, jika harus dibandingkan dengan hasil dari usaha kita sendiri? Atau, kemana lagi kita harus mengagungkan arti kejujuran sebenarnya?

Related Posts:

  • Maaf. Saya belum bisa menjawabnya. Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman. Teman  yang suka saya ajak berdialektika, membentuk forum diskusi dalam memba… Read More
  • dengan bangga kupersembahkan ini,masa kuliah emang gak lepas dari yang namanya kelabilan anak remaja. semester satu kita masih tetap bocah ingusan yang definisi perspektif beberapa or… Read More
  • I was born in the metropolitan city of Indonesia, Jakarta. I was living around educated people, in a comfortable family, which I called 'my comfor… Read More
  • Menginternalisasi Keberkahan Saya punya teman. Sebut saja Azza. Azza itu unik. Ya, unik dari perspektif saya. Dia adalah produk imitasi dari bagaimana masyarakat dan buday… Read More
  • Keberkahan itu Dimana? Saya sering dianggap skeptis. Senantiasa mengkritisi sistem yang ada. sampai pada titik dimana berpikir lebih baik diam, dan mengamati bagaimana … Read More

Islam