4 Jun 2013

Indahnya Ukhuwah Islamiyah

Qur'an digital.PNG
"maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?"

Setelah beberapa hari sempat dengan emosi fluktuatif, sekarang saya sudah mencoba berpikiran lebih objektif menanggapi berbagai persoalan.

Dalam beberapa minggu ini cukup menjadi satu momen paling complicated. Setelah pasang surut dalam memaknai prinsip -hidup maupun keyakinan (menyikapi kondisi belakangan ini di lingkungan sekitarku), kemudian musibah yang terjadi dalam keluarga besarku. Sesungguhnya, saya hendak menceritakan hal ini.

Jika saya mengawali elaborasi cerita ini dengan ucapan alhamdulillah, bukan berarti saya mensyukuri bagaimana musibah ini terjadi. Namun, di sisi positif pun akhirnya saya bisa menemukan dan memaknai indahnya ukhuwah islamiyah.

Izinkan saya mengatakan, tulisan ini teruntuk Saudara saya yang terkena musibah.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya Jum'at 31 Mei 2013 sore (sekitar jam 4), karena beberapa kondisi, saya mengambil wudhu untuk shalat. Karena beberapa alasan sampai saya membawa handphone saat itu, sementara tas saya ditinggal di sekre (padahal fakta bahwa hp saya berkali2 hilang tidak juga membuat saya kapok).

Waktu itu hujan turun cukup deras, ketika selesai shalat saya mendapat telfon dari Bapak. Beliau mengawalinya dengan menanyakan hal remeh-temeh,
"ada kegiatan gak sabtu-minggu?"
"hm,.. ada, kok" kusebutkan beberapa agenda yang memang sudah terjadwal sebelumnya.
"ya, jangan banyak kegiatan, nanti capek loh, nggak bisa bagi waktu,"
"ya,.. masih dalam proses adaptasi," sambil meraba sebenarnya topik ini mengarah kemana.
"ada zula di sana?"
"wah aku belum lihat sepanjang hari,"
Kemudian hingga akhirnya saya dikabari musibah tersebut, dan itu adalah pengalaman pertama saya. Merespon hal tersebut, bahkan saya *sungguh* bingung harus melakukan hal apa setelah ini. Kebetulan saja, bertemu dengan mba Amal, hingga aku ceritakan hal tersebut, dan kami berdua berbagi kebingungan.

Akhirnya, setelah mengawali hal tersebut, saya mencoba menenangkan diri kembali ke sekre. Alhamdulillah, mba Amal menceritakan pada teman lainnya (padahal awalnya saya sempat berpikir berita ini lebih baik tak disebar, hingga saya sadar itu tidak seharusnya dilakukan). Mba Rohmi (yang merupakan teman akrab mba Zula) kemudian menelphonku untuk memastikan hal tersebut hingga kami bertemu dengan mas Adam.

Luar biasanya, sore saat itu juga, mereka berencana langsung pergi ke Klaten, tempat tinggal mba Zula untuk ta'ziah. Tanpa mengabaikan fakta bahwa saat itu, kondisi politik di MIPA sedang pasang surut, dan mereka mengambil andil dalam posisi penting tersebut. Namun, di malam itu juga, 2 mobil berangkat ke Klaten untuk ta'ziah hingga pulang kembali ke Yogja sekitar jam 11. Saya yang mencapat info itu cukup terkesima tentang bagaimana di tengah kesibukan mereka pada kondisi fakultas maupun univ, mereka langsung merespon dengan cepat dan tanggap.

Kekagumanku bukan itu juga rupanya. Pagi hari setelahnya, saya langsung pergi ke Klaten untuk menyusul bersama anak KMFM lainnya. Saya kagum pada bagaimana mereka membesarkan hati mba Zula saat itu, dan bagaimana menjadi pendengar yang baik. Di sini, saya kembali belajar psikologi manusia, dan bagaimana cara mereka menolong sesama, terutama dalam kondisi seburuk apapun.

Kemudian, rupanya angakatan 2010 kembali ke Klaten untuk melakukan ta'ziah dan menemani dalam prosesi penguburan jenazah. Suatu kekaguman yang luar biasa saat aku mendengar, "ikhwan mau bantu proses penguburan jenazah,"

Sempat tergetar, iya. Atau ini respon yang berlebihan, mungkin? Namun, saya sangat mengapresiasi bagaimana di terburuk sekalipun, ukhuwah Islamiyah itu indah.

Baik, mengaca dari perspektif pribadi, dalam pandangan paling pesimis adalah, kita boleh saja punya banyak teman, berkumpul ngerumpi bersama. Saya sering menemukan kondisi ini di Jakarta, tempat dimana masyarakat hedon itu bahagia di tengah kesuksesan mereka. Namun, bagaimana pada kondisi terpuruk mereka? Maukah teman itu turut menemani? Aku ragu hal itu.
Sedangkan refleksi dari kejadian ini adalah bagaimana aku melihat ukhuwah islamiyah itu begitu indah. Di kondisi terburuk sekalipun, mereka masih ada dan (bahkan) mampu menjaga eksistensi tersebut sampai di titik terakhir.

Kemudian, untuk akhwat sendiri, mereka sempat tergerak untuk menemani mba Zula di prosesi pemakaman itu. Namun, karena berbagai  kendala dan *tidak diizinkan untuk ikut pergi, justru berbalik marah
"emang perempuan nggak boleh ikut ke makam, ya?" aku bisa melihat bagaimana mba Evi malah berbalik menggerutu. Mereka marah, ya, karena peduli.

Saya kagum pada bagaimana saudaraku membangun persaudaraan seperti itu, dimana dia berhasil memposisikan diri di antara orang-orang luar biasa tersebut. Lebih indahnya lagi, saya bersyukur jika hal ini mampu menyadarkanku bahwa Islam itu *sungguh* indah.

Semoga posting ini mampu memberikan semangat teruntuk Saudaraku :)

*note : entah kenapa kok aku jadi ngerasa lagi #transformasi kepribadian#

Islam