9 Mar 2016

Namanya Erma

Namanya Erma. Putri Ermawati.

Adinda hanya satu dari sekian orang yang senantiasa berkorban. Berkorban untuk mengingatkan kepada mereka yang fana bahwa akhir itu pasti ada. Bahwa akan ada sebuah hari akhir dari rangkaian kisahmu di dunia nyata. Itulah alam yang kekal abadi. Yang katanya, hidup di dunia hanya dua setengah menit dibandingkan dengan pembalasan di hari kekal nanti.

Saya belum pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu. Mengenal orangnya saja belum pernah. Kami berbeda lembaga. Beliau berkontribusi di da’wah, konon katanya. Saya bekerja di ranah kelompok studi.

Beberapa minggu yang lalu tersiar kabar. Broadcast dari sesama pejuang tangguh sebuah grup sosial media. Menyiarkan kabar tentang kondisi beliau yang sedang diopname. Sebuah penyakit yang melumpuhkan seluruh fungsi tubuh. Adalah virus yang menyerang otak. Belum teridentifikasi.

Betapa hina, kali pertama saya membaca, saya mengabaikan. Semakin lama, berita tersiar semakin gencar. Saking seringnya, saya mencoba tanya pada salah seorang adik kelas. Begitu rupanya. Sampai satu hari, mereka membuat sebuah jadwal jaga Erma. Luar biasa. Saya bertanya, ‘separah apa kah kondisnya?’. Saat tersiap broadcast donasi pun saya hanya membaca sekenanya. Lelaki perempuan, semuanya bergerak.

Sampai satu saat, saya ikut menjaga beliau. Tepat selasa pagi. Saya menjapri salah seorang penanggung jawab yang saya tahu, betapa bertanggung jawabnya beliau. Saya berniat memberikan donasi ketika memang tahu betul kondisinya. Betapa luar biasa bodohnya saya.
Saya berangkat jam 7 saat baru membuka handphone. Betapa ramai grup. Membicarakan turut berduka cita. Saat itu, saya tahu saya sudah terlambat. 

Beliau telah tiada. Pada jam 05.00 shubuh, tersiar kabarnya.

Sejenak terhenti sesaat. Awalnya saya pikir adalah hal biasa. Begitu banyak informasi berlalu lalang. Itu hanya satu dari sekian banyak kejadian di sekitar saya. Namun, rasanya berbeda. Karena saat itu, kematian terasa begitu dekat dengan saya. Hanya selisih 3 jam sebelum saya bertatap muka melihatnya, dan beliau sudah tiada.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un... allohummaghfirlaha warhamha wa’afihaa wa’fu’anha,

Mendadak semua orang menyesal. Belum bisa memberikan yang terbaik. Dan saya menyesal, belum memberikan apapun. Namun beliau begitu besar memberikan pengertian pada kami. Pemahaman. Bahwa tiga jam saja langkah melihat sebuah kematian. Bahwa itu adalah sebuah keniscayaan.

Ada satu hal lagi yang paling penting. Kesadaran saya bahwa sebuah rasa ketulusan untuk menolong sesama begitu penting dibangun. Bahwa rasa kepekaan saya mulai tergerus, dan nurani saya mulai mengeras. Bahwa mata saya mulai buta dan telinga saya mulai tuli karena kebodohan. Bahwa saya semakin meninggikan ego dan merenggangkan tali silaturrahmi.

Luar biasa, bodoh sekali.  

Semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya. Amin Ya Rabb,

Yogyakarta, 08 Maret 2016


Islam