Namanya Erma
Namanya Erma. Putri Ermawati.
Adinda hanya satu dari sekian orang yang senantiasa berkorban. Berkorban
untuk mengingatkan kepada mereka yang fana bahwa akhir itu pasti ada. Bahwa
akan ada sebuah hari akhir dari rangkaian kisahmu di dunia nyata. Itulah alam
yang kekal abadi. Yang katanya, hidup di dunia hanya dua setengah menit
dibandingkan dengan pembalasan di hari kekal nanti.
Saya belum pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu. Mengenal orangnya
saja belum pernah. Kami berbeda lembaga. Beliau berkontribusi di da’wah, konon
katanya. Saya bekerja di ranah kelompok studi.
Beberapa minggu yang lalu tersiar kabar. Broadcast dari sesama pejuang
tangguh sebuah grup sosial media. Menyiarkan kabar tentang kondisi beliau yang
sedang diopname. Sebuah penyakit yang melumpuhkan seluruh fungsi tubuh. Adalah
virus yang menyerang otak. Belum teridentifikasi.
Betapa hina, kali pertama saya membaca, saya mengabaikan. Semakin lama,
berita tersiar semakin gencar. Saking seringnya, saya mencoba tanya pada salah
seorang adik kelas. Begitu rupanya. Sampai satu hari, mereka membuat sebuah
jadwal jaga Erma. Luar biasa. Saya bertanya, ‘separah apa kah kondisnya?’. Saat
tersiap broadcast donasi pun saya hanya membaca sekenanya. Lelaki perempuan,
semuanya bergerak.
Sampai satu saat, saya ikut menjaga beliau. Tepat selasa pagi. Saya
menjapri salah seorang penanggung jawab yang saya tahu, betapa bertanggung
jawabnya beliau. Saya berniat memberikan donasi ketika memang tahu betul
kondisinya. Betapa luar biasa bodohnya saya.
Saya berangkat jam 7 saat baru membuka handphone. Betapa ramai grup.
Membicarakan turut berduka cita. Saat itu, saya tahu saya sudah terlambat.
Beliau telah tiada. Pada jam 05.00 shubuh, tersiar kabarnya.
Sejenak terhenti sesaat. Awalnya saya pikir adalah hal biasa. Begitu banyak
informasi berlalu lalang. Itu hanya satu dari sekian banyak kejadian di sekitar
saya. Namun, rasanya berbeda. Karena saat itu, kematian terasa begitu dekat
dengan saya. Hanya selisih 3 jam sebelum saya bertatap muka melihatnya, dan
beliau sudah tiada.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un... allohummaghfirlaha warhamha wa’afihaa
wa’fu’anha,
Mendadak semua orang menyesal. Belum bisa memberikan yang terbaik. Dan saya
menyesal, belum memberikan apapun. Namun beliau begitu besar memberikan
pengertian pada kami. Pemahaman. Bahwa tiga jam saja langkah melihat sebuah
kematian. Bahwa itu adalah sebuah keniscayaan.
Ada satu hal lagi yang paling penting. Kesadaran saya bahwa sebuah rasa
ketulusan untuk menolong sesama begitu penting dibangun. Bahwa rasa kepekaan
saya mulai tergerus, dan nurani saya mulai mengeras. Bahwa mata saya mulai buta
dan telinga saya mulai tuli karena kebodohan. Bahwa saya semakin meninggikan
ego dan merenggangkan tali silaturrahmi.
Luar biasa, bodoh sekali.
Semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya. Amin Ya Rabb,
Yogyakarta, 08 Maret 2016