10 Mar 2016

Kepada Ratih dan Ishfi,

Sekitar jam 2 pagi saya terbangun dari tidur. Senyap senyap mata mencoba meraba sekeliling, dan menjangkau yang bisa terjangkau. Kamar saya gelap gulita saat saya tersadar bahwa malam kemarin saya bergumul dengan kelelahan sampai akhirnya memutuskan untuk tidur ke kamar selepas kajian ustadz Sholih.

Saya memang tinggal di pondok, tapi khusus malam jumat. Dan untuk seterusnya, saya meminta izin kepada ustazah untuk mabit di kontrakan lama saya –yang dibangun bersama dengan anak2 pasca asrama saya yang dulu. Inilah kontrakan yang sudah terkondisikan dengan atmosfer  yang membuat saya bisa kerasan di sini.

Kemudian, bukan hal itu yang ingin kusoroti.

Semua karakter warga kontrakan ini unik-unik. Kalian tidak akan bisa membayangkan gambaran dari pribadi yang akan kukisahkan ini. Namun, bukan dalam catatan ini.

Ada dua orang rekan saya. Mereka sudah satu paket. Deal. Tidak bisa dipisahkan. Nama saya samarkan untuk sebuah privasi. Yang jelas, mereka ini ibarat kembar identik. Ada orang yang dalam hidupnya sering kali berinteraksi. Dan hal itu yang membuat mereka kerap dianggap kembar. Padahal, hal itu hanya merupakan konsekuensi logis akibat dari interaksi yang intens. Mengubah karakter mereka menjadi dua pribadi yang saling melengkapi.

Jangan bayangkan pribadi itu saling akur. Kadang akur, ya memang. Tapi kadang juga bertengkar untuk sebuah hal di luar logika saya pribadi. Membuat saya tersenyum saja dalam hati. Lebih sering saya abaikan, karena pertengkarannya agak konyol. Ya sudahlah. Itulah keunikan dalam diri mereka.

Mereka dulu satu kamar sewaktu kami asrama. Dipertemukan dalam ruang seluas 4x4 meter di Jabal Tsur 2. Sewaktu di asrama dulu, saya jarang berinteraksi dengan warga JT2. Saya tinggal di Jabal Nur (JN) yang lokasinya sudah berbeda gedung, meski satu asrama. Hal itulah yang membuat saya kurang akrab mengenal mereka. Dan karena sebuah kontrakan ini, saya jadi semakin mengenal mereka.

Yang satu adalah pejuang wisuda bulan Mei 2016. Beliau mengaku tidak suka terikat perjanjian atau hitam di atas putih. Biarkan beliau bebas memilih kemana intuisi mengarah. Meski sejatinya masuk jurusan pendidikan, beliau tidak suka ngeles dan lebih memilih pekerjaan yang mengembangkan kreatifitas dan seninya. Sebuah pekerjaan yang mengekspansikan pengetahuannya pada seluk beluk kota Jogjakarta.  Sebuah pekerjaan yang anti mainstream.

Yang satu lain cerita lagi. Beliau kelihatannya suka imajinasi dan kaya akan kreatifitas. Dengan usia beliau yang dituntut untuk segera wisuda, beliau bisa menyamankan diri dari tekanan berbagai pihak yang mencoba mendorongnya untuk berjuang bersama dalam barisan pejuang skripsi. Luar biasa. Beliau meninggikan eksistensi kebebasannya dalam hidup terlepas dari berbagai tuntutan eksternal. Sebuah pribadi yang anti mainstream.

Satu kesamaan yang membuat mereka semakin akrab di mata saya. Mereka sedang membangun sebuah usaha. Si pejuang wisuda sedang sibuk mengejar dosen untuk bimbingan. Si pejuang kebebasan sedang sibuk mengajar, ngeles. Dan di kala semua kesibukan itu, mereka berdua tengah membangun sebuah dinasti sendiri. Tempat dimensi mereka bisa bebas berekspresi dalam gulungan-gulungan kertas –yang boleh saja bagi orang tidak berarti. Namun mereka menyulapnya menjadi sumber penghasilan rezeki.

Mereka menyebutnya “paper quilling”.

Saya sedang tidak berpromosi, hanya melilhat refleksi dari kegigihan mereka. Karena di pagi buta saat saya terbangun, saya dapati mereka masih sibuk mempersiapkan untuk hari ini. Tepat jam 10 mereka harus mendirikan stand ke UMY, untuk mempresentasikan mimpi mereka kepada publik. Dunia harus tahu bahwa itu merupakan simbol dari perjuangan dan persahabatan mereka!
Semoga usaha mereka terbalas setimpal dengan perjuangannya.


*semua nama di sini disamarkan, termasuk nama ustadznya.

Lab Fismatel Dept Fisika UGM, 11 Maret 2016

Islam