Kepada Ratih dan Ishfi,
Sekitar jam 2 pagi saya terbangun
dari tidur. Senyap senyap mata mencoba meraba sekeliling, dan menjangkau yang
bisa terjangkau. Kamar saya gelap gulita saat saya tersadar bahwa malam kemarin
saya bergumul dengan kelelahan sampai akhirnya memutuskan untuk tidur ke kamar selepas
kajian ustadz Sholih.
Saya memang tinggal di pondok,
tapi khusus malam jumat. Dan untuk seterusnya, saya meminta izin kepada ustazah
untuk mabit di kontrakan lama saya –yang dibangun bersama dengan anak2 pasca
asrama saya yang dulu. Inilah kontrakan yang sudah terkondisikan dengan
atmosfer yang membuat saya bisa kerasan
di sini.
Kemudian, bukan hal itu yang
ingin kusoroti.
Semua karakter warga kontrakan
ini unik-unik. Kalian tidak akan bisa membayangkan gambaran dari pribadi yang
akan kukisahkan ini. Namun, bukan dalam catatan ini.
Ada dua orang rekan saya. Mereka sudah
satu paket. Deal. Tidak bisa dipisahkan. Nama saya samarkan untuk sebuah
privasi. Yang jelas, mereka ini ibarat kembar identik. Ada orang yang dalam
hidupnya sering kali berinteraksi. Dan hal itu yang membuat mereka kerap
dianggap kembar. Padahal, hal itu hanya merupakan konsekuensi logis akibat dari
interaksi yang intens. Mengubah karakter mereka menjadi dua pribadi yang saling
melengkapi.
Jangan bayangkan pribadi itu
saling akur. Kadang akur, ya memang. Tapi kadang juga bertengkar untuk sebuah
hal di luar logika saya pribadi. Membuat saya tersenyum saja dalam hati. Lebih
sering saya abaikan, karena pertengkarannya agak konyol. Ya sudahlah. Itulah keunikan
dalam diri mereka.
Mereka dulu satu kamar sewaktu kami asrama. Dipertemukan dalam ruang seluas 4x4 meter di Jabal Tsur 2. Sewaktu di asrama dulu, saya jarang berinteraksi dengan warga JT2. Saya tinggal di Jabal Nur (JN) yang lokasinya sudah berbeda gedung, meski satu asrama. Hal itulah yang membuat saya kurang akrab mengenal mereka. Dan karena sebuah kontrakan ini, saya jadi semakin mengenal mereka.
Yang satu adalah pejuang wisuda
bulan Mei 2016. Beliau mengaku tidak suka terikat perjanjian atau hitam di atas
putih. Biarkan beliau bebas memilih kemana intuisi mengarah. Meski sejatinya
masuk jurusan pendidikan, beliau tidak suka ngeles dan lebih memilih pekerjaan
yang mengembangkan kreatifitas dan seninya. Sebuah pekerjaan yang
mengekspansikan pengetahuannya pada seluk beluk kota Jogjakarta. Sebuah pekerjaan yang anti mainstream.
Yang satu lain cerita lagi. Beliau
kelihatannya suka imajinasi dan kaya akan kreatifitas. Dengan usia beliau yang
dituntut untuk segera wisuda, beliau bisa menyamankan diri dari tekanan
berbagai pihak yang mencoba mendorongnya untuk berjuang bersama dalam barisan
pejuang skripsi. Luar biasa. Beliau meninggikan eksistensi kebebasannya dalam
hidup terlepas dari berbagai tuntutan eksternal. Sebuah pribadi yang anti
mainstream.
Satu kesamaan yang membuat mereka
semakin akrab di mata saya. Mereka sedang membangun sebuah usaha. Si pejuang
wisuda sedang sibuk mengejar dosen untuk bimbingan. Si pejuang kebebasan sedang
sibuk mengajar, ngeles. Dan di kala semua kesibukan itu, mereka berdua tengah membangun
sebuah dinasti sendiri. Tempat dimensi mereka bisa bebas berekspresi dalam
gulungan-gulungan kertas –yang boleh saja bagi orang tidak berarti. Namun mereka
menyulapnya menjadi sumber penghasilan rezeki.
Mereka menyebutnya “paper
quilling”.
Saya sedang tidak berpromosi,
hanya melilhat refleksi dari kegigihan mereka. Karena di pagi buta saat saya
terbangun, saya dapati mereka masih sibuk mempersiapkan untuk hari ini. Tepat jam
10 mereka harus mendirikan stand ke UMY, untuk mempresentasikan mimpi mereka kepada
publik. Dunia harus tahu bahwa itu merupakan simbol dari perjuangan dan persahabatan mereka!
Semoga usaha mereka terbalas
setimpal dengan perjuangannya.
*semua nama di sini disamarkan,
termasuk nama ustadznya.
Lab Fismatel Dept Fisika UGM, 11 Maret 2016
Lab Fismatel Dept Fisika UGM, 11 Maret 2016