30 Mar 2016

Jangan Ajak Aku Berlari

“mereka masih anak kecil,...” akhir-akhir ini, hanya kata itu yang coba kusematkan dalam benakku setiap kali mencoba menggerakkan sistem.

Sudah 2 bulan saya tinggal di sini. Semakin mencoba menyamankan diri dalam lingkungan ini. Nyaman nggak nyaman, harus tetap dibuat nyaman. Batinku sambil mengingat si pemilik petuah itu, rekan kerjaku setahun kepengurusan yang lalu.

Untuk apa repot-repot mengurus bocah labil, sementara tahun lalu kau sudah mengopeni anak kampus? Menyapa santri SMP yang luar biasa di kala seharusnya skripsi dan masa depan, engkau sapa dengan lebih matang.

Saya nyaris lupa esensi awal saya berpijak di bumi ini, kawan.

Hidup itu bukan sekedar teori dan normatif belaka. Bahwa setiap sistem punya tantangan yang berbeda. Saya masih perlu berlatih diri untuk menerima dan diterima di lingkungan manapun. Dalam beberapa masa transisi saya dalam lingkungan baru, tidak semuanya sukses. Tidak semuanya saya tetap jalin awet.

Keluarga. Teman seangkatan fisika. Lembaga kampus. Lingkaran halaqoh. Rekan KKN. Warga desa KKN. DS. Grup riset. Lingkungan pondok.

Semuanya punya sistem yang berbeda. Ada yang gagal kubangun. Ada yang masih kental saya jaga silaturrahimnya. Betapa sulitnya untuk menjaga sebuah jaringan dengan karaktermu dan prinsip untuk tidak membiarkan lingkungan mengubah sifatmu.

Dulu, mengurus anak kampus dengan anekdotnya. Mereka penuh warna, aku sikapi dengan penuh warna pula. Kadang kala pulang tengah malam mengurus anak orang yang butuh diantar. Menemani curhat gadis galau tentang hubungan ‘persahabatan’nya dengan senior. Atau ngebut menyusul staff yang sedang kumpul makan bareng di malam hari. Menyesuaikan, sambil masih memegang prinsip hidup untuk tidak bertidak kelewat batas. Mencoba membaur dan beradaptasi tanpa harus terwarnai.

Lama aku bermukim di lingkungan tersebut. Mencoba mengubah diri menjadi pribadi yang melebur diterima lapisan masyarakat yang penuh dengan warna dalam hidup dan visi tinggi bicara mimpi.

Sekarang. Saya tenggelam dalam kerumunan labilnya santri SMP. Yang masih berpikir dangkal soal hidup. Yang respektabilitasnya sangat minim terhadap norma dan etika karena memang masih butuh pengajaran. Yang sering menuntut tanpa pernah mau untuk dituntut. Yang banyak neko-neko. Yang masih butuh disadari bahwa hidup tidak hanya sebatas rumah dan pondok. Wawasan mereka masih cetek dan pandangan mereka masih sempit dalam melihat hidup dan warnanya.

May. Mereka masih anak kecil.

Belakangan saya menyadari. Bahwa ketika mencoba peduli pada mereka, maka butuh aksi nyata untuk memporakporandakan sistem supaya berjalan sesuai dengan koridornya. Namun, mereka tidak bisa diajak berlari, kawan. Dioprak-oprak, mereka akan bergunjing di belakang. Diketahui kelemahannya, akan menjadi bahan ejekan dalam pembicaraan tanpa Anda di sana. Banyak sekali tuntutannya. Luar biasa banyak.

Belakangan saya semakin harus menyadari. Bahwa rasa peduli saya besar. Namun, bahwa wujud kepeduliannya dilakukan dengan cara yang salah. Se hingga beberapa di antara mereka enggan berkomunikasi dengan saya, itu yang jadi masalah. Saya turunkan rasa kepedulian saya dan intuisi membantu. Saya longgarkan tali saya yang kalau-kalau mengikat terikat kencang. Saya tinggikan rasa apatis dan besarkan ruang untuk rasa ego. Saya terus tanamkan bahwa mimpi saya begitu indah, dan terlalu mennyedihkan jika hidup hanya dibuat memikirkan mereka dan semua tuntutan yang dapat mengubahmu dan seluruh rangkaian proyeksi masa depanmu. Hidupku terlalu sempit untuk hanya memikirkan mereka. Sungguh.

Saya harus ingat visi awal. Sungguh. Di sini saya semakin mengingat betapa pentingnya memiliki visi hidup. Anda akan mudah goyah dan tumbang saat tidak memiliki pegangan yang kokoh. Hidupmu tidak bisa terarah dan mengikuti ekspresi belaka saat titik klimaks warna membuncah dan anda terbawa arus. Hanya sesaat. Nanti juga hilang.

Sampai saya berlabuh pada satu kesimpulan. Kalau sayaberpikiran begini, saya yang tidak dewasa dan terbawa mereka yang berpikiran kekanak-kanakan. Sama-sama ngambek. Hasilnya : stagnan.

Di saat seperti inilah, logika harus berjalan dan kedewasaan perlu ditingkatkan. Rasa sabar harus diperkuat. Di bumi manapun, sabar itu adalah ilmu yang digunakan dalam semua lini kehidupan dan interaksi pada dunia sosial. Anda akan lebih kejam ditindas atasan tirani kalau Anda tidak bisa kebal. Nah, bagaimana cara menyikapi kesabarannya ini yang beraneka macam. Bisa bersabar menerima dengan pasrah, atau bersabar dengan berpikir solusi dan menyuarakan aspirasi.

Dalam hal ini, saya perlu bersabar dengan fakta bahwa mereka masih bocah yang labil. Luar biasa labil.

Ada yang suka marah dan sering sekali cemberut, dan saya belum jenuh mengingatkan untuk bisa tersenyum.

Ada yang luar biasa ekspresif dalam melenggak melenggok dan senang melengkingkan suara menggoda, sampai saya sering kali menegurnya. Dia semakin menjauh.

Ada yang gemar sekali hafalan sampai ketika kumpul berdiskusi pun, masih tetap menghafal. Untuk semangat menghafal yang salah situasi dan kondisi.

Ada yang ‘sering tersenyum tapi hatinya sakit’, katanya. Tiba-tiba meledakkan emosi satu kali dengan begitu dramatis.

Ada yang kebersihannya luar biasa harus diporak porandakan. Sampai cuciannya jamuran pun belum merasa ada masalah.

Saya harus lebih memahami saat ini, untuk lebih menyederhanakan masalah di depan mereka tanpa melupakan masalah besar yang engkau miliki secara individu. Untuk menanggapi tangisan dan kedramatisan mereka sewajarnya saja. Untuk tidak overact dalam memberikan perhatian, namun tetap berpikir rasional untuk membina mereka. Karena semakin lama mengenal mereka, semakin saya merasa hidup dalam dunia drama. Segala hal menjadi drama klasik. Ada banyak tangisan, ada banyak tawa, dan ada banyak nada. Setiap masalah, ada dramanya. Saya harus semakin berlatih. Untuk menyelesaikan sengketa perebutan kursi di jam pelajaran. Mendamaikan perdebatan antri kamar mandi. Mewajarkan santri yang pura-pura sakit atau memang benar sakit. Segala halnya penuh warna. Sungguh.

Yang penting seimbang saja. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah anak kecil yang masih butuh bimbingan moril. Dan saya tetaplah seorang manusia yang sejatinya lebih banyak belajar dalam membina di sini.

Islam