Jangan Ajak Aku Berlari
“mereka masih anak kecil,...”
akhir-akhir ini, hanya kata itu yang coba kusematkan dalam benakku setiap kali
mencoba menggerakkan sistem.
Sudah 2 bulan saya tinggal di
sini. Semakin mencoba menyamankan diri dalam lingkungan ini. Nyaman nggak
nyaman, harus tetap dibuat nyaman. Batinku sambil mengingat si pemilik
petuah itu, rekan kerjaku setahun kepengurusan yang lalu.
Untuk apa repot-repot mengurus
bocah labil, sementara tahun lalu kau sudah mengopeni anak kampus? Menyapa
santri SMP yang luar biasa di kala seharusnya skripsi dan masa depan, engkau
sapa dengan lebih matang.
Saya nyaris lupa esensi awal saya
berpijak di bumi ini, kawan.
Hidup itu bukan sekedar teori dan
normatif belaka. Bahwa setiap sistem punya tantangan yang berbeda. Saya masih perlu
berlatih diri untuk menerima dan diterima di lingkungan manapun. Dalam beberapa
masa transisi saya dalam lingkungan baru, tidak semuanya sukses. Tidak semuanya
saya tetap jalin awet.
Keluarga. Teman seangkatan fisika.
Lembaga kampus. Lingkaran halaqoh. Rekan KKN. Warga desa KKN. DS. Grup riset. Lingkungan
pondok.
Semuanya punya sistem yang
berbeda. Ada yang gagal kubangun. Ada yang masih kental saya jaga
silaturrahimnya. Betapa sulitnya untuk menjaga sebuah jaringan dengan
karaktermu dan prinsip untuk tidak membiarkan lingkungan mengubah sifatmu.
Dulu, mengurus anak kampus dengan
anekdotnya. Mereka penuh warna, aku sikapi dengan penuh warna pula. Kadang kala
pulang tengah malam mengurus anak orang yang butuh diantar. Menemani curhat
gadis galau tentang hubungan ‘persahabatan’nya dengan senior. Atau ngebut
menyusul staff yang sedang kumpul makan bareng di malam hari. Menyesuaikan,
sambil masih memegang prinsip hidup untuk tidak bertidak kelewat batas. Mencoba
membaur dan beradaptasi tanpa harus terwarnai.
Lama aku bermukim di lingkungan
tersebut. Mencoba mengubah diri menjadi pribadi yang melebur diterima lapisan
masyarakat yang penuh dengan warna dalam hidup dan visi tinggi bicara mimpi.
Sekarang. Saya tenggelam dalam kerumunan
labilnya santri SMP. Yang masih berpikir dangkal soal hidup. Yang respektabilitasnya
sangat minim terhadap norma dan etika karena memang masih butuh pengajaran.
Yang sering menuntut tanpa pernah mau untuk dituntut. Yang banyak neko-neko.
Yang masih butuh disadari bahwa hidup tidak hanya sebatas rumah dan pondok.
Wawasan mereka masih cetek dan pandangan mereka masih sempit dalam melihat
hidup dan warnanya.
May. Mereka masih anak kecil.
Belakangan saya menyadari. Bahwa
ketika mencoba peduli pada mereka, maka butuh aksi nyata untuk
memporakporandakan sistem supaya berjalan sesuai dengan koridornya. Namun,
mereka tidak bisa diajak berlari, kawan. Dioprak-oprak, mereka akan bergunjing
di belakang. Diketahui kelemahannya, akan menjadi bahan ejekan dalam
pembicaraan tanpa Anda di sana. Banyak sekali tuntutannya. Luar biasa banyak.
Belakangan saya semakin harus
menyadari. Bahwa rasa peduli saya besar. Namun, bahwa wujud kepeduliannya
dilakukan dengan cara yang salah. Se hingga beberapa di antara mereka enggan
berkomunikasi dengan saya, itu yang jadi masalah. Saya turunkan rasa kepedulian
saya dan intuisi membantu. Saya longgarkan tali saya yang kalau-kalau mengikat terikat
kencang. Saya tinggikan rasa apatis dan besarkan ruang untuk rasa ego. Saya
terus tanamkan bahwa mimpi saya begitu indah, dan terlalu mennyedihkan jika
hidup hanya dibuat memikirkan mereka dan semua tuntutan yang dapat mengubahmu
dan seluruh rangkaian proyeksi masa depanmu. Hidupku terlalu sempit untuk hanya
memikirkan mereka. Sungguh.
Saya harus ingat visi awal. Sungguh.
Di sini saya semakin mengingat betapa pentingnya memiliki visi hidup. Anda akan
mudah goyah dan tumbang saat tidak memiliki pegangan yang kokoh. Hidupmu tidak
bisa terarah dan mengikuti ekspresi belaka saat titik klimaks warna membuncah
dan anda terbawa arus. Hanya sesaat. Nanti juga hilang.
Sampai saya berlabuh pada satu
kesimpulan. Kalau sayaberpikiran begini, saya yang tidak dewasa dan terbawa
mereka yang berpikiran kekanak-kanakan. Sama-sama ngambek. Hasilnya :
stagnan.
Di saat seperti inilah, logika
harus berjalan dan kedewasaan perlu ditingkatkan. Rasa sabar harus diperkuat. Di
bumi manapun, sabar itu adalah ilmu yang digunakan dalam semua lini kehidupan
dan interaksi pada dunia sosial. Anda akan lebih kejam ditindas atasan tirani
kalau Anda tidak bisa kebal. Nah, bagaimana cara menyikapi kesabarannya ini
yang beraneka macam. Bisa bersabar menerima dengan pasrah, atau bersabar dengan
berpikir solusi dan menyuarakan aspirasi.
Dalam hal ini, saya perlu
bersabar dengan fakta bahwa mereka masih bocah yang labil. Luar biasa labil.
Ada yang suka marah dan sering
sekali cemberut, dan saya belum jenuh mengingatkan untuk bisa tersenyum.
Ada yang luar biasa ekspresif
dalam melenggak melenggok dan senang melengkingkan suara menggoda, sampai saya
sering kali menegurnya. Dia semakin menjauh.
Ada yang gemar sekali hafalan
sampai ketika kumpul berdiskusi pun, masih tetap menghafal. Untuk semangat menghafal
yang salah situasi dan kondisi.
Ada yang ‘sering tersenyum tapi
hatinya sakit’, katanya. Tiba-tiba meledakkan emosi satu kali dengan begitu
dramatis.
Ada yang kebersihannya luar biasa
harus diporak porandakan. Sampai cuciannya jamuran pun belum merasa ada
masalah.
Saya harus lebih memahami saat
ini, untuk lebih menyederhanakan masalah di depan mereka tanpa melupakan
masalah besar yang engkau miliki secara individu. Untuk menanggapi tangisan dan
kedramatisan mereka sewajarnya saja. Untuk tidak overact dalam memberikan
perhatian, namun tetap berpikir rasional untuk membina mereka. Karena semakin
lama mengenal mereka, semakin saya merasa hidup dalam dunia drama. Segala hal
menjadi drama klasik. Ada banyak tangisan, ada banyak tawa, dan ada banyak nada.
Setiap masalah, ada dramanya. Saya harus semakin berlatih. Untuk menyelesaikan
sengketa perebutan kursi di jam pelajaran. Mendamaikan perdebatan antri kamar
mandi. Mewajarkan santri yang pura-pura sakit atau memang benar sakit. Segala
halnya penuh warna. Sungguh.