30 Mar 2016

Antara Akademisi dan Ahli Herbal

 Ada banyak retorika  yang berkembang di kalangan masyarakat pondok. Mulai dari menganut rasa ta’dzhim kepada ustadz. Meningkatkan rasa kepekaan dan rasa tolong menolong dalam kehidupan satu atap. Sampai dengan kemampuan untuk bisa manajemen waktu di antara rutinitas yang lebih padat dibandingkan anak sekolah umum favorit sekalipun. Dengan beban akademik, hafalan quran, dan tuntutan penguasaan bahasa mereka.

Yang saya ceritakan di sini adalah hal yang membangkitkan intuisi pribadi sampai-sampai tergelitik untuk menuangkannya. Ada satu paradigma yang membuat saya menepuk jidat dan mengelus dada berkali-kali. Sampai saya berkonsultasi pada rekan sejawat.

Tentang pengobatan herbal diutamakan di atas logika kesehatan.

Pertama kali saya menjadi musyrifah, pada malam kedua, pintu kamar saya diketuk oleh santri pada tengah malam sekitar jam setengah satu pagi. Untungnya saya masih tersadar mengerjakan tugas sehingga suara tapak kaki mereka yang ragu mengetuk pintu antara nyata dan redup, samar terdengar olehku.

“ada apa?” aku membuka pintu, melihat kedua santri berwajah cemas.

Mereka menoleh bernafas lega. “Hurin, ukhti,...”

Kemudian aku bergegas ke sana. Meninggalkan kamar dengan rekan saya yang masih tertidur pulas saat itu. Kesibukan kami berbeda, dan kondisi memaksa saya masih terjaga sampai tengah malam. Akhirnya, saya bergegas pergi ke kamar santri.

Gadis kecil itu termasuk kecil untuk usianya. Kelas 1 SMP. Cantik. Sangat cantik dan manis.

Beliau mengeluh sakit. Saya yang menjadi orang baru di sini, tidak habis pikir untuk menghadapi situasi yang begitu rumit, terlebih kala itu saya belum membaca apapun riwayat penyakit para santri. Sejurus kemudian, saya langsung mengambil handphone dan menghubungi teman saya, anak fakes yang kebetulan kami sekontrakan. Meskipun saya paham betul kondisinya beliau sedang pulang kampung ke tempat asalnya, Cilacap.

Satu dering beliau belum mengangkat.  Yang kedua masih belum. Sampai dering ke delapan. Beruntung sekali, tengah malam dan beliau masih terjaga..

“gif.. ini kalau sakit perut gimana, ya? katanya penyakit maag... dia sampai nangis perih banget.” Aku kalap sekali kala itu.

Suaranya masih terantuk setengah sadar. Rupanya dering handphone membangunkannya dari alam mimpi, “oh, Ay.. hm... pakai air hangat saja dikompres perutnya, atau yang hangat-hangat. Sambil dipijitin..”

“ada obatnya, gif? Anaknya sakit banget gif, ini lagi nangis...”

“promaag coba, Ay,..”

Kutanyakan kepada Hurin, apakah terbiasa mengkonsumsi promaag, beliau meggeleng sambil masih terus menangis. Ia duduk kaku sambil memegang perut yang kesakitan dan air mata berderai. Sementara teman teman sekelilingnya semua telah tertidur lelap selain dua orang santri yang membangunkanku. Ada yang berujar, “pakai habbatus sa’udah punyaku, ukhti...”

Saya terdiam sesaat. Tersenyum. Lalu kembali mengalihkan fokus pada si santri. Singkat cerita, malam heroik itu berakhir dengan saya yang tertidur lelap di samping Hurin. Memijit perut sebelah kirinya yang sakit sampai mereda. Tangisnya terbawa tidur. Dan tidurnya membawa saya bernafas lega.

Ini baru satu contoh kasus.

Kemudian, pada tanggal 02 maret tepatnya. Saya pulang dari kampus. Mendadak begitu banyak keluhan dari anak-anak. Apa ada yang salah dengan kondisi kamar santri atau makanan. Yang jelas ada ketidakberesan dengannya.

Pertama,

“ukhti.. Nadia tadi pagi muntah dua kali.. Mencret juga, bolak-balik kamar mandi terus..”

Saya memutar otak, bergegas bertanya pada anaknya yang kondisinya sudah cukup lemas. Meski wajahnya putih, namun kali ini putih pucat.

“sudah diminum obat?”

“sudah.. tadi pakai sarang semut punya noni..”

“sarang semut?”

“itu loh ukhti, obat herbal punya Noni,”

Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh. Rasanya seperti nostalgia.

Kedua,

“Ukhti... Jihan pusing, ukhti,”

“oh iya?” sambil mencoba mengecek suhu badan dengan tangan. Suhunya normal. “sudah dikasih obat pusing?”

“nanti coba bekam, ukhti.. sama ibunya mba Ima.”

Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh. Ada lagi ...

Ketiga,

“ukhti..mba Dani tadi, bab nya berdarah..”

Oh iya? “iya, Dan?”

“iya, aku ambein, ukhti..”

“punya ambeven?”

“nggak ukhti.. aku biasa pakai obat herbal..”

“obat herbal?”

“iya, spray herbal.”

“terus, gimana cara pakainya?”

“disemprot, dibagian belakang.”

Saya hanya diam. Sejenak. Oh. Sambil menepok jidat.

Dan yang lebih kerennya lagi, semua ini terjadi dalam satu hari. Satu waktu. Maka saya (kembali) mengambil smartphone sambil menanyakan pada salah satu grup yang –alhamdulillah saya berkesempatan berkenalan dengan beberapa anak fakes yang sangat membantu untuk ini.

Satu respon pertama yang saya ingat, ‘bawa ke dokter aja, Ay.’ Rupanya beliau mengira poin penyakit itu dialami satu orang. Padahal, saya tuliskan per poin karena setiap poin dialami orang yang berbeda.

Kemudian, seorang mahasiswi teman kontrakan yang saya kenal sedang menjalani koas segera menjapri saya dan menjelaskan solusi penanganannya.

“ammah Aya, kalau yang diare dan muntah terus, bawa  minum oralit. Kalau nggak ada, coba beli  pocari sweat. Diminta diminum, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Untuk kasus yang babnya berdarah, tanyakan, darahnya merah segar atau tidak. Jika masih merah segar, berarti ada luka di dinding saluran pembuangannya. Bisa jadi karena mengejan terlalu kuat saat defekasi. Kalau darahnya tidak segar, coba bawa periksa ke dokter. Bisa jadi ada penyakit dalam.’

Saya merasa menjadi manusia beruntung saat itu juga.

‘anaknya saya tanya darahnya gimana warnanya? Dia jawab nggak mau,.. nggak mau, ukhti...’
‘namanya juga bocah, Ay...’

Iya, ya. Saya bukan lagi mengurus anak kampus.

Kasus terakhir, terjadi beberapa hari yang lalu. Saat mata saya gatal, saya ditawari ‘pakai propolis saja, ukhti.. tapi agak perih, sih. Katanya juga menurunkan minus di mata,. Supaya ukhti gak perlu pakai kacamata lagi..’

Saya hanya tersenyum hambar.

Malamnya langsung kukumpulkan saja anak-anak. Memberikan sebuah pencerdasan wawasan. Bahwa kebutuhan obat herbal sejatinya merupakan kebutuhan komplementer. Bukan untuk pengobatan total. Eksistensinya untuk menjaga kesehatan dan bumbu tambahan dalam menjaga kesehatan jasmani. Namun bukan solusi yang cerdas untuk pengobatan dalam atau luka yang parah. Betapa paradigma ini ingin sekali kuubah.

Saya tidak menyesalkan ini. Karena dengan ihwal seperti ini, kapasitas ilmu saya semakin holistik menangkan sinyal tambahan sebagai ilmu hidup.

Bahwa jika seorang memiliki asma, mereka biasanya mengkonsumsi obat khusus dari dokter seperti sarbutamol, dan rutin tiap hari memakai bronkodilator beberapa kali semprot.

Bahwa pada maag kronis, bisa diatasi dengan makan temulawak untuk meningkatkan nafsu makan. Orang maag biasanya diakibatkan jarang makan. Boleh jadi karena malas. Hal ini perlu diminimalisasi dengan banyak makan misal mengisi perut setiap sekian jam sekali dengan biskuit. Dan mengkonsumsi antasid sebelum makan.

Bahwa ada obat yang namanya oralit, setara dengan satu gelas air putih ditambah satu sendok gula dan dua sendok garam untuk mengganti cairan tubuh dari orang yang banyak mengeluarkan cairan tubuh.

Bahwa ada obat namanya diazepam untuk menekan sugesti manusia pada kekhawatiran akan sakit. Lebih tepatnya, obat ini dibutuhkan untuk menangani mereka yang punya kekahawatiran berlebih misal punya penyakit kronis padahal yang sugestinya saja.

Bahwa untuk menekan rasa sakit berlebih, bisa karena dismenor atau maag, bisa dengan asam mefenamat.

Bahwa minum air putih harus lebih sering dirutinkan lagi, untuk menghindari konstipasi yang berpotensi merusak saluran pembuangan.

Saya bersyukur untuk segala wawasan kehidupan ini.


Yogyakarta, 09 Maret 2016.

Islam