Antara Akademisi dan Ahli Herbal
Ada banyak retorika yang berkembang di kalangan masyarakat
pondok. Mulai dari menganut rasa ta’dzhim kepada ustadz. Meningkatkan rasa
kepekaan dan rasa tolong menolong dalam kehidupan satu atap. Sampai dengan
kemampuan untuk bisa manajemen waktu di antara rutinitas yang lebih padat
dibandingkan anak sekolah umum favorit sekalipun. Dengan beban akademik,
hafalan quran, dan tuntutan penguasaan bahasa mereka.
Yang saya ceritakan di sini
adalah hal yang membangkitkan intuisi pribadi sampai-sampai tergelitik untuk
menuangkannya. Ada satu paradigma yang membuat saya menepuk jidat dan mengelus
dada berkali-kali. Sampai saya berkonsultasi pada rekan sejawat.
Tentang pengobatan herbal
diutamakan di atas logika kesehatan.
Pertama kali saya menjadi
musyrifah, pada malam kedua, pintu kamar saya diketuk oleh santri pada tengah
malam sekitar jam setengah satu pagi. Untungnya saya masih tersadar mengerjakan
tugas sehingga suara tapak kaki mereka yang ragu mengetuk pintu antara nyata
dan redup, samar terdengar olehku.
“ada apa?” aku membuka pintu,
melihat kedua santri berwajah cemas.
Mereka menoleh bernafas lega.
“Hurin, ukhti,...”
Kemudian aku bergegas ke sana.
Meninggalkan kamar dengan rekan saya yang masih tertidur pulas saat itu.
Kesibukan kami berbeda, dan kondisi memaksa saya masih terjaga sampai tengah
malam. Akhirnya, saya bergegas pergi ke kamar santri.
Gadis kecil itu termasuk kecil
untuk usianya. Kelas 1 SMP. Cantik. Sangat cantik dan manis.
Beliau mengeluh sakit. Saya yang
menjadi orang baru di sini, tidak habis pikir untuk menghadapi situasi yang
begitu rumit, terlebih kala itu saya belum membaca apapun riwayat penyakit para
santri. Sejurus kemudian, saya langsung mengambil handphone dan menghubungi
teman saya, anak fakes yang kebetulan kami sekontrakan. Meskipun saya paham
betul kondisinya beliau sedang pulang kampung ke tempat asalnya, Cilacap.
Satu dering beliau belum
mengangkat. Yang kedua masih belum.
Sampai dering ke delapan. Beruntung sekali, tengah malam dan beliau masih
terjaga..
“gif.. ini kalau sakit perut
gimana, ya? katanya penyakit maag... dia sampai nangis perih banget.” Aku kalap
sekali kala itu.
Suaranya masih terantuk setengah
sadar. Rupanya dering handphone membangunkannya dari alam mimpi, “oh, Ay..
hm... pakai air hangat saja dikompres perutnya, atau yang hangat-hangat. Sambil
dipijitin..”
“ada obatnya, gif? Anaknya sakit
banget gif, ini lagi nangis...”
“promaag coba, Ay,..”
Kutanyakan kepada Hurin, apakah
terbiasa mengkonsumsi promaag, beliau meggeleng sambil masih terus menangis. Ia
duduk kaku sambil memegang perut yang kesakitan dan air mata berderai.
Sementara teman teman sekelilingnya semua telah tertidur lelap selain dua orang
santri yang membangunkanku. Ada yang berujar, “pakai habbatus sa’udah punyaku,
ukhti...”
Saya terdiam sesaat. Tersenyum.
Lalu kembali mengalihkan fokus pada si santri. Singkat cerita, malam heroik itu
berakhir dengan saya yang tertidur lelap di samping Hurin. Memijit perut
sebelah kirinya yang sakit sampai mereda. Tangisnya terbawa tidur. Dan tidurnya
membawa saya bernafas lega.
Ini baru satu contoh kasus.
Kemudian, pada tanggal 02 maret
tepatnya. Saya pulang dari kampus. Mendadak begitu banyak keluhan dari
anak-anak. Apa ada yang salah dengan kondisi kamar santri atau makanan. Yang
jelas ada ketidakberesan dengannya.
Pertama,
“ukhti.. Nadia tadi pagi muntah
dua kali.. Mencret juga, bolak-balik kamar mandi terus..”
Saya memutar otak, bergegas
bertanya pada anaknya yang kondisinya sudah cukup lemas. Meski wajahnya putih,
namun kali ini putih pucat.
“sudah diminum obat?”
“sudah.. tadi pakai sarang semut
punya noni..”
“sarang semut?”
“itu loh ukhti, obat herbal punya
Noni,”
Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh.
Rasanya seperti nostalgia.
Kedua,
“Ukhti... Jihan pusing, ukhti,”
“oh iya?” sambil mencoba mengecek
suhu badan dengan tangan. Suhunya normal. “sudah dikasih obat pusing?”
“nanti coba bekam, ukhti.. sama
ibunya mba Ima.”
Saya hanya terdiam. Sejenak. Oh.
Ada lagi ...
Ketiga,
“ukhti..mba Dani tadi, bab nya
berdarah..”
Oh iya? “iya, Dan?”
“iya, aku ambein, ukhti..”
“punya ambeven?”
“nggak ukhti.. aku biasa pakai
obat herbal..”
“obat herbal?”
“iya, spray herbal.”
“terus, gimana cara pakainya?”
“disemprot, dibagian belakang.”
Saya hanya diam. Sejenak. Oh.
Sambil menepok jidat.
Dan yang lebih kerennya lagi,
semua ini terjadi dalam satu hari. Satu waktu. Maka saya (kembali) mengambil
smartphone sambil menanyakan pada salah satu grup yang –alhamdulillah saya
berkesempatan berkenalan dengan beberapa anak fakes yang sangat membantu untuk
ini.
Satu respon pertama yang saya
ingat, ‘bawa ke dokter aja, Ay.’ Rupanya beliau mengira poin penyakit itu
dialami satu orang. Padahal, saya tuliskan per poin karena setiap poin dialami
orang yang berbeda.
Kemudian, seorang mahasiswi teman
kontrakan yang saya kenal sedang menjalani koas segera menjapri saya dan
menjelaskan solusi penanganannya.
“ammah Aya, kalau yang diare dan
muntah terus, bawa minum oralit. Kalau
nggak ada, coba beli pocari sweat. Diminta
diminum, untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Untuk kasus yang babnya
berdarah, tanyakan, darahnya merah segar atau tidak. Jika masih merah segar,
berarti ada luka di dinding saluran pembuangannya. Bisa jadi karena mengejan
terlalu kuat saat defekasi. Kalau darahnya tidak segar, coba bawa periksa ke
dokter. Bisa jadi ada penyakit dalam.’
Saya merasa menjadi manusia
beruntung saat itu juga.
‘anaknya saya tanya darahnya
gimana warnanya? Dia jawab nggak mau,.. nggak mau, ukhti...’
‘namanya juga bocah, Ay...’
Iya, ya. Saya bukan lagi mengurus
anak kampus.
Kasus terakhir, terjadi beberapa
hari yang lalu. Saat mata saya gatal, saya ditawari ‘pakai propolis saja,
ukhti.. tapi agak perih, sih. Katanya juga menurunkan minus di mata,. Supaya
ukhti gak perlu pakai kacamata lagi..’
Saya hanya tersenyum hambar.
Malamnya langsung kukumpulkan
saja anak-anak. Memberikan sebuah pencerdasan wawasan. Bahwa kebutuhan obat
herbal sejatinya merupakan kebutuhan komplementer. Bukan untuk pengobatan
total. Eksistensinya untuk menjaga kesehatan dan bumbu tambahan dalam menjaga
kesehatan jasmani. Namun bukan solusi yang cerdas untuk pengobatan dalam atau
luka yang parah. Betapa paradigma ini ingin sekali kuubah.
Saya tidak menyesalkan ini.
Karena dengan ihwal seperti ini, kapasitas ilmu saya semakin holistik menangkan
sinyal tambahan sebagai ilmu hidup.
Bahwa jika seorang memiliki asma,
mereka biasanya mengkonsumsi obat khusus dari dokter seperti sarbutamol, dan
rutin tiap hari memakai bronkodilator beberapa kali semprot.
Bahwa pada maag kronis, bisa
diatasi dengan makan temulawak untuk meningkatkan nafsu makan. Orang maag
biasanya diakibatkan jarang makan. Boleh jadi karena malas. Hal ini perlu
diminimalisasi dengan banyak makan misal mengisi perut setiap sekian jam sekali
dengan biskuit. Dan mengkonsumsi antasid sebelum makan.
Bahwa ada obat yang namanya
oralit, setara dengan satu gelas air putih ditambah satu sendok gula dan dua
sendok garam untuk mengganti cairan tubuh dari orang yang banyak mengeluarkan
cairan tubuh.
Bahwa ada obat namanya diazepam
untuk menekan sugesti manusia pada kekhawatiran akan sakit. Lebih tepatnya,
obat ini dibutuhkan untuk menangani mereka yang punya kekahawatiran berlebih
misal punya penyakit kronis padahal yang sugestinya saja.
Bahwa untuk menekan rasa sakit
berlebih, bisa karena dismenor atau maag, bisa dengan asam mefenamat.
Bahwa minum air putih harus lebih
sering dirutinkan lagi, untuk menghindari konstipasi yang berpotensi merusak
saluran pembuangan.
Saya bersyukur untuk segala
wawasan kehidupan ini.
Yogyakarta, 09 Maret 2016.