Bobot 'Wakil Ketua'
Rasa itu bernama ‘kekeluargaan’.
Sekarang, giliranku tersenyum
sambil memutar otak. Hal baru yang mencoba kubiasakan saat ini. Senantiasa
tersenyum sekalipun setumpuk beban dengan segunung tugas dan tanggung jawab
menyerang dalam satu waktu. Ini bukan masalah sekompleks menyelesaikan
problematika umat. Ini hanya perkara mengayomi 16 orang yang membawahi 236
staff dan 106 proker. Itu menjadi jargon yang selalu terngiang di akhir 3 bulan
kepengurusan.
Iri rasanya di kala orang lain
sudah berpikir interdisipliner, holistik, ataupun act globally.
Sementara aku tetap berada stagnan dalam posisi. Orang yang paling apatis ini
dipaksa bertransformasi menjadi makhluk paling peduli dalam satu kepala
membawahi 236 staff. Oh ya, sudah beranak 120 orang. Ada potensi yang harus
digali pula.
Ada sebuah alasan yang
mendasariku berpikir ulang untuk mengambil langkah mengejar idealitas. Memilih
menjadi manusia yang hidup dalam realita sambil menyusun sebuah visi yang
direalisasikan dalam sepaket buku kecil berisikan targetan-targetan. Sebuah
pagar yang membatasi dari tindakan bodoh berupa : pengkhianatan mimpi hidup.
Sebelum membahas substansi pokok
kondisi lembaga ini, perlu digarisbawahi kondisi rekan seperjuangan. Mereka
adalah pejuang tangguh. Karenanya kami menjuluki diri kami sendiri sebagai
“pejuang harian.” Kami berjuang setiap harinya. Berjuang akan tanggung jawab
akademis. Berjuang akan tuntutan organisasi. Serta mengingat akan orang tua
yang menggantungkan harapan begitu tinggi untuk kebermanfaatan pribadi. Kami berjuang
dalam lingkungan kami masing-masing.
Ada posisi dimana harus memimpin.
Dialah sosok pemimpin. Saya tidak meragukan jiwa kepemimpinan beliau dengan
begitu sistematis dan teratur. Penuh strategi dan matang.
Izinkan kuceritakan satu hal,
kawan. Ini bukan sekedar retorika.
Ada sebuah dinamika yang unik
dalam setahun kepengurusan. Dan sepanjang itulah, kami yang memahaminya perlu
mengenal masa dimana jalinan keakraban itu bisa mulai dirangkai, atau masa
dalam menata hati dari perasaan egois untuk menarik diri dari lingkungan dan
mengabaikan amanah. Atau masa saat kami harus menutup kisah dengan tangisan
bercampur kelegaan luar biasa? Semuanya bercampur baur menjadi satu.
Memang pada akhirnya, dibutuhkan
orang yang tetap stagnan. Dalam arti begini. Beliau menjadi sosok yang selalu
ada. Senantiasa menjadi penyemangat, pendorong moral serta pemantik intuisi.
Tidak perlu dituntut untuk bisa menjadi problem solver. Namun, dia sosok
yang selalu bisa hadir saat kejenuhan itu melanda. Dialah yang memberikan perhatian
lebih, seolah semua diistimewakan tanpa mereka saling tahu bahwa semuanya
diperlakukan istimewa.
Dan dalam posisi ini, aku melihat
refleksi dari bagaimana senior terdahulu bersikap. Dan mencoba belajar.
Mari berpikir. Ketika mengambil
jalan untuk mengasah kompetensi dan terbang melangit sebagai sosok prestatif
dengan segala inspirasi yang moga-moga terciprat, para rekan pun akan sulit
untuk menyapa. Apalagi bergurau dan bercanda. Lain hal saat memposisikan diri
sejajar dengan mereka. Sebagaimana orang yang memiliki waktu kosong dalam
hidupnya untuk bisa nongkrong dan bercakap sambil mengomentari karakter
orang.
Sedikit-sedikit aku mulai
memahami bahwa konsep kekeluargaan membutuhkan proses yang lama. Waktu. Uang.
Tenaga. Menguras otak. Emosi. Dan ekspresi. Itu bukanlah seperti PKM yang bisa
dikerjakan seminggu penuh hingga kau absen jam malam asrama. Bukan pula seperti
engkau menggarap skripsi yang menghabiskan puluhan gelas kopi dalam semalam
suntuk selama satu tahun penuh. Atau bahkan paper yang bisa kau kerjakan sambil
mendiskusikan tema bersama dosen dan rekan penelitian.
Itu membutuhkan kesediaan diri
untuk menjadi sosok yang sederhana. Yang mau menunda sebagian dari targetan
hidupmu untuk bisa duduk di sekre. Kadang kala berusaha memproduktifkan waktu. Lalu
saat itu, kau lihat suasana keramaian satu-dua orang berdatangan. Ada yang main
catur. Ada yang berdiskusi. Ada yang mengerjakan laprak. Ada yang ngenet.
Sampai kemudian ada satu-dua orang datang menghampirimu. Mereka berkeluh kesah.
Menyampaikan rasa dan meminta saran. Atau sekedar bercerita.
Akan banyak lagi warna yang ada.
Dan aku mulai menikmatinya. Semoga bisa bertahan untuk 3 bulan berikutnya.
Yogyakarta, 24 September 2015