9 Mar 2016

Bobot 'Wakil Ketua'

Rasa itu bernama ‘kekeluargaan’.

Sekarang, giliranku tersenyum sambil memutar otak. Hal baru yang mencoba kubiasakan saat ini. Senantiasa tersenyum sekalipun setumpuk beban dengan segunung tugas dan tanggung jawab menyerang dalam satu waktu. Ini bukan masalah sekompleks menyelesaikan problematika umat. Ini hanya perkara mengayomi 16 orang yang membawahi 236 staff dan 106 proker. Itu menjadi jargon yang selalu terngiang di akhir 3 bulan kepengurusan.

Iri rasanya di kala orang lain sudah berpikir interdisipliner, holistik, ataupun act globally. Sementara aku tetap berada stagnan dalam posisi. Orang yang paling apatis ini dipaksa bertransformasi menjadi makhluk paling peduli dalam satu kepala membawahi 236 staff. Oh ya, sudah beranak 120 orang. Ada potensi yang harus digali pula.

Ada sebuah alasan yang mendasariku berpikir ulang untuk mengambil langkah mengejar idealitas. Memilih menjadi manusia yang hidup dalam realita sambil menyusun sebuah visi yang direalisasikan dalam sepaket buku kecil berisikan targetan-targetan. Sebuah pagar yang membatasi dari tindakan bodoh berupa : pengkhianatan mimpi hidup.

Sebelum membahas substansi pokok kondisi lembaga ini, perlu digarisbawahi kondisi rekan seperjuangan. Mereka adalah pejuang tangguh. Karenanya kami menjuluki diri kami sendiri sebagai “pejuang harian.” Kami berjuang setiap harinya. Berjuang akan tanggung jawab akademis. Berjuang akan tuntutan organisasi. Serta mengingat akan orang tua yang menggantungkan harapan begitu tinggi untuk kebermanfaatan pribadi. Kami berjuang dalam lingkungan kami masing-masing.

Ada posisi dimana harus memimpin. Dialah sosok pemimpin. Saya tidak meragukan jiwa kepemimpinan beliau dengan begitu sistematis dan teratur. Penuh strategi dan matang.

Izinkan kuceritakan satu hal, kawan. Ini bukan sekedar retorika.

Ada sebuah dinamika yang unik dalam setahun kepengurusan. Dan sepanjang itulah, kami yang memahaminya perlu mengenal masa dimana jalinan keakraban itu bisa mulai dirangkai, atau masa dalam menata hati dari perasaan egois untuk menarik diri dari lingkungan dan mengabaikan amanah. Atau masa saat kami harus menutup kisah dengan tangisan bercampur kelegaan luar biasa? Semuanya bercampur baur menjadi satu.

Memang pada akhirnya, dibutuhkan orang yang tetap stagnan. Dalam arti begini. Beliau menjadi sosok yang selalu ada. Senantiasa menjadi penyemangat, pendorong moral serta pemantik intuisi. Tidak perlu dituntut untuk bisa menjadi problem solver. Namun, dia sosok yang selalu bisa hadir saat kejenuhan itu melanda. Dialah yang memberikan perhatian lebih, seolah semua diistimewakan tanpa mereka saling tahu bahwa semuanya diperlakukan istimewa.

Dan dalam posisi ini, aku melihat refleksi dari bagaimana senior terdahulu bersikap. Dan mencoba belajar.

Mari berpikir. Ketika mengambil jalan untuk mengasah kompetensi dan terbang melangit sebagai sosok prestatif dengan segala inspirasi yang moga-moga terciprat, para rekan pun akan sulit untuk menyapa. Apalagi bergurau dan bercanda. Lain hal saat memposisikan diri sejajar dengan mereka. Sebagaimana orang yang memiliki waktu kosong dalam hidupnya untuk bisa nongkrong dan bercakap sambil mengomentari karakter orang.

Sedikit-sedikit aku mulai memahami bahwa konsep kekeluargaan membutuhkan proses yang lama. Waktu. Uang. Tenaga. Menguras otak. Emosi. Dan ekspresi. Itu bukanlah seperti PKM yang bisa dikerjakan seminggu penuh hingga kau absen jam malam asrama. Bukan pula seperti engkau menggarap skripsi yang menghabiskan puluhan gelas kopi dalam semalam suntuk selama satu tahun penuh. Atau bahkan paper yang bisa kau kerjakan sambil mendiskusikan tema bersama dosen dan rekan penelitian.

Itu membutuhkan kesediaan diri untuk menjadi sosok yang sederhana. Yang mau menunda sebagian dari targetan hidupmu untuk bisa duduk di sekre. Kadang kala berusaha memproduktifkan waktu. Lalu saat itu, kau lihat suasana keramaian satu-dua orang berdatangan. Ada yang main catur. Ada yang berdiskusi. Ada yang mengerjakan laprak. Ada yang ngenet. Sampai kemudian ada satu-dua orang datang menghampirimu. Mereka berkeluh kesah. Menyampaikan rasa dan meminta saran. Atau sekedar bercerita.

Akan banyak lagi warna yang ada. Dan aku mulai menikmatinya. Semoga bisa bertahan untuk 3 bulan berikutnya.


Yogyakarta, 24 September 2015

Islam