Saya rasanya lebih berat berdiri
di sinidaripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu
karenea konten dari moral dan etikanya jelas berbeda, dan itu yang membuat saya
jarang sekali biasanya grogi, sekarang menjadi grogi.
Kalau tadi disebutkan mengenai
ada dua laki laki. Hati kecil saya tetap mengatakan bahwa sampai saat ini saya
adalah pembantu laki laki itu. Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan
tentang konsep etika yang saya pahami. Pada saat saya menjadi pembantu, secara
etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal buruk tentang siapa yang saya bantu.
Jadi saya mohon maaf ika agak berbeda dan aspirasinya agak berbeda dengan yang
ada di malam ini.
Tapi saya diminta untuk bicara
kebijakan dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali
merupakan suatu pergulatan harian saya semenjak hari pertama saya bersedia
untuk menerima jabatan sebagai Menteri di Kabinet, di Republik Indonesia itu.
Suatu penerimaan jabatan yang
saya lakukan dengan penuh kesadaran. Dengan segala upaya saya untuk memahami
apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara, yang di dalam dirinya setiap
hari adalah melakukan tindakan membuat pernyataan, membuat keputusan yang
semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat
sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar seperti anda semua, tentang
filosofi.
Tapi saya dididik untuk memahami
etika dalam pemahaman yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari
pertama saya harus tahu untuk membuat garis apa yang disebut untuk kepentingan
publik, dengan kepentingan pribadi saya, keluarga, atau kelompok. Dan
sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Roki Gerung di Filsafat UI untuk pintar
tentang itu. Karena kita belajar 30
tahun di bawah rezim Soeharto, dimana begitu acak hubungan antara kepentingan
publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang
setiap hari harus membuat kebijakan publik, dengan domain saya sebagai makhluk
yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah itulah kemudian
hari-hari pertama dan lebih dari lima tahun saya bekerja untuk kepemerintah
ini. Topik mengenai ‘Apa itu kebijakan publik’, dan bagaimana kita harus
berpikir, merasakan, membuat keputusan, menjadi sangat penting. Tentu saya
tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut apa yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan
masyarakat banyak, Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Jadi, kebijakan publik dibuat
dengan tujuan melayani masyarakat. Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh
kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis, karena dia merupakan
produk dari suatu proses politik, dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya.
Di situlah letak persinggungan, atau yang disebut ingredients dari
kebijakan publik, yaitu ‘unsur kekuasaan’. Dan kekuasaan itu sangat mudah
menggelincirkan kita. Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa
ada pengendalian dan sistem pengawasaan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt.
Itu sudah dikenal oleh kita semua.
Namun, pada saat anda berdiri
sebagai pejabat publik, memiliki
kekuasaan dan kekuasaan itu dipastikan membuat kita corrupt, maka pertanyaan
‘kalau saya ingin jadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang
harus saya lakukan?’
Oleh karena itu, di dalam proses
proses yang saya lalui, dari hari pertama. Karena begitu khawatirnya, tapi di
saat yang sama ada perasaan anxiety namun tidak ingin tergelincir kepada
korupsi. Maka, pada hari pertama Anda masuk kantor, Anda tanyakan dulu pada
sistem pengawasan dan staff Anda. Apalagi waktu itu, jabatan dari bappenas menjadi
Menteri Keungan. Dan saya sadar sesadar-sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan
Kementrian Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan, pada saat saya tidak berpikir
corrupt pun, orang sudah berpikir ngeres tentang hal itu.
Bayangkan seseorang harus
mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar mulai dari 400
triliyun sampai sekarang di atas 1000 triliyun. Itu omset. Total asetnya
mendekati 3000 triliyun lebih.
Saya sudah melihat banyak sekali –apa
yang disebut tata kelola atau governance pada saat seseorang memegang
suatu keuangan begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur atau
apalagi terpeleset. Sehingga tergoda, bahwa apa yang dia kelola menjadi seolah-oleh
aset miliknya sendiri.
Dan di situlah hal-hal yang
sangat nyata mengenai bagaimana kita membuat garis pembatas yang sangat
disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri, dan bahkan dalam pikiran dan
perasaan kita. Untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dan penuh
perhitungan, dan tidak memperbolehkan perasaan ataupun godaan apapun, untuk
bahkan berpikir untuk meng-abusenya.
Barangkali itu istilah yang
disebut teknokratik. Tapi saya sih menganggap bahwa banyak juga orang yang katanya
berasal dari akademik, disebut teknokrat, tetapi baunya tidak seperti itu.
Tingkahnya apalagi, lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasafiikaan
label, tapi sebagai genuine, produknya dia seperti apa. Tingkah laku
yang esensial.
Di dalam hari-hari dimana kita
harus membuat kebijakan publik, dan tadi disebutkan kewenangan menyangkut
sebuah, atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba menegakkan
rambu-rambu internal dan juga eksternal.
Mungkin contoh untuk internal,
hari pertama saya tanyakan pada inspektorat jendral saya, ‘tolong berikan list
apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri.’ Biasanya mereka bingung,
‘tidak ada menteri yang tanya begitu, bu. Karena menteri boleh semua, termasuk boleh
mecat saya.’ Kalau seorang menteri menanyakan apa yang boleh dan tidak boleh,
menurut mereka menjadi sebuah pertanyaan yang sangat ganjal. Untuk kultur
birokrat, hal itu sangat sulit dipahami.
Di dalam kewenangan yang sangat
besar, kita membuat rambu-rambu. Kita membuat standard operating procedure, tata
cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem
check and balance. Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen
kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan.
Saya bisa cerita berhari-hari
kepada Anda, banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan
seorang pada jabatan Menteri Keuangan mudah tergoda. Dari korupsi kecil, sampai
besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan retail, sampai korupsi yang
sifatnya apstrim dan hulu. Dan bahkan
dengan kewenangan dan kemampuannya, dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena
dengan kewenangan yang besar, dia sebetulnya juga bisa membeli sistem. Dia bisa
menciptkan network. Dia bisa menciptkan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa
yang menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang
sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu Anda tergelincir pada satu
hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun kita mencoba untuk
menegakkan peraturan, membuat rambu-rambu dengan menegakkan pengawasan internal
dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Di situlah apa
yang kemudian muncul, unsur ‘etika’. Karena etika menempel di dalam diri kita
sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak
pantas. Apakah sesuatu itu mengkhianati atau tidak mengkhianati kepentingan
publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak
sedang mengkhianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita. Dan kemudian,
kalau kemudian kita bicara tentang ‘total’, atau agregat. Setiap kepala kita
dijumlahkan menjadi etika yang sifatnya agregat atau publik. Pertanyaannya
adalah, ‘apakah di dalam domain publik ini, setiap etika pribadi kita bisa
dijualkan dan menghasilkan barang publik yang diinginkan, yaitu suatu rambu-rambu
normal yang mengatur dan memberikan guidance yang pada kita? ‘ saya
termasuk yangbanyak mendapat penderitaan menjadi menteri, karena itu tidak
terjadi.
Waktu saya menjadi menteri,
sering saya harus berdiri atau duduk berjam jam, duduk di DPR. Di situ anggota
DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh.
Mereka mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya
mengatakan, ‘ini adalah panggung politik, ibu.’
Waktu saya dulu masuk Menteri
Keuangan, pertama. Saya masih punya dua dirjen yang sangat terkenal. Dirjen pajak
dan dirjen keungan saya. Mereka sangat powerful. Karena pengaruhnya, dan
juga respectability, saya tidak
tahu karena apa, kepada anggota dewan, mereka luar biasa.
Dan waktu saya ditanya, segala
macam. Setiap keputusan, statement saya, selalu ditanya sangat keras. Saya
dulunya begitu naif mengatakan, ‘oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar’
saya legowo saja dengan tenang saya menulis. Waktu saya sudah ditulis, mereka
keluar ruangan, tidak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian, saya
dinasehati dirjen saya, ‘ibu nggak usah dimasukkan ke hati, bu, hal seperti itu. Itu
hanya episode. Satu drama saja’.
Tapi kemudian itu menimbulkan
suatu pergolakan batin. Karena saya kemudian bertanya, tadi dikaitkan dengan
etika publik. ‘Kalau orang bisa secara terus menerus berpura pura, dan media
memuat. Dan tidak ada satu kelompok pun yang menyatakan itu adalah kepura-puraan.
Maka kita bertanya-tanya apalagi, siapa lagi yang akan menjadi guidance Yang
mengingatkan pada kita tentang apa yang disebut norma kepantasan?’
Dan itu sungguh berat. Karena terus
saya mengatakan, ‘jika saya jadi pejabat publik, ongkos menjadi pejabat publik,
pertama. Kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo tidak ada masalah.
Yang kedua saya khawatir saya akan menjadi split personality. ‘ Waktu di dewan, saya
jadi personality yang lain. Nanti di kantor juga demikian. Waktu di rumah lain
lagi. Untung suami dan anak anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu
itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah
ubah. Kalau pagi lain dengan sore, sore laindengan malam, malam lain lagi
dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu
ongkos yang paling mahal bagi pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin
menjalan kan secara konsisten.
Oleh karena itu, di dalam konteks
inilah kita berbicara tentang etika publik yang seharusnya menjadi landasan,
arahan, bagi bagaimana kita memproduksi tindakan, keputusan yang itu adalah untuk
urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan
situasi yang baik di masyarakat. namun di sisi lain kita harus berhadapan
dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana menurut mereka, norma dan
etika itu nampaknya tidak hanya double standard. Triple standard.
Bahkan, kalau kita bicara tentang
istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul betul terpana.
Waktu saya menjadi executif director di AMF, pertama kali saya mengenal
apa yang disebut birokrat dari negara-negara maju. Hari pertama, saya diminta
untuk tanda tangan sebagai eksekutif direktor, do dan donts. Di
situ juga disebutkan konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang
memproduksi suatu policy public untuk level internasional, mengharuskan
setiap elemen, orang yang terlibat dalam proses politik atau proses kebijakan
itu, harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu, kita boleh
tanya, ‘apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat ini termasuk domain konflik
kepentingan?’ dan mereka membeirkan consoul pada kita untuk bisa membuat
keputusan yang baik. Sehingga bekerja
dalam institusi seperti itu, mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir, ya
kebangetan saja, Anda.
Namun, waktu saya kembali ke
Indonesia, dan setahu saya tentang konflik kepentingan, saya sering membuat
rapat, dan kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran.
Entah belanja, intensif. Dan pihak yang ikut duduk kebijakan adalah pihak yang
akan dapat kekuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan
bahwa yang penting, pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa, itu
urusan sekunder.
Anda bisa melihat bahwa kalau
pejabat itu backgroundnya pengusaha. Meskipun yang bersangkutan mengatakan,
‘telah meninggalkan seluruh bisnisnya.’ Tapisemua orang tahu bahwa adiknya,
anaknya, kakaknya, semuanya masih run’ dan dengan tenangnya berbagi
kebijakan. Bahkan yang kadang membuat saya terpana, -kalau dalam bahasa
inggris, i drop my joy. Bengong. Kita bingung bahwa ada sebuah keputusan
dibuat. dan ada banyak catatan pribadi dibuat. dan keputusan ini, besok lagi
yang mengimport adalah perusahaannya dia.
Ini merupakan sesuatu hal yang barangkali
tanpa perlu didramatisir, the most reason phenomena. Kita semua tahu
itulah penyakit yang terjadi di zaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara
tertutup. Tapi sekarang, dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan,
dia bisa mengkooptasi, decision making process juga. Kelihatannya
melalui demokrasi, keliahatannya melalui proses check and balance juga.
Tetapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu
kental. Etika itu barang yang jarang disebut, pak.
Ada suatu saat saya membuat rapat.
Dan rapat itu jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan dari
beberapa yang saya undang, komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa,
dan mengatakan dengan tenang, ‘bagi yang
punya afiliasi dari apa yang kita diskusikan, silahkan keluar dari ruangan.’ Memang
itu tradisi yang kita coba dilakkan di Kementrian Keuangan. Kebetulan mereka
teman teman saya, dan dengan bitter mereka mengatakan, “mba Ani, jangan
sadis-sadis begitulah. Kalaupun kita suruh keluar, biar kami keluar diam-diam.
Gak usah caranya begitu’
Saya ingin mengatakan ini kepada
Anda bahwa bagaimana, konsep mengenai etika dan konflik kepentingan bisa
dikatakan sangat langka direpublik ini. Dan kalau kita berusaha menegakkan,
kita dianggap menjadi barang yang aneh.
Tentu adalah sebuah keresahan
bagi kita, karena episode beberapa kali adalah di dalam ruangan publik, rakyat
atau masyarakat yang seharusnya menjadi the ultimate share holder dari
kekuasaan. Yang memilh, kepada siapapun menjadi CEO dari republik ini. Dan
memilih yang menjadi pengawas atau check terhadap CEOnya. Proses ini
tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang mengatakan untuk memegang jabatan
eksekutif dari level kabupaten, kota, provinsi, membutuhkan biaya luar biasa. Apalagi
presiden, pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan. Untuk suatu
beban seseorang.
Saya Menteri Keuangan, saya biasa
mengurusi ratusan triliyun bahkan ribuan. Saya tidak kaget dengan angka, tapi saya
akan kaget jika itu jadi beban personal. Seseorang akan menjadi kandidat
mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return on investment saja
tidak masuk. Saya lihat, struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak
rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan, karena nanti dianggap dianggap
mau menyejahterahkan diri sebelum menyejahterahkan rakyat. Sehingga muncullah
anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat. Saya mencoba
sebagai pejabat negara untuk mengatakan, ‘strukturnya harus diubah. Dibenahi
lagi.’
Namun tetap, toh tidak bisa
menjelaskan sebuah proses politik yang begitu sangat mahalnya. Sehingga, memunculkan
suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber financial. Dan
disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin dibayar dengan gajinya,
bahkan melalui APBDnya pun tidak mungkin, karena size dari APBDnya kadang
kadang tidak sebesar atau tidak sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy.
Policy yang bisa dijual belikan.
Dan itu adalah hasil dari sebuah kolaborasi.
Pertanyaan untuk kita semua,
‘bagaimana kita menyikapi hal ini, di dalam konteks bahwa produk dari kebijakan
publik melalui sebuah proses politik yang begitu mahal, sudah pasti akan distorted
. dengan struktur yang membentuk awalnya. Karena kebijakan publik adalah hilir,
hasil akhir. Hulunya, lebih hulu lagi, prosesnya dalam membentuk kekuasaan itu,
sedemikian mahal. Dan itu, akan menjadi pertanyaan yang constant untuk
sebuah sistem demokrasi.
Maka pada saat kita dipilih atau
diminta untuk menjadi pembantu dari pemerintah, tentu kita tidak punya ilusi
bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. Politik dimana
saja adalah tentang kepentingan, dan kepentingan itu kawin di antara beberapa kelompok
untuk mendapatkan kekuasaan itu. Hasil perkawainan itu, siapa saja yang ingin kalau
pada hari ini disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan, menangisi, ada
yang gelo kenapa kok, Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri
Keuangan? Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap, sumbangan
saya atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik, tidak lagi
dikehendaki oleh sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan begitu dominan
dan nyata. Banyak yang mengatakan itu kartel, saya lebih suka itu kawin. Walaupun
jenis kelaminnya sama. Karena politik itu sama. Karena politik lebih banyak lakinya
dibandingkan perempuan. Hampir semua ketua partai itu laki, kecuali satu.
Dan di dalam sistem politik tidak
menghendaki lagi, atau dalam ha ini tidak memungkinkan etika publik itu
dimunculkan, maka untuk orang seperti saya, akan menjadi sangat tidak mungkin
untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tanggung jawab untuk menjadi
pejabat publik saya sudah berjanji pada diri saya sendiri saya tidak angin
menjadi orang yang mengkhianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful.
Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak
pernah mencucurkan atau meneteskan air mata untuk menegakkan prinsip itu.
Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu
besar. Anda bisa. Anda mampu. Anda bahkan boleh. Anda bahkan diharapkan untuk
mengabusenya. Oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi.
Agar nyaman. Dan Anda tidak mau.
Pada saat yang sama, Anda tidak
selalu diapresasi. P2D kan baru muncul
sesudah saya mundur. Jadi ya, terlambat
tidak apa, asal masih bisa menyelamatkan republik ini, lah.
Kecintaan itu paling tidak akan
terus memelihara suarahati kita. Bahkan mejaga etika kita dalam bertindak,
berbuat serta membuat keputusan.
Mungkin saya akan mengatakan
bahwa, pada bagian akhir kuliah saya ini, saya ingin menyampaikan pada semua
kawan-kawan ini. Say abukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi
bukan berarti bahwa saya tidak tahu politik. Selama lebih dari lima tahun saya
tahu persis bagaimana proses politik terjadi.
Kita punya perasaan bergumul,
bergelora, atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita
bahwa, jangan jangan, banyak orang ingin berbuat baik, merasa frustasi. Atau
mungkin saya mencoba less dramatic ..................... kompromi itu perlu
untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru.
Karena saya tahu betul cerita para teknokroat jaman pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah
pada dilema : apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang
lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau Anda
out dan anda punya chance untuk berbuat atau paling tidak resiko utuk bisa getting
associated with berkurang. Personal gain, public loss. Atau paling
tidak . if you are stay, dan itu yang saya rasakan lima tahun, you
suddenly feel that everybody is your enemy. Karena no one yang
sangat simpati yang tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita masih
dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan kita pun tidak bisa karena kita bukan
kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Dan itu bukanlah sebuah pengalaman yang
mudah. Dan kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak,
lebih banyak. Sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
Nah, kalau kita ingin kembali ke
dalam topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum- forum semacam ini atau
kelompok seperti Anda yang saya yakin adalah kelompok kelas menengah yang
sangat sadar membayar pajak. Membayarnya pun tentu tidak sukarela, tidak ada
orang yang patriotik yang mau mengatakan membayar pajak sukarela. Tapi meskipun
tidak sukarela, Anda sadar bahwa itu adalah kewajiban yang dibuat untuk menjaga
republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti Anda, yang karena tahu membayar
pajak adalah kewajiban adalah hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam
bentuk sistem politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang
seperti Andalah republik ini harus dijaga.
Sungguh berat, dan saya ditanya
atau berkali kali di banyak forum ditanya, ‘kenapa ibu pergi? Bagiamana
reformasi? Kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia
sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting, dibandingkan bank dunia?
Seolah oleh negara ini menjadi tanggung jawab Sri mulyani. Dan saya keberatan.
Dan saya ingin sampaikan di forum ini jika anda bertanya hal yang sama ke saya Anda semua bertanggung jawab sama seperti saya.
Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan. Sampai saya harus
menyampaikan pada jajaran beacukai, jajaran perbendaharaan, jangan pernah putus
asa mencintai republik. Saya tahu sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa
transisi yang sangat pelik.
Kecintaan itu paling tidak akan
terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan, menjaga etika kita di dalam
bertindak dan berbuat serta membuat keputusan.
Dan saya ingin membagi kepada teman-teman
di sini. Karena terlalu banyak di media seolah olah ditunjukkan yang terjadi di
aparat di Kementrian Keuangan, yang
sudah direformasi, masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni
bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly mereka adalah
orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta Republik sama seperti Anda.
Mereka juga kritis. Mereka punya nurani. Mereka punya harga diri. Dia bekerja pada
masing-masing unit. Mungkin mereka tidak bersuara, karena mereka adalah bagian
dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak, tapi harus bekerja.
Sebagian kecil adalah kelompok
rakus, yang dengan kekuasaan dan kewenangan, sangat senang untuk meng-abuse.
Tapi saya katakan, sebagian besar adalah
orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin, tolong dibantu. Berilah ruang untuk
orang-orang ini, untuk dikenali oleh Anda juga, dan oleh masyarakat. Sehingga landscape
negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi difabrikasi dengan
seolah-olah mengambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh.
Selama seminggu ini saya terus
melakukan petemuan dan perpisahan di jajaran di kementrian Keuangan. Dan saya
bisa memberikan, sekali lagi testimoni, bahwa perasaan mereka untuk membuktikan
bahwa reform bisa jalan, ada di sana. Bantu mereka untuk tetap menjaga
api itu.
Dan jangan kemudian Anda semua di
sini bicara dengan saya, ‘bisa diselamatkan, kalau Sri Mulyani tetap jadi Menteri
Keuangan.’ Saya rasa tidak juga.
Suasana yang kita rasakan pada
minggu minggu yang lalu, bulan bulan yang lalu, seolah olah persoalan negara
disandera oleh satu orang, Sri Mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu
diramu, sedemikian, sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu
orang. Seseorang yang pada suatu ketika dia harus membuat keputusan yang
sungguh tidak mudah. Dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan,
kecapekan, kelelahan, namun dia tetap harus membuat kebijakan publik.
Dia berusaha berusaha di setiap
pertemuan. Mencoba untuk meneliti dirinya sendiri, apakah dia punya kepentingan
pribadi atau kelompok. Dan apakah dia diintervensi atau tidak? Apakah dia
membuat keputusan ada tujuan yang lain? Berhari-hari, berjam-jam, dia bertanya,
dia minta, dia mengundang orang. Dan orang orang ini yang tidak akan segan
mengingatkan pada saya, karena meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih
tua dari saya. Orang seperti pak Darmin. Siapa yang bisa bilang atau marahin
pak Marsilam? Orang semua orang dimarahin duluan sama dia.
Mereka ada di sana hanya untuk
mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan, dan pilihan sudah
dibuat. Dan itu dilaporkan. Dan itu diaudit. Dan itu kemudian dirapatkan secara
terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR.
Bagaimana mungkin itu kemudian,
delapan belas kemudian, dia menjadi seolah oleh menjadi keputusan individu,
seorang Sri Mulyani seorang. Proses itu berjalan dalam etika sunyi. Akal sehat
tidak ada . Dan itu meunculkan suatu perasaan, ‘apakah pejabat publik yang
bertugas membuat kebijakan publik. Pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu,
dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik?’
Saya hanya mengatakan, kalau dulu
pergantian rezim orde lama ke orde baru, orang semua di strigma komunis. Kalau
sekarang khusus diera reformasi, Sri Mulyani identik Century.
Mungkin kejadiannya di satu orang
saja. Tapi sebetulnya, analogi ....... Sebetulnya disitulah letak kita mulai
betanya, ‘apakah proses politik yang didorong, dimotivair, yang ditunggangi oleh
suatu kepentingan, membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa
pengadilan? Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah episode yang
sebetulnya, sesudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat
publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada
etika dan norma yang menjadi guidance kita, dibenturkan dengan realita-realita
politik.
Dan untuk itu, saya hanya akan mengatakan
sebagai penutup.
Sebagian dari Anda mengatakan,
‘apakah Sri Mulyani kalah? ‘Apakah Sri Mulyani lari’? Dan saya yakin, banyak
yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss
atau kehilangan.
Di antara Anda semua yang ada di
sini, saya ingin mengatakan, bahwa ‘saya menang’. ‘Saya berhasil’. Kemenangan
dan keberhasilan, saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh
siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya untuk tidak di sini. Saya
merasa berhasl dan saya merasa menang, karena definisi saya adalah tiga. Selama
saya tidak mengkhianati kebenaran. Selama saya tidak mengingkari nurani saya.
Dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya. Maka disitu
saya menang.
Terima kasih.
notulensi dari Kuliah Umum : Kebijakan Publik dan Etika Publik oleh Sri Mulyani Indrawati
dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=PtjM73oNYuM