24 Apr 2016

Pulang Kampung

Ini semacam tradisi. Tradisi yang kebetulan, sedang saya amati polanya dan saya coba bukukan sebelum usia merebut memori dan kesibukan merebut intuisi ini. Bahwa setiap orang pasti punya tradisi dalam hidupnya. Rutinitas selama ia bekerja. Kebiasaan dalam menghabiskan weekend. Ritual yang dilakukan ketika liburan. Segala hal yang mereka ketahui berpola selama  hidupnya.

Untuk ini, bagianku menceritakan tradisi di keluarga kami.

**

Saya pulang. Bukan ke kota halaman. Tapi ke kampung halaman. Letaknya di Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah yang terletak di antara dua kota besar Solo dan Yogyakarta. Sebuah kecamatan yang terkenal sebagai produsen cor besi. itu loh, yang bantu memproduksi deal part dari Mercedes Benz. Knalpotnya.

Ada tradisi yang coba dibangun tiap kali kami pulang kampung. Bahwa sesampainya di rumah, orang pertama yang akan dicari adalah mereka yang menjadi tanggung jawab moril terbesarmu. Ketika menjadi musyrifah, maka santri menjadi orang pertama yang disapa –sesibuk apapun engkau. Ketika menjadi seorang anak, orang tua menjadi sosok pertama yang engkau salami.

Dalam hal ini, saya melihat orang tua saya bergegas mencari mbah untuk sungkem dan menyapa mbah kakung yang rutinitasnya antara kasur dan kamar mandi. Memijat beliau ketika pegal. Me-ngipasi beliau ketika kegerahan. Mengantar ke kamar mandi ketika ada kebutuhan. Sesaat saya iri melihatnya. Di saat yang lain saya sadar. Akan ada masa dimana saya yang menggantikan posisi mereka, sambil membayangkan sosok kedua orang tua yang kian menua.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika pagi hari hanya ada engkau dan ayahmu. Berjalan bersama di pagi buta. Saat lazuardi biru membentang dan serabut cahaya orange ketika matahari perlahan beranjak dari horizon. Ketika udara perkampungan masih sesejuk kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di iklim hijau taman buatan terbaik manapun di kota-kota besar. Saat ibu-ibu masih mengayuhkan sepeda bergegas ke pasar menjejalkan jualannya. Ada juga yang pergi ke majelis ta’lim –yang saya tidak tahu dimana.

Saat itulah hanya ada ruang antaramu dan ayahmu untuk saling bercerita. Lebih tepatnya, beliau yang bercerita. Mendengar celoteh ayah. Mulai dari harga bahan pokok di desa terlampau murah. Kondisi bangunan sekitar yang tidak terurus. Masjid yang menjadi tempat bermain anak. Aneka jajanan yang dijual di pasar. Semuanya dikritisi. Semuanya diberikan pendapat. Mengkritisi seakan tahu banyak hal, sekalipun sebuah data tersaji dan engkau dapat memberikan kesimpulan yang sama dalam sekali lihat. Namun, engkau tetap menjadi pendengar yang baik  dalam menikmati celotehnya. Sambil membayangkan akan ada masa dimana saya akan merindukan kebersamaan  ini.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika kami pergi ke pasar. Menjelajah sampai ke sudut terdalam di pasar, melakukan screening begitu cepatnya pada kebutuhan kami saat itu. Berjalan cepat seolah mobilitasnya sepadat stasiun Jatinegara –padahal tidak. Kemudian, pulangnya memborong begitu banyak hal seolah akan menghabiskan semuanya dalam satu waktu. Membeli lalu mengkritisi betapa murahnya harga ini dan itu. Membeli sekarung dua karung tanpa ada intuisi menjadi wirausaha. Kemudian, pulangnya akan bertanya sebuah pertanyaan retoris, -dan kejadian ini berulang terjadi, “bapak. Ini mau dihabisin semua?” Beliau lantas tertawa.

Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika kami beranjak pergi dari rumah bersejarah ini, bapak menyerahkan amplop putih padaku untuk diserahkan kepada embah. Saat itulah saya pahami ada nilai moril  yang luar biasa bermakna. Bahwa dalam diam beliau seolah menyampaikan, ‘kelak, di masa tua kami dan kesuksesanmu, jangan lupakan kewajibanmu pada orang tua.’

Ini adalah tradisi. Budaya. Semacam ritual yang kami lakukan setiap kali pulang kampung. Sebut saja sebuah rutinitas yang menjadi keniscayaan. Dan saya yakin setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Yang barangkali ketika tergerus arus zaman, baru akan kuketahui seberapa berharganya hal itu. Kucoba menikmati setiap prosesnya. Karena kesadaran penuh bahwa semua ini akan menjadi sebuah kenangan yang (percayalah), akan engkau rindukan.

Dan segala hal yang disebutkan tadi, kupelajari dari mereka. Perilakunya. Keputusannya. Kesehariannya. Usahanya. Semuanya coba kupelajari meski tidak akan mungkin bisa mengenal –sesungguhnya, siapakah sosok yang mendidik kita dari awal. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.
Mendengar petuah seseorang, ada satu hal yang coba kusampaikan.

Bahwa jangan sampai seorang anak kehilangan kekagumannya pada orang tua. Karena itu adalah anugerah yang menjadikanmu tetap memahami seberapa besar pengorbanan mereka. Ketika seorang anak tidak dapat mencari kekagumannya dari sosok orang tuanya, dia akan mencari sosok lain yang akan dijadikan inspirasi baginya sebagai tujuan hidup.

Seorang anak yang baik akan mencoba mencari segala alasan untuk tetap mengagumi orang tua mereka. Dari setiap perilaku mereka yang bisa ditiru. Tanpa sadar, segala hal begitu indah ketika sosok inspirator bagimu tidak jauh dari mereka yang dalam kesehariannya sering engkau jumpai. Apalagi kenyaaan bahwa inspirator bagimu adalah mereka yang bersedia berkorban begitu banyak hal dalam hidupnya untukmu. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.



Klaten, 24 April 2016.

Islam