Pulang Kampung
Ini semacam tradisi. Tradisi yang kebetulan, sedang saya amati
polanya dan saya coba bukukan sebelum usia merebut memori dan kesibukan merebut intuisi ini.
Bahwa setiap orang pasti punya tradisi dalam hidupnya. Rutinitas selama ia bekerja.
Kebiasaan dalam menghabiskan weekend. Ritual yang dilakukan ketika
liburan. Segala hal yang mereka ketahui berpola selama hidupnya.
Untuk ini, bagianku menceritakan tradisi di keluarga kami.
**
Saya pulang.
Bukan ke kota halaman. Tapi ke kampung halaman. Letaknya di Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah yang terletak
di antara dua
kota besar Solo dan Yogyakarta. Sebuah kecamatan yang terkenal sebagai produsen cor besi.
itu loh, yang bantu memproduksi deal part dari Mercedes Benz. Knalpotnya.
Ada tradisi yang
coba dibangun tiap kali kami pulang
kampung. Bahwa sesampainya di rumah, orang pertama yang
akan dicari adalah mereka yang
menjadi tanggung jawab moril terbesarmu. Ketika menjadi musyrifah, maka santri
menjadi orang pertama yang disapa –sesibuk apapun engkau. Ketika menjadi
seorang anak, orang tua menjadi sosok pertama yang engkau salami.
Dalam hal ini, saya melihat orang tua saya bergegas mencari mbah
untuk sungkem dan menyapa mbah kakung yang rutinitasnya antara
kasur dan kamar mandi. Memijat beliau ketika pegal. Me-ngipasi beliau ketika
kegerahan. Mengantar ke kamar mandi ketika ada kebutuhan. Sesaat saya iri
melihatnya. Di saat yang lain saya sadar. Akan ada masa dimana saya yang
menggantikan posisi mereka, sambil membayangkan sosok kedua orang tua yang kian
menua.
Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika pagi hari hanya ada engkau dan
ayahmu. Berjalan bersama di pagi buta. Saat lazuardi biru membentang dan
serabut cahaya orange ketika matahari perlahan beranjak dari horizon. Ketika
udara perkampungan masih sesejuk kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di iklim
hijau taman buatan terbaik manapun di kota-kota besar. Saat ibu-ibu masih
mengayuhkan sepeda bergegas ke pasar menjejalkan jualannya. Ada juga yang pergi
ke majelis ta’lim –yang saya tidak tahu dimana.
Saat itulah hanya ada ruang antaramu dan ayahmu untuk saling bercerita.
Lebih tepatnya, beliau yang bercerita. Mendengar
celoteh ayah. Mulai dari harga bahan
pokok di desa terlampau murah. Kondisi bangunan sekitar
yang tidak terurus. Masjid yang menjadi tempat bermain anak. Aneka jajanan yang
dijual di pasar. Semuanya dikritisi. Semuanya diberikan pendapat. Mengkritisi
seakan tahu banyak hal, sekalipun sebuah data tersaji dan engkau dapat
memberikan kesimpulan yang sama dalam sekali lihat. Namun, engkau tetap menjadi
pendengar yang baik dalam menikmati celotehnya. Sambil membayangkan akan ada masa dimana saya
akan merindukan kebersamaan ini.
Ada tradisi yang
coba dibangun. Ketika kami pergi ke pasar. Menjelajah sampai ke sudut terdalam di pasar, melakukan screening begitu
cepatnya pada kebutuhan kami saat itu. Berjalan cepat seolah mobilitasnya
sepadat stasiun Jatinegara –padahal tidak. Kemudian, pulangnya
memborong begitu banyak hal seolah akan menghabiskan semuanya dalam satu waktu. Membeli lalu mengkritisi
betapa murahnya harga ini dan itu. Membeli sekarung dua karung tanpa ada intuisi menjadi wirausaha.
Kemudian, pulangnya akan bertanya sebuah pertanyaan retoris, -dan kejadian ini berulang
terjadi, “bapak. Ini mau dihabisin semua?” Beliau lantas tertawa.
Ada tradisi yang coba dibangun. Ketika kami beranjak pergi dari rumah
bersejarah ini, bapak menyerahkan amplop putih padaku untuk diserahkan kepada embah.
Saat itulah saya pahami ada nilai moril
yang luar biasa bermakna. Bahwa dalam diam beliau seolah menyampaikan,
‘kelak, di masa tua kami dan kesuksesanmu, jangan lupakan kewajibanmu pada
orang tua.’
Ini adalah tradisi. Budaya. Semacam ritual yang kami lakukan setiap kali
pulang kampung. Sebut saja sebuah rutinitas yang
menjadi keniscayaan. Dan saya yakin
setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Yang barangkali ketika tergerus
arus zaman, baru akan kuketahui seberapa berharganya hal itu. Kucoba menikmati setiap
prosesnya. Karena kesadaran penuh bahwa semua ini akan menjadi sebuah kenangan
yang (percayalah), akan engkau rindukan.
Dan segala hal yang disebutkan tadi, kupelajari dari mereka. Perilakunya.
Keputusannya. Kesehariannya. Usahanya. Semuanya coba kupelajari meski tidak
akan mungkin bisa mengenal –sesungguhnya, siapakah sosok yang mendidik kita dari
awal. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.
Mendengar petuah seseorang, ada satu hal yang coba kusampaikan.
Bahwa jangan sampai seorang anak kehilangan kekagumannya pada orang tua. Karena
itu adalah anugerah yang menjadikanmu tetap memahami seberapa besar pengorbanan
mereka. Ketika seorang anak tidak dapat mencari kekagumannya dari sosok orang
tuanya, dia akan mencari sosok lain yang akan dijadikan inspirasi baginya
sebagai tujuan hidup.
Seorang anak yang baik akan mencoba mencari segala alasan untuk tetap
mengagumi orang tua mereka. Dari setiap perilaku mereka yang bisa ditiru. Tanpa
sadar, segala hal begitu indah ketika sosok inspirator bagimu tidak jauh dari
mereka yang dalam kesehariannya sering engkau jumpai. Apalagi kenyaaan bahwa
inspirator bagimu adalah mereka yang bersedia berkorban begitu banyak hal dalam
hidupnya untukmu. Pasti, luar biasa sekali perjuangannya.
Klaten, 24 April 2016.