12 Apr 2016

Lembaran Kosong

Anak-anak adalah lembaran kosong. Namun mereka bukan bagian dari buku tulis. Bukan pula bagian dari tumpukan kanvas. Mereka adalah lembaran kosong yang bebas terisi. Namun bukan berarti bebas terwarnai. Seorang pengajar yang baik paham bahwa hak mereka sebatas  memperkenalkan beragam warna dan memberikan pengetahuan soal hidup. Namun mereka akan bergerak sesuai intuisi. Sesuai ego. Sesuai dengan rasa keingintahuan. Demi sekedar menjawab tanda tanya dalam hati.

Karena kreativitas mereka begitu melambung tinggi, sering kali orang tua kerepotan memenuhi segala tuntutannya. Pada akhirnya berlabuh pada menyerahkan segala pertanyaan kepada tenaga pendidik. Mereka dituntut untuk menjawab segala pertanyaan anak yang tak berpijak dengan realita. Kadang kala juga mereka dituntut untuk menjadi sosok ideal serba bisa. Dengan fakta domain mereka sebagai manusia yang memiliki segala keterbatasan dan kekhususan dalam bidang ilmu, namun di lain hal dituntut untuk menjadi apa yang mereka tidak bisa.

Saya jadi ingat satu kesempatan.

Pada semester ini saya dihadapi oleh dua dunia tempat saya menjadi pengajar. Yang satu, menuntut saya menjadi pribadi serba tahu karena rasa keingintahuan luar biasa besar dari seorang anak. Orang tuanya adalah dosen yang begitu memukau. Tanpa sadar, sang anak berharap bisa mengejar sosok orang tuanya dan melabuhkan segala pertanyaan yang menuntut komparasi tokoh antara saya dan sosok idamannya. Jelas jauh sekali. Masing-masing dalam pilihan hidupnya sendiri. Saya tidak iri terhadap sosok idamannya, sama besarnya seperti orang tuanya tidak iri hati pada kompetensi mahasiswa yang masih terseok di tahun keempatnya. Namun tuntutan moralnya besar. Ketika begitu besar ekspektasi dari pelajar, dan saya tetap berharap menjadi diri saya dengan segala visi yang dimiliki.

Yang kedua, menuntut saya menjadi pribadi yang sepenuhnya memikirkan soal mereka. Mereka adalah sekelompok anak labil yang berharap selalu diayomi. Ini lebih berat lagi. Mereka terang-terangan memberikan penghormatan pada mereka yang dirasa layak untuk mereka, yakni mereka yang lebih berilmu dibandingkan mereka. Tidak sedikit pada beberapa kesempatan, saya menangisi ego mereka. Karena mereka dituntut banyak hal dan menyebabkan kompetensi mereka di atas standar seusianya. Namun, tenaga pengajar tetaplah tenaga pengajar. Butuh penghargaan dan rasa hormat.

Beberapa kesempatan saya mengelus dada. Karena realitanya begitu besar. Anda tidak berharap dihargai, namun paling tidak cukup didengarkan saja. Tetapi, saat tidak ada seorangpun yang mengapresiasi, rasanya lebih baik tenggelam dari fakta. Sampai pada titik saya berpikir, bagaimanapun mereka tetaplah lembaran kosong. Yang butuh diisi. Yang butuh dibina.

Barangkali, saya bukanlah tenaga pendidik sejati. Yang belum paham pahit manis sebagai seorang komunikator manusia. Karena tiap profesi menuntut tantangan yang berbeda. Dan pada tahap ini, saya sadar betapa berat menjadi seorang tenaga pengajar. Terima kasih luar biasa, guru. 

Islam