14 Apr 2016

Mengobral Pendidikan

Hierarki dalam masyarakat memiliki distribusi yang unik bicara soal trend. Trend yang ada di masyarakat sosialita berbeda dengan kalangan pedesaan. Mulai dari pejabat publik sampai pejabat rumah tangga. Penikmat pajak sampai yang paling terpaksa membayar pajak. Setiap lapisan masyarakat punya trend sendiri. Termasuk dalam dunia pendidikan.

Sadar atau tidak. Mengaku atau tidak. Terenyah atau tidak. Pada banyak kalangan akademisi, terjebak dalam paradoks dimana trend dalam institusi pelajar adalah Pendidikan Kognitif.

Analoginya seperti gedung pencakar langit.

Sebuah gedung tinggi menjulang hingga atapnya menyentuh awan-awan di puncaknya. Untuk mencapai puncak tertinggi, Anda disajikan pada berbagai opsi. Menaiki tangga dengan catatan akan mengalami kelelahan. Atau mencapai puncak dengan menaiki lift, dengan kesadaran penuh bahwa kapasitas lift terbatas. Hanya sedikit orang yang memilih –atau diberikan kesempatan untuk memilih cara lain yang lebih ekstrim seperti dengan katrol petugas kebersihan kaca, semisal. Atau helikopter. Atau meminta sedikit bantuan superman jika ia hidup dalam imajimu.

Dunia mempersempit kualitas individu dengan mengelompokkannya dalam kasta-kasta institusi favorit dan yang biasa. Sebuah lift disulap oleh tangan para teknokrat akal sehat sebagai pengelompokkan kasta manusia unggul dan tidak. Sepertinya lembaga SNI pindah haluan masuk ke ranah pendidikan, sehingga muncul standardisasi institusi favorit dan institusi yang dikeduakan. Institusi favorit sering kali digeneralisasi sebagai sekumpulan bibit unggul tempat bagi perusahaan elit multinasional menarik kader penggubah PT. Institusi lainnya dipandang sebelah mata

Istilah PT dalam dunia pendidikan bukanlah Perseroan Terbatas. Tetapi Perguruan Tinggi. Dan ini  bukan hanya tentang Perguruan Tinggi saja, namun fase pendidikan secara struktural. Ia juga masuk ke ranah SD. SMP. SMA. Semua ada label ‘favorit’nya. Dan pelabelan itu ditentukan oleh sebuah proses. Pendidikan Kognitif.

Dengan pendidikan kognitif, kualitas individu dihargai lewat angka normatif. Saat standar itu menyajikan kisi-kisi dan para penikmat pendidikan terpaku menyelesaikan ‘sebatas’ dalam lingkup kisi-kisi saja. Saat sebuah soal disajikan dengan harapan para pengerja soal memahami proses berpikirnya, namun secara ajaib diberikan cara cepat. Apa namanya. Smart solution?

Saya katakan ini karena saya adalah mahasiswa MIPA sebuah universitas berlabel. Melihat dengan jelas bagaimana dinamika yang ada soal kebutuhan kami dan kebutuhan orang lain terhadap kami. Sering sekali ada broadcast di grup sosial media bertemakan ‘dibutuhkan guru ini dan itu.’ Umumnya karena melihat label kami anak MIPA, seharusnya terbekali pelajaran matematika dan ipa. Hanya untuk memuaskan standar mereka untuk tahu bahwa background kita MIPA dan merupakan mahasiswa, maka cukup bagi saya untuk mengandalkan jasa Anda. Mereka tidak mau tahu IPK kita berapa atau makanan favorit kita apa –toh itu juga tidak penting. Yang jelas, anak mereka bisa memenuhi apa yang menjadi standar umum. Yang jelas, nilainya meningkat dan anak saya ‘kalau bisa sih’ masuk ke sekolah favorit. Become a common person in today’s society, achieving common achievement in the expectation of common society.

Saya tidak akan mengeneralisasikannya, karena kisah klasik di atas hanya partisi dari sekian banyak retorika dalam hidup.

Di sisi lain, seorang dosen yang ikut menjadi kontributor pembuat soal snmptn (waktu zaman saya namanya masih snmptn) bercerita dalam sebuah mata kuliah. Bahwa harapan beliau dalam proses mengerjakan soal –yang dibuatnya, lebih daripada apa yang bisa diselesaikan oleh smart solution. Bahwa ketika Anda masuk ke dalam di dunia perkuliahan –sebagaimana menjadi alasan kenapa Anda mengikuti snmptn, penting untuk memahami konsep dasar dari ini dan itu. Karenanya, seharusnya proses berpikir secara logis lah yang digunakan. Meski realitanya, hanya satu dari sekian orang yang mampu mengerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sebagai seorang pengajar paruh waktu, awalnya saya berpikir naif bahwa seorang pengajar bukan mendatangi murid. Justru sebaliknya, murid yang mendatangi tempat guru sebagaimana hal itu yang terinternalisasi selama saya duduk di bangku pendidikan. Namun akhirnya saya mengikuti arus. Dan ini adalah kesempatan kedua saya dan kembali timbul lagi pergolakan ini. Pemikiran ini memuncak, sampai klimaksnya adalah saat saya dituntut untuk membuat soal, persis sebagaimana kisi-kisi yang sudah dilegitimasi pembuat soal.


Barangkali ini bagian dari kejenuhan saya. Karena ada pula golongan manusia yang memilih jalan hidupnya masing-masing. Mereka yang belajar ilmu agama. Mereka yang menggemari seni. Mereka yang beraksi dengan hobinya masing-masing. Mereka yang cinta dengan hidup dan memilih tidak mau ambil pusing soal paradigma formalitas seperti ini. Mereka adalah orang yang percaya bahwa masih ada cara lain selain dari memperebutkan satu lift untuk sampai ke puncak gedung.

Islam