Mengobral Pendidikan
Hierarki dalam masyarakat
memiliki distribusi yang unik bicara soal trend. Trend yang ada di
masyarakat sosialita berbeda dengan kalangan pedesaan. Mulai dari pejabat
publik sampai pejabat rumah tangga. Penikmat pajak sampai yang paling terpaksa
membayar pajak. Setiap lapisan masyarakat punya trend sendiri. Termasuk
dalam dunia pendidikan.
Sadar atau tidak. Mengaku atau
tidak. Terenyah atau tidak. Pada banyak kalangan akademisi, terjebak dalam
paradoks dimana trend dalam institusi pelajar adalah Pendidikan
Kognitif.
Analoginya seperti gedung
pencakar langit.
Sebuah gedung tinggi menjulang
hingga atapnya menyentuh awan-awan di puncaknya. Untuk mencapai puncak
tertinggi, Anda disajikan pada berbagai opsi. Menaiki tangga dengan catatan
akan mengalami kelelahan. Atau mencapai puncak dengan menaiki lift, dengan
kesadaran penuh bahwa kapasitas lift terbatas. Hanya sedikit orang yang memilih
–atau diberikan kesempatan untuk memilih cara lain yang lebih ekstrim seperti
dengan katrol petugas kebersihan kaca, semisal. Atau helikopter. Atau meminta
sedikit bantuan superman jika ia hidup dalam imajimu.
Dunia mempersempit kualitas
individu dengan mengelompokkannya dalam kasta-kasta institusi favorit dan yang
biasa. Sebuah lift disulap oleh tangan para teknokrat akal sehat sebagai
pengelompokkan kasta manusia unggul dan tidak. Sepertinya lembaga SNI pindah
haluan masuk ke ranah pendidikan, sehingga muncul standardisasi institusi
favorit dan institusi yang dikeduakan. Institusi favorit sering kali
digeneralisasi sebagai sekumpulan bibit unggul tempat bagi perusahaan elit
multinasional menarik kader penggubah PT. Institusi lainnya dipandang sebelah
mata
Istilah PT dalam dunia pendidikan
bukanlah Perseroan Terbatas. Tetapi Perguruan Tinggi. Dan ini bukan hanya tentang Perguruan Tinggi saja,
namun fase pendidikan secara struktural. Ia juga masuk ke ranah SD. SMP. SMA.
Semua ada label ‘favorit’nya. Dan pelabelan itu ditentukan oleh sebuah
proses. Pendidikan Kognitif.
Dengan pendidikan kognitif, kualitas
individu dihargai lewat angka normatif. Saat standar itu menyajikan kisi-kisi
dan para penikmat pendidikan terpaku menyelesaikan ‘sebatas’ dalam lingkup
kisi-kisi saja. Saat sebuah soal disajikan dengan harapan para pengerja soal
memahami proses berpikirnya, namun secara ajaib diberikan cara cepat. Apa
namanya. Smart solution?
Saya katakan ini karena saya
adalah mahasiswa MIPA sebuah universitas berlabel. Melihat dengan jelas
bagaimana dinamika yang ada soal kebutuhan kami dan kebutuhan orang lain
terhadap kami. Sering sekali ada broadcast di grup sosial media
bertemakan ‘dibutuhkan guru ini dan itu.’ Umumnya karena melihat label kami
anak MIPA, seharusnya terbekali pelajaran matematika dan ipa. Hanya untuk
memuaskan standar mereka untuk tahu bahwa background kita MIPA dan
merupakan mahasiswa, maka cukup bagi saya untuk mengandalkan jasa Anda. Mereka
tidak mau tahu IPK kita berapa atau makanan favorit kita apa –toh itu
juga tidak penting. Yang jelas, anak mereka bisa memenuhi apa yang menjadi
standar umum. Yang jelas, nilainya meningkat dan anak saya ‘kalau bisa sih’
masuk ke sekolah favorit. Become a common person in today’s society,
achieving common achievement in the expectation of common society.
Saya tidak akan
mengeneralisasikannya, karena kisah klasik di atas hanya partisi dari sekian
banyak retorika dalam hidup.
Di sisi lain, seorang dosen yang
ikut menjadi kontributor pembuat soal snmptn (waktu zaman saya namanya masih snmptn) bercerita dalam sebuah mata
kuliah. Bahwa harapan beliau dalam proses mengerjakan soal –yang dibuatnya,
lebih daripada apa yang bisa diselesaikan oleh smart solution. Bahwa ketika
Anda masuk ke dalam di dunia perkuliahan –sebagaimana menjadi alasan kenapa
Anda mengikuti snmptn, penting untuk memahami konsep dasar dari ini dan
itu. Karenanya, seharusnya proses berpikir secara logis lah yang
digunakan. Meski realitanya, hanya satu dari sekian orang yang mampu
mengerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sebagai seorang pengajar paruh
waktu, awalnya saya berpikir naif bahwa seorang pengajar bukan mendatangi
murid. Justru sebaliknya, murid yang mendatangi tempat guru sebagaimana hal itu
yang terinternalisasi selama saya duduk di bangku pendidikan. Namun akhirnya
saya mengikuti arus. Dan ini adalah kesempatan kedua saya dan kembali timbul
lagi pergolakan ini. Pemikiran ini memuncak, sampai klimaksnya adalah saat saya
dituntut untuk membuat soal, persis sebagaimana kisi-kisi yang sudah
dilegitimasi pembuat soal.
Barangkali ini bagian dari kejenuhan saya. Karena
ada pula golongan manusia yang memilih jalan hidupnya masing-masing. Mereka yang
belajar ilmu agama. Mereka yang menggemari seni. Mereka yang beraksi dengan
hobinya masing-masing. Mereka yang cinta dengan hidup dan memilih tidak mau
ambil pusing soal paradigma formalitas seperti ini. Mereka adalah orang yang percaya
bahwa masih ada cara lain selain dari memperebutkan satu lift untuk sampai ke
puncak gedung.