#1 Fiqhul Hasad
Fiqhul Hasad. Pertemuan 1.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Pengertian Hasad
Hasad adalah suatu hal yang telah diketahui. Hasad /hasada-yahsidu/ dengki. Berangan-angan dan berharap agar berpindah pada dirinya nikmat/fadhilah yang dimiliki orang lain. Atau minimal, hilangnya dua hal tersebut dari orang lain. Meskipun tidak berpindah kepada dirinya. Maka hasad secara bahasa adalah berangan-angan agar nikmat dan kelebihan milik orang lain berpindah kepada dirinya.
Hasad adalah suatu hal yang telah diketahui. Hasad /hasada-yahsidu/ dengki. Berangan-angan dan berharap agar berpindah pada dirinya nikmat/fadhilah yang dimiliki orang lain. Atau minimal, hilangnya dua hal tersebut dari orang lain. Meskipun tidak berpindah kepada dirinya. Maka hasad secara bahasa adalah berangan-angan agar nikmat dan kelebihan milik orang lain berpindah kepada dirinya.
Sebagaimana kata penyair, Anda
lihat orang yang berakal, mereka adalah orang yang menjadi sasaran hasad.
Padahal dia tidak melakukan kejahatan dengan mencaci maki orang lain. Namun
kehormatannya menjadi caci maki orang. Sedang al Jauhari mengatakan, Hasad
maknanya adalah ‘mengangankan hilangnya nikmat orang yang didengki untuk
berpindah kepada Anda’.
Al Hafiz ibnu Hajar al Asqolany
di Fathul Bari, ‘hasad adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari orang
yang mendapat nikmat.’ Sebagian ulama mengkhususkan pekerjaan hasad
dalam pengertian, dia berangan-angan agar nikmat itu hilang dan berpindah pada
dirinya.’ namun kata Ibnu Hajar, ‘yang benar tidak khusus berpindah pada
dirinya yang penting hilang, meskipun tidak berpindah pada dirinya.’
Banyak pendapat yang berbeda
tentang pengertian hasad. Yang pertama, menginginkan nikmat hilang dari
orang lain. Boleh jadi plusnya pada dirinya, atau tidak juga. Pendapat ini
dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Pendapat lainnya, adalah menginginkan hilangnya
nikmat orang lain dan berpindah pada orang lain.
An Nawawi mengatakan di Risalah
Muslim, bahwasanya hasad terbagi dua macam. Hasad hakiki dan hasad
majazi. Hasad hakiki adalah berangan-angan hilangnya nikmat dari
pemilik nikmat, dan ini adalah haram dengan ijma’ umat islam. Dan
banyak dalil yang shahih menunjukkan hal ini. Kemudian, hasad majazi
itulah yang disebut ghibthoh. Dan ghibthoh adalah berangan-angan
mendapat nikmat, semisal yang didapatkan orang lain, tanpa hilangnya nikmat
tersebut dari orang lain. Dan hukum hasad ghibthoh (kata an Nawawi) jika
berkenaan dengan masalah dunia itu mubah. Jika berkenaan dengan
ketaatan, itu dianjurkan –mustahab atau lebih dicintai.
Abu Abdillah al Kurtubi al
Mufassir dalam tafsirnya, hasad ada dua macam. Terpuji dan tercela. Yang
tercela adalah menginginkan hilangnya nikmat dari seseroagn sesama muslim. Baik
Anda berangan-angan agar berpindah kepada Anda, ataupun tidak. Dan hasad jenis
ini adalah yang Allah cela. Berkenaan dengna orang Yahudi, Allah katakan,
‘apakah mereka hasad pada orang orang Yahudi pada nabi dan para sahabat, atas
nikmat anugerah yagn Allah berikan pada nabi dan para sahabat.’ Dan hasad
semacam ini tercela karena unsur di dalam hasad yaitu menggodo-godokan Allah (al
haqq) karena secara langsung dikatakan, ‘ya Allah, salah engkaku memberikan
nikmat pada dia, harusnya padaku’ menyalahkan Allah atas takdir yang diberikan.
Maka orang yang hasad seakan-akan mengatakan salah memberikan nikmat pada orang
lain. Maka ini sebab kenapa menjadi suatu hal yang tercela.
Ar Razi dalam Mafatihul Ghayr
mengatakan ‘jika Allah memberikan nikmat pada seorang muslim lalu Anda
menginginkan hilangnya nikmat tersebut, maka itulah yang disebut hasad.
Namun jika Anda menginginkan untuk diri Anda, sekedar nikmat yang dimiliki
orang lain, maka ini ghibthoh, bagian dari perlombaan dan persaingan. Hasad
jenis pertama, apapun alasannya, hasad dalam pengertian hasad
adalah haram, kecuali satu hal. Yakni manakala nikmat diberikan oleh ahli
maksiat dan digunakan untuk kejahatan dan kerusakan, maka tidaklah mengapa
seandainya ada keinginan hilangnya nikmat tersebut dari si kafir dan
ahli maksiat. Karena dalam kondisi ini, Anda tidaklah menginginkan hilangnya
bukan semata-mata nikmat. Namun menginginkan hilangnya nikmat dari sisi karena
nikmat tersebut dijadikan sebagai alat, sarana kerusakan, kejahatan gangguan kezhaliman.
Definisi tambahan tentang hasad,
disampaikan di kitab Amaratul Qulub wa Syifaauha. Ibnu Taimiyyah membawa
sebagian pendapat tentang definisi hasad adalah gangguan yang didapatkan
seseorang disebabkan mengetahui bagusnya keadaan orang yan gkaya. Sebagian
orang mengatakan tentang definisi hasad adalah mengangan-angankan nikmat
dari orang yang didengki, meskipun tidak berpindah kepada orang yang hasad.
Ini berbeda dari ghibthoh. Karena ghibthoh adlah berangan-angan mendapat
nikmat sebagaimana yang didapat orang lain, tanpa adanya keinginan hilangnya nikmat
dari orang yang mendapat nikmat tersebut.
Kemudian kesimpulan dari Ibnu
Taimiyyah dan hasil tela’ah untuk pengertian hasad, beliau katakan, ‘hasad
itu hakikatnya adalah benci dan perasaan tidak suka dikarenakan dia melihat
bagusnya keadaan orang yang dia dengki.’ Bahwasanya hasad adalah perasaan benci
dan tidak suka yang ada di dalam hati, karena melihat bagusnya keadaan orang
yang didengki. Kemudian di hati ada perasaan tidak suka. Maka ada perasaan
tidak suka dari orang yang mendapat nikmat. Meskipun tidak sampai mengangankan
hilangnya nikmat. Maka jika sampai menginginkan berpindahnya pada dirinya, itu
sudah termasuk hasad yang lebih.
Yang kemudian, ini boleh jadi
diikuti, ‘kenapa ada perasaan tidak
suka?’ karena dia merasa tidak pantas orang lain dapat nikmat tersebut. Dan
nikmat tersebut terlalu mulia untuk dirinya. Itu sudah hasad. Misal,
tidak pantas dia mendapat istri secantik itu. Tidak pantas dia mendapat istri
secantik itu. Berpikiran sebatas demikian saja sudah hasad. Meskipun
tidak sampai berpikir, ‘semoga cerai..’ karena rasa tidak suka dia bisa
mendapatkan nikmat seperti itu. Tidak sampai harus berangan-angan mereka cerai.
Kemudian tentang masalah hasad
ghibthoh, Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘dan hasad ini yang nabi SAW
melarangnya, kecuali dalam dua kasus. Inilah yang disebut para ulama dengan
sebutan ghibthoh, ingin mendapat nikmat sebagaimana nikmat yang
didapatkan orang lain. Ke dalam ghibthoh, tidak suka ketika dia lebih
unggul dibandingkan dirinya. Dalam hasad ghibthoh, terdapat unsur tidak
suka orang lain lebih hebat dibandingkan dirinya.
Oleh karena itu, dikatakan Ibnu
Taimiyyah, ini adalah hal yang dilarang, kecuali dalam dua kasus yang ada
pengecualiannya dalam hadist.
Kembali ke fiqh hasad,
tingkatan hasad. Para ulama menyebutkan, hasad memiliki beberapa
tingkatan.
Tingkatan yang pertama (mengacu
penjelasan Ibnu Taimiyyah) adalah perasaan tidak suka. Tidak suka melihat bagusnya
keadaan orang yang didengki. Hasad yang levelnya rendah.
Level selanjutnya, adalah ketika
seorang berkeinginan hilangnya nikmat dari orang lain, meskipun tidak berpindah
pada dirinya. maka, keinginan yang paling besar adalah hilangnya nikmat
tersebut dari orang yang didengki.
Inilah level hasad kedua.
Sementara level ketiga, yang
paling besar dan keras celaannya. Lebih-lebih lagi jika angan-angan semacam ini
diiringi aksi dan tindakan karena hasad ini.
Sebagaimana firman Allah di surat
an Nisa, ‘jangan kalian angankan kelebihan sebagian dari kalian yang tidak
didapatkan dari sebagian yang lain.’ Maka level yang paling tinggi adalah dia
ingin nikmat tersebut hilang dari orang lain dan pindah ke dirinya. hanya
sebatas keinginan. Dan level ketiga adalah diiringinya aksi nyata untuk nikmat
tersebut hilang dari orang lain.
Hasad jenis ini, meskipun dia
haram, dia lebih haram dibandingkan jenis pertama (tidak masalah saya tidak
dapat, yang penting dia tidak dapat).