#2 Fiqhul Hasad
Fiqhul Hasad. Pertemuan 2.
Kajian Fiqh Hasad ust. Aris Munandar @Masjid Pogung Raya, Pogung Dalangan, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Keterangan tambahan berkenaan dengan definisi hasad, dari bahasa arab diambil dari kata mausu’ah nadhrotun na’im. Disebutkan bahwasanya makna asal dari hasad adalah menguliti, mengelupas kulit. Hasad diambil dari kata benda –hasdal yang maknanya adalah kutu penghisap darah yang ada pada hewan. Maka hasad itu disebut hasad karena hasad itu mengelupaskan hati. Menyebabkan terkelupasnya hati dan demikianlah keadaan orang yang dengki. Semakin ia dengki, semakin rusak hatinya. Sebagaimana kutu mengelupas satu kulit lalu dia hisap darahnya. Maka demikianlah keadaan hati dari orang yang terjangkit penyakit hasad.
Kemudian, disampaikan kemarin definisi hasad bahwa makna pokok pengertian hasad adalah al burdu wal karohah. Namun, jika membaca para pakar bahasa arab yang dikutip dalam fiqh hasad tentang pengertian hasad, tidak ada yang membawa ke makna al burudu wal karohah. Namun di sini kita jumpai perkeataan para ulama yang menunjukkan bahwasanya hasad berkaitan erat dengan ketidaknyamanan hati.
Makna hasad an ni’mat bagi al Fayumi. Hasad terhadap nikmat adalah manakala Anda tidak menyukai nikmat tersebut pada orang lain dan berangan-angan nikmat itu hilang darinya. Al Fayumi menyampaikan, hasad secara bahasa ada unsur karohah. Ini yang menjadi dasar Ibnu Taimiyyah untuk merajihkan makna hasad adalah al burduwal karohah –keadaan hati yang benci dan tidak suka karena baiknya keadaan orang yang didengki. Karenanya kita jumpai dari perkataan al Fayumi (meski Fayumi menambahkan) berangan-angan nikmat itu hilang darinya.
Bentuk-bentuk Hasad
Yang kelima adalah seorang mengangankan pada dirinya, nikmat yang didapatkan orang lain. Jika nimat tersebut tidak terjadi pada dirinya, dia tidak mengangankan hilangnya nikmat tersebut dari orang lain. Maka termasuk hasad jenis ini disebut ghibthoh dan hukumnya tidak mengapa. Dan ghibthoh dekat dari munafasah –bersaing dalam masalah kebaikan. Dan Allah Ta;ala memerintahkan untuk tanafus –bersaing dalam kebaikan, untuk mendapat surga maka hendaklah bersaing.
Tidak ada hasad itu ghibthoh kecuali dengan dua orang. Maka hasad ini adalah ghibthoh dan yang mendorong orang memiliki ghibthoh adalah orang yag berjiwa besar, menginginkan hal-hal yang besar. Bukan berjiwa kecil yang meginginkan hal-hal sepele. Karena dia menginginkan hal yang baik dalam dirinya dan berkeinginan untuk menyerupai orang-orang yang memiliki sifat-sifat baik. Dan karena dia ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan, dan orang yang mendapat level yang tinggi dalam kebaikan. Orang yang terbakar untuk mengerjakan dan mendapatkan kebaikan. Bukan orang yang berada di belakang. Maka, muncullah dalam orang tersebut semangat untuk bersaing, menjadi yang paling dahulu, paling cepat ditambah dia tetap menginginkan dan mencintai orang yang dia ghibthoh padanya. Tetap berangan dan berharap langgengnya nikmat pada orang tersebut.
Keterangan tambahan yang Allah sampaikan pada orang yang hasad, ‘ya Allah aku berlindung dari kejahatan orang yang hasad, manakala dia dalam kondisi yang hasad. Karena boleh jadi seorang memiliki hasad namun dia sembunyikan. Dan hasad tersebut tidaklah berdampak gangguan dalam bentuk apapun. tidak mengganggu dan menzhalimi orang yang dia dengki dengan hatinya, tidak pula dengan lidah dan tangannya. Namun, dia jumpai dalam hatinya ada hasad, namun secara lahiriyah, dia tidaklah bersikap kepada orang yang dia dengki tersebut kecuali dengan sifat yang Allah cintai. Maka hasad adalah suatu rasa yang muncul dalam hati, hampir-hampir tiada seorang pun yang selamat darinya. Kecuali orang yang betul-betul istimewa sampai-sampai di hati pun tidak muncul perasaan hasad.
Maka hampir-hampir orang tidak ada yang terbebas dari hasad, sebagaimana perkataan ibnu Taimiyyah, ‘hampir-hampir tidak ada raga yang terbebas dari hasad. Akan tetapi orang yang mulia, dia sembunyikan hasadnya. Disingkrikan. Dibuang. Hasad yang muncul dalam hatinya. Akan tetapi orang yang celaka yang hina, ialah hasad yang berbuah kezhaliman dengan hatinya berbagai macam buruk sangka dengan lisan ataupun perbuatannya.’
Maka orang yang mulia adalah orang yang timbul dalam dirinya hasad namun dia sembunyikan. Hasad tersebut tidak berdampak apapun pada dirinya. bahkan dia menyikapi orang tersebut dengan sikap yang Allah cintai.
Oleh karena itu, ada orang yang bertanya pada Hasan al Bashri, ‘apakah seorang mukmin itu mengalami hasad?’ Maka jawaban Hasan al Bashri, ‘betapa engkau lupa dengan saudara-saudara Yusuf. Mereka adalah orang yang beriman, anak dari nabi Allah, dididik oleh nabi. Namun, ada hasad pada diri mereka. Oleh karena itu sangat boleh terjadi orang beriman memiliki hasad.’
Dalam teks lain, Hasan al Bashri ini ada lanjutannya. Ketika seorang bertanya, ‘apakah seorang mukmin mengalami hasad?’. Maka dijawab oleh beliau, ‘betapa engkau dengan anak-anak Ya’qub. Namun sembunyikanlah hasad itu dalam dadamu. Jika kau sembunyikan dalam dada dan hatimu, maka itu tidaklah membahayakan hatimu. Selama tidak berdampak berupa kezhaliman yang dilakukan oleh tangan dan oleh lisan.’ Demikian teks dalam Ihya Ulumuddin.
Akan tetapi, bedakan. Antara potensi hasad yang ada dalam hati seseorang dari hasad, namun orangnya tidak mau mentaati bisikan atau ajaran hasad yang muncul dari hatinya. Dia tidak melaksanakan perintah hasad dalamhatinya. Dia durhakai perintah hasad dalam dirinya karena merasa malu pada Allah dan dalam rangka memuliakan Allah. Dia malu membenci suatu nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambanya. Maka dia berpandangan bahwasanya hasad ialah menyelisihi Allah SWT dan ia berusaha untuk berjihad melawan dirinya sendiri untuk menyingkirkan hasad. Bahkan dia paksa dirinya supaya tidak memiliki hasad. Supaay hasad tidak berkelanjutan, dia paksa dirinya untuk mendoakan kebaikan pada orang yang dia dengki. Dia munculkan keinginan dan harapan agar orang yagn didengki tersebut semakin bertambah nikmatnya.
Ini adalah hasad yang terjadi pada orang mukmin. Muncul di hati, namun tidak ditaati. Bahkan didurhakai ajakan si hasad. Dia lawan dirinya, berjihad melawan dirinya sendri agar menyingkirkan hasad dalam hatinya, memarjinalkan dan meminggirkan hasad. Bahkan ketika hasad pada seseorang, dia rajin mendoakan orang tersebut. Ketika muncul dalam dirinya hasad pada seseorang, maka di tengah malam, antara adzan dan iqomah, dia sampaikan doa yang spesial pada orang yang didengki untuk Allah menambahkan nikmat pada dirinya.
Lain halnya dengan hasad yang terjadi pada manusia yang hina. Maka, dia wujudkan hasadnya. Dan dia dengki dengannya. Dan dia munculkan dari hasadnya tersebut, dia laksanakan konsekuensinya, berupa menyakiti dan mengganggu orang yang dia dengki dengan hati, lisan, dan anggota tubuhnya. Kata Ibnul Qayyim, inilah hasad yang tercela. Dan ini semua hasad dalam bentuk –hilangnya nikmat dari orang lain.’
Beliau melanjutkan bahwasanya hasad ada tiga macam (pembagian dari Ibnul Qayyim).
(1) Mengangankan hilangnya nikmat dari orang lain. Berharap tetangganya yang kaya, kebakaran. Tetangganya yang bisnisnya maju kena tipu. Hasad dan dengki pada suatu yang sudah nyata pada orang lain, dan dia iri akan hal itu. Ini adalah hasad yang sudah real, nikmatnya sudah nyata dalam orang lain.
(2) Berangan –angan bertahannya ketiadaan nikmat pada orang lain. Dia berharap agar orang yang bodoh itu terus bodoh. Orang yang miskin itu terus miskin. Yang maknanya adalah dia membenci Allah munculkan pada seorang hambanya sebuah nikmat. Orang yang hasad ini menginginkan agar orang lain ini tetap dalam keadannya. Dia bodoh, dia lemah, berkeping-keping hatinya agar galau, jauh dari Allah SWT (karena itulah sebab galau seorang, karena mengingat Alah adalah salah satu ketenangan hati). Atau tidak banyaknya taqwa pada Allah, tetap menjadi ahli maksiat. Maka hasad yang keduanya ini orangnya berangan-angan langgengnya keadaan orang lain yang tidak sempurna dan jelek. Ini adalah hasad untuk sesuatu yang belum terjadi. Yang masih diandai-andaikan. Yang statusnya baru mungkin untuk terjadi.
Dua-duanya adalah dimurkai Allah SWT dan dimusuhi manusia. Orang semacam ini selamanya tidak akan menjadi pimpinan dan panutan, ditokohkan dalam masyarakat. Dan tidak akan ditolong. Karena masyarakat tidak akan menokohkan, kecuali orang-orang yang dilihat mereka ini ingin berbuat baik pada lingkungan dan masyarakatnya. Adapun orang yang ingin jadi musuh Allah, masyarakat tidak akan menokohnya jika itu tanpa paksaan. Kecuali dipaksa agar dia ditokohkan. Maka dia pun akan menjadi tokoh dalam masyarakat, namun masyarakat akan menilai, kalau orang yang punya hasad ini jadi tokoh, maka ini adalah bala untuk lingkungannya dan musibah yang Allah timpakan pada mereka dengannya. Sehingga, mereka pun tetap membencinya. Dan dia pun, karena hasad, membenci dirinya.
(3) Hasad jenis ketiga adalah ghibthoh, berangan memiliki keadaan seperti orang yang dia dengki, tanpa hilangnya nikmat tersebut pada orang lain. Ini tidak tercela. Bahkan ini dekat dengan bersaing, yang Allah perintahkan dalam firmannya. ‘wa fii dzalika fal yatanaafasil mutanafisun’ dan hasad ghibthoh terdapat dalam di hadist shahih, keinginan nikmat sebagaimana didapatkan orang lain, yakni dua hal, ‘orang yang mendapat nikmat dari Allah,d ia paksa dirinya untuk membelanjakan hartanya untuk kebaikan. Dan orang yang berilmu, memutuskan sengketa di sekelilingnya, dan dia ajarkan pada orang lain.’ Ini adalah hasad ghibthoh, dan yang mendorong hasad seperti ini adalah karena dia berjiwa besar, menginginkan hal hal yang besar yang ingin menyerupai mereka dan masuk dalam golongan mereka. Ingin menjadi orang yang terdepan dalam kebaikan dan tertinggi dalam kebaikan, dan bukan orang yang belakangan. Maka muncullah dari keinginan ini, bersaing. Berlomba menjadi orang yang terdahulu dan paling bersegera. Dia diiringi dengan mencintai orang yang dia iri dan ghibthoh dengannya. Dia berangan-angan langgengnya nikmat orang. Maka hasad ini tidak termasuk yang mencela hasad dari sisi manapun.
Larangan untuk Saling Hasad
Rasulullah SAW mealrang umatnya untuk saling hasad. Sebagaimana hadist shahih muslim, Rasulullah bersabda, ‘hati-hatilah kalian pada prasangka, yaitu buruk sangka tanpa ada alasan untuk berburuk sangka padanya. Karena orang tersebut zhahirnya adalah orang baik. Karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan, atau perkataan yang dusta. Janganlah kalian tahassus, jangan pula kalian tajassus.
Tentang maknanya, kutipan an Nawawi. Tahassus adalah –mendengarkan pembicaraan orang lain. Nguping, untuk tahu apa yang diucapkan pada orang lain. Misal buat akun facebook kloningan untuk tahu apa yang dibicarakan orang lain. Tajassus maknanya –mencari-cari aib orang lain. Membongkar, kemudian melakukan investigasi, penelitian, untuk megnetahui dan mendapatkan fakta berupa kejelekan dan keburukan yang ada pada orang lain. Termasuk dalam bentuk menyadap. Ini tajassus yang pada dasarnya dilarang, kecuali jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana tajassus nya KPK, ini pengecualian dari hukum. Dan penjelasan kedua tajassus, artinya adalah membongkar-bongkar yang tertutup dan tersembunyi. Yang paling sering ini dikatakan, untuk kejelekan. Oleh karena itu ada yang namanya jasus, orang yang memata-matai musuh. Didefinikan sebagai ‘pemilik rahasia kejelakan’. Tahu aib, memegang rahasia tentang aib dan disampaikan pada orang yang membencinya. Kebalikannya adalah namus, adalah pemegang rahasia kebaikan. Oleh karena itu, ketika mendapat cerita nabi SAW, saat pertama kali mendapat wahyu, Waroqoh mengatakan, ‘hadza namuus,” Jibril disebut Waroqoh sebagai namus. Karena itu adalah wahyu, rahasia antara Allah dan nabinya. Ini adalah kebaikan, bukan kejelekan dan keburukan. Pendapat yang ketiga, mendefinisikan beda tajassus dan tahassus. Tajassus –mencari rahasia untuk disampaikan pada orang lain. Tahassus, mencari rahasia dan kejelekan orang lain untuk diri sendiri.
‘jadilah kalian orang orang yang bersaudara. Tanaafus maknanya menginginkan menjadi satu-satunya yang mendapatkan sesuatu. Menginginkan sesuatu yang diinginkan. Bersaing yang terlarang adalah berlomba dalam keinginan berkenaan dengan dunia dan sebab-sebab dunia, dan kenikmatan dunia.’ Maka tanaafus yang dianjurkan adalah tanaafus dalam amal soleh. Sebagaimana Umar menginginkan bersaing dengan amalnya Abu Bakr dalam bersedekah.