8 Mei 2016

Once Upon a Time, They Lived Happily Ever After

Bagi konsumen penikmat channel disney, pasti tidak asing dengan kalimat di atas. Agaknya, animasi di disney berhasil memberikan pencerahan pada kita terhadap beberapa hal : (1) bahwa dalam hidup, kebaikan pasti akan menang melawan kejahatan, dan (2) kebahagian eternal akan didapatkan bagi orang yang mau mempertahankan itu.

Prolog
Waktu kecil dulu, saya sering mengantar teman saya pulang  ke rumah –yang rumahnya di belakang sd kami, karena teman saya ini anak dari pengurus yayasan. Sering kali dalam kesempatan itu, di rumahnya saya numpang menonton. Karena yang disetel oleh ibunya pasti channel disney atau CNN. Setidaknya, dunia saya lebih luas dalam mengetahui ada kartun seperti Rollie Pollie Ollie , selain Dora the Explorer atau Hey Arnold!.

Dalam beberapa kartun disney, tema secara umum sama. Kalau kita membaca qur’an diawali ta’awudz dan bismillah, kemudian diakhiri dengan shodaqollahul ‘adzim, pada disney diawali dengan once upon a time, dan diakhiri and they live happily ever after. Sebuah simplifikasi dari dinamika dalam hidup.

Namun sayangnya, hidup tidak sesederhana itu.

Kita tahu kartun legendaris Cinderella, cerita klasik Snow White, dan keajaiban cinta di Beauty and the Beast. Tapi kita tidak tahu –atau tidak mau tahu, apa yang terjadi setelah happily ever afternya cinderella  hidup bersama pangeran. Apakah kehidupannya punya dua anak seperti Keluarga Berencana? Atau Cinderella hidup semakin tua termakan usia. Apakah sistem monarki tetap bertahan dalam kerajaan yang dipimpin oleh Rapunzel dan pangeran dalam cerita The Tangled? Atau apakah mereka sudah cukup bahagia dengan pesta dansa yang diadakan setiap tahun dengan kepemimpinan Ratu Elsa dalam Frozen? Ataukah ilmu fiqh munakahat sudah dikuasai oleh keluarga Jasmine dalam kisah Aladdin and the Arabian Nights? Atau apakah kerajaan bawah laut Ariel masih tetap jernis setelah kasus tumpahnya bensin di daerah Samudera Pasifik, dalam kisah The Little Mermaid? Atau masihkah produk kecantikan Natasha atau Larissa laku, begitu tahu dalam kisah Beauty and The Beast, cinta abadi mampu mengubah segala hal, termasuk fisik sekalipun.

Hidup lebih kompleks dari semua itu. Dan jelas, bukan sesuatu yang bisa disimplifikasi dengan kalimat sakti, ‘once upon a time, they lived happily ever after’.

Ini yang Namanya Realita
Kakak saya bergelut dalam dunia karyawan dan terjebak dalam rutinitas yang sama. Banyak tekanan dari berbagai pihak. Tekanan untuk sebuah gelar yang menempel di punggung namanya. Tekanan dar orang tua yang berharap beliau bersegera mencari pendamping hidup. Dan tekanan pada dirinya sendiri untuk sebuah komitmen dan visi hidup. Sampai akhirn dari cerita beliau untuk saat ini adalah keberhasilan mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah perusahaan bumn. Setelah sebelumnya mendapatkan kerja kontrak yang periodenya beberapa bulan, beberapa tahun, hingga pekerjaan yang merekrut penyelesaian proyek sampai jangka waktu proyek berakhir.

Dalam dunia pekerja kantoran, struggling untuk mendapatkan pekerjaan tetap sangatlah penting. Hal itu menjadi jaminan bahwa engkau akan mendapatkan status pekerjaan yang stabil –tanpa harus melamar membawa ijazah dan transkrip nilai untuk beberapa bulan atau beberapa tahun ke depan. Pekerjaan yang membuatmu lega hingga akhir usia tua mu masih bisa berpenghasilan dan menabung untuk masa tua nanti. Yang bisa menjaminmu membangun keluarga di sebuah perumahan damai bersama anak dan cucumu. Sebuah usaha yang luar biasa, terlebih lagi tantangannya adalah Indonesia sudah menghadapi MEA sejak tahun 2015. Sebuah kompetisi antara negara Asia Tenggara.

Dengan status beliau  sebagai seorang programmer lulusan sebuah universitas berlabel di Indonesia, namun ketika sudah memasuki ruang kerja, bahkan lulusan UGM pun bisa saja tidak lebih kompeten dibandingkan lulusan binus sekalipun. Meskipun di dunia snmptn, boleh jadi banyak orang lebih membanggakan mengenakan almet UGM dibandingkan President University (berapa banyak orang yang tahu President University dibandingkan UGM?). Namun di dunia kerja, semua label universitas itu akan dipertanyakan kembali pada kinerja diri sendiri.

Satu pagi ketika kami olahraga mengelilingi kampus UI. Saya dan kakak saya ini. Kemudian, ada ruang dialektika antara kami berdua. Pada sebuah visi yang beliau pertahankan di tengah berbagai tekanan. Beliau katakan, harga tanah di Jakarta sudah sangat mahal. Rumah yang dijual di dekat rumah kami saja harganya satu milyar. Untuk membeli tanah di pemakaman umum -dengan catatan bahwa jika engkau membeli untuk tempat peristirahatan terakhirmu (paling tidak, ada jaminan kuburanmu tidak akan tergusur oleh pembangunan proyek) yang ukurannya sekitar 1x0,5 meter saja harganya mencapai 2.5 juta. Membeli satu apartemen hunian saja rata-rata seharga 200 juta ke atas. Kontrakan per bulan mulai dari 5juta perbulan.

Ini yang namanya realita. Dan inilah trend yang terjadi di lingkungan metropolitan.

Saya akui ini karena saya berada di antara dua kota besar. Yang satu, ibukota sebuah negara berpenduduk –hampir mencapai 10 juta manusia. Dan yang satu lagi adalah kota klasik yang kian dipoles menjadi metropolis. Indonesia sudah membangun megaproyek pembangunan besar-besaran di setiap sektor. Masyarakat asli akan semakin tergusur, menyisakan masyarakat berpendidikan dan bermodal, yang dengan modal dan pengetahuannya mampu mempertahankan eksistensi di dunia nyata. Bukan dunia fiktif tempat Disney sukses menuai profit dari penjualan imajinasinya.

Saya melihat banyak dari orang yang saya kenal sudah semakin tergusur. Rumah mereka tidak lagi layak untuk dikatakan sebagai bangunan yang menghuni keluarga dengan ayah istri dan dua anak. Sebuah lingkungan keluarga yang tidak lagi menyediakan akses tanah lapang untuk seorang anak bermain, atau seorang ibu bisa bebas mencari sayur dan makanan bergizi di pasarnya. Karena dinamika kehidupan perkotaan jauh lebih kompleks dibandingkan kehidupan di pedesaan. Hari ini beda cerita dengan hari kemarin. Jika kemarin terjadi baku tembak di jalan Thamrin, maka hari ini aktivitas akan tetap berjalan seperti sedia kala. Karena konsekuensinya, stagnasi menyebabkan ketidakproduktivan siklus perekonomian negara. Maka masa lalu begitu mudah dilupakan, dan masyarakat hidup untuk hari ini dan masa depan. Tidak ada yang mau menggantungkan hidupnya pada masa lalu. Mereka hanya akan kembali bernostalgia di kampung halaman mereka. Karenanya, ritual liburan lebaran atau cuti panjang selalu menjadi momen saat masyarakat kota pulang kampung halaman mereka masing-masing. Bernostalgia pada masa lalu, dan berbakti pada orang tua.

Sementara masyarakat asli perkotaan, hidup dengan masa lalu mereka. Hidup dengan kenangan dimana tanah yang kini menjadi lahan proyek pembangunan mall besar mereka, dulu adalah rumah yang mereka huni bersama ayah dan ibu. Atau tempat bermain petak umpet. Atau tempat mereka memancing. Begitu banyak perumahan yang disulap menjadi areal pembangunan. Setiap kali saya kembali pulang ke rumah, selalu saja ada perubahan. Jalannya semakin tidak bisa kuhafal, karena setiap memandang di tiap sudut kota, gedung tinggi sudah membatasi ruang penglihatanmu. Areal lapangan luas tempat saya dulu bermain, kini sudah disulap menjadi apartemen puluhan tingkat yang mobil keluar masuk sana. Isinya adalah para masyarakat luar yang merantau mencari nafkah dan hidup bertaruh nasib di komplek padat karya : Jakarta. Yang di setiap gedungnya menghimpun puluhan bahkan ratusan perusahaan. Di setiap perusahaan itu menyediakan pekerjaan untuk satu manusia untuk bertahan hidup. Sementara masyarakat asli sana hidup di rumah mereka. Menjual nasi, atau jajanan dalam gerobak dorong, atau tukang ojek, atau pembantu rumah tangga. Atau bekerja di apartemen itu sendiri sebagai cleaning service atau petugas parkiran.

Inilah realita. Karena dinamika kota metropolitan begitu cepat berubah, menuntut orang dengan kapasitas dan kompetensi yang besar.

Yang paling memilukan adalah beberapa diantara masyarakat yang terpinggirkan itu adalah saudaramu. Mereka yang kau kenal. Atau teman mainmu di masa sd dulu. Atau barangkali tetanggamu. Engkau kenal mereka, dan mereka pernah menjadi bagian dari hidupmu. Pikiranmu akan tersandwich antara tuntutanmu pada realita kehidupan, atau rasa simpatimu untuk membantu mereka tetap mempertahankan eksistensi di sana.

Ini yang namanya kota metropolis. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Engkau bahkan akan kebingungan untuk mengkambing hitamkan siapa (atau bahkan, apa?)  –sekalipun engkau membenci realita tersebut.

Waktu SMA, saya sering pergi ke daerah kali Ciliwung. Bantaran kali Cililwung, letaknya di bawah fly over yang menghubungkan Kalibata dan Kampung Melayu, dekat PGC dan daerah SMAN 14 Jakarta. Saya gemar sekali di sana untuk mengisahkan kepiluan pada bagaimana diskriminasi sosial begitu nyata terjadi. Dan masyarakat semakin apatis untuk melihat bagaimana –tetangga mereka sendiri beratapkan seng beralaskan semen, atau pembantu rumahmu sendiri hidup dalam keadaan begitu terbatas dengan tuntutan merapihkan urusan rumah tangga mereka sendiri begitu pekerjaan menyetrika baju dan membersihkan rumahmu selesai dilakukan.

Setiap orang punya urusan masing-masing. Saya tidak akan ikut campur masalahmu, karena saya punya masalah sendiri yang harus segera diselesaikan.

Ini yang namanya dunia metropolitan.

Mereka adalah Sedikit di Antara yang Banyak
Di lain hal, ada juga beberapa orang yang memilih dengan jalan hidup mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang yang tetap pada prinsip mereka. Begitu kokoh. Mereka bermodal, entah semangat. Atau pengetahuan. Atau kecerdasan untuk mempertahankan eksistensi mereka di antara hiruk pikuk orang yang memikirkan untuk tetap hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak di kota-kota metropolitan.

Mereka adalah orang yang menyediakan jasa peristirahatan. Bukan istirahat di mall-mall besar di jam makan siang. Bukan juga istirahat menghilangkan kepenatan di malam minggumu dengan pacar. Tetapi untuk sebuah pencerahan ruhani dalam majelis ta’lim yang ada di perusahaan mereka.

Pada beberapa perusahaan yang saya ketahui di Jakarta memang memfasilitasi karyawannya untuk mengikuti kajian. Majelis Ta’lim seperti di Telkomsel, atau gedung bidakara, atau instansi pemerintahan. (saya tidak sedang berpromosi), namun inilah selayaknya sebuah peristirahatan bagi mereka yang sibuk pada tuntutan dunianya karena sebuah tuntutan, dan kesulitan untuk menghadiri majelis ilmu sebagaimana di jogja tersebar di banyak masjid di daerah sekitar kampus. Di kota besar seperti Jakarta, setiap gedung saja sudah melakukan shalat jumatnya masing-masing. Bukan hanya setiap gedung lagi. Tapi di satu gedung bisa ada jama’ah sholat jumat yang berbeda.Saya tiba-tiba teringat pertanyaan teman saya untuk menanyakan mana yang lebih utama untuk menghadiri jamaah jumat jika kondisinya lebih dari satu jamaah dalam satu kampung. Di kota metropolitan sendiri, satu gedung bisa terdapat jamaah sholat jumat di beberapa lantai!

Saya tidak menyoroti ketersediaan sebuah majelis ilmu di sebuah  kota metropolitan. Namun saya melihat pada beberapa tokoh yang saya kenal. Mereka masyarakat lokal. Yang mampu mempertahankan eksistensinya di antara begitu banyak masyarakat yang hilir mudik bermukim untuk mencari nafkah hidup di kota besar. Mereka adalah kelompok orang yang mempertahankan eksistensi untuk sebuah hal yang tidak banyak orang mengajarnya, yakni mempelajari ilmu agama dan bertahan dengan menyebarkan ilmu agama itu. Untuk mengisi ruhani mereka yang mayoritas mengejar suatu jabatan atau kenaikan gaji di perusahaan-perusahaan. Mereka adalah sekelompok orang yang banyak dicari orang-orang untuk mengisi ruhani mereka yang kering. Atau memperbaiki akhlak dari karyawan mereka yang sedang dalam masalah keluarga sehingga kinerja di kantor semakin menurun. Mereka ada dan mengisi kajian di perusahaan-perusahaan, atau komplek perumahan elit seperti di Masjid Sunda Kelapa atau Masjid Istiqlal. Mereka ada dan dihormati. Mereka ada dan tetap hidup kecukupan sesuai dengan parameter ‘cukup’ menurut mereka masing-masing.

Pada beberapa tokoh yang saya kenal, seperti keluarga besar Kiai Haji Mughni tempat saya dulu mengenyam pendidikan SD dan SMP. Betapa saya mengagumi beliau yang mendidik anak-anak beliau untuk menjadi penyebar kebaikan di Jakarta. Seperti Ustadz Luthfi Fathullah yang memiliki Pusat Kajian Hadist dan kini menjabat sebagai Ketua MUI Jakarta. Atau Ustadz Ahmad Sarwat yang membangun Rumah Fiqh Indonesia dan produktivitas beliau mengisi kajian di instansi pemerintahan. Atau ustadz Zarkasih yang mengasuh Pondok Pesantren beliau. Almarhum Ali Musthofa Ya’qub yang begitu saya kagumi konsep pemikiran Islam Nusantara dari beliau. Ustadzah Romlah Hidayati yang kini menjadi pakar qiro’at sab’ah dan aktif mengajar di Institut Ilmu al Quran.  Ustadz Ahsin Sakho, rektor LPTQ.  Qori’ah internasional, ibu Mariana Ulfa yang aktif mengikuti konferensi internasional dan menerbitkan jurnal. Azyumardi Azra. Hasyim Muzadi.

Mengenal profil beliau, saya merasa terbuka mata untuk bisa mengkompromikan antara pencapaian dunia dan ekspektasi akhirat. Begitu teduh melihat mereka dan mampu bisa lebih dekat mengenal mereka dan menyerap ilmu dari beliau. 

Islam