Once Upon a Time, They Lived Happily Ever After
Bagi konsumen penikmat channel
disney, pasti tidak asing dengan kalimat di atas. Agaknya, animasi di disney
berhasil memberikan pencerahan pada kita terhadap beberapa hal : (1) bahwa
dalam hidup, kebaikan pasti akan menang melawan kejahatan, dan (2) kebahagian eternal
akan didapatkan bagi orang yang mau mempertahankan itu.
Prolog
Waktu kecil dulu, saya sering
mengantar teman saya pulang ke rumah –yang
rumahnya di belakang sd kami, karena teman saya ini anak dari pengurus yayasan.
Sering kali dalam kesempatan itu, di rumahnya saya numpang menonton. Karena
yang disetel oleh ibunya pasti channel disney atau CNN. Setidaknya, dunia saya
lebih luas dalam mengetahui ada kartun seperti Rollie Pollie Ollie ,
selain Dora the Explorer atau Hey Arnold!.
Dalam beberapa kartun disney,
tema secara umum sama. Kalau kita membaca qur’an diawali ta’awudz dan
bismillah, kemudian diakhiri dengan shodaqollahul ‘adzim, pada disney
diawali dengan once upon a time, dan diakhiri and they live happily
ever after. Sebuah simplifikasi dari dinamika dalam hidup.
Namun sayangnya, hidup tidak sesederhana
itu.
Kita tahu kartun legendaris Cinderella,
cerita klasik Snow White, dan keajaiban cinta di Beauty and the Beast. Tapi
kita tidak tahu –atau tidak mau tahu, apa yang terjadi setelah happily ever
afternya cinderella hidup bersama
pangeran. Apakah kehidupannya punya dua anak seperti Keluarga Berencana? Atau Cinderella
hidup semakin tua termakan usia. Apakah sistem monarki tetap bertahan dalam
kerajaan yang dipimpin oleh Rapunzel dan pangeran dalam cerita The Tangled?
Atau apakah mereka sudah cukup bahagia dengan pesta dansa yang diadakan setiap
tahun dengan kepemimpinan Ratu Elsa dalam Frozen? Ataukah ilmu fiqh
munakahat sudah dikuasai oleh keluarga Jasmine dalam kisah Aladdin and
the Arabian Nights? Atau apakah kerajaan bawah laut Ariel masih tetap jernis setelah kasus tumpahnya bensin di daerah Samudera Pasifik, dalam kisah The Little Mermaid? Atau masihkah produk kecantikan Natasha atau Larissa laku, begitu tahu dalam kisah Beauty and The Beast, cinta abadi mampu mengubah segala hal, termasuk fisik sekalipun.
Hidup lebih kompleks dari semua itu.
Dan jelas, bukan sesuatu yang bisa disimplifikasi dengan kalimat sakti, ‘once
upon a time, they lived happily ever after’.
Ini yang Namanya Realita
Kakak saya bergelut dalam dunia
karyawan dan terjebak dalam rutinitas yang sama. Banyak tekanan dari berbagai
pihak. Tekanan untuk sebuah gelar yang menempel di punggung namanya. Tekanan
dar orang tua yang berharap beliau bersegera mencari pendamping hidup. Dan
tekanan pada dirinya sendiri untuk sebuah komitmen dan visi hidup. Sampai akhirn
dari cerita beliau untuk saat ini adalah keberhasilan mendapatkan pekerjaan tetap
di sebuah perusahaan bumn. Setelah sebelumnya mendapatkan kerja kontrak yang periodenya
beberapa bulan, beberapa tahun, hingga pekerjaan yang merekrut penyelesaian
proyek sampai jangka waktu proyek berakhir.
Dalam dunia pekerja kantoran, struggling
untuk mendapatkan pekerjaan tetap sangatlah penting. Hal itu menjadi jaminan bahwa
engkau akan mendapatkan status pekerjaan yang stabil –tanpa harus melamar
membawa ijazah dan transkrip nilai untuk beberapa bulan atau beberapa tahun ke
depan. Pekerjaan yang membuatmu lega hingga akhir usia tua mu masih bisa
berpenghasilan dan menabung untuk masa tua nanti. Yang bisa menjaminmu
membangun keluarga di sebuah perumahan damai bersama anak dan cucumu. Sebuah
usaha yang luar biasa, terlebih lagi tantangannya adalah Indonesia sudah menghadapi MEA sejak tahun 2015. Sebuah kompetisi antara negara Asia Tenggara.
Dengan status beliau sebagai seorang programmer lulusan
sebuah universitas berlabel di Indonesia, namun ketika sudah memasuki ruang
kerja, bahkan lulusan UGM pun bisa saja tidak lebih kompeten dibandingkan
lulusan binus sekalipun. Meskipun di dunia snmptn, boleh jadi banyak orang
lebih membanggakan mengenakan almet UGM dibandingkan President University (berapa
banyak orang yang tahu President University dibandingkan UGM?). Namun di dunia
kerja, semua label universitas itu akan dipertanyakan kembali pada kinerja diri
sendiri.
Satu pagi ketika kami olahraga mengelilingi
kampus UI. Saya dan kakak saya ini. Kemudian, ada ruang dialektika antara kami berdua. Pada sebuah visi
yang beliau pertahankan di tengah berbagai tekanan. Beliau katakan, harga
tanah di Jakarta sudah sangat mahal. Rumah yang dijual di dekat rumah kami saja
harganya satu milyar. Untuk membeli tanah di pemakaman umum -dengan catatan bahwa jika engkau membeli untuk tempat peristirahatan terakhirmu (paling tidak, ada jaminan kuburanmu tidak akan tergusur oleh pembangunan proyek) yang ukurannya sekitar 1x0,5 meter saja harganya mencapai 2.5 juta. Membeli satu apartemen hunian saja rata-rata seharga 200 juta ke atas. Kontrakan per bulan mulai dari 5juta perbulan.
Ini yang namanya realita. Dan inilah
trend yang terjadi di lingkungan metropolitan.
Saya akui ini karena saya berada
di antara dua kota besar. Yang satu, ibukota sebuah negara berpenduduk –hampir mencapai
10 juta manusia. Dan yang satu lagi adalah kota klasik yang kian dipoles
menjadi metropolis. Indonesia sudah membangun megaproyek pembangunan
besar-besaran di setiap sektor. Masyarakat asli akan semakin tergusur,
menyisakan masyarakat berpendidikan dan bermodal, yang dengan modal dan pengetahuannya
mampu mempertahankan eksistensi di dunia nyata. Bukan dunia fiktif tempat
Disney sukses menuai profit dari penjualan imajinasinya.
Saya melihat banyak dari orang
yang saya kenal sudah semakin tergusur. Rumah mereka tidak lagi layak untuk
dikatakan sebagai bangunan yang menghuni keluarga dengan ayah istri dan dua
anak. Sebuah lingkungan keluarga yang tidak lagi menyediakan akses tanah lapang
untuk seorang anak bermain, atau seorang ibu bisa bebas mencari sayur dan
makanan bergizi di pasarnya. Karena dinamika kehidupan perkotaan jauh lebih
kompleks dibandingkan kehidupan di pedesaan. Hari ini beda cerita dengan hari
kemarin. Jika kemarin terjadi baku tembak di jalan Thamrin, maka hari ini
aktivitas akan tetap berjalan seperti sedia kala. Karena konsekuensinya,
stagnasi menyebabkan ketidakproduktivan siklus perekonomian negara. Maka masa
lalu begitu mudah dilupakan, dan masyarakat hidup untuk hari ini dan masa
depan. Tidak ada yang mau menggantungkan hidupnya pada masa lalu. Mereka hanya
akan kembali bernostalgia di kampung halaman mereka. Karenanya, ritual liburan
lebaran atau cuti panjang selalu menjadi momen saat masyarakat kota pulang
kampung halaman mereka masing-masing. Bernostalgia pada masa lalu, dan berbakti
pada orang tua.
Sementara masyarakat asli perkotaan,
hidup dengan masa lalu mereka. Hidup dengan kenangan dimana tanah yang kini
menjadi lahan proyek pembangunan mall besar mereka, dulu adalah rumah yang
mereka huni bersama ayah dan ibu. Atau tempat bermain petak umpet. Atau tempat
mereka memancing. Begitu banyak perumahan yang disulap menjadi areal
pembangunan. Setiap kali saya kembali pulang ke rumah, selalu saja ada
perubahan. Jalannya semakin tidak bisa kuhafal, karena setiap memandang di tiap
sudut kota, gedung tinggi sudah membatasi ruang penglihatanmu. Areal lapangan
luas tempat saya dulu bermain, kini sudah disulap menjadi apartemen puluhan
tingkat yang mobil keluar masuk sana. Isinya adalah para masyarakat luar yang
merantau mencari nafkah dan hidup bertaruh nasib di komplek padat karya : Jakarta.
Yang di setiap gedungnya menghimpun puluhan bahkan ratusan perusahaan. Di setiap
perusahaan itu menyediakan pekerjaan untuk satu manusia untuk bertahan hidup. Sementara
masyarakat asli sana hidup di rumah mereka. Menjual nasi, atau jajanan dalam
gerobak dorong, atau tukang ojek, atau pembantu rumah tangga. Atau bekerja di
apartemen itu sendiri sebagai cleaning service atau petugas parkiran.
Inilah realita. Karena dinamika kota
metropolitan begitu cepat berubah, menuntut orang dengan kapasitas dan
kompetensi yang besar.
Yang paling memilukan adalah beberapa
diantara masyarakat yang terpinggirkan itu adalah saudaramu. Mereka yang kau
kenal. Atau teman mainmu di masa sd dulu. Atau barangkali tetanggamu. Engkau
kenal mereka, dan mereka pernah menjadi bagian dari hidupmu. Pikiranmu akan
tersandwich antara tuntutanmu pada realita kehidupan, atau rasa simpatimu untuk
membantu mereka tetap mempertahankan eksistensi di sana.
Ini yang namanya kota metropolis.
Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Engkau bahkan akan kebingungan
untuk mengkambing hitamkan siapa (atau bahkan, apa?) –sekalipun engkau membenci realita tersebut.
Waktu SMA, saya sering pergi ke
daerah kali Ciliwung. Bantaran kali Cililwung, letaknya di bawah fly over yang
menghubungkan Kalibata dan Kampung Melayu, dekat PGC dan daerah SMAN 14 Jakarta.
Saya gemar sekali di sana untuk mengisahkan kepiluan pada bagaimana
diskriminasi sosial begitu nyata terjadi. Dan masyarakat semakin apatis untuk
melihat bagaimana –tetangga mereka sendiri beratapkan seng beralaskan semen,
atau pembantu rumahmu sendiri hidup dalam keadaan begitu terbatas dengan
tuntutan merapihkan urusan rumah tangga mereka sendiri begitu pekerjaan
menyetrika baju dan membersihkan rumahmu selesai dilakukan.
Setiap orang punya urusan
masing-masing. Saya tidak akan ikut campur masalahmu, karena saya punya masalah
sendiri yang harus segera diselesaikan.
Ini yang namanya dunia
metropolitan.
Mereka adalah Sedikit di
Antara yang Banyak
Di lain hal, ada juga beberapa
orang yang memilih dengan jalan hidup mereka masing-masing. Mereka adalah
orang-orang yang tetap pada prinsip mereka. Begitu kokoh. Mereka bermodal,
entah semangat. Atau pengetahuan. Atau kecerdasan untuk mempertahankan
eksistensi mereka di antara hiruk pikuk orang yang memikirkan untuk tetap hidup
dan mendapatkan penghidupan yang layak di kota-kota metropolitan.
Mereka adalah orang yang
menyediakan jasa peristirahatan. Bukan istirahat di mall-mall besar di jam
makan siang. Bukan juga istirahat menghilangkan kepenatan di malam minggumu
dengan pacar. Tetapi untuk sebuah pencerahan ruhani dalam majelis ta’lim yang ada
di perusahaan mereka.
Pada beberapa perusahaan yang
saya ketahui di Jakarta memang memfasilitasi karyawannya untuk mengikuti
kajian. Majelis Ta’lim seperti di Telkomsel, atau gedung bidakara, atau
instansi pemerintahan. (saya tidak sedang berpromosi), namun inilah selayaknya
sebuah peristirahatan bagi mereka yang sibuk pada tuntutan dunianya karena
sebuah tuntutan, dan kesulitan untuk menghadiri majelis ilmu sebagaimana di
jogja tersebar di banyak masjid di daerah sekitar kampus. Di kota besar seperti
Jakarta, setiap gedung saja sudah melakukan shalat jumatnya masing-masing. Bukan
hanya setiap gedung lagi. Tapi di satu gedung bisa ada jama’ah sholat jumat
yang berbeda.Saya tiba-tiba teringat pertanyaan teman saya untuk menanyakan
mana yang lebih utama untuk menghadiri jamaah jumat jika kondisinya lebih dari
satu jamaah dalam satu kampung. Di kota metropolitan sendiri, satu gedung bisa
terdapat jamaah sholat jumat di beberapa lantai!
Saya tidak menyoroti ketersediaan
sebuah majelis ilmu di sebuah kota
metropolitan. Namun saya melihat pada beberapa tokoh yang saya kenal. Mereka
masyarakat lokal. Yang mampu mempertahankan eksistensinya di antara begitu
banyak masyarakat yang hilir mudik bermukim untuk mencari nafkah hidup di kota
besar. Mereka adalah kelompok orang yang mempertahankan eksistensi untuk sebuah
hal yang tidak banyak orang mengajarnya, yakni mempelajari ilmu agama dan
bertahan dengan menyebarkan ilmu agama itu. Untuk mengisi ruhani mereka yang
mayoritas mengejar suatu jabatan atau kenaikan gaji di perusahaan-perusahaan.
Mereka adalah sekelompok orang yang banyak dicari orang-orang untuk mengisi
ruhani mereka yang kering. Atau memperbaiki akhlak dari karyawan mereka yang
sedang dalam masalah keluarga sehingga kinerja di kantor semakin menurun.
Mereka ada dan mengisi kajian di perusahaan-perusahaan, atau komplek perumahan
elit seperti di Masjid Sunda Kelapa atau Masjid Istiqlal. Mereka ada dan
dihormati. Mereka ada dan tetap hidup kecukupan sesuai dengan parameter ‘cukup’
menurut mereka masing-masing.
Pada beberapa tokoh yang saya
kenal, seperti keluarga besar Kiai Haji Mughni tempat saya dulu mengenyam pendidikan
SD dan SMP. Betapa saya mengagumi beliau yang mendidik anak-anak beliau untuk
menjadi penyebar kebaikan di Jakarta. Seperti Ustadz Luthfi Fathullah yang
memiliki Pusat Kajian Hadist dan kini menjabat sebagai Ketua MUI Jakarta. Atau Ustadz
Ahmad Sarwat yang membangun Rumah Fiqh Indonesia dan produktivitas beliau
mengisi kajian di instansi pemerintahan. Atau ustadz Zarkasih yang mengasuh
Pondok Pesantren beliau. Almarhum Ali Musthofa Ya’qub yang begitu saya kagumi konsep
pemikiran Islam Nusantara dari beliau. Ustadzah Romlah Hidayati yang kini
menjadi pakar qiro’at sab’ah dan aktif mengajar di Institut Ilmu al Quran.
Ustadz Ahsin Sakho, rektor LPTQ. Qori’ah internasional, ibu Mariana Ulfa yang
aktif mengikuti konferensi internasional dan menerbitkan jurnal. Azyumardi
Azra. Hasyim Muzadi.
Mengenal profil beliau, saya
merasa terbuka mata untuk bisa mengkompromikan antara pencapaian dunia dan
ekspektasi akhirat. Begitu teduh melihat mereka dan mampu bisa lebih dekat
mengenal mereka dan menyerap ilmu dari beliau.