Kadang, mereka lebih beretika
dibandingkan dengan kita.
Data BPS menunjukkan bahwa persentase
mahasiswa di Indonesia hanya pada kisaran 2% dari total penduduk di Indonesia. Akan
jauh lebih sedikit jika dikerucutkan menjadi golongan masyarakat cendekia yang berakhlak
dan bermoral. Lebih sedikit lagi bagi
golongan mahasiswa yang mau berkontribusi aktif di masyarakat. Yang sadar dan
peduli akan perannya di ranah sosial. Yang tidak secara egois mementingkan pemuasan
kebutuhan pribadi.
Perkenankan saya menggores pena,
menulis kisah ini.
21:57 WIB.
Saya baru saja pulang. Baru saja.
Dari tempat biasa saya mengajar pengajian ibu-ibu, memperbaiki bacaan Qur’an
mereka di salah satu masjid yang berlokasi tak jauh dari asrama tempat saya
berteduh. Bersama sekelompok teman-teman satu ukhuwah.
Asrama kami adalah asrama
mahasiswa. Sebagaimana saya sebutkan pada introduksi. Kami adalah sekelompok
mahasiswa yang alhamdulillah telah diberikan kesempatan untuk menuntut
ilmu sedikit lebih lama, mendapatkan kapasitas intelektual yang sedikit lebih
banyak, dan kondisi iman yang sangat butuh pemfasilitasan *dan karena itulah
kami bermukim di asrama hanya untuk meneguhkan iman kami.
Kami baru pulang dari pengajian,
saat berlalu dalam perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa menit dari
asrama. Hendak menyebrang jalan, saat melihat sosok bapak berpakaian kusam.
Tidak banyak mengamati, saya langsung saja berlalu. Entah dimana saat itu
rasionalitas saya pergi.
Sampai di seberang jalan, teman
mengobrol saya menoleh menyatakan rasa ibanya. Baru saat itu saya dibuka
matanya dan disadarkan nuraninya. Saya
mengamati di seberang jalan itu, bapak tersebut hanya berlalu.
“Muthi’ah,..” seruku pada seorang
teman yang ada di depanku. “boleh kuminta makananmu?” aku menimpal tanpa
logika, refleks berkata demikian. Ia langsung saja menyanggupi dengan ramah.
Begitu pula temanku yang ada di
belakang, rupanya ia memiliki intuisi yang sama. Kami langsung kembali
menyebrang dan mengejar si bapak yang tak jauh langkahnya, tertatih dibantu
tongkat kayunya berjalan tanpa alas.
Ia berbalik, menoleh pada kami.
Aku lebih miris memandangnya. Kami memaksakan kilah senyum kami, seraya
menyerahkan beberapa bungkus makanan yang baru saja kami dapatkan dari
pengajian. Ya Allah, semoga ini membantunya,.. Rezeki tetaplah di tanganMu.
Ini bukan kisah heroik dari sosok
mahasiswa yang memberikan sebungkus makanan pada orang yang dianggap
membutuhkan. Bukan pula kisah anak muda yang berlari mengejar pahala untuk
berkontribusi secara sosial. Sama sekali
bukan.
Sama sekali bukan.
Tapi, ini adalah tamparan untuk
saya. Termasuk untuk pembaca, barangkali jikalau sekali-dua kali pernah
mengalaminya.
Kadang kita menganggap remeh hal
kecil yang kita lakukan.
Merasa pernah untuk perlu
diibakan orang lain? Sering meminta tolong sesuatu yang masih dalam batas
kemampuan kita?
Sekali lagi, ini tamparan buat
saya pribadi. Baik saya maupun pembaca.
Kadang kala kita merasa
membutuhkan uluran tangan orang lain untuk hal sekecil apapun itu. Untuk menuntaskan
hal sepele. Untuk mengerjakan hal yang mampu kita kerjakan. Mereka yang bertaruhkan
antara kelangsungan hidupnya, enggan untuk meminta. Mereka lebih beretika. Meski
mereka tidak lulus secara edukasinya, tapi mereka tampaknya lebih paham cara
beretika.
Barangkali sang bapak melihat
dengan jelas sekelompok anak muda yang berlalu, ngobrol dengan asiknya dalam
jalannya mereka, menggenggam sebungkus makanan. Ia diam saat kami melewatinya.
Memperkenankan kami. Dan bodohnya saya hanya selintas melihatnya, tanpa
terbesit rasa apapun, kalau bukan teman saya tidak menyadarkan saya.
Aish, saya menuliskan ini dengan
penuh emosi. Emosi yang sulit dilebur menjadi satu hingga menimbulkan berbagai kontradiksi
dan konotasi yang barangkali membingungkan pembaca. Perasaan saya sedang kacau.
Yang jelas, masih terbayang dengan jelas wajah bapak itu. Klise saat kami
menyerahkan bungkusan tersebut. Jemari kaki beliau. Kemeja lusuh yang beliau
kenakan. Celana pendeknya. Sorot lampu malam saat mobil-mobil berlalu. Ataupun suara
‘terima kasih’ berkali-kali yang beliau utarakan.
Ini bukan fiksi. Ini nyata. Tokoh
bapak tersebut pun bukan sekadar retorika. Mereka adalah masyarakat marginal,
kaum terdiskriminasi yang sering kali kita abaikan. Hikmah ini juga bukan
sekadar teguran. Ini tamparan bagi mereka yang berakal dan merasa punya nurani.
Ini tamparan bagi kita semua.