Antara Rasionalitas dan Kuantitas
Manusia punya
serangkaian sistem yang mereka sepakati tanpa suatu tinta hitam di atas putih.
Sistem yang terbangun tanpa perlu bermusyawarah dalam sebuah forum. Tanpa
sebuah lembaga birokrasi sebagai payung yudikasi dalam memastikan segalanya
tetap berada pada jalannya. Karena mereka memiliki sepaket rasionalitas.
Rasionalitas
yang membuat mereka paham antara baik dan buruk tanpa perlu membuat pedoman
garis besar haluan beretika. Bahwa menjenguk orang sakit itu perbuatan terpuji.
Bahwa mencuri itu akhlak tercela. Bahwa menggunjing orang itu sikap tidak
beretika.
Di sini rasionalitas
yang bertindak mengkomparasikan dua hal tersebut. Baik, jahat. Atas, bawah.
Kanan, kiri.
Karena
ketiadaannya suatu amandemen tertulis, maka nilai tersebut menjadi sangat
relatif dalam perspektif manusia. Yang ada hanya kuantitas yang bermain di
sini. Masyarakat minoritas akan mengikuti kultur yang menghegemoni sistem.
Masyarakat mayoritas bertindak sebagai pembuat peraturan. Kuantitas yang
berkuasa. Dan karena diversitas adalah suatu keniscayaan, sebuah toleransi
sering kali digantungkan. Fakta menjadi sebuah paradoks dalam bungkusan : “diversitas
menjadi nilai yang sering kita pahami, kita ketahui. Namun jarang bagi kita
untuk mencoba membuka ruang bagi mereka dalam menerima dan dibicarakan.”
Sebagai sebuah
konsekuensi dari eksistensi ‘diversitas’, yang namanya orang jahat, licik,
zalim itu pasti ada. Yang jelas, mereka semua adalah produk dari kultur tempat
mereka dilahirkan. Melekatkan mereka dalam rangkaian takdir yang menentukan
akan seperti apa mereka di masa depan. Mengikatkan dogma pada masyarakat bahwa
kontribusi tempat dimana kita lahir menjadi sangat esensial, dan
meluputkan pandangan bahwa dalam hidup ini, masih ruang untuk doa dan usaha
dalam berperan. Ini pandangan masyarakat kolot.
Ini sistem.
Jangan salahkan sistem. Sistem berkuasa di sini. Dan yang menjadi variabel
penentu sistem adalah kontribusi dari kuantitas. Kuantitas adalah
mayoritas yang berkuasa mengatur sistem.