Maaf. Saya belum bisa menjawabnya.
Beberapa hari yang lalu saya
bertemu dengan seorang teman. Teman yang
suka saya ajak berdialektika, membentuk forum diskusi dalam membahas pergulatan
pikiran pada kondisi sekitar. Dia adalah satu dari beberapa orang yang memang
saya terbuka untuk berbagi wawasan. Saya belum cukup ilmu untuk menahan emosi
pada beberapa orang. Atau belum cukup kata untuk berdebat bagi yang lainnya.
Saya hanya mencoba membuka forum yang Sali bertoleransi satu sama lain.
Tafakkur, berpikir memandang alam
semesta pada bagaimana semesta bergerak secara dinamis dan mencoba berdiskusi
bagaimana menyikapinya secara bijaksana. Tafakkarun fi khalq as-sama wati
wal ardh (berpikir pada pergiliran siang dan malam).
Teman ini adalah teman lama. Lama
karena sudah beberapa bulan sejak aku berdiskusi dengannya. Dan di tengah pergulatan saya menguzlahkan
diri untuk mencari tempat nyaman bereksplorasi di dnia virtual,rupanya si teman
ini sedang mencari sosok saya untuk berdiskusi.
Dalam pandangan saya, dia adalah
sosok dengan pemikiran fleksibel. Hal ini pula yang diterka oleh beberapa orang
*dimana ia curahkan perasaannya kepada saya, bahwa pemikirannya pernah
dijustifikasi oleh sebagian orang sebagai* pandangan liberal. Soal apa? Saya
pikir pembaca bisa menerka sendiri mau dibawa kemana topik bahasan saya kali
ini.
Di tengah perbincangan kami dalam
siang yang lenggang, ia bertutur. Ada satu aklamasi yang membuat saya sungguh
tertekan, dan itu yang jelas, paling saya ingat betul.
Ketika ia melakukan perbincangan
dengan kiai di pesantrennya, “Kalian bangga sebagai orang Muslim. Bangga
berpayungkan Islam. Memang apa sih yang kalian tahu tentang Islam? Sudah berapa
kali syari’at yang kalian amalkan dan kalian langgar? Islam kalian itu
sesungguhnya hanya Islam turunan. Islam dari orang tua. Coba renungkan, jika
kalian lahir di lingkungan keluarga non-Islam, toh kalian pasti tidak
beragama Islam sekarang. Iya, kan?”
Na’udzubillahimin dzalik.
Saya tidak mencoba mengajak
segenap pembaca siapapun itu untuk melakukan evaluasi diri. Bergegas menuntut
ilmu di agama seberang sambil berguru pada pak kiai sebagai proses muhasabah
diri. Tidak, sesungguhnya tidak. Silahkan kalian berasumsi apapun.
Saya hanya berpikir. Coba
cermati, dan sikapi sebagaimana seorang berintelektualitas bersikap, menanggapi
perspektif yang berbeda.
Sering kali kita memperjuangkan
sesuatu tanpa suatu landasan yang kuat. Hanya karena terbawa arus dan emosi.
Terbawa kultural dan bawaan budaya. Saya sepakat jika kita harus bergerak, atau
tergantikan. Harus memperjuangkan prinsip kita hingga panji kemenangan itu
dalam genggaman. Atau konotasi lainnya yang mampu memberikan gambaran heroik
seberapa besar urgensi mempertahankan prinsip itu kita internalisasi.
Tapi kadang kita sampai luput dari
substansi yang seharusnya menjadi asas. Apa yang kita perjuangkan?
Benarkah itu layak diperjuangkan? Bagaimana dengan perspektif orang lain,
apakah tidak layak, coba untuk kita pahami dan didiskusikan secara baik-baik?
Kita ini negeri pancasila,
katanya. Yang bunyi sila ke-empatnya ; permusyawaratan perwakilan. Kalau Kiai
Musthofa Bisri sering menganalogikan agama seperti sebuah jenjang pendidikan.
Si kelompok SD SMP punya kontribusi lebih besar dari segi kuantitas. Selain
itu, mereka juga turut berkontribusi aktif dalam memperjuangkan hal yang
mengambang. Artinya, mereka masih belum cukup ilmu dalam memperjuangkan itu,
sehingga mengaklamasikan pernyataan retoris, yang hanya cukup mengubah intonasi
untuk terlihat seolah heroik.
Saat itu memang saya belum mampu
menjawabnya. Namun, jika kemudian satu malam pikiran ini terbesit dibenak saya,
barangkali saya akan menjawab,
“maaf, saya belum punya cuup ilmu
untuk menjawab pertanyaan itu. Namun yang saya tahu, sejak kecil lingkungan
mendidik saya untuk senantiasa bersyukur akan nikmat Islam. Karenanya setiap usai
shalat, berdo’a pada sang Kuasa, nikmat Islam ”
Inilah nikmat yang sering kita
lupakan. Kita terlalu tsiqah pada takdir, atau taqlid pada satu pendapat sampai
memuaskan ruhani kita pada fakta kita orang Islam hingga lupa bersyukur
padanya? Ini juga sebagai bahan refleksi kita bersama.