14 Jun 2014

Maaf. Saya belum bisa menjawabnya.


Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman. Teman  yang suka saya ajak berdialektika, membentuk forum diskusi dalam membahas pergulatan pikiran pada kondisi sekitar. Dia adalah satu dari beberapa orang yang memang saya terbuka untuk berbagi wawasan. Saya belum cukup ilmu untuk menahan emosi pada beberapa orang. Atau belum cukup kata untuk berdebat bagi yang lainnya. Saya hanya mencoba membuka forum yang Sali bertoleransi satu sama lain.

 Tafakkur, berpikir memandang alam semesta pada bagaimana semesta bergerak secara dinamis dan mencoba berdiskusi bagaimana menyikapinya secara bijaksana. Tafakkarun fi khalq as-sama wati wal ardh (berpikir pada pergiliran siang dan malam).

Teman ini adalah teman lama. Lama karena sudah beberapa bulan sejak aku berdiskusi dengannya.  Dan di tengah pergulatan saya menguzlahkan diri untuk mencari tempat nyaman bereksplorasi di dnia virtual,rupanya si teman ini sedang mencari sosok saya untuk berdiskusi.

Dalam pandangan saya, dia adalah sosok dengan pemikiran fleksibel. Hal ini pula yang diterka oleh beberapa orang *dimana ia curahkan perasaannya kepada saya, bahwa pemikirannya pernah dijustifikasi oleh sebagian orang sebagai* pandangan liberal. Soal apa? Saya pikir pembaca bisa menerka sendiri mau dibawa kemana topik bahasan saya kali ini.

Di tengah perbincangan kami dalam siang yang lenggang, ia bertutur. Ada satu aklamasi yang membuat saya sungguh tertekan, dan itu yang jelas, paling saya ingat betul.

Ketika ia melakukan perbincangan dengan kiai di pesantrennya, “Kalian bangga sebagai orang Muslim. Bangga berpayungkan Islam. Memang apa sih yang kalian tahu tentang Islam? Sudah berapa kali syari’at yang kalian amalkan dan kalian langgar? Islam kalian itu sesungguhnya hanya Islam turunan. Islam dari orang tua. Coba renungkan, jika kalian lahir di lingkungan keluarga non-Islam, toh kalian pasti tidak beragama Islam sekarang. Iya, kan?”

Na’udzubillahimin dzalik.

Saya tidak mencoba mengajak segenap pembaca siapapun itu untuk melakukan evaluasi diri. Bergegas menuntut ilmu di agama seberang sambil berguru pada pak kiai sebagai proses muhasabah diri. Tidak, sesungguhnya tidak. Silahkan kalian berasumsi apapun.

Saya hanya berpikir. Coba cermati, dan sikapi sebagaimana seorang berintelektualitas bersikap, menanggapi perspektif yang berbeda.

Sering kali kita memperjuangkan sesuatu tanpa suatu landasan yang kuat. Hanya karena terbawa arus dan emosi. Terbawa kultural dan bawaan budaya. Saya sepakat jika kita harus bergerak, atau tergantikan. Harus memperjuangkan prinsip kita hingga panji kemenangan itu dalam genggaman. Atau konotasi lainnya yang mampu memberikan gambaran heroik seberapa besar urgensi mempertahankan prinsip itu kita internalisasi.
Tapi kadang kita sampai luput dari substansi yang seharusnya menjadi asas. Apa yang kita perjuangkan? Benarkah itu layak diperjuangkan? Bagaimana dengan perspektif orang lain, apakah tidak layak, coba untuk kita pahami dan didiskusikan secara baik-baik?

Kita ini negeri pancasila, katanya. Yang bunyi sila ke-empatnya ; permusyawaratan perwakilan. Kalau Kiai Musthofa Bisri sering menganalogikan agama seperti sebuah jenjang pendidikan. Si kelompok SD SMP punya kontribusi lebih besar dari segi kuantitas. Selain itu, mereka juga turut berkontribusi aktif dalam memperjuangkan hal yang mengambang. Artinya, mereka masih belum cukup ilmu dalam memperjuangkan itu, sehingga mengaklamasikan pernyataan retoris, yang hanya cukup mengubah intonasi untuk terlihat seolah heroik.

Saat itu memang saya belum mampu menjawabnya. Namun, jika kemudian satu malam pikiran ini terbesit dibenak saya, barangkali saya akan menjawab,
“maaf, saya belum punya cuup ilmu untuk menjawab pertanyaan itu. Namun yang saya tahu, sejak kecil lingkungan mendidik saya untuk senantiasa bersyukur akan nikmat Islam. Karenanya setiap usai shalat, berdo’a pada sang Kuasa,  nikmat Islam 


Inilah nikmat yang sering kita lupakan. Kita terlalu tsiqah pada takdir, atau taqlid pada satu pendapat sampai memuaskan ruhani kita pada fakta kita orang Islam hingga lupa bersyukur padanya? Ini juga sebagai bahan refleksi kita bersama. 

Islam