Menginternalisasi Keberkahan
Saya punya teman. Sebut saja Azza.
Azza itu unik. Ya, unik dari perspektif saya. Dia adalah produk imitasi dari bagaimana masyarakat dan budaya metropolitan membentuk karakternya, sedemikian rupa sehingga dari segala atribut kebanggaan, gaya bicara, dialektika tempatnya bergumam, maupun topik diskusi berbau metropolis. Tanpa sadar, saya yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya terciprat kultural ini.
Saya paham dari ceritanya saat dia mengalir. Ada hal yang merupakan kelebihan darinya dan selayaknya ia banggakan. Hal yang akan meninggikan derajatnya begitu indah dalam pandangan akhirat. Ini bukan testimoni dari refleksi kiamat. Bukan. Tapi ini adalah pembelajaran bagi saya maupun pembaca, tentang cerita dari masyarakat yang mengabaikan keberkahannya.
Hafalannya banyak. Nyaris 30 juz jika iya konsisten menjadi seorang hafizah.Saya menghormatinya sebagai seorang teman. Namun saya sulit menyatakan pernyataan untuk meneguhkan kompetensinya tersebut. Iya suka memuraja'ahi lagu Taylor Swift, men-ziyadahi film Hannah Montana.
Refleksi kondisi lingkungan saya adalah sekumpulan dari orang orang yang mendekatkan dirinya pada al-Qur'an. Katakanlah Arif. Tidurnya mendengarkan rekaman murattal seorang syekh fasih. Bangunnya diringi kiprah senyuman dan kilasan waktunya mereka pergunakan untuk muraja'ah juz. Meski hanya awal-awal juz 30, 29, 28.
Yang saya pahami di sini adalah, banyak orang dalam dunia saya yang sebelumnya dihadapi. Mereka dengan kapasitasnya, belum mampu menganggap sebuah keberkahan itu ada. Mereka menggenggamnya, namun mengabaikannya. Belum mampu menginternalisasinya.
Saya tidak mencoba untuk meninggikan martabat sisi lainnya. Namun saya suka dengan cara mereka. Sedikit banyak, saya sepakat jika 'usaha' di sini adalah nilai yang ditinggikan. Bahwa seberapa sedikitnya hafalan kita, namun tetaplah masih ada semangat perbaikan.
Kadang juga menjadi bahan refleksi. Saya sadar betul jika harus diakui lahir dan tumbuh pada keluarga yang alhamdulillah mampu memahami agama dengan baik. Masa kecil kami dipenuhi tuntutan menjalankan syariat Islam ataupun bersikap selayaknya muslim. Namun, bagi seorang anak kecil, itu hanya menjadi kebiasaan yang belum bisa dinalarkan dalam logika kami yang masih rendah.
Baik si Azza ataupun Arif tetaplah menjadi seorang teman untuk saya. Teman yang konyol, bahkan. Namun, inilah komparasi dari bahan pelajaran yang dapat saya petik di sini.
Banyak orang yang kompeten, namun mengabaikan kapasitas mereka karena bukan menjadi bagian dari visi hidupnya.
Namun, ada juga yang bersungguh-sungguh meraih kompetensi itu, meski bukan bagian dari kapasitasnya. Terlebih, mereka mencoba menginternalisasinya dalam diri mereka :)