#BukanNegeriLaskarPelangi
Rasanya, merupakan sebuah
anugerah luar biasa besar untuk dapat memijakkan kaki di desa ini : Desa Mabat.
Sebuah desa kecil yang ukurannya tak lebih dari tiga kali luasnya UGM,
berlokasi sekitar satu jam perjalanan dari Kabupaten Bangka Induk, Sungailiat. Untuk
pertama kalinya dalam hidup kami, diperkenalkan dengan sebuah desa –yang boleh
jadi namanya tak tertulis dalam Atlas Indonesia. Namun, sungguh, Mabat
memberikan sebuah kesan yang sangat berarti di hati kami. Dalam berbagai warna
yang akan dituangkan dalam kaleidoskop catatan KKN BBL -01 UGM.
PROLOG –Desa Mabat
Saya punya keluarga
besar di kota Jakarta. Karena enyak (panggilan nenek dalam bahasa
Betawi) punya banyak anak, barangkali saya hanyalah satu dari puluhan cucu yang
besar dan tinggal di Jakarta. Sudah 17 tahun tinggal di sana, tidak membuat
lantas menghafal seluruh nama sanak saudara.
Namun, 2 bulan saya
tinggal di desa kecil yang jaraknya hampir satu jam perjalanan dari Kota
Sungailiat. Desa yang jumlah penduduknya tak kurang dari 300 orang –setidaknya
menurut data dari perangkat desa, ada setidaknya seperdelapan nama penduduk
saya hafal. Barangkali bukan hanya saya, namun rekan satu unit KKN menghafal
nama dan wajah warga desa dengan segala kecakapan mereka membangun relasi
dengan masyarakat. Mulai dari yang masih cilik –anak-anak PAUD, SD, Madrasah,
SMP, SMA, ayuk-ayuk (panggilan ‘mba’ dalam bahasa bangka), abang-abang, emak,
apak, hingga encik sekalipun. Dibungkus atas nama ‘akademik’, KKN sesungguhnya
memberikan arti besar bagi kami untuk bisa terjun ke dunia sosial.
Barangkali bukan
karena KKN saja. Namun, juga karena masyarakat Mabat-lah yang membuka cakrawala
kami.
Pertama kali
mendengar nama ‘Mabat’ sudah seperti hal
asing yang menggelitik di pikiran. Cerita para senior fisika yang baru saja
pulang dari negeri antah berantah, menjalankan tugas suci KKN, katanya. Mereka seakan
mengagungkan sebuah peradaban penuh warna dari kondisi sosiologis negeri penuh euforia
:
Pertama, peradabannya maju akan moral dan tata krama.
Perhatikan. Sekonyong-konyong
saya bermukim di kota metropolitan, belum pernah saya rasakan keramahtamahan
dari ketulusan sapaan sebagaimana yang saya rasakan dari masyarakat Mabat. Mereka
menyapa tanpa pamrih. Hanya untuk singgah di rumahnya sesaat dan menyeruput
segelas fanta (rasa melon) atau makan semangkuk pempek.
Mereka menyediakan
untuk kami makan dan minum. Belum habis kami mengunyah bulat-bulat pempek,
ditawarkannya kembali satu piring sesajian dengan menu berbeda. Sotong. Lepet. Kepiting.
Kerang. Awal kami bersilaturrahim ke rumah warga, kami terdiam membisu. Jetlag.
Biasanya, kultur di Jawa itu orang mempersilahkan mampir hanya sekedar
wacana. Formalitas, kata mereka. Biar dianggap punya sopan dan santun.
Untungnya, sebelum berangkat kami diberikan wejangan oleh kakak senior. Mereka
berkata dengan nada bergurau, “kalau kalian ditawari singgah, harus
benar-benar singgah! Kalau ditawari segelas teh, harus diminum! Apalagi
makanan! Makanya, kalau musim lebaran, siapkan perut kalian kosong! Harus, itu!”.
Saat itu saya hanya manggut-manggut mengiyakan. Sekarang, saya paham kenapa mereka
terlihat bertambah gemuk selepas KKN.
Peradabannya sangat
memanusiakan manusia. Kehangatannya memberikanmu kenyamanan terbaik hingga
enggan rasanya untuk angkat kaki di penghujung masa bakti KKN. Keramahannya membuatmu
menemukan keluarga kedua di sini. Tradisi yang berlaku di sini akan menggelitik
siapa saja yang mengaku masyarakat kosmopolitan sekalipun.
Bagaimana tidak?
Kami mencuci di
sungai yang jaraknya ribuan meter berlokasi di pinggir desa. Untuk berjalan
kaki saja sudah menempuh waktu setengah jam perjalanan. Belum dihitung ongkar
ongkir sambil membawa gerobak beroda tiga berisikan ember-ember penuh pakaian
kotor. Kondisi jalanan masih sepi kala berangkat di waktu fajar. Dua minggu
pertama kami tinggal di Mabat, kami sempat vakum dari program, sampai lupa diri
akan eksistensi kami di sini untuk melaksanakan kegiatan pembangunan desa
sebagaimana amanat universitas. Saat itu, kerjaan kami hanya main, makan, dan
nyuci baju. Kalau di jogja kami berangkat jam setengah tujuh pagi untuk kuliah,
di sini, kami berangkat jam setengah enam pagi untuk mencuci baju di sungai.
Produktif sekali.
Rekan satu KKN saya
ada yang seorang pengamat. Hobinya memperhatikan kondisi sekitar dan
menciptakan berbagai konklusi dalam diskusi kami di cafe pohon (baca:
tempat nongkrong anak KKN). Ia berkata, “trend yang ada di sini tu, mau
motornya scoopy, supra x, vega-r, metic, gigi, kopling, honda. Pokok e, apapun
motornya, tujuannya tetep aja dibawa ke sungai, kebon. Kalo pergi ke sungai,
dandanannya pake handuk diselendangin, sama bawa ember isinya alat mandi sama
kemben ato gak sarung.”
Segala aktivitas
mereka awali dengan pergi ke sungai: sebelum berangkat ke sekolah, setelah ngebon,
selepas pulang dari PT. Segala ritual itu mereka lakukan di sungai. Mandi, nyuci
baju, piring, karpet, ikan, hingga gorden menjelang lebaran. Apalagi kalau ada
orang yang baru selesai manen sahang. Bau busuknya mengudara, menyengat,
memantik emosi siapapun yang ada di sana. Mereka hanya akan meneriaki sambil
tertawa, “bau duit, og!”
Di sanalah pusat
kehidupan masyarakat. Dan menjadi katalis bagi kami, para perantau KKN untuk
bisa melakukan pendekatan kultural dengan warga desa.
Kedua, atmosfer kekeluargaannya terbangun di sudut manapun.
Jujur saja, pertama
kali mendengar kisah dari kakak kelas, saya menduga ini adalah karangan fiktif
mereka yang konon pandai berdialektika. Mereka berkisah bahwa perlakuan
masyarakat kepada mereka layaknya artis yang dielu-elukan. Bakti tulus layaknya
bunda yang mengayomi anaknya, selalu diberikan di sana, hingga kami nyaris lupa
kepemilikan sanak saudara di kampung halaman. Ini bukan kasih sayang semu yang
terputus begitu periode KKN usai. Namun, kehangatannya masih tetap dirasakan
hingga telekomunikasi ribuan kilometer jauhnya, dari warga desa yang selalu
menelpon kami setiap malam.
Jadi begini, kawan.
Program utama KKN
kami meliputi pendidikan dan pertanian. Sehingga, sudah menjadi rutinitas
harian kami mengajar di PAUD, SD hingga madrasah. Di sini kami punya banyak
fans yang mayoritas bocah-bocah petualang (baca: minion) berusia 4
hingga 12 tahun yang hiperaktif. Baru berjarak beberapa puluh meter, nama kami
sudah dielu-elukan, “kakaaaaaak,... kakaaaaak,...”. Sekalipun saat disamperin,
ada juga yang tidak kenal nama saya –sekedar memanggil siapapun dengan sebutan
‘kakak’.
Ada yang selalu
mengekor kemanapun pergi –ke desa sebelah sekalipun. Ada yang sering menginap
di pondokan laki-laki. Ada yang gemar berantem. Ada yang gemar main
lompat tali. Ada yang gemar gelantungan di mobil pick up. Ada yang
sukanya nyeduh mie di pagi hari. Ada yang ketagihan diantar pulang kalau
main di tempat kami sampai larut. Ada yang datang bawa buku pelajaran, katanya
mau belajar, nyatanya main-main saja. Ada yang kerjaannya malu-malu kucing
hanya bisa duduk di bawah pohon menanti sampai ada yang menghampiri. Ada yang
cuma bisa sms-an dalam sunyi. Ada yang gemar mengirim surat cinta. Sampai ada
pula yang gemar main drama kisah cinta konyol antara dia dan rekan KKN saya.
Ada lagi untuk
pemudanya. Hampir setiap malam, cafe
pohon di pondokan desa selalu dipenuhi pemuda desa yang turut meramaikan jadwal
ronda anak-anak KKN. Sambil membawa sarung dan gitar, sekotak ceret rokok,
mereka keluar masuk dapur kami sambil membawa segelas kopi ABC mocca seperti
rumah sendiri. Kadang kala buka layar tancap pula. Kami tinggal menyediakan
LCD, biarlah tembok jadi layarnya. Di bawah cafe pohon tinggal digelar terpal.
Kami membuat bioskop pribadi beratapkan bintang di langit.
Bicara soal langit,
pemandangan langit malam di sana luar biasa indah. Saya sering menengadah ke
atas dalam perjalanan pulang seusai shalat taraweh di masjid, pada sebuah
pemandangan yang nyaris sulit kau temukan di tanah Jawa. Kita ibarat terjebak
dalam dome raksasa yang berlokasi di lapangan
luas pada nadir sebuah desa terpencil. Di antara batas horizon dan titik
alzimuth, terhampar lazuardi malam berselimutkan jutaan bintang yang mengisi
suasana. Hingga goresan nyata dari segaris tipis galaksi bimasakti di langit
selatan. Seperti mimpi indah saja mengingat itu.
Saya ingat betul
satu waktu di bulan Ramadhan. Saat itu, para minion menemani kami pergi untuk
berangkat sholat taraweh ke masjid selepas buka puasa bersama. Bilangnya sok
jantan, “aku mau nemenin kakak!”. Nyatanya juga kami yang menemani
mereka. Jemari mungilnya menggenggam lengan saya. Tangan kami saling bertautan
dan berayun-ayun mengikuti irama langkah kaki. Kami berteriak menyanyi
sepanjang perjalanan.
“Rukunnya,
iman itu. Ada enam perkara. Pertama, mengimankan pada Allah yang Kuasa. Kedua
malaikat. Ketiga kitab-kitab. Keempat para Rasul. Kelima hari kiamat. Keenam
mengimankan takdir baik dan buruk. Itu semua dari Allah.”
Di antara ratusan
rumah yang ada di Mabat, semua memperlakukan pendatang baru sama saja. Pintu terbuka
selebar-lebarnya, senyum merekah seramah-ramahnya, sambutan hangat tiada henti
kami rasakan.
Ada setidaknya
empat keluarga yang saya jumpai dan saya merasakan sudah seperti rumah sendiri.
Makan tidur mandi di sana. Nyamankan dirimu, mereka tak kenal rasa takut
menyertaimu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tidur di sana. Bangun di pagi
hari, lalu memasak bersama. Sarapan satu meja dalam lingkaran yang penuh canda
tawa. Ikut bergabung dalam barisan geng motor bersorban handuk untuk pergi mencuci
ke waduk sungai. Keliling kampung dengan wajah bermasker tebal hanya untuk beli
segelas jasjus rasa jeruk. Silaturrahim keliling kampung dan pulang bawa oleh2
hasil panen warga. Berceloteh berbagi kisah hingga malam larut sambil menunggu
bayinya tertidur nyenyak beratapkan kelambu. Kebanyakan pertanyaan yang mereka
ajukan tentang kehidupan di kampus maupun kota. Pertanyaan kami? Kisaran
kehidupan harian mereka, hingga saat pasangan suami istri masih muda.
Setiap rumah ada
kisahnya, dan setiap kisah ada orangnya. Boleh saja mereka tinggal di desa yang
sama dengan rutinitas yang sama. Namun, mereka semua istimewa sebagaimana
mereka mengistimewakan kami. Jika ingin dirimu dihargai setinggi-tingginya
manusia, Mabat akan memberikan yang terbaik bagimu hingga merasa seperti
artefak berharga.
Pada akhirnya, saya
tak tahu apa yang lain juga akan ikut mengagungkan desa ini sebagaimana halnya
gambaran di atas. Namun, saya pikir kami sepakat. Mabat menjadi sebuah nama
yang sangat istimewa dalam benak kami semua. Sebagaimana saya melihat tangis
haru, baik kami unit KKN, maupun warga Mabat sendiri di penghujung periode.
Saat semua generasi berkumpul mengantar kepergian kami. Memeluk, merangkul, dan
menjabat. Berfoto bersama dalam senyum pahit bercampur emosi rindu yang membuncah.
Kami mengabadikan momen ini dalam empat kata penuh makna, “terima kasih,
Sahabat Mabat.”