#3&4 Bibliografi FIQIH
#3&4 BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 23/01/2015. Asrama
Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesembilan belas. Daurah Fiqh
Dar Ash Shalihat. Ust.
Sutomo [Rumah Fiqh
Indonesia].
Dalam penulisan kitab, ada 3 istilah;
1. Matan –tulisan
2. Syarah –Penjabaran yang ditulis
3. Hasyyah –saat ulama yang membaca kitab dan syarah,
terkadang, sesuatu yang dalam matan belum dijelaskan secara lengkap di syarah.
4. Taqrir –Kritikan pada matan ataupun syarah.
Terletak di pinggirnya hasyyah.
|
Kaidah fiqhiyyah –terkait dalil2, al madlul,
produk2 fiqh yang diikat dengan sebuah kaidah fiqhiyyah
Misal. kaidah al
masyaqqat tajlibut at taysiir –sesuatu yang berat membolehkan kita untuk
melakukan yang mudah. Ad dhawabit fiqhiyyah, nazhariyat fiqhiyyah,
al ghaash al fiqhiyyah.
Kaidah ushul fiqh –bagaimana naskh dalam
syariah dipahami. Contoh pada –kaidah yang mengatakan bahwa, jika ada naskh
yang bentuknya perintah, bisa menjadi wajib, maupun sunnah. Tergantung apa
adakah indikasi yang menggeser makna wajib maupun sunnah.
At Tafsir al Fiqh –Tafsir fiqh
Saat membaca al quran dan ingin
mengetahui makna al quran, dapat dibaca di berbagai tafsir quran. Namun, jika
ingin menggali hukum fiqh di masing2 masing al quran, para ulama telah
menghimpun dalam satu buku; ahkamul quran.
Adapun beberapa kitabnya;
1. Imam syafi’i
/kitab ahkamul quran/
2. Imam Suyuti
/kitab al Iqlil fil Istinbath at Tanzil/
3. Al Qurtubi
/kitab al Jami’ li ahkam/
Hadist Fiqh –Tafsir fiqh. Menyampaikan seseuatu
yang belum dijelaskan dalam al Quran.
Imam Syafi’i dalam kitab ar
Risalah mengatakan, “tidaklah sesorang tertimpa suatu kejadian/perkara,
seseorang yang dari kecuali yang di dalam al Quran tersebut ada dalil –petunjuk
yang mengantarkan pada status hukumnya apa. Hanya saja, karena al lquran
terbatas, dan di dalam quran sudah menampung hukum akan kejadian mendatang,
para ulama yang tahu status hukum yang terjadi untuk yang akan datang, seperti
apa.
Himpunan hadist, seperti Bulughul Maram
/hadist2 ahkam atau kumpulan hadist –Imam al Ghazali. Yang jika dalam
tafsir, akan ada terdapat hadist yang kontradiksi.
Misal 1. Abdul Qadir Al Jaelani –madzhab Hanbali.
Guru dari dua saudara; Abdul Ghani al Maqdisi dan Ibnu ... Qudamah. Abdul Ghani
al Maqdisi menulis ‘Umdatul Ahkam, yang ditulis oleh murid dari abdul
Qadir al Jaelani.
Misal 2. Ibnu Taimiyah (penulis kitab Taqiyyudin)
punya kitab hadist ahkam, muntaqa al ahbar. Disyarah dalam kitab Naylul
Authar.
Para ulama hidup dalam
atmosfer talaqqi, periwayatan, dan hafalan. Fiqh di zaman awal, seperti
hadist. Karena al umm bentuk penulisannya seperti fiqh. Matannya bukan ucapan
rasul, tetapi tulisan dari asy Syafi’. Sehingga, jika melihat kitab2 fiqh,
redaksinya agaknya mirip.
Pun dengan masing2
disiplin ilmu juga ada yang menulis biografinya masing2. Biografi ahli fiqh,
sastra, etc.
Salah satu ilmu khusus di
Arab adalah al ansaab –nasab. Abu Bakr as Shiddiq salah satu sahabat
yang pandai dalam ilmu al anshab. Faedah dalam memahami ini adalah faedah. Sebelum
mengetahui biografi mereka secara mendalam, kenalilah pula nasab nabi secara mendalam.
FAEDAH MEMPELAJARI BIBLIOGRAFI FIQH
Faedahnya dalam kitab al Jawahir
al Mudhiyyat;
1. Alaa
bidzikrillahi tathmainnul quluub –hanya dengan mengingat Allah, hati kita menjadi tenang
Mengenal para ulama juga salah satu
bentuk dzikrullah. Karena ulama adalah orang2 shalih yang takut pada
Allah SWT. Maka, ketika mengingat mereka dan biografinya, serta karamat mereka,
maka kita akan semakin tenang, dan bisa meniru mereka.
... Imam Abu Hanifah yang mana Imam
Syafi’i sampai mengatakan, “semua manusia dalam ilmu fiqh adalah keluarga Abu
Hanifah –berhutang pada Abu Hanifah.” Karena memang akal Abu Hanifah adalah
akal fiqh.
... Imam Malik mengatakan, “jika
engkau mengatakan bahwa tiang ini adalah tiang emas, maka, engkau tidak bisa
menolaknya. Karena itu adalah hujjah Abu Hanifah.” Karena memang hujjahnya
yang begitu kuat sekali.
... Namun, Imam Abu Hanifah sendiri
berkata, “sirah orang orang salih pasti lebih aku cintai daripada banyaknya
permasalahan fiqh.” Karena di sanalah imam Abu Hanifah menemukan teladan untuk
menjadi panutan dari ulama ulama terdahulu.
... Maka, wajar jika para ulama
mengatakan salah satu bentuk dzikrullah adalah para ulama saleh,
termasuk di antaranya adalah para fuqaha.
2. Sebagai Teladan
3. Ma’rifatu maratibihim
wa aqsarihim –mengetahui
derajat dan masa
... “dan di atas orang berilmu, ada
orang berilmu lagi,”
... Rasulullah mengatakan dalam
hadist riwayat Aisyah, “kita diperintah oleh Rasul SAW untuk menetapkan manusia
pada tempatnya.”
Pertama, Maksudnya adalah setelah diketahui
masanya, Rasul sudah mengingatkan bahwa, “zaman terbaik adalah zamanku. Setelah
itu adalah zaman setelahnya. Sehingga zaman sebelum kita adalah memiliki syaraf
–keistimewaan daripada zaman kita. Semakin dekat dengan zaman Rasul,
tingkat kesalahan lebih sedikit. Dari kita.
Kedua, level. Meskipun levelnya berbeda
dengan kita, secara zaman, belum tentu pada abad ke 7 yang ada Imam Nawawi
lebih buruk dibandingkan pada abad ke3. Karena baik fiqh maupun hadist, punya
level tersendiri bagi para fuqaha dan muhaddist.
... sehingga, agar kita dapat
menempati para ulama di posisinya. Di mata Allah, yang paling bertaqwa menjadi
standar yang paling baik. Dan biasanya, orang yang bertaqwa adalah yang
memilikii ilmu dalam bertaqwa. Maka mereka harus lebih dihormati daripada para
ulama yang levelnya lebih rendah.
... Pada abad ke7, yang menjadi
rujukan pandangan selalu pada dua syaikh; Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
“Tidak sama antara orang yang
mengetahui dan orang orang yang tidak mengetahui.” –sehingga kita mengetahui
level para ulama.
Daud bin Ali Adz Dzahiri mempunyai kitab Manaqihul imam
Asy-Syafi’i –karena sebelum beralih madzhab Dzahiri, merupakan penganut
madzhab Syafi’i. Ibnu Abi Hakim Ar Razi, Abu Bakar Al Baehaqi –yang luar biasa
pembelaannya terhadap madzhab Syafi’i, Ibnu Hajar al Asqani juga juga menulis
biografi kitab Manahiq al Imam Asy Syafi’i. Dan banyak lagi.
4. Orang Tua –posisi mereka seperti orang tua
Para ulama memiliki sifat seperti
orang tua, yang tidak ingin anaknya tersesat dari ajaran yang benar. Akhirnya,
mereka membuat sebuah panduan2 ilmiah, bagaimana harus melangkah dalam hidupnya.
Dengan jasa yang besar, bagaimana mungkin kita melupakan jasa mereka? –harus
dikenal sedalam2nya. Dan orang tua yang harus dicintaia adalah orang tua
pertama, rasulullah. Pun dengan istrinya yang dikenal sebagai ummahatul
mu’minin.
5. Memilih
pendapat ketika terkait ikhtilaf –Standarnya adalah;
yang paling dalam ilmunya, dan yang paling wara’.
Karena kewara’an dan keilmuwan mreka.
Karena para penulis biografi ulama, adalah saksi bahwa ulama tersebut dan
kedudukannya.
6. Karya Para
Ulama
Dengan mengetahui para ulama, kita
dapat mengetahui karya mereka. Melalui bibliografi, kita harus melihat secara
mendalam masing2 kitabnya.
#Q.A. session#
Q. Mengapa dapat terjadi perbedaan pendapat antara ayah
dan anak? –pada 3 generasi Ibnu Taimiyyah
A.
Misal 1. Pada saat Abu Ja’far At Tahawi masih
kecil, beliau belajar pada pamananya, al Muzani (murid dari imam Syafi’i). Di
masa kecilnya, Abu Ja’far sangat patuh pada al Muzani. Mengikuti beliau dalam forum
talaqqi, ngaji, dan paham banyak hal dalam mazhab Syafi’i. Namun, ketika
semakin dewasa, beliau merasa harus berpindah madzhab.
Kepada Abu Ja’far, al Muzani sampai
bersumpah, “kamu itu masih kecil. Besarnya, kamu tidak bisa jadi apa2 jika
kecilnya saja begini.” Ngambek Abu Ja’far, beliau berpindah pada guru yang
menganut paham madzhab Hanafi yang secara logika lebih dapat diterima dalam
perspektif abu Ja’far.
Setelah lama berguru, Abu Ja’far
menulis kitab. Kitab pertama yang ia tulis,
ingin diberikan pada pamannya untuk membuktikan kemampuannya, namun sang
paman sudah meninggal. Beliau –Abu Ja’far berkata, “semoga dia dirahmati Allah.
Seandainya dia masih hidup, pasti dia harus membayar kafarat atas apa yang ia
sumpahkan padaku.”
Adapun, karya2 Abu Ja’far; Musykilul
atsar, al aqidah, dan masih banyak lagi kitab karyanya.
Misal 2. Imam Syafi’i sebelumnya adalah
murid Imam Malik. Namun, keduanya memiliki mazhab sendiri. Dan itu tidak
dipermasalahkan. Sehingga, pemikiran yang terjadi antar ulama, terjadi di
tradisi ilmiah kita. Namun tidak pernah menjadi pemicu permasalahan di kalangan
mereka. Meskipun di antara mereka terjadi saling mengkritisi, namun yang
menjadi fokus kita di sini adalah membaca biografi mereka, akhlak mereka,
adapun hal2 negatif menjadi sisi kemanusiawian mereka. Pikirkan yang
positif, dan tiru mereka!
Itu pula yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Bukan berarti tidak melihat sisi negatif, namun beliau diamkan. Meskipun secara
ilmiah selayaknya dikritisi, namun dengan cara yang ilmiah pula. Sekalipun
perdebatannya dilakukan kala ta’ziah. Saat kondisi selayaknya diam, namun pada
ulama justru berdebat fiqh. Kondisi seperti ini menjadi pemicu Imam Ghazali
sebuah kitab, bagaimana ilmu agama selayaknya menjadi ilmu agama. Kitab ihya
ulumuddin –menghidupkan ilmu agama. Kehidupan yang dihidupkan
dengan ilmu agama. Sehingga, dikatakan ilmu jika sudah diamalkan.
Q. Kaedah fiqhiyyah, apa perbedaannya dengan
yang 5, 24, 40?
A. Kaidah yang beragam, adapun bisa berangkat dari
kaidah turunan, bukan kaidah induknya. Misal, yang menjadi kaidah turunan dari al
‘umuru bimaqashidiha, tedapat, “yang dijadikan akad dalam transaksional
adalah maksud2 transaksi, bukan lafadznya.”
Q. Bibliografi ulama yang ada pada era pertengahan sd
sekarang?
A. dalam tradisi
bibliografi Islam, tidak mengenal pemisahan zaman itu. Karena secara tradisi
islam, abad 15 belum selesai. Yang menuliskan ulama pada abad 15 belum ada,
kecuali secara parsial, kadang ada yang sudah menuliskan biografi dalam
penelitiannya.
Namun, perkara yang menuliskan kitab2
biografi fuqaha, paling tidak, ada pada era 13 ke era sebelumnya. Namun di abad
ke 14 ke atas, belum ada. Pun jika ada, adalah biografi umum. Namun fuqaha
secara khusus, belum ditemui.
Di Makkah terdapat Madarasah
as-Salatiyyah –syekh abu zakaria abdullah bin bayla al indunisy memiliki
kitab biografi para ulama –yang khusus para ulama Madrasah Shalatiyyah (yang
dominasi ulama Melayu).
Q. Siapakah yang sebenarnya memiliki otoritas
menentukan ulama mujtahid era saat ini?
A. otoritas hari ini bukan otoritas individual, tapi
kolektif. Sehingga tidak pernah dijadikan panduan pada otoritas pendapat
individu, melainkan kolektif. Bisa jadi tiap negara punya caranya masing2. Bisa
jadi pula skala internasional. Namun, mereka semua sepakat, tidak ada yang bisa
mencapai level mazahibul harakat, dan adik2nya. Dalam bentuk lembaga2 seperti
OKI, Rabithah, yang di dalamnya, mereka berijtihad secara kolektif untuk
mengeluarkan suatu keputusan yang merupakan rekomendasi oleh semua umat Islam
di dunia. Sehingga, tidak ada otoritas individual, yang ada adalah otoritas
kolektif.
Q. dalam tafsir al ahkam, pada dalam beberapa
tafsir yang menggunakan isra’illiyat apakah kehujjahannya dapat
dijamin sebagai ushul fiqh? Dan bagaimana kejelasannya?
A. isra’illiyat –adalah kisah2 seputar bani Israil. Kisah
nabi Musa, Isa.
Tafsir al ahkam hanya membahas
ayat2 hukum. Abu Bakr ar Razi (al Jashash) punya kitab Ahkamul Quran –Hanafi. Ahkamul
Quran ditulis ibnul ‘Araby al Mu’atsiri –Maliki. Murid dari Imam Haraimin,
Ilghiya ar Rasi juga menulis Ahkamul Quran –Syafi’i. Assa’dy dalam kitab taitsir allatiful
mannam –Hanbali.
Isra’illiyat jarang sekali dijumpai,
kecuali saat membicarakan ayat2 kisah, yang merupakan cerita. Namun ternyata,
ayat2 tersebut bisa juga digali hukumnya. Sebagai produk seperti pada syar’u
man qablana. Para ulama ululmul quran sepakat, selain bisa diambil
perjalanannya, akhlak, juga dapat diambil hukum syariatnya. Namun, ada kaidah
tertentu.
Adapun kaidahnya;
(1) kisah2 tersebut
harus dipastikan benar adanya, bahwa syari’atul ummat harus haqiqatun.
Benar2 menjadi fakta sejarah.
... ikuti jika benar merupakan fakta
sejarah.
Tawaqquf jika tidak diketahui fakta atau
kebohongan.
Sebuah ayat dijadikan hukum, seperti syar’u
man qablana syaratnya adalah kisah itu harus menjadi fakta sejarah.
(2) Kisah2 sejarah
harus bisa digali hukum fiqhnya. –sebab, tidak semua kisah bisa digali hukum fiqhnya.
Karena, tidak semua kitab, ahkamul quran.
Ibnul ‘Araby mazhab maliki menggali
kisah ashabul kahfi. Bahkan memperkuat bahwa syar’u man qablana adalah
bagian dari syariat.
(3) Hukum2 yang
terkandung bukan kisah yang sudah dimansukh. Karena, banyaknya syariat
kita yang memansukh ataupun menaskh.
Contoh. pada ajaran umat nabi Musa,
salah satu hukuman saat melakukan dosa adalah harus membunuh dirinya sendiri faqtulu
anfusakum, dzalikum khairullaku in kuntum ta’lamun.
Dalam syariat islam, ada 5 hal yang
harus dijaga. Dan syariat membunuh diri sendiri, bertentangan dengan menjaga
jiwa. Maka, syariat tersebut dibatalkan dengan syariat kita yang lebih mudah
dipraktekkan dalam zaman kita.