#2 Ushul Fiqih -Sumber Dalil
#2 USHUL FIQIH
Jakarta, 20/01/2015.
Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.Materi kesepuluh. Daurah Fiqh
Dar Ash Shalihat. Ust.
Isnan Anshory [Rumah
Fiqh Indonesia].
Dalil secara etimologis –bahasa berarti (menunjukkan).
Dasar. Sumber dari hukum fiqh yang masuk dalam wilayah agama Islam. Dalam
sebuah hadist rasul bersabda “barang siapa yang memberikan petunjuk atau
menunjukkan seseorang untuk berbuat kebaikan, maka dia akan mendapatkan
pahala seperti orang yang melakukan pahala tersebut,”
Ulama bahasa mendefinisikannya “seseorang
yang memberikan petunjuk kepada sesuatu yang ia tunjuk.” Secara terminologis
–istilah ulama ushul fiqh berkata, “ apa
apa yang memungkinkan mencapai suatu hukum khabari
berdasarkan analisa yang argumentatif dan benar”
Khabari?
Dalam ilmu balaghah terdapat istilah irsyai
dan khabari. Ketika dikatakan waaqimusshalat adalah
irsya’i –adalah yang maknanya sudah fiks seperti
kata perintah, kata larangan. Karena perintah, jadi sudah jelas. Tidak
mengindikasikan kata tersebut benar atau salahnya. Namun, jika khabarinya
adalah menyatakan bahwa shalat itu wajib. Sehingga, statement
yang masih perlu menguji apakah ada unsur kedustaan atau tidak.
Sehingga, dalil adalah perkataan, bahwa
berdasarkan ayat ini, shalat hukumnya ‘wajib’. Sehingga, didefinisan apa yang
ingin dituju oleh orang yang menggunakan dalil.
KLASIFIKASI DALIL –meliputi 3 aspek
1.
Sumber Dalil (al mashadir)
Dapat dipetakan menjadi 2;
(a)
Dalil Naqli –diterima berdasarkan riwayat (menukil)
i.
Al Quran –yang kita terima dari Rasulullah
ii.
As sunnah –sunnah nabi SAW
iii.
Ijma’ –kesepakatan
para ulama generasi berikutnya
iv.
Syariat
ulama terdahulu yang ada dalam al Quran (bukan taurat dan injil, melainkan –keterangan
Allah tentang beberapa hukum yang terkait umat2 terdahulu.
v.
Mazhab sahabat –pendapat sahabat ;
termasuk
tafsir bil ma’tsur à alquran dengan sahabat
Cabang
ilmu tafsir; Tafsir bil ra’yi dan Tafsir bil ma’tsur –tafsir al quran dengan al quran, tafsir
al quran dengan as sunnah, tafsir al
quran dengan pendapaat sahabat, tafsir al quran dengan pendapat tabi’in
(b)
Dalil ‘Aqli –berdasarkan pola pikir/rasio seorang mujtahid
i.
Qiyas
–berdasarkan analogis
ii.
Istishan
iii.
Maslahah mursalah
iv.
Istishab
v.
‘Urf
vi.
Istiqra’
2.
Legalitas (al furjiyyah) –para ulama sepakat atau masih
diperdebatkan bahwasanya itu bisa dikatakan dalil atau tidaknya.
i.
Dalil yang disepakati menjadi sandaran
hukum
-
Al Quran
-
As Sunnah
-
Ijma’
-
Qiyas
ii.
Dalil yang diperdebatkan; namun bisa
menjadi alternatif jika tidak ada dalil (yang disepakati)
-
Istishan
-
Al masalah mursalah
-
Istishab
-
‘Urf
-
Mazhab sahabat
-
Istiqra’
3.
Prioritas pengambilan hukum –permasalahan baru yang terjadi pada suatu
masa yang belum pernah ada dalilnya dimasa lalu, apa yang pertama kali harus
dilakukan oleh mujtahid untuk dibaca menjadi rujukan berdasarkan dalil
hukumnya. Ulama ushul fiqh menyebutnya dengan sebutan maratiqul mubtadil –topik dalam pengambilan dalil.
Ditinjau dari aspek siapa yang membaca
dalil;
i.
Mujtahid
-
Ijma’ para sahabat;
karena
ayat al quran memungkinkan untuk dihapus hukumnya, dan memungkinkan
maksudnya itu ada dalil lain yang berubah dari hukum asalnya ke hukum yang lain.
Sedangkan ijma’, hal itu tidak mungkin terjadi, sehingga
para ulama sepakat, ijma’ tidak di naskh dan tidak menaskh.
Seorang
mujtahid, langkah pertama yang dilakukan mujtahid dalam mencari jawaban dari
masalah baru, adakah suatu riwayat yang datang dari sahabat, mereka sepakat
pada suatu permasalahan. Jika tidak ada, baru kemudian merujuk pada al quran.
-
Al quran; jika tidak mendapat secara
eksplisit jawaban dari masalah yang baru, merujuk pada dalil as sunnah,
-
As Sunnah; jika tidak mendapat secara
eksplisit-implisit jawaban dari masalah yang baru, merujuk pada dalil qiyas,
-
Qiyas; jika masih tidak mendapati jawaban
dari masalah yang baru, baru kemudian merujuk pada dalil yang diperdebatkan
-
Dalil yang masih diperdebatkan.
Ketika masa khalifah abu bakr
as-sidiq, saat terjadi perang yamamah, umar bin khattab resah karena banyaknya
sahabat nabi hafizh yang wafat. Akhirnya meminta abu bakr untuk membukukan al
quran. Abu bakr menolak, karena melihat hadist nabi tidak memerintahkan hal
tersebut, dan qiyas belum sistematis diterapkan. Akhirnya, dilakksanakan
berdasarkan maslahah.
Kita belajar dengan mikrophone,
masa rasul tidak ada. Jadi, bagaimana hukumnya? Ulama mengatakan hal tersebut
berdasarkan maslahah. Ini adalah alternatif.
Artinya, ketika terjadi kontradiksi
antara hukum al quran dengan hukum as sunnah, atau al quran dengan dalil
lainnya, maka yang diprioritaskan adalah yang lebih tinggi posisinya dalam
prioritas pengambilan hukum. Namun, sekali lagi, ini bagi seorang
mujtahid.
Sebagai seorang muqallid, tidak bisa
langsung merujuk kepada dalil. Sah, namun bukan dalam konsep menyimpulkan
hukum. Silahkan melakukan upaya memahami dalil, namun jangan sampai berfatwa.
Itulah sebabnya rasul mengatakan,
“seorang di antara kalian yang berani masuk neraka adalah yang suka berfatwa.”
Abdullah bin mas’ud berkata, “tidaklah aku mendapati seseorang itu suka
berfatwa pada apa yang terus ditanyakan, kecuali dia orang gila.” Sehingga,
harus berhati2 dalam berfatwa. Jika tidak punya kapasitas untuk berfatwa, maka
merujuk pada ahli fatwa. Yang pada dasarnya adalah bermazhab –merujuk pada
yang ahli hukum agama. Karena sesungguhnya, mazhab lahir berdasarkan
perjalanan sejarah yang teruji dari abad ke abad hingga yang bertahan saat ini
4 mazhab.
Karena sejatinya, mazhab adalah itu
sesungguhnya adalah sebuah ujian zaman. Pada masa sahabat, beberapa sahabat
nabi yang ahli fatwa hingga muncul kala itu mazhab madinah, mazhab makkah,
mazhab kufah. Terpolarisasi menjadi dua; ahlu ra’yi
dan ahlu hadist. Hingga saat ini, yang masih eksis ada 4
mazhab.
Bagi seorang muqallid,
prioritasnya adala mencari jawaban terhadap masalah yang dihadapi, merujuk pada
yang ahli menyampaikan hukum –yakni ulama yang berada dalam sebuah mazhab.
Bermazhab bukan berarti bertanya pada
yang masih hidup. Jika memiliki kapasitas membaca kitab2 fiqh, dapat merujuk
pada kitab2 fiqh. Karena ulama mengatakan, “sesungguhnya ilmu itu tidak akan
punah dengan kematian pemilik ilmunya.” Maka jika bermazhab imam Syafi’i,
membaca kitab2nya sama dengan bertanya pada imam syafi’i.
ii.
Muqallid –tidak mungkin merujuk ke al quran dan sunnah.
Sehingga, dibatasi pada ;
-
Mazhab yang mu’tabar (otoritatif)
berdasarkan aqidah ahlus sunnah wal
jama’ah
Pada
akhirnya, bicara tentang dalil, harus melihat kapasitas kita. Bermazhab pada
mazhab yang otoritatif, berbasis ahlul sunnah wal
jama’ah –yang sampai
sekarang terpecah menjadi 4;.
a.
Imam Hanafi
b.
Imam malik bin Anas
c.
Imam Muhammad bin Idris (w. 204 H)
d.
Imam Ahmad bin Hanbal (w.
.
JENIS DALIL DAN LEGALITASNYA
Apa
yang dimaksud dalil yang legal?
Makna legal adalah à dalil tersebut bersifat legal untuk
menjadi dasar hukum dan wajib diamalkan.
Artinya, jika ada ulama menyimpulkan
berdasarkan qiyas sementara qiyas adalah dalil itu sendiri, maka wajib
diamalkan. Misalnya, tidak ada naskh bahwa sabu sabu itu haram. Tetapi ada satu
ilat (alasan) bahwa itu dapat memabukkan. Maka,
meskipun sabu sabu berdasarkan qiyas diharamkan, maka wajib diamalkan. Sehingga
jika ditinggalkan, sebaga muslim ada aspek ibadah.
Sehingga, ada dalil lain yang wajib kita
amalkan selain al Quran dan hadis.
Contohnya ; qiyas. Kita tidak kenal
kata2 sabu sabu. Tidak dijelaskan haram, tapi diqiyaskan dengan khamr karena
sama2 memabukkan.
DALIL 1 –Al Quran
Definisi al quran; didefinisikan sebagai kalamullah.
Al quran adalah firman Allah yang diturunkan pada Muhammad SAW untuk tujuan
i’jaz (agar manusia tidak bisa membantah kebenaran al quran).
Artinya, jika seorang muslim kufur
pada satu ayat saja dalam al quran, ia bisa murtad. Sehingga definisi i’jaz
tidak hanya seluruh al quran, namun hanya satu ayat saja juga mewakili.
Bernilai pahala dalam membacanyak, dan
ditransmisikan secara mutawattir (yang dari setiap generasi, banyak yang
meriwayatkan).
Hadist masyhur
misal diriwayatkan pada satu generasi oleh banyak orang, generasi selanjutnya
hanya satu orang. Bukan termasuk mutawattir. Definisi mutawattir
adalah setiap generasi, banyak yang meriwayatkan).
Sehingga, al quran disepakati oleh semua
umat Islam, utama dalam bangunan agama Islam adalah dalil yang legal. Bahkan,
al quran justru melegitimasi dalil lainnya. Maka sesungguhnya al quran adalah
pokok utama yang melegalkan dalil2 agama Islam. Legalitasnya adalah berdasarkan
ijma’ul ummat.
DALIL 2 –As Sunnah
Definisi Sunnah menurut ulama ushul; apa
yang datang dari Rasul selain al Quran, dari perkatannya, perbuatannya, dari
keputusan2nya, yang hanya terkait dengan hukum syar’i.
Tidak semua sunnnah wajib diamalkan.
Misal, menikah lebih dari 4, bukan sunnah rasulullah. Rasul setiap hari pakai
gamis, maka satu hari tidak memakainya adalah dosa? Bukan sunnah yang terikat
oleh tradisi beliau yang terkai pada adat beliau. Maka, hanya terbatas pada
hukum syar’i, yang terkait hanya pada hukum2 yang diperintahkan Allah
kepada Rasulnya.
Sunnah nabi adalah dalil, namun berdasarkan
legitimasi al Quran.
Dasar2 Legalitas Sunnah Nabi
(i)
Waati’ullaha warrasul –allah menjanjikan
sunnah nabi sebagaimana menjaga al quran.
(ii)
Firman Allah dalam surat [Al Hijr] wama yantiqu ‘anil hawa (tidaklah seorang rasul berbicara
berdasarkan nafsunya, namun berdasarkan alquran)
(iii)
Aaminu billahi warasulihi. Wahai orang2 yang beriman, berimanlah pada
Allah dan RasulNya. Maka kewajiban kita beriman pada rasul, di lain sisi juga
beirman pada apa yang datang pada Rasulullah
(iv)
Ijma’ul ummat
–kesepakatan ummat islam bahwasanya sunnah nabi adalah dalil
(v)
Rasulullah SAW adalah ma’shum,
mustahil untuk berkhianat.
(vi)
Sangat mustahil seorang muslim
mengaplikasikan syariat agama jika hanya merujuk pada al quran, tidak dengan
dalil as sunnah.
DALIL 3 –Ijma’
Definisi Ijma –kesepakatan para ulama
mujtahid dari masa ke masa dalam perkara2 agama. Artinya, jika di masa
Rasulullah, tidak ada di masa Rasul, yang baru berlaku saat wafatnya Rasul.
Terdapat pada masa shahabat dan tabi’in.
Contohnya; salah satu aqidah As Sunnah wal
Jam’ah, pasca Rasul, khalifah adalah Abu Bakr, dasarnya adalah ijma’,
-kesepakatan para sahabat. Maka jika ada orang di belakang yang menentang, maka
ia menentang ijma’, yang menjurus pada kekufuran.
Dasar2 legalitas ijma’
(i)
“Barang siapa yang menentang perintah Rasulullah
setelah tampak jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan selain para orang
beriman, maka kami akan menyiapkan baginya neraka jahannam.
“ –al Quran
Artinya,
jika mematuhi ijma’, jalannya adalah surga.
(ii)
“Dan kami telah menjadikan kalian umat
Islam, umat yang adil –mustahil sepakat melakukan kesalahan.” –al Quran
(iii)
“Dan
tidaklah sebagian dari umatku kecuali pasti mereka selalu berada dalam
kebenaran”
(iv)
“tidaklah umatku sepakat dan berkumpul
untuk melakukan kesesatan. Dan tangan Allah itu berada bersama dengna jama’ah
–mayoritas umat Islam.
(v)
“sesungguhnya umatku tidak akan sepakat
dalam sebuah kesesatan, sehinga jika ada ikhtilaf, ikutilah pendapat
mayoritas” –as sawaadil
a’dzham>.
(vi)
Dan rasul memohon pada rasulullah, “aku
minta pada Allah SWT agar tidak menyesatkan umatku seluruhnya, akhirnya Allah berikan
kepada mereka hal tersebut. “
Karena adanya mazhab berdasarkan ujian
zaman. Mazhab berarti kita ikut pendapat
ahli, namun tidak fanatik pada pendapat mazhab itu
DALIL 4 –Qiyas
Definisi Qiyas –menetapkan hukum yang sudah
ada dailnya untuk dalil pada masalah yang
udah ada dalil. Paling tidak, ada sebuah alasan yang menyamakan kedu
dalil tersebut –karena ada presentase kesamaan. Jika bisa dibuktikan presentase
kemiripan .
Misal. khamar dan sabu sabu. Dikatakan khamr
haram dalam al quran. Sementara tidak ada larangan dalam penggunaan sabu-sabut.
Tepi diqiyaskan.
Legalitas Qiyas;
(i)
. ijma’
Contoh.
menetapkan khaliah Abu Bakr As Sidq berdasarkan qiyas saat abu bakr menjadi
Imam shalat. Para sahabat megnatakan, “jika Rasulullah ridho menjadikan abu
Bakr sebagai pemimpin shalat kmi, maka kami ridha menjadikan Abu Bakr khalifah
dunia.
(ii)
Bahkan secara eksplisit, Umar pernah
memerintahkan Abu Musa As Syari i , “kalaulah mendapati masalah bari dimana
engkau menjadi hakim di sana, maka carilah hukum untuk merasalahan baru dari al
Quran dan As Sunnah.
(iii)
Al quran
Fa’tabiru ya ulil
abshar ada msalah baru yang ada hukumnya, carilah permasalahan
yang sudah ada hukumnya dan diqiyaskan. Sehingga apa yang terjadi di masalalu
menjadi pegangan untuk mencari solusi permasalahan yang akan datang
(iv)
“kalau seandainya mereka mengembalikan
masalha itu pada Rasul dan Ulil Amri, maka mereka akan mendapatkan istinbahth
–mengembalikan paada rasul, sesuatu yang sudah ada dalil kepada yang belum ada
dalil.
(v)
“wahai mu’adz, jika mendapat masalah, apa
yang menjadi landasarn hukum?” “aku akan berhukum dari quran, jika tidak ada,
akan mengugnakan sunnah. Jika tidak, aku akan menggunakan ra’yu (akal) betul2
memikirkan secara mendalam.
Karenanya,
jika mujtahid tidak mendalam memikirkan sebuah permasalahan, dia akan
mendapatkan dosa. Imam Syafi’i ditanya
dalil hikmah, butuh 3 hari bolak balik al quran. Mu’adz, mencari tentang hukum
waris, membutuhkan waktu 1 bulan. Karena hubungannya tentang akhirat.
Pada
kasus kita; Kita mempelajari ilmu duniawi, wajib hukumnya tahu faedah hukumnya
dalam aspek syari’at. Misal, farmasi tentang hukum halal haramnya sebuah zat.
Halal haramnya, etc? Ulama tidak paham akan hal itu, sehingga ia perlu
penjelasan ahli farmasi. J untuk menetapkan obat ini halal-haram.
Itulah kontribusi kita! Sesuai latar belakang disiplin ilmu kita.
DALIL 5 –Istihsan
Definisi istilah –kaitannya dengan qiyas.
Ada masalah yang sudah hukum dengan dalilnya, dan ada yan gbelum ada hukum dan
dalilnya. Dan bagaimana cari menyamakannya adalah dengan illah –alasan..
ada yang kaut, dan ada yang lemah.
Maka Istishan adalah ada dalil yang hukum
asal dalam mengambil alasannya kuat, tapi dalam kondisi tertentu, ulama lebih
mengambil alasan yang lemah. Pada dasarnya baik.
Contohnya. Dalam jual beli, memesan baju ke
tukang jahit dengan DP. Hukum transaksinya, hukum asalnya haram, karena
transaksinya tidak pasti. Namun, akibat kebiasaan masyarakat dari masa ke masa,
faktor darurat, kebutuhan, sehingga istihsana, maka diperbolehkan
Contoh lainnya. Hukum asal jual beli adalah
ijab qabul. Namun, jika hanya sekedar beli roti di warung, tidak perlu dengan
mengatakan ijab qabulnya. Karena untuk hal hal sederhana, maka diperbolehkan..
Dasar legalitasnya
(i)
Al maslahah al mursalah
DALIL 6 –Maslahah Mursalah
Ada 3 sifat maslahah;
1.
Maslalah yang didukung syariat
Ketika di masa utsman bin Affan ada tanda
bacaan dalam al quran, maka didukung syariat. Termasuk dalam maslahah yang
didukung syariat.
2.
Yang tidak didukung syariat
3.
Maslahah yang tidak diberikan komnetar –maslahah
mursalah
Al quran tidak secara eksplisit mengakui,
pun dengna melarang. Maka itu boleh, selama tidak bertentangan dengan syariat.
Contohnya, menggunakan media elektronik
untuk belajar, ini adalah maslahah, tidak dijelaskan dalam al quran, namun demi
kebaikan, maslahah.
Conthnya. Lampu untuk kebutuhan belajar.
Diciptakan thomas alfa edison, seorang kafir, maka jika kita menggunakan lampu
kita adalah kufur. itu tidak bisa dihukumi!
DALIL 7 –‘Urf
Definisi ‘urf.
Contoh di zaman kita; penentuan bab nikah.
Dalalm tradisi kita, salah satunya adalah nilai minimal mahar. Jika ada yang
tidak bisa melakukan hal itu, maka silahkan cari yang lain. Dalam islam
sendiri, tidak ada standar nominalnya.
‘urf bukan berarti dalil yang berdiri
sendiri, namun mempengaruhi al quran dan hadis tyang sifatnya global. maka
seorang mujtahid yang hendak menetapkan hukum, harus melihat tradisi
masyarakat.
Karenanya, Imam Syafi’i terkenal punya dua
mazhab, yang lama dan yang baru. Karena aspek tradisi. Berbea antara tradisi
mesir dan kuffah. Di kuffah, di tulis kitab al hujjah, setelah itu ia merevisi
saat di mesir dengan kitab berjudul al umm. Sehingga tradisi adalah dalil.
DALIL 8 –ISTISHAB
Contohnya; “hukum asal transaksi mu’amalah
adalah mubah, kecuali adayang menetapkan haram”
Contohnya; istri yang bertahun2 suaminya
tidak pulang tidak jelas kabarnya, dalamhatinya, ada mudharat yang ditimbulkan
dari istri, siapa yang memberi nafkah, dan lainnya. Maka hakim akan melihat,
jika tidak ada tanda2 suaminya meninggal, istri tidak boleh menikah lagi.namun
jika ada tanda2 meski ada yang tidak pasti, maka boleh menikah.
DALIL 9 –Syariat Umat Terdahulu
Pertama, Syariatnya
dihapus oleh Islam. Misal, taubatnya bani Israil adalah membunuh dirinya sendiri.
Atau saat shalat harus di tempat masjid. Hukum2 ini dihapus karena syariat umat
terdahulu.
Kedua,
syariat yang masih berlaku. Misal, hukum qisas.
Ketiga,
tidak ksecara eksplisit al quran menghapusnya, namun tidak pula diberlakukan.
Disebut sebagai syariat umat terdahulu.
DALIL 10 –Madzhab Shahabat
Derajatnya tidak intifaq (tidak
semua sahabat setuju menjadikannya sebagai sumber). Karena seharusnya pendapat
mereka bersumber dari rasul. Namun, akibat tidak ada naskh, disitula
kemudian para sahabat mengeluarkan
pendapat. Biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafalnya tidak langsung dari
nabi, tapi dari mulut sahabat.
Seperti saat sahabat berkata, “rasul
memerintahkan kita untuk,.... ataupun melarang kita untuk,....”
Contoh 1. Fardhu ‘ain. Aisyah berpendapat, meskipun
orang itu bukan lagi bayi, tapi masih bisa menjadi mahram dengan wanita satu
susuan. Hal ini disepakati jumhur ulama dan jumhur sahabat. Bahwa batas usia
persusuan, maks 2 tahun untuk pemahraman. Jika > 2tahun, ibu susuannya bukan
mahram bagi sang bayi.
Contoh 2. Fatwa Anas bin Malik, bahwa batas minimal
wanita mendapat haidh. Beliau mengatakan, minimal mendapat darah haid min 3
hari.
Contoh 3. Fatwa Umar bin Khattab tentang laki2 yang
menikahi wanita di masa iddah. Mereka
harus dipisahkan dan menikahi wanita itu untuk selamanya.
Contoh 4. Ibnu Ummar dan Ibn Abbas berfatwa, bahwa wanita
hamil dan menyusui cukup membayar fidyah jka tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
Sifatnya
murni berdasarkan ijtihadnya, tidak secara eksplisit.
Misal. pada masa sahabat, ada sebuah
masalah baru yang tidak di alquran dan hadist hingga terpolarisasi dalam 3
mazhab. Bagaimana ulama berikutnya menyikap pendapat mereka?
1.
Hasil ijtihad murni sahaabat
Hasil ijtihad para sahabat, ketetapan atau
perbuatan mereka yang tidak dijumpai pada permasalahan pada zaman rasul.
2.
Tidak disandarkan pada rasul
3.
Tidak memiliki marfu’
Bukan representasi dari nabi SAW. Dikatakan
hukum itu marfu saat sahabat berpendapat atas suatu hal, lalu ia gerkata bahwa,
seperti itulah yang dilakukan oleh rasulullah.
Maka, pendapat ulama belakangan, terjadi
perbedaan pendapat. Untuk pendapat Imam abu hanifah berkata, “ saya akan
memilih di antara pendapat mazhab ini tanpa berijtihad terlebih dahulu.” –tidak
keluar dairi pendapat sahabat. Namun Imam syafi’i berkata, “memungkinkan saya
membuat pendapat baru,” –masih memungkinkan jika membentuk pendapat baru.
Legalitasnya masih diperdebatkan.
KONTRADIKSI ANTAR DALIL
Dalil punya 2 sifat;
i.
qathi–satu pengertian, harus diamalkan, dan
tidak ada mazhabnya. Tidak ada perbedaan pendapat
ii.
zhanni, memungkinkan terjadi perdebatan,
pengertiannya bermacam2 sehingga menimbulkan adanya mazhab.
1. qathi tsubut dan dalalah.
2. landasannya qathi, namun dalalal
(maksudnya) adalah zhanni, memungkinkan khilafiyah contoh al quran.
3. landasannya zhanni, maksudnya qath’i
contohnya hadist.
4. zhanni tsubut dan dalalah.
Konklusi;
Secara hakiki tidak terjadi kontradiksi
antara dalil
Kontradiksi terjadi pada pemahaman ulama
Tidak ada kontradiksi antara dalil qath’i
Tidak ada kontradiksi antara dalil qath’i
dan zhanni
ada kontradiksi pada dalil zhanni
#Q.A. session#
Q. Dalam buku muqaddimah, ada beberapa
sumber dalil yang tidak disebutkan ustadz, seperti Sa’ad az Zar’iyyah?
A. Istishan, secara faktual seluruh mazhab
memakainya, namun jika Sa’ad az Zar’iyyah bukan dalil yang semua madzhab
menggunakannya. Seperti hal lainnya seperti maslahah mursalah, seluruh mazhab
memakainya, namun dominan digunakan oleh madzhab syafi’i. Untuk Ssa’ad az Zar’iyyah
hanya digunakan oleh mazhab hanbali.