pondok matahari (1)
7 tahun
Hingga di menit selanjutnya, dorongan ketidaksabarannya membuatnya mulai
merapihkan isi tas, mengangkat ranselnya. Hingga dari kejauhan, seseorang
memanggil namanya setengah berteriak, “Aya!”
Aya melihat gadis paruh baya itu menghampirinya setengah berlari. Menarik
koper sambil menggenggam handphone. Gayanya kasual dengan rok jeans dan
jaket merah. Kerudungnya terbalut rapi dengan membungkus wajah putihnya. Satu
hal yang mencolok dari dirinya, paras cantik dari wajah blasteran arab.
Ketika mereka sudah berjarak beberapa jengkal, Aya beringsut berwajah
masam, sambil melipat tangan, mengeluh, “Aku bertanya-tanya jika kau sudah
hilang dari peradaban,”
Tanpa banyak kata, gadis blasteran arab itu langsung memeluknya dengan
erat, “aku merindukanmu,” bisiknya.
“Selamat datang kembali, Rehaf,..” timpal Aya.
Untuk beberapa detik kemudian, mereka memberikan ruang untuk menumpahkan
rasa rindunya pada 7 tahun lamanya tidak bertemu. Kawan dekat itu terpisah
300.000 kilometer jauhnya oleh 2 benua.
Berusaha mengenyampingkan rasa malunya ketika mereka menjadi point of
view di keramaian stasiun, Aya melepas pelukannya sambil menepuk-nepuk
pundak Rehaf. Mengajak duduk di kursi sambil merapihkan barang bawaannya.
Diamatinya koper dan jaket yang diikat melingkar di pinggang Rehaf. “Kau
baru saja turun dari bandara, dan ke stasiun?” tanyanya menebak.
Perempuan blasteran arab itu mengangkat pundaknya ringan. Matanya
menyipit seiring senyum di bibir
tipisnya yang merekah. Sambil memegang pundak temannya yang lelah menunggu, Rehaf
memilih mengajak Aya duduk di obrolan pagi hari ini. “Ayo, kutraktir kau es
teh,” ujarnya. Ia terlalu lelah untuk berlari di lobi bandara maupun stasiun.
Mereka sesungguhnya adalah rekan sejawat masa remaja. 7 tahun lalu, ya. Meskipun dulu mereka berbeda kelas, namun mereka
diakrabkan oleh sebuah komunitas kepedulian sosial yang mereka bangun.
Selang setelah kelulusnya dari SMA, mereka mengambil jalannya
masing-masing. Rehaf melanjutkan studinya ke Kairo, Mesir untuk mempelajari
tafsir qur’an. Sementara Aya mengejar cita-citanya menjadi seorang penulis, dan
belajar Sastra di salah satu universitas di Yogyakarta.
Dia tahu, Aya sama sekali belum berubah, bahkan hingga saat terakhir
mereka bertemu. Satu hal yang ia yakini adalah, kemampuan luar biasa temannya
untuk mendapatkan informasi. Hingga jadwal tibanya di Indonesia yang –bahkan
–hanya ibunya yang tahu.
“kau telfon ibuku?”
“kau tahu? Selama kau pergi, aku
sibuk mencitrakan diriku di depan orang tuamu,” ia nyengir mantap sambil
menyibukkan diri menyeruput es tehnya.
“memangnya kau mau melamarku?”
candanya. “tidak,.. tidak. Kau sungguh menelfon orang tuaku?”
“aku memang selalu datang ke
rumahmu setiap kali kesempatan kembali ke Jakarta. Liburan kemarin, -tepat saat
aku berencana mempersiapkan otakku sebelum membuat tesis –aku kembali ke
jakarta dan berkunjung ke rumahmu. Tepatnya Juli, eh?”
“kau sudah mengambil program
pascasarjana?” Rehaf kali ini tersenyum sumringah. Hendak kembali memeluk
temannya sebagai ucapan selamat, sebelum akhirnya Aya mencondongkan badannya ke
belakang sebagai tanda keengganannya.
Sambil menghela nafas, seolah
pertanyaan itu adalah retorika absurd yang tidak mampu diterangkan secara
kausalitas, ia menjawab, “Tepatnya sedang. Kau bahkan tak tahu kapan kelulusan
sarjanaku.. Apakah orang yang kuliah negeri di luar, cenderung apatis masalah dalam
negeri?” sambil berguyon.
Rehaf mengerjapkan mata,
merengut seolah meminta maaaf pada temannya. “jika bukan karena aku ditahan
oleh supervisorku, aku bisa pulang lebih cepat dari seharusnya.”
Ia tahu betul, tak satupun sikap dari temannya yang berubah. Selain
daripada penampilannya dan gaya bicaranya yang mulai santun. Namun, bicara
masalah topik candaan mereka masih sama saja. Ini membuatnya bersikap lebih
nyaman, sama seperti dulu. Nyaris merasa tak ada yang perlu disembunyikan sejak
terakhir kali pengalaman mereka bertemu di bandara, 7 tahun lalu.
“Ayo kita serius kali ini,” ujar Aya menyadarkan dengan tujuan awalnya.
“Katakan, apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Tidak ada. Tidak ada yang akan
kulakukan,” Aya mengangkat alis. Rehaf melanjutkan, “Aku hanya berpikir,
kupikir dengan kehadiranku, akan menjadi alasan bagus untuk berkumpulnya kita
kembali. Kita semua,” senyumnya santai.
“Aku rindu Pondok Matahari,...” Rehaf
tersenyum. “Aku rindu mereka, Ay,...” ucapnya.
#