#1 BIBLIOGRAFI FIQIH
#1BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 18/01/2015. Asrama
Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi pertama. Daurah Fiqh Dar Ash
Shalihat. Ust. Sutomo
[Rumah Fiqh
Indonesia].
Untuk menambah bekal kajian kita ke
akhirat, kesempatan apapun harus disyukuri sehingga, hanya kesempatan inilah
dimana kita bisa menghapus dosa, dan memperbanyak pahala untuk menjadi bekal.
Karena tugas manusia jika diringkas ada dua, yakni ; pertama, mengumpulkan
sebanyak apapun pahala selama di dunia, dan yang kedua, yakni mengurangi
sebanyak apapun dosa yang kita lakukan. Ketika itu dilakukan, insya Allah, bagi
akhirat kita telah memiliki bekal dan beban kita akan semakin berkurang akan
dosa2 yang pernah kita lakukan.
Salah satu cara untuk mendapatkan
bekal tersebut adalah dengan menuntut ilmu. Dan dalam islam, ilmu adalah suatu wasilah
yang dengannya ibadah kita bisa dikatakan sah atau tidak. Dengan ilmu kita bisa
tahu ibadah kita secara hukum dapat dikatakan diterima atau tidak. Karena
syarat diterimanya ibadah kita oleh Allah SWT, para ulama merumuskannya ada
dua; pertama adalah keikhlasan saat beribadah, dan saya rasa saat
membahas ini, para ulama tidak mengalami ikhtilaf akan hal ini. Kemudian
yang kedua adalah, ibadah harus dilakukan dengan metode yang sudah
dirumuskan oleh Allah SWT dan RasulNya, baik yang tertuang dalam al Quran
ataupun As SUnnah. Saat kedua cara ini
dipenuhi sesuai dengan prosedur yang ditentukan, maka, insya Allah, Allah tidak
akan mengingkari janjiNya.
Ketika membahas keikhlasan, hampir2
tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini. Tetapi jika kita membahas kesesuaian
ibadah kita akan prosedur yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Rasulullah
SAW, maka, dalam pembahasan kedua ini, para ulama panjang lebar berbeda
pendapat. Dan inilah yang menjadi wilayah yang kita sebut sebagai FIQH.
Sering kali kita mendengar para ulama
berpendapat, syarat diterimanya amalan adalah ikhlas dan ittiba’. Tapi
saat membahas ittiba’ dari al hadist, mungkin hal ini harus
dipertanyakan, sebab pemahaman kita tentang hadist, barangkali berbeda dengan
apa yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW.
Pembahasan kita ke depan adalah
tentang “Bibliografi FIQH”.
***
Makna ‘bibliografi’ <semacam
daftar pustaka, sebagai salah satu bentuk bibliografi. Contoh lainnya; katalog
buku, etc>. Berasal dari bahasa latin. Digunakan di prancis, inggris.
Penggunaan dalam bahasa arab dengan menggunakan ‘al bibliografi’.
Dari beragam bentuk bibliografi, yang
akan kita dalami adalah yang bersifat analitis. Artinya, referensinya kita
analisis perihal latar belakang kepenulisan, pembagian pembahasan dalam masing2
buku. Seperti resensi –yang ada di kampus syariah.
Dalam kajian kita kali ini,
bibliografi fiqh, ada beberapa topik pembahasan ;
1. Sejarah Fiqih (taarikhul
fiqhil islamy)
2. Referensi Fiqih
(al maraaji’u wal mashadirul fiqhiyyah)
3. Tokoh2 Fiqih {Al
a’lamul fuqaha’)
4. Istilah2 Fiqih {al
mushtholahatul fiqhiyyah)
LATAR BELAKANG BIBLIOGRAFI FIQIH
Pertama adalah bahwa al Quran dan As Sunnah yang menjadi
sumber kehidupan ternyata tidak mudah dipahami. Kita membutuhkan jembatan, yang
cukup besar, yang kemudian dikenal oleh peradaban kita sebagai turots (warisan
klasik), yang kepadanya kita bisa secara benar memahami al Quran dan Sunnah.
Dan ternyata bahwa turots
tidak mudah pula dipahami. Karenannya, masih dibutuhkan jembatan kecil.
Jembatan besar itu seperti kitab fiqh imam malik, imam Syafi’i, Abu Hanifah.
Adalah jembatan yang menghubungkan kita akan pemahaman terhadap Al Quran dan As
Sunnah.Dan masih tidak mudah pula kitab2 tersebut, yang tidak mudah kita pahami
meski setelah belajar bahasa Arab. Sehingga, masih dibutuhkan jembatan kecil
untuk memahami jembatan besar. Dan jembatan kecil itu adalah ustad2 yang duduk
di majelis tarjih muhammadiyah, majelis2 ulama kecil, para ulama yang
duduk di Organisasi Konferensi Islam, dan lainnya. Para ulama itulah yang
kemudian menjelaskan kepada kita isi kitab2 tersebut.
Sehingga, para ulama sekarang itu
adalah jembatan kecil yang menghubungkan jembatan besar, yang kepadanya kita
paham al Quran dan Sunnah. Yang tanpanya, kita tidak bisa secara total memahami
al Quran dan Sunnah. Jika tidak dipahami dengan benar.
Tetapi, ternyata jembatan yang
dipahami, bukanlah hal yang mudah, sehingga dibutuhkan akal2 besar untuk
memahaminya. Jembatan besar adalah kitab besar para mujtahid dan para
muridnya. Mereka berhasil untuk menulis kitab fiqh dengan bahasa dan
contoh2 kasus di zaman mereka. Kita yang hidup di zaman yang berbeda, harus
mengolahnya dengan akal besar. Dan dibutuhkan ulama pula untuk menjembatani
pemikiran besar ulama terdahulu, yakni para ulama kontemporer sebagai jembatan
kecil tersebut. Sehingga dapat memahami
al quran dan sunnah.
Kedua, adalah dalam rangka mencari
keberkahan para ulama. Para ulama, sering kali mendapatkan syarah
dari kitab fiqh tersebut, dengan tujuannya adalah untuk menjelaskan pada
umatnya. Selain tujuan penjelasan, juga tujuan tabarrukan.
Mencari keberkahan dari para ulama terdahulu. Imam Ghazali, Ibnu Humam. Mereka
semua mengambil syarah (komentar) dari ulama terdahulu, adalah untuk
mendapatkan keberkahan. Dan langkah kita mencari referensi fiqih juga dalam
rangka mencari keberkahan tersebut. Karena kadang kala kita mencari ilmu, dari
guru yang tidak dipercaya apakah dapat menjelaskan ilmu sesuai dengan tradisi
keilmuwan dari abad ke abad. Jika tidak sesuai dengan tradisi tersebut,
dikahawatirkan kita tidak mendapatkan keberkahan dari para ulama salaf
tersebut.
Hal yang ketiga adalah
kita ingin menghidupkan kembali peradaban fiqh. Karena peradaban fiqh
tidak lain adalah peradaban islam sendiri. Tokoh islam Maroko, Muhammad Al
Jabiri dan Maghrib, Maroko, berkata, “kalau sebuah peradaban bisa disebut
sebagai salah satu produknya, maka kita bisa menyebut peradaban islam sebagai
peradaban fiqh. Sebagaimana peradaban Yunani dulu disebut sebagai peradaban
filsafat.”
Apa yang dimaksud dengan peradaban
fiqh sesuai dengan tradisi ulama terdahulu?
Suatu peradaban disebut sebagai
peradaban fiqh saat dimana fiqh benar2 diamallkan sebagai panduan kehidupan
umat Islam. Di zaman Rasulullah SAW, syariat ditegakkan dengan
benar2, meskipun belum dikenal tradisi ilmu fiqh, namun sebagai sebuah ilmu
tanpa nama. Substansinya ada. Di zaman rasul, sumbernya langsung dari Rasul.
Saat ada kasus tertentu, langsung ditanyakan pada Rasul, atau menunggu wahyu
turun. Bagaimana jawabannya? Rasul langsung memberikan jawaban.
Meski tidak disebut dengan fiqh
secara langsung, namun itulah fiqh di zaman Rasul, dimana Rasul sebagai sumber
utama.
Saat rasul sudah tidak ada, kemudian
sumbernya adalah orang2 para sahabat yang belajar langsung dari rasul. Mereka,
orang awam kala itu langsung bertanya pada para sahabat; Ibnu Zubair, Khalid
bin Walid, Khulafa ar Rabi’. Mereka bertanya akan permasalahan yang tidak ada
pada zaman Rasul dulu.
Ketika zaman berubah, dari zaman
hafalan menjadi zaman penulisan. Ketika terjadi perubahan, transisi dari tradisi
lama ke tradisi baru –yakni tradisi menulis, mereka bertanya pada para ulama.
Saat tidak ditemui para ulama, mereka langsung menggali dari karya2 para ulama
yang telah meninggal.
Seperti misal, di zaman murid Imam
Syafi’i. Saat tidak ditemukan satu jawaban dari kitab Imam Syafi’i, mereka
mencoba menganalogikan kasus yang tidak terjadi di zaman Imam Syafi’i, mereka
menganalogikan barangkali ada kesamaan karakter. Tidak langsung bertanya pada Imam
Syafi’i, tapi bertanya pada kitabnya.
Hal ini pun dialami pula oleh kita.
Kita tidak mungkin bisa memahami bahasa Imam Syafi’i, sehingga dibutuhkan ulama
kontemporer untuk menjembatani pemahaman tersebut dan menjelaskannya pada kita.
Kemudian, kembali menuliskan hasil pemahaman kita dengan bahasa yang mudah
dipahami di zaman kita dalam bentuk tulisan. Begitu siklusnya.
Itulah fiqh yang terjadi di zaman
kepenulisan. Sehingga, jika kita ingin menghidupkan peradaban penulisan
tersebut, kita harus mengenal karya2 imam2 terdahulu tersebut.
Produk2 ijtihad para ulama terdahulu,
menghasilkan 4
produk : 2F dan 2Q. Fiqh dan fatwa. Qonun dan Qadha.
1) Qonun muncul di zaman Abbasyiah, Umayyah,
yakni undang2 di zaman kerajaan, kekhilafaan kenegaraan tertentu yang
berdasarkan syari’at islam, yang disusun berdasar syariat islam, atau
qonun islami –dalam bentuk pasal, dst.
2) Qadha’ adalah ketika terdapat permasalahan
atau persengketaan, diajukan oleh qadhi, maka hasil keputusan qodhi (hakim)
adalah qadha’ –misal: semua keputusan Rasulullah, jika dituliskan, itu juga
merupakan qadha.
3) Fatwa adalah jawaban dari para ulama yang
merupakan respon terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.
4) Fiqh adalah kitab2 para ulama, aspek yang
membahas ihwal muamalah, terapan. Tinjauan pada aspek dzahirnya.
...yang jika kesemuanya itu ada, maka
peradaban fiqh itu dikatakan ada.
Jika zaman sekarang? Qanun kita
sekarang saja bukan qanun syar’i. Di negara kita, adanya UUD 4, UU pasal
sekian. Qadha’, bukanlah keputusan seorang yang islami, melainkan dari Mahkamah
konstitusi. Fatwa, pasti dari MUI. Jika fiqh, selalu ada dalam tiap zaman,
hanya saja pengamalan dari tiap zaman belum sempurna.
Jika kesemuanya ada dan pengamalannya
ada, maka dapat dikatakan bahwa peradaban fiqh tersebut ada.
SEJARAH BIBLIOGRAFI FIQIH
Bibliografi isinya adalah resensi kitab2
dalam islam.
Barangkali, bibliografi pertama kali yang paling bagus dalam membuat resensi
tersebut adalah peradaan Islam. Meskipun barangkali, terdapat di Yunani ada, namun tidak kita jumpai fisikanya.
Sedangkan dalam Islam, terdapat
bibliografi dari ulama di akhir abad ke 5H. Ibnu Nadim (438 H)
–sesungguhnya tidak jelas tahun lahir dan wafat. Namun di beberapa literatur
menuliskan, beliau wafat di abad ke 5 H. Beliau adalah seorang warraq
–seorang direktur penerbitan. Jika secara harfiah, diterjemahkan kertas atau
daun.
Dunia yang terkait dengan menulis di
atas kertas. Dunia tersebut disebut wiraqah –terkait dengan kertas. Prosesnya
disebut dengan an naskhu (menyalin). Jika ada ulama yang baru menulis
kitab, maka didatangi ulama tersebut, “katanya anda menulis kitab baru, boleh
saya gandakaan?”. Ada pula yang tidak meminta upah. Dan rata2, kemudian dijual
kitab tersebut kepada khalifah yang memiliki proyek menggandakan kitab2 fiqh.
Dan biasanya, yang melalui warraq tidak memerlukan biaya, artinya benar2
tujuan berdakwah.
Dan di zaman itu, ibnu nadim benar2
tahu ulama2 yang menulis kitab, kemudian digandakan. Beliau bawa kitab tersebut
ke ruangannya, disalin oleh penyalin. Dalam satu warraq, ada 5 sd 7 orang yang
menyalin. Yang disebut dengan naasikh –penyalin {profesi menyalin kitab
para ulama).
Imam Ghazali (di awal
abad ke6), di zamannya. Saat masa kecilnya seorang yatim piatu. Di madrasahnya,
beliau adalah yang paling pintar. Dan tidak ada ujian yang formal, serta tidak
ada batas waktu kapan kelulusan. Selama sudah bisa menguasai sebuah disiplin
ilmu tertentu, dan di madarasah tersebut, mata pelajaran sudah dikuasai,
tinggal minta diuji.
Banyak orang yang lebih
tua seniornya, belum lulus, beliau sudah lulus. Saat imam Ghazali di madrasah,
beliau mendapatkan dana santunan. Karena terlalu cepat sekolahnya –dalam usia yang kecil, beliau
bingung bagaimana membiayai hidupnya. Akhirnya, timbul ide datang ke seorang warraq.
Menyampaikan keinginan untuk menjadi seorang nasikh. Awalnya ditolak,
namun imam Ghazali mengatakan, justru buatannya lebih baik dari para nasikh tersebut,
lebih2 lagi, beliau meminta harga tertentu jika dirinya menjadi warraq.
Tertarik akan Imam Ghazali, warraq tersebut menguji. Dan ternyata memang
demikian.
Nasikh yang lain, di jam2 sore, mereka
pulang. Namun imam Ghazali tidak, justru ia meminta izin warraq untuk
berada di wiraqah. Siangnya menjadi nasikh, malamnya ia membaca
kitab2 yang ada di sana, karena ketidakmampuannya dalam membeli kitab2
tersebut.
Itu adalah salah satu
contoh ulama yang pernah menjadi nasikh.
Sehingga, manuskrip
ulama2 tersebut biasanya beda2, karena para nasikhnya berbeda2. Bahkan,
ada pula para ulama yang tidak menulis, tapi muridnya.
Seperti al umm,
bukan Imam Syafi’i yang menuliskan, tapi murid2nya. Imam Malik punya akitab
al mudawwanah, bukan Imam Malik yang menuliskan langsung, namun muridnya.
Ibnu Nadim, saking banyaknya kitab
yang diperjualbelikan. Ia jadi hafal isi kitab, latar belakang penulis, tahun
terbitan, dll. Dari pengetahuan itu, ia susun sebuah kitab tentang ulama
tertentu punya kitab sekian, dituliskan namanya. Nama kitabnya adalalh al
fiqhrist. Dimana di dalamnya, dapat dijumpai banyak kitab yang ditulis
ulama terdahulu. Bahkan, kitab2 yang
hari ini hilang, dapat diketahui judulnya, lewat kitab dari Ibnu Nadim.
Seperti saat perang Salib
di Baghdad. saat tentara Mongol datang menyerang. Tidak tahu bahwa yang dibakar
adalah isinya ilmu pengetahuan semua. Kitab semuanya dibakar oleh mereka.
Hingga sungai Tigris menghitam oleh darah para ulama yang menulis kitab. Kita
dapat melihat kitab2 para ulama. Ibnu Nadim adalah orang Baghdad yang hidup di
abad ke 3 -4 H, dan tidak termasuk kitab yang hilang saat perang Salib.
Jika kaum salib di
Andalusia, mereka juga membakar kitab2. Tapi, liciknya, mereka menterjemahkan
kitab2 Islam, kemudian dihancurkan oleh mereka. Sehingga, sekarang Andalusia
seperti Spanyol, etc yang termasuk daerah eropa adalah peraban yang maju. Mongol
tidak melakukan hal itu sehingga ia tidak menjadi peradaban yang maju. Namun,
pada akhirnya, Mongol masuk Islam.
Walaupun istilah bibliografi baru
muncul akhir2 ini, namun sebagai sebuah aktifitas, sudah ada sejak zaman
dahulu.
Kitab lain yang sering menjadi
rujukan oleh ulama kita, yang ditulis oleh Haji Khalifah (Musthafa bin
Abdullah). Beliau sudah wafat di ~abad ke 11 H. Kasyfudzzhunnun ‘an asamilkutub
wal funuun..
Karena selisihnya 4 abad, kontennya
lebih modern dan lebih mudah kita pahami diandingkan al fiqhrist. Dan
kontennya pun lebih banyak. Karena islam berkembang, sehingga terdapat kitab2
yang baru ditulis. Sehingga secara konten lebih banyak dibandingkan Ibnu
Nadhim. Dan penyusunannya pun juga lebih mudah dipahami. Dikomparasikan dengan al
fiqhrist, terdapat 10 pembagian, namun berdasarkan sub bahasan. Namun kitab
Haji Khalifah tersesunnya campur, namun disusun berdasarkan alfabetis. Dan dari
sini, banyak kitab yang melengkapi kasyfuddzunnun.
Inilah perkembangan agama Islam,
dimana mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Jumlah kitab yang ada
dalam agama Islam, jauh lebih banyak dibandingkan dengan agama lain.Untuk fiqh
saja, manuscript yang diteliti
-capaian hingga tahun 2011, di kajian Mesir Abdul Siraaj. Manuskrip (makhtutah)
yang baru ditakhqiq (diteliti) untuk kemudian diketik ulang dalam kitab2
sekarang. Yang diteliti fiqhnya saja baru 5sd 7% yang kemudian dicetak. Ini
sangatlah amat luas. Apalagi yang belum diteliti secara intens oleh para ulama.
FIQH adalah undang2 islam yang
mengatur kehidupan manusia. Dari hal sepele dalam kamar mandi, sampai tata
negara. Dan perkembangan peradaban itu begitu sangat luas sekali.
Dan penulisan bibliografi namun
khusus cabang ilmu fiqh, belum ada.
# Q.A. session #
Q. Dalam filologi, ada 3 tahapan. Transkipsi,
transliterasi dan interpretasi. Jika perkembangan tahqiq kitab2 fiqh, sudah
sampai mana?
A. Semuanya ada dalam proses penelitian atau tahqiq kitab2
turots tersebut. Apalagi jika bentuk penelitian untuk program doktoral,
ketiga aktifitas aitu sudah dilakukan semuanya. bagaimana seorang doktor tidak
hanya menyalin, tapi juga mengkaji.
Q. Dan kadang kala, dalam manuskrip asli ada gambar yang
tak jelas dan tetap dicatat? Bagaimana perkembangan kitab2 kontemproer yang
kita dapat, dan kebenaran yang ada di sana? Dan bagaimana kita mengcrosscheck
kebenaran kitab2 sekarang?
A. Lewat kajian interpretasi itu kita lakukan crosscheck.
Apakah benar, kitab2 itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Kebenarannya
lewat kajian interpretasi. Jika didapatkan perbedaaan, biasanya disebutkan. Dia
tidak dapat memastikan kebenaran asli, hanya terdapat keterangan bahwa di naskh
satu dituliskan demikian, dan di nasakh yang lain disebutkan yang lain.
Dan jika perbedaan tersebut tidak ada atsar atau efeknya, maka dituliskan yang
tepat adalah ini. Namun jika ada efeknya bahwa kata A maksudnya ke utara, dan
kata B maksudnya ke selatan, proses inilah yang diinterpretasi. Setelah usaha
keras, dia menuliskan bahwa yang paling tepat adalah ke utara atau selatan.
Inilah yang sesuai dengan kaidah2 fiqh tersebut.
Q. apakah kita tsiqah saja dalam kitab al
fiqhrist pada kitab2 yang tidak ada buktinya dan sudah hilang di masa perang
salib?
A. Penelitian, baru dijelaskan jika manuskripnya ada.
Para ulama menulis pasti ada rujukannya.
Para ulama terdahulu, jika menulis tidak pernah ada rujukannya, namun
lewat hafalan. Berbeda dengan kita zaman sekarang, jika menukil, lengkap
dituliskan sumbernya. Para ulama terdahulu, tidak pernah ada footnote
dalam kitab2 terdahulu, dan tidak ada paragrafnya. Paragraf baru dikenal hari
ini saat eropa datang ke Islam.
Bentuk2 kepenulisan Islam zaman sekarang,
tidak dikenal di zaman dahulu. Dan orang yang melakukan penelitian sekarang,
hanya memberikan titik, koma etc. Karena titik koma itu adalah mengubah interpretasi.
Sehingga, apakah para ulama dulu,
menuliskan terdapat kitab tertentu, namun tidak ada bukti otentik. Maka mereka tsiqah
bahwa kitab itu ada.
Misal, terdapat kitab ar risalah
dalam al fiqhrist. Namun secara fisik tidak kita temui. Namun di kitab lain,
tertulis, di dalam kitab ar risalah oleh ulama sekian, tertulis hasil
nukilannya. Karena para ulama zaman dahulu saling menukil kitab lain. Sehingga
sangat bisa dipercaya. Informasinya tidak dari satu sumber, namun dari banyak
sumber.
Q. Bagaimana portrait negara islam zaman
sekarang? Adakah sejarah islam yang terdapat peradaban fiqh?
A. Kita kembali bertanya, apa standarnya? Sehingga
memenuhi 4 faktor tersebut. Misal, di saudi, qadhi’nya ada secara syar’i. Fatwa
pun ada. Kitab fiqh juga masih sering ditulis terus menerus. Dan secara qanun
juga syar’i. Dan dalam mempraktekkan ilmu fiqh, memang tidak serta merta
diamalkan. Semua itu ada, namun belum tentu seluruh masyarakat mengamalkannya.
Toh di zaman rasul juga masih ada kasus pencurian, di potong tangannya.
Di indonesia, ada istilah kompilasi
hukum Islam, tapi tidak 100%. Itu adalah kompilasi hukum barat, karena warisan
dari belanda yang pernah menjajah indonesia. Sehingga ilmu hukum yang dirujuk
di universitas adalah belajar ilmu hukum barat, warisan dari penajajahan negeri
barat. Sehingga, ketika umat islam ingin mengeluarkan hukum islam, bertentangan
dengan hukum barat yang sudah menjadi kultur dalam hukum di indonesia. Karena
hukum islam di indonesia pun secara praktek –kenegaraan sejauh ini merangkum ;
nikah, waris, wakaf, dan zakat.
Q. Mencari keberkahan ulama terdahulu, maksudnya
seperti apa?
A. Ini adalah fungsi sampingan. Bukti keberkahannya,
adalah dari dulu sampai sekarang, masih dikaji h ingga hari ini. Bukan hanya
dikaji, namun para ulama, berlomba2 mensyarah kitab ini. Bahkan, sampai
sekarang, kitaa masih dapat membaca teks asli kitab imam Nawawi. Keberkahan,
maknanya kan berkahnya kebaikan. Imam Nawawi adalah imam yang waktunya paling
berkah. Dlam umurnya yang pendek (hanya 44 atau 45 tahun, dan mulai menulis di
umur 25 tahun. Umur 19 tahun baru masuk pesantren di madrasah ar rowahiyyah.
Mengawali perjalanan intelektualnya mempelajari al quran, hadist, etc. Di umur
45 tahun wafat), namun berlembar2, ribuan karyanya.
Sekarang, kita hidup berapa tahun, dan makalah sudah berapa
halaman? >.<
Selain mencari keilmuwan, juga
mencari keberkahan, selain daripada membaca karya ulama klasik terdahulu.
Q. mungkin kita sebagai orang awam tidak memahami yang
paling otentik dalam mensyarah. Bagaimana cara kita untuk bisa meyakini syarah
yang paling sesuai dengan tulisan kitab2 para ulama terdahulu, karena terlalu
banyaknya ulama saat ini yang mensyarahkan?
A. Kita sebagai pembaca –atau bahkan tidak membaca,
namun mendengarkan ustadz berbicara dari hasil bacaannya. Sama seperti membaca
kitab. Misal, saya ketika membaca kita yang disyarah para ulama (misal. kitab
taqrib penulisnya abu Syuja’. Yang mensyarah kitab ini banyak
sekali, misal kifayatul ahyar, fathul qarib, dan lainnya). Saat membaca
syarah antara satu kitab dengan kitab lainnya, banyak kesamaan, namun juga ada
perbedaannya. Dengan matan yang sama, menghasilkan teks yang berbeda.
Ternyata, al khizni punya alasan
tersendri. Al ghazni punya argumen tersendiri, pun dengan asy syirghini juga
punya alasan yang masuk akal sesuai dengan kaidah syariah. Dan yang tahu masuk
akal tidaknya adalah orang yang sudah mengkajianya.
Maka kita, yang sekedar mendengarkan,
tidak mempunyai hak untuk kemduian menentukan tiga penjelasan yang berbeda2
untuk semuanya. di hadapan kita sebagai orang awam, kita belum mendapatkan
wahyu secara langsungn bahwa yang paling benar adalah A, sebab tidak ada wahyu
yang turun menentukan A. Sebab karena ini adalah hasil ijtihad dari masing2 syarah,
kita yang tidak memiliki piranti, berhak memilih salah satu dari kejelasan itu,
yang menurut kita paling nyaman untuk diikuti. Tapi jika ada ketidaknyamanan,
maka berhak untuk ditinggalkan, namun tidak berhak untuk menyalahkan yang
lainnya, sebab tidak tertulis di al Quran dan As Sunnah bahwa syarah tersebut
adalah tidak otentik.
Q. apa kontribusi dari pakar2 yang tidak ahli di bidang
agama, namun bidang lainnya?
A. Ini perbedaan ulama terdahulu dan sekarang. Ulama
terdahulu, selain ahli agama, juga pakar astronomi, kedokteran, fisika. Ibnu
rusyd misal, seorang dokter, seorang fahmu agama juga. Maka mereka tidak lagi
membutuhkan pemahaman kesehatan dan mencari2 dokternya dimana? Untuk membahas
anatomi dalam tinjauan agama, mereka sudah tahu ilmunya sendiri.
Berbeda dengan sekarang. Ulama
sekarang akan mengundang pakarnya jika ingin mengkaji permasalahan, bahwa
pertanyaan ini terkait tentang apa saja? Sebab, saya tidak paham ilmu itu,
sehingga saya butuh ahlinya untuk menjelaskan, kemudian baru menentukan
jawabannya.
Jika dia punya pertanyaan tentang
kedokteran, maka diundang pakar kedokteran, baru kemudian dia berhak menyatakan
fatwa tentang itu.setelah tahu kejadian sesungguhnya seperti itu, baru dia
kemudian baru bisa menjadi mufti untuk memberikan fatwa. Sehingga itulah
kontribusi para orang yang tidak mengkaji ilmu agama.
Pen/TUGASan.
1. Siapakah nama
asli Imam An Nawawi?
Al Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya
bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hussain bin Jumu’ah bin Hizam Al Hizamy An Nawawi Asy Syafi’i.
2. Ada rahasiakah
apakah akan keberkahan umur Imam An Nawawi?
Beliau senantiasa mencari keberkahan
waktu dalam setiap aktivitas hidupnya. Mencoba menyedikitkan makan,
meminimalisasi waktu yang dipergunakan untuk ke kamar mandi untuk tujuan
belajar. Melakukan hal seefektif mungkin seperti halnya orang yan kehausan
dalam menuntut ilmu untuk terus bekerja dan belajar.