2 Feb 2015

#1 BIBLIOGRAFI FIQIH

#1BIBLIOGRAFI FIQIH
Jakarta, 18/01/2015. Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur. Materi pertama. Daurah Fiqh Dar Ash Shalihat. Ust. Sutomo [Rumah Fiqh Indonesia].


MUQADDIMAH BIBLIOGRAFI FIQIH
Untuk menambah bekal kajian kita ke akhirat, kesempatan apapun harus disyukuri sehingga, hanya kesempatan inilah dimana kita bisa menghapus dosa, dan memperbanyak pahala untuk menjadi bekal. Karena tugas manusia jika diringkas ada dua, yakni ; pertama, mengumpulkan sebanyak apapun pahala selama di dunia, dan yang kedua, yakni mengurangi sebanyak apapun dosa yang kita lakukan. Ketika itu dilakukan, insya Allah, bagi akhirat kita telah memiliki bekal dan beban kita akan semakin berkurang akan dosa2 yang pernah kita lakukan.

Salah satu cara untuk mendapatkan bekal tersebut adalah dengan menuntut ilmu. Dan dalam islam, ilmu adalah suatu wasilah yang dengannya ibadah kita bisa dikatakan sah atau tidak. Dengan ilmu kita bisa tahu ibadah kita secara hukum dapat dikatakan diterima atau tidak. Karena syarat diterimanya ibadah kita oleh Allah SWT, para ulama merumuskannya ada dua; pertama adalah keikhlasan saat beribadah, dan saya rasa saat membahas ini, para ulama tidak mengalami ikhtilaf akan hal ini. Kemudian yang kedua adalah, ibadah harus dilakukan dengan metode yang sudah dirumuskan oleh Allah SWT dan RasulNya, baik yang tertuang dalam al Quran ataupun As SUnnah.  Saat kedua cara ini dipenuhi sesuai dengan prosedur yang ditentukan, maka, insya Allah, Allah tidak akan mengingkari janjiNya.
Ketika membahas keikhlasan, hampir2 tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini. Tetapi jika kita membahas kesesuaian ibadah kita akan prosedur yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Rasulullah SAW, maka, dalam pembahasan kedua ini, para ulama panjang lebar berbeda pendapat. Dan inilah yang menjadi wilayah yang kita sebut sebagai FIQH.

Sering kali kita mendengar para ulama berpendapat, syarat diterimanya amalan adalah ikhlas dan ittiba’. Tapi saat membahas ittiba’ dari al hadist, mungkin hal ini harus dipertanyakan, sebab pemahaman kita tentang hadist, barangkali berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW.
Pembahasan kita ke depan adalah tentang “Bibliografi FIQH.
***
Makna ‘bibliografi’ <semacam daftar pustaka, sebagai salah satu bentuk bibliografi. Contoh lainnya; katalog buku, etc>. Berasal dari bahasa latin. Digunakan di prancis, inggris. Penggunaan dalam bahasa arab dengan menggunakan ‘al bibliografi’.
Dari beragam bentuk bibliografi, yang akan kita dalami adalah yang bersifat analitis. Artinya, referensinya kita analisis perihal latar belakang kepenulisan, pembagian pembahasan dalam masing2 buku. Seperti resensi –yang ada di kampus syariah.
Dalam kajian kita kali ini, bibliografi fiqh, ada beberapa topik pembahasan ;
1. Sejarah Fiqih (taarikhul fiqhil islamy)
2.   Referensi Fiqih (al maraaji’u wal mashadirul fiqhiyyah)
3. Tokoh2 Fiqih {Al a’lamul fuqaha’)
4. Istilah2 Fiqih {al mushtholahatul fiqhiyyah)


LATAR BELAKANG BIBLIOGRAFI FIQIH
Pertama adalah bahwa al Quran dan As Sunnah yang menjadi sumber kehidupan ternyata tidak mudah dipahami. Kita membutuhkan jembatan, yang cukup besar, yang kemudian dikenal oleh peradaban kita sebagai turots (warisan klasik), yang kepadanya kita bisa secara benar memahami al Quran dan Sunnah.

Dan ternyata bahwa turots tidak mudah pula dipahami. Karenannya, masih dibutuhkan jembatan kecil. Jembatan besar itu seperti kitab fiqh imam malik, imam Syafi’i, Abu Hanifah. Adalah jembatan yang menghubungkan kita akan pemahaman terhadap Al Quran dan As Sunnah.Dan masih tidak mudah pula kitab2 tersebut, yang tidak mudah kita pahami meski setelah belajar bahasa Arab. Sehingga, masih dibutuhkan jembatan kecil untuk memahami jembatan besar. Dan jembatan kecil itu adalah ustad2 yang duduk di majelis tarjih muhammadiyah, majelis2 ulama kecil, para ulama yang duduk di Organisasi Konferensi Islam, dan lainnya. Para ulama itulah yang kemudian menjelaskan kepada kita isi kitab2 tersebut.

Sehingga, para ulama sekarang itu adalah jembatan kecil yang menghubungkan jembatan besar, yang kepadanya kita paham al Quran dan Sunnah. Yang tanpanya, kita tidak bisa secara total memahami al Quran dan Sunnah. Jika tidak dipahami dengan benar.

Tetapi, ternyata jembatan yang dipahami, bukanlah hal yang mudah, sehingga dibutuhkan akal2 besar untuk memahaminya. Jembatan besar adalah kitab besar para mujtahid dan para muridnya. Mereka berhasil untuk menulis kitab fiqh dengan bahasa dan contoh2 kasus di zaman mereka. Kita yang hidup di zaman yang berbeda, harus mengolahnya dengan akal besar. Dan dibutuhkan ulama pula untuk menjembatani pemikiran besar ulama terdahulu, yakni para ulama kontemporer sebagai jembatan kecil tersebut.  Sehingga dapat memahami al quran dan sunnah.

Kedua, adalah dalam rangka mencari keberkahan para ulama. Para ulama, sering kali mendapatkan syarah dari kitab fiqh tersebut, dengan tujuannya adalah untuk menjelaskan pada umatnya. Selain tujuan penjelasan, juga tujuan tabarrukan. Mencari keberkahan dari para ulama terdahulu. Imam Ghazali, Ibnu Humam. Mereka semua mengambil syarah (komentar) dari ulama terdahulu, adalah untuk mendapatkan keberkahan. Dan langkah kita mencari referensi fiqih juga dalam rangka mencari keberkahan tersebut. Karena kadang kala kita mencari ilmu, dari guru yang tidak dipercaya apakah dapat menjelaskan ilmu sesuai dengan tradisi keilmuwan dari abad ke abad. Jika tidak sesuai dengan tradisi tersebut, dikahawatirkan kita tidak mendapatkan keberkahan dari para ulama salaf tersebut.

Hal yang ketiga adalah kita ingin menghidupkan kembali peradaban fiqh. Karena peradaban fiqh tidak lain adalah peradaban islam sendiri. Tokoh islam Maroko, Muhammad Al Jabiri dan Maghrib, Maroko, berkata, “kalau sebuah peradaban bisa disebut sebagai salah satu produknya, maka kita bisa menyebut peradaban islam sebagai peradaban fiqh. Sebagaimana peradaban Yunani dulu disebut sebagai peradaban filsafat.”
Apa yang dimaksud dengan peradaban fiqh sesuai dengan tradisi ulama terdahulu?

Suatu peradaban disebut sebagai peradaban fiqh saat dimana fiqh benar2 diamallkan sebagai panduan kehidupan umat Islam. Di zaman Rasulullah SAW, syariat ditegakkan dengan benar2, meskipun belum dikenal tradisi ilmu fiqh, namun sebagai sebuah ilmu tanpa nama. Substansinya ada. Di zaman rasul, sumbernya langsung dari Rasul. Saat ada kasus tertentu, langsung ditanyakan pada Rasul, atau menunggu wahyu turun. Bagaimana jawabannya? Rasul langsung memberikan jawaban.

Meski tidak disebut dengan fiqh secara langsung, namun itulah fiqh di zaman Rasul, dimana Rasul sebagai sumber utama.

Saat rasul sudah tidak ada, kemudian sumbernya adalah orang2 para sahabat yang belajar langsung dari rasul. Mereka, orang awam kala itu langsung bertanya pada para sahabat; Ibnu Zubair, Khalid bin Walid, Khulafa ar Rabi’. Mereka bertanya akan permasalahan yang tidak ada pada zaman Rasul dulu.

Ketika zaman berubah, dari zaman hafalan menjadi zaman penulisan. Ketika terjadi perubahan, transisi dari tradisi lama ke tradisi baru –yakni tradisi menulis, mereka bertanya pada para ulama. Saat tidak ditemui para ulama, mereka langsung menggali dari karya2 para ulama yang telah meninggal.

Seperti misal, di zaman murid Imam Syafi’i. Saat tidak ditemukan satu jawaban dari kitab Imam Syafi’i, mereka mencoba menganalogikan kasus yang tidak terjadi di zaman Imam Syafi’i, mereka menganalogikan barangkali ada kesamaan karakter. Tidak langsung bertanya pada Imam Syafi’i, tapi bertanya pada kitabnya.

Hal ini pun dialami pula oleh kita. Kita tidak mungkin bisa memahami bahasa Imam Syafi’i, sehingga dibutuhkan ulama kontemporer untuk menjembatani pemahaman tersebut dan menjelaskannya pada kita. Kemudian, kembali menuliskan hasil pemahaman kita dengan bahasa yang mudah dipahami di zaman kita dalam bentuk tulisan. Begitu siklusnya.
Itulah fiqh yang terjadi di zaman kepenulisan. Sehingga, jika kita ingin menghidupkan peradaban penulisan tersebut, kita harus mengenal karya2 imam2 terdahulu tersebut.

Produk2 ijtihad para ulama terdahulu, menghasilkan 4 produk : 2F dan 2Q. Fiqh dan fatwa. Qonun dan Qadha.
1) Qonun muncul di zaman Abbasyiah, Umayyah, yakni undang2 di zaman kerajaan, kekhilafaan kenegaraan tertentu yang berdasarkan syari’at islam, yang disusun berdasar syariat islam, atau qonun islami –dalam bentuk pasal, dst.

2) Qadha’ adalah ketika terdapat permasalahan atau persengketaan, diajukan oleh qadhi, maka hasil keputusan qodhi (hakim) adalah qadha’ –misal: semua keputusan Rasulullah, jika dituliskan, itu juga merupakan qadha.

3) Fatwa adalah jawaban dari para ulama yang merupakan respon terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

4)  Fiqh adalah kitab2 para ulama, aspek yang membahas ihwal muamalah, terapan. Tinjauan pada aspek dzahirnya.

...yang jika kesemuanya itu ada, maka peradaban fiqh itu dikatakan ada.

Jika zaman sekarang? Qanun kita sekarang saja bukan qanun syar’i. Di negara kita, adanya UUD 4, UU pasal sekian. Qadha’, bukanlah keputusan seorang yang islami, melainkan dari Mahkamah konstitusi. Fatwa, pasti dari MUI. Jika fiqh, selalu ada dalam tiap zaman, hanya saja pengamalan dari tiap zaman belum sempurna.

Jika kesemuanya ada dan pengamalannya ada, maka dapat dikatakan bahwa peradaban fiqh tersebut ada. 


SEJARAH BIBLIOGRAFI FIQIH
Bibliografi isinya adalah resensi kitab2 dalam islam. Barangkali, bibliografi pertama kali yang paling bagus dalam membuat resensi tersebut adalah peradaan Islam. Meskipun barangkali, terdapat di  Yunani ada, namun tidak kita jumpai fisikanya.

Sedangkan dalam Islam, terdapat bibliografi dari ulama di akhir abad ke 5H. Ibnu Nadim (438 H) –sesungguhnya tidak jelas tahun lahir dan wafat. Namun di beberapa literatur menuliskan, beliau wafat di abad ke 5 H. Beliau adalah seorang warraq –seorang direktur penerbitan. Jika secara harfiah, diterjemahkan kertas atau daun.
Dunia yang terkait dengan menulis di atas kertas. Dunia tersebut disebut wiraqah –terkait dengan kertas. Prosesnya disebut dengan an naskhu (menyalin). Jika ada ulama yang baru menulis kitab, maka didatangi ulama tersebut, “katanya anda menulis kitab baru, boleh saya gandakaan?”. Ada pula yang tidak meminta upah. Dan rata2, kemudian dijual kitab tersebut kepada khalifah yang memiliki proyek menggandakan kitab2 fiqh. Dan biasanya, yang melalui warraq tidak memerlukan biaya, artinya benar2 tujuan berdakwah.

Dan di zaman itu, ibnu nadim benar2 tahu ulama2 yang menulis kitab, kemudian digandakan. Beliau bawa kitab tersebut ke ruangannya, disalin oleh penyalin. Dalam satu warraq, ada 5 sd 7 orang yang menyalin. Yang disebut dengan naasikh –penyalin {profesi menyalin kitab para ulama).

Imam Ghazali (di awal abad ke6), di zamannya. Saat masa kecilnya seorang yatim piatu. Di madrasahnya, beliau adalah yang paling pintar. Dan tidak ada ujian yang formal, serta tidak ada batas waktu kapan kelulusan. Selama sudah bisa menguasai sebuah disiplin ilmu tertentu, dan di madarasah tersebut, mata pelajaran sudah dikuasai, tinggal minta diuji.

Banyak orang yang lebih tua seniornya, belum lulus, beliau sudah lulus. Saat imam Ghazali di madrasah, beliau mendapatkan dana santunan. Karena terlalu cepat  sekolahnya –dalam usia yang kecil, beliau bingung bagaimana membiayai hidupnya. Akhirnya, timbul ide datang ke seorang warraq. Menyampaikan keinginan untuk menjadi seorang nasikh. Awalnya ditolak, namun imam Ghazali mengatakan, justru buatannya lebih baik dari para nasikh tersebut, lebih2 lagi, beliau meminta harga tertentu jika dirinya menjadi warraq. Tertarik akan Imam Ghazali, warraq tersebut menguji. Dan ternyata memang demikian.

Nasikh yang lain, di jam2 sore, mereka pulang. Namun imam Ghazali tidak, justru ia meminta izin warraq untuk berada di wiraqah. Siangnya menjadi nasikh, malamnya ia membaca kitab2 yang ada di sana, karena ketidakmampuannya dalam membeli kitab2 tersebut.

Itu adalah salah satu contoh ulama yang pernah menjadi nasikh.
Sehingga, manuskrip ulama2 tersebut biasanya beda2, karena para nasikhnya berbeda2. Bahkan, ada pula para ulama yang tidak menulis, tapi muridnya.

Seperti al umm, bukan Imam Syafi’i yang menuliskan, tapi murid2nya. Imam Malik punya akitab al mudawwanah, bukan Imam Malik yang menuliskan langsung, namun muridnya.

Ibnu Nadim, saking banyaknya kitab yang diperjualbelikan. Ia jadi hafal isi kitab, latar belakang penulis, tahun terbitan, dll. Dari pengetahuan itu, ia susun sebuah kitab tentang ulama tertentu punya kitab sekian, dituliskan namanya. Nama kitabnya adalalh al fiqhrist. Dimana di dalamnya, dapat dijumpai banyak kitab yang ditulis  ulama terdahulu. Bahkan, kitab2 yang hari ini hilang, dapat diketahui judulnya, lewat kitab dari Ibnu Nadim.

Seperti saat perang Salib di Baghdad. saat tentara Mongol datang menyerang. Tidak tahu bahwa yang dibakar adalah isinya ilmu pengetahuan semua. Kitab semuanya dibakar oleh mereka. Hingga sungai Tigris menghitam oleh darah para ulama yang menulis kitab. Kita dapat melihat kitab2 para ulama. Ibnu Nadim adalah orang Baghdad yang hidup di abad ke 3 -4 H, dan tidak termasuk kitab yang hilang saat perang Salib.
Jika kaum salib di Andalusia, mereka juga membakar kitab2. Tapi, liciknya, mereka menterjemahkan kitab2 Islam, kemudian dihancurkan oleh mereka. Sehingga, sekarang Andalusia seperti Spanyol, etc yang termasuk daerah eropa adalah peraban yang maju. Mongol tidak melakukan hal itu sehingga ia tidak menjadi peradaban yang maju. Namun, pada akhirnya, Mongol masuk Islam.

Walaupun istilah bibliografi baru muncul akhir2 ini, namun sebagai sebuah aktifitas, sudah ada sejak zaman dahulu.

Kitab lain yang sering menjadi rujukan oleh ulama kita, yang ditulis oleh Haji Khalifah (Musthafa bin Abdullah). Beliau sudah wafat di ~abad ke 11 H.  Kasyfudzzhunnun ‘an asamilkutub wal funuun..

Karena selisihnya 4 abad, kontennya lebih modern dan lebih mudah kita pahami diandingkan al fiqhrist. Dan kontennya pun lebih banyak. Karena islam berkembang, sehingga terdapat kitab2 yang baru ditulis. Sehingga secara konten lebih banyak dibandingkan Ibnu Nadhim. Dan penyusunannya pun juga lebih mudah dipahami. Dikomparasikan dengan al fiqhrist, terdapat 10 pembagian, namun berdasarkan sub bahasan. Namun kitab Haji Khalifah tersesunnya campur, namun disusun berdasarkan alfabetis. Dan dari sini, banyak kitab yang melengkapi kasyfuddzunnun.

Inilah perkembangan agama Islam, dimana mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Jumlah kitab yang ada dalam agama Islam, jauh lebih banyak dibandingkan dengan agama lain.Untuk fiqh saja, manuscript yang diteliti  -capaian hingga tahun 2011, di kajian Mesir Abdul Siraaj. Manuskrip (makhtutah) yang baru ditakhqiq (diteliti) untuk kemudian diketik ulang dalam kitab2 sekarang. Yang diteliti fiqhnya saja baru 5sd 7% yang kemudian dicetak. Ini sangatlah amat luas. Apalagi yang belum diteliti secara intens oleh para ulama.

FIQH adalah undang2 islam yang mengatur kehidupan manusia. Dari hal sepele dalam kamar mandi, sampai tata negara. Dan perkembangan peradaban itu begitu sangat luas sekali.
Dan penulisan bibliografi namun khusus cabang ilmu fiqh, belum ada.


# Q.A. session #
Q. Dalam filologi, ada 3 tahapan. Transkipsi, transliterasi dan interpretasi. Jika perkembangan tahqiq kitab2 fiqh, sudah sampai mana?
A. Semuanya ada dalam proses penelitian atau tahqiq kitab2 turots tersebut. Apalagi jika bentuk penelitian untuk program doktoral, ketiga aktifitas aitu sudah dilakukan semuanya. bagaimana seorang doktor tidak hanya menyalin, tapi juga mengkaji.

Q. Dan kadang kala, dalam manuskrip asli ada gambar yang tak jelas dan tetap dicatat? Bagaimana perkembangan kitab2 kontemproer yang kita dapat, dan kebenaran yang ada di sana? Dan bagaimana kita mengcrosscheck kebenaran kitab2 sekarang?
A. Lewat kajian interpretasi itu kita lakukan crosscheck. Apakah benar, kitab2 itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Kebenarannya lewat kajian interpretasi. Jika didapatkan perbedaaan, biasanya disebutkan. Dia tidak dapat memastikan kebenaran asli, hanya terdapat keterangan bahwa di naskh satu dituliskan demikian, dan di nasakh yang lain disebutkan yang lain. Dan jika perbedaan tersebut tidak ada atsar atau efeknya, maka dituliskan yang tepat adalah ini. Namun jika ada efeknya bahwa kata A maksudnya ke utara, dan kata B maksudnya ke selatan, proses inilah yang diinterpretasi. Setelah usaha keras, dia menuliskan bahwa yang paling tepat adalah ke utara atau selatan. Inilah yang sesuai dengan kaidah2 fiqh tersebut.

Q. apakah kita tsiqah saja dalam kitab al fiqhrist pada kitab2 yang tidak ada buktinya dan sudah hilang di masa perang salib?
A. Penelitian, baru dijelaskan jika manuskripnya ada. Para ulama menulis pasti ada rujukannya.  Para ulama terdahulu, jika menulis tidak pernah ada rujukannya, namun lewat hafalan. Berbeda dengan kita zaman sekarang, jika menukil, lengkap dituliskan sumbernya. Para ulama terdahulu, tidak pernah ada footnote dalam kitab2 terdahulu, dan tidak ada paragrafnya. Paragraf baru dikenal hari ini saat eropa datang ke Islam.
Bentuk2 kepenulisan Islam zaman sekarang, tidak dikenal di zaman dahulu. Dan orang yang melakukan penelitian sekarang, hanya memberikan titik, koma etc. Karena titik koma itu adalah mengubah interpretasi.
Sehingga, apakah para ulama dulu, menuliskan terdapat kitab tertentu, namun tidak ada bukti otentik. Maka mereka tsiqah bahwa kitab itu ada.
Misal, terdapat kitab ar risalah dalam al fiqhrist. Namun secara fisik tidak kita temui. Namun di kitab lain, tertulis, di dalam kitab ar risalah oleh ulama sekian, tertulis hasil nukilannya. Karena para ulama zaman dahulu saling menukil kitab lain. Sehingga sangat bisa dipercaya. Informasinya tidak dari satu sumber, namun dari banyak sumber.

Q. Bagaimana portrait negara islam zaman sekarang? Adakah sejarah islam yang terdapat peradaban fiqh?
A. Kita kembali bertanya, apa standarnya? Sehingga memenuhi 4 faktor tersebut. Misal, di saudi, qadhi’nya ada secara syar’i. Fatwa pun ada. Kitab fiqh juga masih sering ditulis terus menerus. Dan secara qanun juga syar’i. Dan dalam mempraktekkan ilmu fiqh, memang tidak serta merta diamalkan. Semua itu ada, namun belum tentu seluruh masyarakat mengamalkannya. Toh di zaman rasul juga masih ada kasus pencurian, di potong tangannya.
Di indonesia, ada istilah kompilasi hukum Islam, tapi tidak 100%. Itu adalah kompilasi hukum barat, karena warisan dari belanda yang pernah menjajah indonesia. Sehingga ilmu hukum yang dirujuk di universitas adalah belajar ilmu hukum barat, warisan dari penajajahan negeri barat. Sehingga, ketika umat islam ingin mengeluarkan hukum islam, bertentangan dengan hukum barat yang sudah menjadi kultur dalam hukum di indonesia. Karena hukum islam di indonesia pun secara praktek –kenegaraan sejauh ini merangkum ; nikah, waris, wakaf, dan zakat.

Q. Mencari keberkahan ulama terdahulu, maksudnya seperti apa?
A. Ini adalah fungsi sampingan. Bukti keberkahannya, adalah dari dulu sampai sekarang, masih dikaji h ingga hari ini. Bukan hanya dikaji, namun para ulama, berlomba2 mensyarah kitab ini. Bahkan, sampai sekarang, kitaa masih dapat membaca teks asli kitab imam Nawawi. Keberkahan, maknanya kan berkahnya kebaikan. Imam Nawawi adalah imam yang waktunya paling berkah. Dlam umurnya yang pendek (hanya 44 atau 45 tahun, dan mulai menulis di umur 25 tahun. Umur 19 tahun baru masuk pesantren di madrasah ar rowahiyyah. Mengawali perjalanan intelektualnya mempelajari al quran, hadist, etc. Di umur 45 tahun wafat), namun berlembar2, ribuan karyanya.
Sekarang, kita  hidup berapa tahun, dan makalah sudah berapa halaman? >.<
Selain mencari keilmuwan, juga mencari keberkahan, selain daripada membaca karya ulama klasik terdahulu.

Q. mungkin kita sebagai orang awam tidak memahami yang paling otentik dalam mensyarah. Bagaimana cara kita untuk bisa meyakini syarah yang paling sesuai dengan tulisan kitab2 para ulama terdahulu, karena terlalu banyaknya ulama saat ini yang mensyarahkan?
A. Kita sebagai pembaca –atau bahkan tidak membaca, namun mendengarkan ustadz berbicara dari hasil bacaannya. Sama seperti membaca kitab. Misal, saya ketika membaca kita yang disyarah para ulama (misal. kitab taqrib penulisnya abu Syuja’. Yang mensyarah kitab ini banyak sekali, misal kifayatul ahyar, fathul qarib, dan lainnya). Saat membaca syarah antara satu kitab dengan kitab lainnya, banyak kesamaan, namun juga ada perbedaannya. Dengan matan yang sama, menghasilkan teks yang berbeda.
Ternyata, al khizni punya alasan tersendri. Al ghazni punya argumen tersendiri, pun dengan asy syirghini juga punya alasan yang masuk akal sesuai dengan kaidah syariah. Dan yang tahu masuk akal tidaknya adalah orang yang sudah mengkajianya.
Maka kita, yang sekedar mendengarkan, tidak mempunyai hak untuk kemduian menentukan tiga penjelasan yang berbeda2 untuk semuanya. di hadapan kita sebagai orang awam, kita belum mendapatkan wahyu secara langsungn bahwa yang paling benar adalah A, sebab tidak ada wahyu yang turun menentukan A. Sebab karena ini adalah hasil ijtihad dari masing2 syarah, kita yang tidak memiliki piranti, berhak memilih salah satu dari kejelasan itu, yang menurut kita paling nyaman untuk diikuti. Tapi jika ada ketidaknyamanan, maka berhak untuk ditinggalkan, namun tidak berhak untuk menyalahkan yang lainnya, sebab tidak tertulis di al Quran dan As Sunnah bahwa syarah tersebut adalah tidak otentik.

Q. apa kontribusi dari pakar2 yang tidak ahli di bidang agama, namun bidang lainnya?
A. Ini perbedaan ulama terdahulu dan sekarang. Ulama terdahulu, selain ahli agama, juga pakar astronomi, kedokteran, fisika. Ibnu rusyd misal, seorang dokter, seorang fahmu agama juga. Maka mereka tidak lagi membutuhkan pemahaman kesehatan dan mencari2 dokternya dimana? Untuk membahas anatomi dalam tinjauan agama, mereka sudah tahu ilmunya sendiri.
Berbeda dengan sekarang. Ulama sekarang akan mengundang pakarnya jika ingin mengkaji permasalahan, bahwa pertanyaan ini terkait tentang apa saja? Sebab, saya tidak paham ilmu itu, sehingga saya butuh ahlinya untuk menjelaskan, kemudian baru menentukan jawabannya.
Jika dia punya pertanyaan tentang kedokteran, maka diundang pakar kedokteran, baru kemudian dia berhak menyatakan fatwa tentang itu.setelah tahu kejadian sesungguhnya seperti itu, baru dia kemudian baru bisa menjadi mufti untuk memberikan fatwa. Sehingga itulah kontribusi para orang yang tidak mengkaji ilmu agama.

Pen/TUGASan.
1.       Siapakah nama asli Imam An Nawawi?
Al Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Hussain bin Jumu’ah bin Hizam Al  Hizamy An Nawawi Asy Syafi’i.
2.       Ada rahasiakah apakah akan keberkahan umur Imam An Nawawi?
Beliau senantiasa mencari keberkahan waktu dalam setiap aktivitas hidupnya. Mencoba menyedikitkan makan, meminimalisasi waktu yang dipergunakan untuk ke kamar mandi untuk tujuan belajar. Melakukan hal seefektif mungkin seperti halnya orang yan kehausan dalam menuntut ilmu untuk terus bekerja dan belajar. 

Islam