menjadi *manusia* part 2
bismillahirrahmanirrahim
"absurd"
Barang kali, itu kali pertama saya mengawali sebuah perenungan di tengah goresan malam dari lazuardi bertabur gemerlap rasi orion, kalau2 keberuntungan saya di tengah langit perkotaan bisa melihat messier 1. *kita cukupkan pembicaraan astronomi. Di sini kita tidak ingin membuka forum diskusi.
Saya ingat di satu malam, periode awalku memasuki sistem baru, teman saya menceritakan keluh-kesahnya pada saya. Kemudian, saya menjawab *selayaknya orang bijak yang dimintai nasehat*, untuk, "tidak menjustifikasi orang dari kali pertama kau melihat, atau bahkan dalam kali kesekiannya. Karena seberapapun kau mengenalnya, akan banyak hal menakjubkan yang mampu kau temui dari sisi lain seorang insan. Selayaknya kita memposisikannya sebagai objek dengan identitas beragam dan variatif, dan kita sedang memandang tinggi untuk nilai keunikan tiap individu tersebut,"
...bahasa sederhananya sih, kita gak bisa langsung berargumen, "gue gak suka dia... dia orangnya begini," dan sebagainya. Karena barang kali, yang kita lihat hanya refleksi permukaan dari bagaimana 'ekspektasi' dia untuk kita menganggap dia seperti apa? Jika dia berharap kita memandangnya sebagai orang bijak & kita memang betul kemudian berpikir dia orang bijak (nyatanya tidak sepenuhnya), artinya ia sukses membangun model karakter hingga paradigma kita seperti demikian adanya.
er,.. bagaimana? apa penjelasanku cukup jelas?
Kemudian, saya gemar memposisikan diri sebagai seorang observer of life, sebagaimana aku sering berujar pada teman sekamar saya yang senang saya ajak untuk berdiskusi. Bahwa manusia itu variatif. Masing-masing dari mereka unik.
dan poin pokok ke arah mana saya ingin bercerita adalah, bagaimana sistem -yang mana saya mengawali dari semester 3 kemarin, adalah sebuah tempat dimana (bagi saya pribadi) adalah murni didominasi orang2 yang saya memandang banyak pelajaran dari mereka. dan dalam memaknai betapa fitrinya perbedaan -meski sering kali saya merasa diri sebagai sosok minoritas yang tidak terdiskriminasi.
Saya baru mengawali cerita di sini, kawan.
Awal saya masuk pun adalah sebuah kebetulan. Dari cerita seorang teman satu kelas saya yang mana saya senang berdiskusi masalah perbedaan faham dengannya. Kemudian, sering kali kami dengan tranlasi kami masing2 kemudian menjadikan ini sebagai ilmu baru dengan pr masing2 yang menjadi tanggungan untuk saling menjelaskan antar perbedaan pendapat tersebut.
Teman itu kemudian berujar mengenai pembukaan sebuah asrama. Darush Shalihat, namanya. Saya mendefinisikan sistem ini berisi sekelompok perempuan yang *perempuan* (saya senang sekali mendikotomikan makna *perempuan, dan *perempuan yang perempuan, karena ada perbedaan dialek di situ).
Kemudian, adalah fakta unik bahwa tergelitik hatiku saat itu untuk ikut2an mendaftar. Kenapa? Yo wes alasan yang umum, mau cari lingkungan yang membangun intuisi untuk mendekatkan diri padaNya. Rindu gemuruh dzikir, lantunan ayat suci, rekan yang sama membangunkan dalam mentahajjudkan diri. Indah, ya, barangkali mayoritas anak2 yang punya tujuan sama, juga berpikiran seperti itu. Tapi sesungguh2nya intuisi saya sekadar itu.
Ada lagi, rupanya yang bertekad belajar menjadi (bahasa mereka) ummahat sholihah untuk dapat zaujatan sholih. Saya sontak kaget. Itu belum masuk maqam kelas saya *mencoba untuk merendah dalam hal ini. Biarkan saya dengan kecintaan ilmu teoritik ini, sebelum beranjak masuk dengan pengaplikasian futuristik cabang 'ibu rumah tangga'. Itu terlalu berat, sungguh.
Kami mendaftar bareng, mengumpulkan berkas, hingga saat dauroh pun sekelompok bareng. Dia dengan karakternya membaur. Saya dengan karakter saya.
Hal yang paling2 membekas adalah saat tes wawancara. Wuiih. Saat itu, seingat saya, mba Septi. Di sana memanggil mba2 dengan sebutan ammah, bahasa lainnya tante, bukan? Ya sekarepnya lah,
Saya duduk dalam sebuah kamar, yang kemudian saya tahu itu kamar an-nisa. Beliau menggendong anak bayi, luar biasa. Sedang mengambil program pascasarjana di psikologi ugm, sambil mengasuh anaknya, juga menjadi senior kakap di asrama.
Beliau mengujarkan kekaguman pada seberapa antusias aku membuat essay. Saya menangkap segurat pernyataan bahwa diantara peserta lain, essayku lah yang paling tebal. Tak perlulah kusebutkan. Namun, saya sedikit-banyak, cukup bangga untuk itu, hehee...
Saya mencoba belajar dari setiap pengalaman sebelumnya, termasuk saat terakhir kali aku wawancara sewaktu tes seleksi beasiswa pasiad turki. Rupanya, menjadi pembelajaran besar saat kekurangberuntungan saya justru terjadi saat seleksi wawancara, menjadi refleksi untuk tes kali ini. Saya menganggap adalah sebuah tantangan, karena rupanya, dalam sebulan itu, aku menghadapi tes wawancara 4x. Ha.. Apa saja itu, menjadi misteri pula bagi saya yang sudah lupa,..
Saya mencoba menjual pengalaman masa sma, saat saya membangun sebuah mimpi bersama teman sekelas *yang saya paham idealismenya. Membangun sebuah LSM, berkontribusi di sana, meluksikan sebuah karya, hingga bisa bekerjasama dengan bang Fuadi (trilogi negeri 5 menara). Pengalaman itu selalu saya anggap menjadi titik klimaks dalam masa SMA saya.
Fakta yang rupanyabaru disadari adalah, hal tersebut justru bukan yang dihighlight dari sekian pengalaman hidup yang saya coba jual dalam essay saya waktu itu. Namun, adalah beberapa hal (yang tak perlulah kusebutkan apa-itu), namun menjadi semacam hal yang *sangat tinggi nilainya bagi mereka, dan saya hanya anggap sebagai hal sepele. Barangkali, efek lingkungan tempat saya selama ini bermukim,.. Kapabilitas tersebutlah yang kemudian dipikir menjadi 'lebih' dibandingkan pengalamanku yang lainnya.
Namun, kawan. Ada satu hal yang saya ingat betul pertanyaan tersebut, "himaya punya teman dekat?"
hm,.. agaknya, saya tidak menganggap itu sebagai pelecehan, tidak juga sebuah pujian. Namun, saya paham sebagaimana karakter sata -tidak berharap terlalu dekat dengan orang lain ataupun mengelompok tidak berbaur pada orang yang tidak suka. Intinya sih, nggak suka istilah ngegeng hingga orang lain sungkan untuk berkenalan pada pribadi. Padahal, faktanya secara tidak langsung, saya justru (dalam anggapan orang lain) telah membuat kesan eksklusif dalam diam ini, yang rupanya saya telah melaju ke jalan lain di luar ekspektasi. Jadi, ikhtiar pribadi untuk menjadi sosok inklusif rupanya harus digiatkan. sebuah note PR.
Saya menjelaskan jawaban dengan nada sok birokratis karena merasa atmosfer ini sudah mendukung bagi saya untuk terus bercakap. Terakhir, saya hanya berucap, "kok kulihat banyak yang keluar dengan nangis, ya?" ucapan polos. Lalu beliau menimpal, "kamu mau saya buat nangis?". Sambil meringis, saya menggelang dan berlalu pergi. Dalam hati berbisik bahwa saya bukan tipe orang dengan emosi yang bisa dibawa terombang ambing, selain dalam syahdu menyimak ayat suci. Paling tidak, itu yang sejauh ini pribadi ketahui. Jadi, keengganan itu lebih karena saya tidak ingin menyakiti hati sang psikolog dalam usahanya membuatku terbawa emosi alur yang dibuatnya. Tidak, terima kasih.
Tiba saat pengumuman, rupanya teman (yang berbeda dari yang diceritakan sebelumnya itu) memamerkan bahwa ia sudah mendapatkan bocoran bahwa dirinya berhasil diterima. Saya belum, barangkali memang bukan nasibku. ya, bagi saya, terima saja. Karena barangkali atas dasar ketidaksiapan saya menjadi pribadi dengan pemanage-an waktu sedimikian rupa sehingga harus ada ikhtiar lebih untuk menjadi sosok yang lebih baik. Begitulah.
Kemudian, adalah sore hari dalam tidur soreku di asrama ugm saat itu. Dalam bangunnya, kemudian melihat di layar hp sudah ada misscall dan beberapa sms. Kurang-lebihnya berkonten
barakallah diterima di DS..
lah, emang sudah pengumuman ya, mba?
coba dicek dulu, may,...
sejurus kemudian, membuka laptop dan mengakses internet. Beruntungnya asrama ini dilengkapi area hotspot, jadi tak perlu ongkar angkir bolak-balik kampus hanya demi mendapatkan arena hotspot wifi gratisan.
Ada sekitar 60-an orang yang kurang lebih diterima itu. Saya melihat jelas 'himayatus shalihah' terdaftar menjadi salah satu di antara generasi yang pada akhirnya saya banyak belajar dari mereka. Generasi yang banyak memberikan fadhilah dan kisah baru dalam hidupku. Termasuk, salahsatunya teman yang sebelumnya saya singgung.
Rupanya, teman yang awal seperjuangan dengan saya di awal masuk, beliau tidak lulus seleksi. Kusampaikan kesedihan atas ketidakberuntugnan tersebut, dia berujar, "barangkali aku hanya perantara dari Allah untuk membuatmu bisa masuk DS, may,..." Sayatergetar, sambil berharap bisa memeluknya, kalau bukan karena gengsi yang masih terbangun saat itu. Hanya membalas dengan senyum. Pahit.
Refleksi di sini ada banyak hal. Saya lebih memilih untuk pembaca mendefinisikannya sendiri, kemudian saya dengan argumen saya. Yang jelas, saat itu mengawali titik kulminasi dari ikhtiar saya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dalam berbagai aspek yang tak pernah terpikirkan pula sebelumnya. :)
Sebagai penutup sesi ini; oyasuminasai *sambil berlalu ke dimensi lain.
"absurd"
Barang kali, itu kali pertama saya mengawali sebuah perenungan di tengah goresan malam dari lazuardi bertabur gemerlap rasi orion, kalau2 keberuntungan saya di tengah langit perkotaan bisa melihat messier 1. *kita cukupkan pembicaraan astronomi. Di sini kita tidak ingin membuka forum diskusi.
Saya ingat di satu malam, periode awalku memasuki sistem baru, teman saya menceritakan keluh-kesahnya pada saya. Kemudian, saya menjawab *selayaknya orang bijak yang dimintai nasehat*, untuk, "tidak menjustifikasi orang dari kali pertama kau melihat, atau bahkan dalam kali kesekiannya. Karena seberapapun kau mengenalnya, akan banyak hal menakjubkan yang mampu kau temui dari sisi lain seorang insan. Selayaknya kita memposisikannya sebagai objek dengan identitas beragam dan variatif, dan kita sedang memandang tinggi untuk nilai keunikan tiap individu tersebut,"
...bahasa sederhananya sih, kita gak bisa langsung berargumen, "gue gak suka dia... dia orangnya begini," dan sebagainya. Karena barang kali, yang kita lihat hanya refleksi permukaan dari bagaimana 'ekspektasi' dia untuk kita menganggap dia seperti apa? Jika dia berharap kita memandangnya sebagai orang bijak & kita memang betul kemudian berpikir dia orang bijak (nyatanya tidak sepenuhnya), artinya ia sukses membangun model karakter hingga paradigma kita seperti demikian adanya.
er,.. bagaimana? apa penjelasanku cukup jelas?
Kemudian, saya gemar memposisikan diri sebagai seorang observer of life, sebagaimana aku sering berujar pada teman sekamar saya yang senang saya ajak untuk berdiskusi. Bahwa manusia itu variatif. Masing-masing dari mereka unik.
dan poin pokok ke arah mana saya ingin bercerita adalah, bagaimana sistem -yang mana saya mengawali dari semester 3 kemarin, adalah sebuah tempat dimana (bagi saya pribadi) adalah murni didominasi orang2 yang saya memandang banyak pelajaran dari mereka. dan dalam memaknai betapa fitrinya perbedaan -meski sering kali saya merasa diri sebagai sosok minoritas yang tidak terdiskriminasi.
Saya baru mengawali cerita di sini, kawan.
Awal saya masuk pun adalah sebuah kebetulan. Dari cerita seorang teman satu kelas saya yang mana saya senang berdiskusi masalah perbedaan faham dengannya. Kemudian, sering kali kami dengan tranlasi kami masing2 kemudian menjadikan ini sebagai ilmu baru dengan pr masing2 yang menjadi tanggungan untuk saling menjelaskan antar perbedaan pendapat tersebut.
Teman itu kemudian berujar mengenai pembukaan sebuah asrama. Darush Shalihat, namanya. Saya mendefinisikan sistem ini berisi sekelompok perempuan yang *perempuan* (saya senang sekali mendikotomikan makna *perempuan, dan *perempuan yang perempuan, karena ada perbedaan dialek di situ).
Kemudian, adalah fakta unik bahwa tergelitik hatiku saat itu untuk ikut2an mendaftar. Kenapa? Yo wes alasan yang umum, mau cari lingkungan yang membangun intuisi untuk mendekatkan diri padaNya. Rindu gemuruh dzikir, lantunan ayat suci, rekan yang sama membangunkan dalam mentahajjudkan diri. Indah, ya, barangkali mayoritas anak2 yang punya tujuan sama, juga berpikiran seperti itu. Tapi sesungguh2nya intuisi saya sekadar itu.
Ada lagi, rupanya yang bertekad belajar menjadi (bahasa mereka) ummahat sholihah untuk dapat zaujatan sholih. Saya sontak kaget. Itu belum masuk maqam kelas saya *mencoba untuk merendah dalam hal ini. Biarkan saya dengan kecintaan ilmu teoritik ini, sebelum beranjak masuk dengan pengaplikasian futuristik cabang 'ibu rumah tangga'. Itu terlalu berat, sungguh.
Kami mendaftar bareng, mengumpulkan berkas, hingga saat dauroh pun sekelompok bareng. Dia dengan karakternya membaur. Saya dengan karakter saya.
Hal yang paling2 membekas adalah saat tes wawancara. Wuiih. Saat itu, seingat saya, mba Septi. Di sana memanggil mba2 dengan sebutan ammah, bahasa lainnya tante, bukan? Ya sekarepnya lah,
Saya duduk dalam sebuah kamar, yang kemudian saya tahu itu kamar an-nisa. Beliau menggendong anak bayi, luar biasa. Sedang mengambil program pascasarjana di psikologi ugm, sambil mengasuh anaknya, juga menjadi senior kakap di asrama.
Beliau mengujarkan kekaguman pada seberapa antusias aku membuat essay. Saya menangkap segurat pernyataan bahwa diantara peserta lain, essayku lah yang paling tebal. Tak perlulah kusebutkan. Namun, saya sedikit-banyak, cukup bangga untuk itu, hehee...
Saya mencoba belajar dari setiap pengalaman sebelumnya, termasuk saat terakhir kali aku wawancara sewaktu tes seleksi beasiswa pasiad turki. Rupanya, menjadi pembelajaran besar saat kekurangberuntungan saya justru terjadi saat seleksi wawancara, menjadi refleksi untuk tes kali ini. Saya menganggap adalah sebuah tantangan, karena rupanya, dalam sebulan itu, aku menghadapi tes wawancara 4x. Ha.. Apa saja itu, menjadi misteri pula bagi saya yang sudah lupa,..
Saya mencoba menjual pengalaman masa sma, saat saya membangun sebuah mimpi bersama teman sekelas *yang saya paham idealismenya. Membangun sebuah LSM, berkontribusi di sana, meluksikan sebuah karya, hingga bisa bekerjasama dengan bang Fuadi (trilogi negeri 5 menara). Pengalaman itu selalu saya anggap menjadi titik klimaks dalam masa SMA saya.
Fakta yang rupanyabaru disadari adalah, hal tersebut justru bukan yang dihighlight dari sekian pengalaman hidup yang saya coba jual dalam essay saya waktu itu. Namun, adalah beberapa hal (yang tak perlulah kusebutkan apa-itu), namun menjadi semacam hal yang *sangat tinggi nilainya bagi mereka, dan saya hanya anggap sebagai hal sepele. Barangkali, efek lingkungan tempat saya selama ini bermukim,.. Kapabilitas tersebutlah yang kemudian dipikir menjadi 'lebih' dibandingkan pengalamanku yang lainnya.
Namun, kawan. Ada satu hal yang saya ingat betul pertanyaan tersebut, "himaya punya teman dekat?"
hm,.. agaknya, saya tidak menganggap itu sebagai pelecehan, tidak juga sebuah pujian. Namun, saya paham sebagaimana karakter sata -tidak berharap terlalu dekat dengan orang lain ataupun mengelompok tidak berbaur pada orang yang tidak suka. Intinya sih, nggak suka istilah ngegeng hingga orang lain sungkan untuk berkenalan pada pribadi. Padahal, faktanya secara tidak langsung, saya justru (dalam anggapan orang lain) telah membuat kesan eksklusif dalam diam ini, yang rupanya saya telah melaju ke jalan lain di luar ekspektasi. Jadi, ikhtiar pribadi untuk menjadi sosok inklusif rupanya harus digiatkan. sebuah note PR.
Saya menjelaskan jawaban dengan nada sok birokratis karena merasa atmosfer ini sudah mendukung bagi saya untuk terus bercakap. Terakhir, saya hanya berucap, "kok kulihat banyak yang keluar dengan nangis, ya?" ucapan polos. Lalu beliau menimpal, "kamu mau saya buat nangis?". Sambil meringis, saya menggelang dan berlalu pergi. Dalam hati berbisik bahwa saya bukan tipe orang dengan emosi yang bisa dibawa terombang ambing, selain dalam syahdu menyimak ayat suci. Paling tidak, itu yang sejauh ini pribadi ketahui. Jadi, keengganan itu lebih karena saya tidak ingin menyakiti hati sang psikolog dalam usahanya membuatku terbawa emosi alur yang dibuatnya. Tidak, terima kasih.
Tiba saat pengumuman, rupanya teman (yang berbeda dari yang diceritakan sebelumnya itu) memamerkan bahwa ia sudah mendapatkan bocoran bahwa dirinya berhasil diterima. Saya belum, barangkali memang bukan nasibku. ya, bagi saya, terima saja. Karena barangkali atas dasar ketidaksiapan saya menjadi pribadi dengan pemanage-an waktu sedimikian rupa sehingga harus ada ikhtiar lebih untuk menjadi sosok yang lebih baik. Begitulah.
Kemudian, adalah sore hari dalam tidur soreku di asrama ugm saat itu. Dalam bangunnya, kemudian melihat di layar hp sudah ada misscall dan beberapa sms. Kurang-lebihnya berkonten
barakallah diterima di DS..
lah, emang sudah pengumuman ya, mba?
coba dicek dulu, may,...
sejurus kemudian, membuka laptop dan mengakses internet. Beruntungnya asrama ini dilengkapi area hotspot, jadi tak perlu ongkar angkir bolak-balik kampus hanya demi mendapatkan arena hotspot wifi gratisan.
Ada sekitar 60-an orang yang kurang lebih diterima itu. Saya melihat jelas 'himayatus shalihah' terdaftar menjadi salah satu di antara generasi yang pada akhirnya saya banyak belajar dari mereka. Generasi yang banyak memberikan fadhilah dan kisah baru dalam hidupku. Termasuk, salahsatunya teman yang sebelumnya saya singgung.
Rupanya, teman yang awal seperjuangan dengan saya di awal masuk, beliau tidak lulus seleksi. Kusampaikan kesedihan atas ketidakberuntugnan tersebut, dia berujar, "barangkali aku hanya perantara dari Allah untuk membuatmu bisa masuk DS, may,..." Sayatergetar, sambil berharap bisa memeluknya, kalau bukan karena gengsi yang masih terbangun saat itu. Hanya membalas dengan senyum. Pahit.
Refleksi di sini ada banyak hal. Saya lebih memilih untuk pembaca mendefinisikannya sendiri, kemudian saya dengan argumen saya. Yang jelas, saat itu mengawali titik kulminasi dari ikhtiar saya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dalam berbagai aspek yang tak pernah terpikirkan pula sebelumnya. :)
Sebagai penutup sesi ini; oyasuminasai *sambil berlalu ke dimensi lain.