27 Jan 2014

menjadi *manusia* part 3


Tanpa sadar, dalam 3 hari ini saya keranjingan menulis blog, rupanya. Sebuah intuisi yang jarang saya bangun *barangkali, kebetulan saja karena di rumah ada akses internet, jadi terbayar sudah puasa hampir2 satu semester, nge-net, melsayakan hal2 tidak berguna seperti stalkerin orang, dimana belakangan ini, saya pikir hal tersebut penting sebagai dalih untuk standar kaderisasi.

Kemudian, saya mencoba melanjutkan sebuah kisah yang mana, penting bagi saya untuk menuangkannya. Sambil membayangkan ini menjadi sebuah memori indah yang akan terkenang, dalam torehan senyum dari wajah saya nanti *futuristik mode on.

bismillahirrahmanirrahim,...


Pagi ini hujan turun. (saya sedang tak mau berpuisi). Yang jelas, saya rindu suasana ini, saat esensi dan aroma hujannya Jakarta dan Yogja itu beda. Hujan di Jakarta lebih merambat di antara sela memori masa lalu pribadi yang terdiam di rumah, menunggu kepulangan orang tua dan kakak yang memiliki kesibukan masing-masing. Sementara saya hanya anak kecil yang menikmati liburannya dengan suatu hal yang lenggang. Lalu, hujan di asrama. Itu kerap merasuk pada sumsum tulang, menusuk dinginnya saraf, namun mengisi sanubari. Sungguh. Kerap kali saat saya mendengar lantunan ayat suci di berbagai penjuru.

Asrama kami terdiri dari 4 sub divisi. Barangkali karena kuantitas yang memaksa dari segi ukuran juga luas. Tidak kemudian sleeping in the huddle, meringkuk dalam satu lapangan *sedang membayangkan lapangan basket dan kami bertengger di sana layaknya pengungsian. Tidak. Sub ruang itu terdiri dari ; jabal tsur 1, jabal tsur 2, jabal nur, dan jabal rahmah. Secara harfiah, jabal tsur -> gunung tsur? (bersembunyi) *transliterasi umi yang dalam posisi kantuknya. Kemudian jabal nur -> gunung cahaya, dan jabal rahmah -> gunung rahmat.

Secara kuantitas, penghuni jabal tsur yang disingkat jt1 dan jt 2 itu paling banyak. Satu kamar terdiri dari 4 orang, dengan jumlah kamar yang paling banyak pula *berikut kamar mandinya. Jt 2 terletak di lt.2 sementara jt1 terletak di lt.1. Terpisah gedung namun masih dalam satu komplek yang dihubungkan oleh kelas, terdapat musholla yang persis di sampingnya terdapat jabal masjid. Kubahas nanti saja soal yang satu ini, yang jelas, jabal nur terletak di lt.2 ( di atas musholla), sementara jabal rahmah di lt.3, dihubungkan oleh sebuah jembatan penuh cahaya antara jn dan jr. Nah, penghuni jn secara kuantitas lebih sedikit, terdiri dai 6 kamar yang beberapa di antaranya 3 orang per kamar, dan 2 orang per kamar. Jabal rahmah lain lagi, hanya berisi 2 kamar yang masing2 di antaranya dihuni 3 orang per kamar.

Intermezzo hal yang kurang penting barangkali, saya mendapat kamar di jn yang berisi satu kamarnya 2 orang. Teman sekamar saya seorang senior, anak pendidikan matematika uny. Untuk kenyamanan penulis dalam melanjutkan kisah, saya panggil tokoh yang satu ini dengan sebutan onyit. Kok jelek sekali? Barangkali, bahkan saya memberikan sebuah kehormatan di balik nama itu, tanpa bermaksud menyinggung beliau, atas dasar kecintaan beliau terhadap hal2 berbau monyet. Beliau pernah berkata, “saya nggak suka kalau hal yang kusuka disukai orang lain, jadi saya suka hal yang banyak orang kurang suka.” Saya mendefinisikan itu adalah sosok monyet yang ia tempel hampir di seluruh furnitur dan aksesoris belajarnya, atau menyesaki dinding kamar. Dan nama kamar hangat kami adalah al-kahfi. Gua. Gua penuh monyet.

Onyit ini punya hobi unik, yakni syuro’. Beliau menjabat sebagai mas’ulah di haska. Sejenis rohis (kalau bahasa sma-nya) di fmipa uny. Barangkali, ada banyak hal jika harus saya komparasikan antara cewek fmipa uny, dan cewek fmipa ugm. Banyak sekali. Termasuk dari segi karakter, mereka lebih solid, kompak, lebih *cewek*, lebih bernurani.

Ajaibnya adalah begini, kawan. Saat ada satu orang yang memiliki masalah, ada pula yang mengatasinya dengan ikut bersedih, seolah kesedihan itu menunjukkan keprihatinan dan kepeduliannya terhadap permasalahan yang dihadapi rekannya. Dalam hal ini, saya mencoba memandang dari 2 perspektif; pertama sebagai si orang skeptis maupun si pengguna rasio.

Sebagai orang skeptis, saya enggan melsayakan itu, toh dengan menangis kita nggak menyelesaikan masalah. Saya dengan karakter saya, lebih memilih menunjukkan sebaris ayat yang mampu sekiranya meringankan bebannya, hingga kemudian teman saya lebih terbantu akan hal itu. Misal, surat al-mulk ayat 13-14;
"dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh Dia Maha Mengetahui segala isi hati (13). Apakah pantas Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha halus, Maha Mengetahui (14)"
atau di banyak surat lainnya. Itulah keajaiban al-qur’an. literasinya yang luar biasa indah hingga menyentuh qalbu siapapun yang masih punya. Daripada sekadar merenungi atau berkata sabar, yang dalam pandangan skeptis (sekali lagi, skeptis) saya kurang membantu dalam situasi tersebut. Karena sejatinya, banyak perenungan yang kita pelajari dari al-qur'an, sesungguhnya, jika mereka mau memaknainya.

Lalu, dari segi saya sebagi si pengguna rasio, saya lebih senang mendefinisikan ini sebagai proses transfer kesedihan. Teman kita bersedih, ketika kita menangis, barangkali di pemikiran beberapa orang akan berpikir, “dia ikut bersedih merasakan kepedihanku.”Setidaknya tangisan kita membantu mereduksi kesedihan teman kita yang bersedih, yang mana, sisi ini saya harus belajar banyak. Karena sedikit-banyak, saya jarang menggunakan perasaanku. Ini jadi PRku pula, rupanya.

Banyak hal yang saya pejari dari onyit, sebagaimana saya memposisikan diri sebagai observer of life. Beliau, sebagai mas’ulah yang bijak, yang kemudian hampir (atau selalu) setiap hari kamar kami kedatangan tamu yang curhat masalah haska dengannya, atau syuro’ di kamar, atau menjenguk saat beliau sakit,  atau bercerita meminta nasehat beliau. Karena saran beliau menjadi obat maupun teguran bagi saya untuk menjadi pribadi yang lebih peka terhadap lingkungan. Barangkali, hal ini pula yang kemudian terpikirkan oleh saya ketika wawancara, sayaditanyai perihal teman dekat. Ini hanya analisis orang dengan segala keterbatasan wawasannya.

Saya sering berdiskusi dengan beliau, bertukar cerita, meminta saran, curhat. Saya menganggap beliau sosok keibuan dengan daya pengampuannya yang luar biasa. Meski di saat yang sama, belum bisa saya katakana beliau sosok ummahat sempurna, karena fokusnya masih secara akademis dan organisasi. Namun, dari segala softskill yang ia miliki, beliau tetaplah perempuan yang menyukai warna pink, berpakaian rapi dan suka boneka.


Sementara bagaimana beliau memandang diri saya? Menjadi tanda tanya besar bagi pribadi kerdil ini. Agaknya, gambaran saya (barangkali) beliau akan mendefinisikan saya sosok inkonsisten absurd dan masa bodo’. Namun, saya tetaplah senang menyimak cerita dan segala nasehatnya, sementara ia tetaplah gemar mendengar pengaduan dan segala permohonan saran dari segala kebingungan saya perihal hal remeh-temeh.

Islam